Sabtu, 08 Juni 2013

An ASS out of U and ME

Sumber Gambar
Sebuah drama dengan pemain solo dan penonton tunggal terjadi di ruang tengah rumah saya sore ini. Diiringi suara gemericik hujan, teman saya menuturkan penyesalannya yang teramat dalam. Air matanya sesekali menetes, menambah basah suasana.

“Kenapa sampai nangis gini?” tanya saya, menutup buku yang sesiangan saya baca.

“Aku nggak tahu kalau selama ini aku salah duga. Gara-gara teman di media sosial….” Ia menyebut sebuah media social paling populer sejagat raya.

“Oh?”

“Antara kami pernah terjadi salah paham. Karena sebel, aku curhat ke teman itu.” Ia menyebut nama teman di media social itu, saya tulis saja Fifi. Pastilah bukan nama sebenarnya.

“Kamu pernah ketemu sama Fifi?”

“Belum. Tapi kami sering saling curhat. Fifi kenal Ina, juga cuma di media social. Mereka belum pernah ketemu.”

Si Ina ini – juga nama comotan – kenal baik teman saya di dunia nyata. Mereka pun sering bertemu.

Suatu hari, beberapa bulan lalu, teman saya ini jengkel dengan ulah Ina, lalu curhat pada Fifi di media social. Si Fifi ini lalu menjelek-jelekkan Ina. Entah apa sebabnya, saya sedang tidak minat bertanya-tanya menyelidiki sesuatu yang bukan urusan saya. Anehnya teman saya ini percaya saja.

“Kamu juga aneh. Udah nyata-nyata belum pernah ketemu Fifi kok percaya aja omongannya….”

“Kamu malah bikin aku tambah merasa bersalah!” rutuknya, lelehan air matanya menderas. “Sekarang aku harus gimana? Mau minta maaf ke siapa? Keluarganya?”

Ina, temannya yang ia jauhi sejak beberapa bulan, meninggal sekitar 3 minggu lalu. Penyesalan teman saya berawal dari situ.

“Didoakan aja. Sampai kamu merasa lega. Percuma menjelaskan hal ini ke suami atau anak-anaknya. Malah bikin runyam. Mereka tidak tahu duduk-soalnya. Lagi pula, seperti kamu bilang tadi, kamu hanya menjauh dari Ina, bukan memusuhi. Iya, kan?” omongan sok bijak saya.

“Tapi aku nggak nengok waktu dia sakit. Gara-gara omongan Fifi!” Ia menyedot ingusnya. Buru-buru kuangsurkan sekotak tisu.

“Jangan nyalahin orang. Omongan orang mestinya kamu saring. Apalagi dari orang yang hanya kamu kenal di media social, sedekat apapun perasaanmu tapi kamu belum pernah ketemu.” Rasa-rasanya saya bukan teman curhat yang elok, sebab komentar saya justru makin menyudutkannya.

Saya jadi ingat gurauan yang sering kami – saya dan anak saya – lontarkan. Kata assume (yang berarti menduga, mengira, berasumsi) merupakan singkatan dari ‘making an ASS out of U and ME), alias bikin kita kacau-b(G)alau.

Nurut saya, menduga-duga sikap orang atas dasar omongan orang lain itu tidak bijaksana. Pada dasarnya tiap orang tidak berkarakter tunggal: jahat saja, nakal saja, curang saja, manis saja, lembut hati saja, jujur saja, atau pintar saja. Memang ada orang yang berkarakter buruk: yang jelek-jelek saja yang dominan. Namun jarang yang berkarakter serba baik: semua-muanya baik sama sekali nggak ada jeleknya secuilpun. Yang serupa itu mungkin bukan manusia.

Karakter-karakter antarorang sering bertubrukan. Berikutnya muncul perselisihan. Kalau bertemu dengan karakter yang saling cocok sebuah hubungan bisa bertahan lama; kalau tidak, ya ‘I’m sorry good bye’ saja.

Maka, di sini letak seninya dalam berteman. Saya pun tidak selalu sukses, kadang salah menilai orang dan berakhir dengan penyesalan. Namun siapa pula yang tidak pernah menyesal? Penyesalan itu buah kekeliruan, munculnya belakangan: bertanam kekeliruan dulu, baru tumbuh buah penyesalan. Dan tiap orang pasti meskipun sekali pernah keliru.

Ada sebuah quote, entah punya siapa, yang berbunyi kira-kira begini: menilai karakter seseorang hanya dari salah satu sifat buruknya itu ibarat melihat lautan hanya dari satu gelombanganya. Wah! Agak berlebihan, namun tepat. ‘Ora bener nanging pener’, kalau boleh saya bolak-balik sebuah pepatah Jawa. Tidak sepenuhnya benar tapi pas. Karakter orang itu ibarat lautan, tak bisa dinilai dari segulir gelombangnya.

Nah. Entah kenapa teman saya memutuskan berubah sikap pada Ina hanya dari ocehan Fifi semata. Padahal teman saya mengenal Ina lebih baik dan lebih lama daripada mengenal Fifi. Ia juga mengenal keluarga Ina. Paling tidak sosok Ina ini jauh lebih nyata ketimbang Fifi yang hanya ia kenal di dunia maya.

“Sudahlah. Nggak perlu diperburuk lagi. Doakan saja almarhumah Ina,” ulang saya. "Kamu bisa minta maaf lewat Tuhan," gurau saya.

“Aku harus bilang apa sama Fifi?”

“Nggak usah bilang apa-apa. Two wrongs don’t make a right,” saya sok berfilsafat.

Teman saya membuang kuat-kuat gumpalan napas penuh penyesalan melewati mulutnya. Suaranya sungguh memilukan, serupa dengkingan serigala yang beberapa hari tidak makan.

“Kamu pasti lapar. Mau lapis legit rasa pandan? Mau ya?” kata saya. “Sama kopi, ya? Atau teh? Kalau bir aku nggak punya.”

Ia mengangguk. “Kopi aja,” sahutnya, menyeka air mata.

Dan drama itu berakhir, masih dengan seonggok sesal membebani pundak teman saya. Namun paling tidak ia merasa lega telah bercerita.

“Boleh aku tulis buat blog? Udah lama aku nggak apdet blog. Udah sebulan lebih. Boleh, ya?”

 Ia mengangguk sambil berusaha meringis.

Tidak ada komentar: