Jumat, 13 September 2013

Empat Perempuan

Ilustrasi oleh Azam Raharjo

Episode 30: Si Hitam Dijual

Hujan masih sesekali mengguyur tanah Jogja di minggu terakhir April 2011. Iroh berlari-lari dari minimarket ke rumah, dilihatnya mendung datang mendadak. Tas kresek berisi sabun cuci piring di tangannya melonjak-lonjak. Ia tak ingin jemurannya – yang hampir kering – kembali basah.

Meski di rumah, Eyang pasti lupa kanan-kiri, sedang asyik dengan jarum rendanya, membuat ini-itu untuk teman-temannya.

“Kok gedebukan ada apa?” tegur Eyang, terganggu derap kaki Iroh yang memasuki rumah lewat garasi.

“Gerimis, Eyaaang. Jemuraaan.” Iroh tak memperlambat langkahnya. Eyang hanya sekejap mengangkat matanya dari benang dan jarum renda.

Beberapa saat kemudian Iroh muncul ke ruang tengah dengan rambut diikat tinggi-tinggi. Kulit wajahnya memerah sehabis berlari. “Eyang, tadi saya ketemu Pak Heru di toko. Tanya-tanya mobil hitam. Apa bener mau dijual.”

Sekonyong-konyong Eyang meletakkan pekerjaannya ke sofa. “Kok dia tahu?”

“Katanya ada iklannya di koran. Ada nama Nyonya. Tapi Pak Heru nggak yakin kalau itu mobil Eyang. Memang mau dijual, Yang?”

Eyang membuang napas hati-hati. “Iya. Memang mau dijual.” Suara Eyang seperti gaung yang berasal dari lubang dalam.

Iroh tak berani lagi bertanya. “Saya hanya diminta menyampaikan.” Ia berbalik, meninggalkan Eyang, ke dapur, menyiapkan makan siang.

Terdengar suara gemeretak dari atap yang tertimpa deras curah hujan.

** 

“Iklannya udah jadi kamu pasang, ya?” tanya Eyang, mengekor Runi masuk ke kamar, tangannya menjangkau handel pintu, menutupnya.

“Sudah dari kemarin. Dimuat hari ini. Itu kan maunya Ibu.” Runi melepas baju kerjanya, menggantinya dengan daster katun biru tosca polos bertali seperti spageti di bagian pundak.

Eyang mengawasi tubuh anaknya yang masih langsing dan indah walaupun pada bagian-bagian tertentu sedikit menyimpan lemak. “Kok rasanya berat, ya,” keluh Eyang, nyaris berupa bisikan.

“Lho? Gimana? Kalau berat ya batal aja. Tadi udah ada yang nelpon. Tiga orang. Baru tanya-tanya harga dan kondisinya, belum nawar.” Di iklan itu dicantumkan nama dan nomor ponsel Runi untuk dihubungi.

“Kata Iroh, Pak Heru, tetangga kita, juga nanyain. Harganya itu, lho. Nggak sebanding dengan mobilnya. Masih bagus, mulus, tokcer….” Eyang nyaris menangis.

“Ya gitu kalau mobil tua dilepas di pasar. Makanya, sebenarnya aku mau cari kolektor, orang yang bisa menghargai mobil bukan dari umurnya, tapi dari kondisinya. Gimana?” Sehabis mengikat rambut, Runi meraup bajunya untuk dibawa ke belakang.

“Kamu udah bayar untuk iklan berapa kali?”

“Tiga kali, persis pesen Ibu. Hari ini dan selanjutnya selang dua hari. Gimana? Mau dibatalkan? Asal kita nggak minta balik uangnya, pasti bisa.”

Si Ibu mengikuti anaknya ke belakang. “Harganya itu lho. Rendah banget.”

Runi menahan tawa. Sudah berkali-kali dia menjelaskan pada ibunya kalau mobil tahun 80-an itu tanggung umurnya – apalagi cukup besar cc-nya – pasti ditaksir sangat rendah oleh pembeli biasa.

“Kalau Ibu belum rela melepas, sebaiknya jangan dijual. Dirawat aja. Toh Mas Kuncung masih sanggup mbawa jalan-jalan seminggu sekali dan ngrawat tiap bulan. Dana juga… nggak ada masalah kan?” Runi duduk di kursi makan, meletakkan secangkir kopi yang ia seduh sendiri. “Duduk, Bu. Mau aku buatin apa? Coklat panas apa teh?” Runi bangkit dari kursi, memandang ibunya yang hanya berdiri di ambang pintu antara ruang makan dan ruang belakang.

“Air putih aja,” jawabnya, menarik kursi dan mendudukinya. “Maksud Ibu, kalau mobil itu dijual, ongkos perawatannya bisa ditabung. Bisa untuk macam-macam. Bisa untuk Dea.”

“Waaah… kok Dea. Ibu lupa, ya. Dea itu kaya. Deposito dari uang asuransi kecelakaan Mas Iwan nggak pernah disentuh. Bunganya aja sekarang udah ngumpul lumayan banyak.”

“Ibu nggak butuh apa-apa. Makan ngikut kamu aja udah kekenyangen.” Eyang tertawa. “Uang dari adik-adikmu juga cuma buat Iroh, arisan, beli buku, dan sekarang beli benang.”

“Apa buat Iroh, aja. Buat bantu adiknya beli mesin jahit.” Runi ingat kalau Iroh berniat membelikan mesin jahit untuk Karti yang mengambil jurusan busana.

“Buat Yarti juga. Dia butuh oven dan mixer katanya,” tambah Eyang. “Tapi… kalau nanti Yarti jadi nikah setelah lulus? Gimana?”

“Udahlah, Bu. Yang penting Ibu mantep dulu. Mau dijual atau mau dirawat. Soal ngasih modal ke adik-adiknya Iroh itu urusan beda lagi. Kalau kita udah niat bantu orang, pasti jalannya akan dimudahkan.” Runi menghabiskan kopinya. “Aku harus nyiapin materi buat pelatihan besok, Bu. Kita bicarakan nanti lagi, ya. Tapi tolong Ibu putuskan, kalau mau dibatalkan aku bisa telpon korannya. Ya?”

Eyang mengangguk, mempermainkan gelas di depannya yang masih penuh. Meskipun suaminya tidak punya pensiun, Sekar tidak pernah kekurangan. Sepeninggal Mas Aji, semua setuju menjual rumah keluarga. Anak-anaknya tahu itu rumah warisan; bila dijual hasilnya seharusnya dibagi berempat, mau sesuai agama atau berdasar kesepakatan. Ternyata tiga anaknya memberikan seluruh uang hasil penjualan pada sang bunda. Uang itu didepositokan, bunganya untuk membayar premi asuransi kesehatannya. Ia lalu tinggal bersama Runi, saling menemani, sekalian membantu menjaga Dea.

Cara hidup Eyang sederhana, juga hemat. Namun akhir-akhir ini – karena harga-harga kebutuhan harian membubung tinggi – Eyang ingin mengurangi pengeluaran yang tidak penting; yang menurutnya cenderung sebagai pemborosan. Salah satunya biaya pemeliharaan Si Hitam.

** 

 “Runi, barusan Pak Heru ke sini. Nanyain mobil.” Eyang menelepon anaknya.

“Oh? Ibu kasih lihat mobilnya? Ibu bilang apa?” Runi berbisik, menyingkir ke dekat pintu keluar. Salah satu narasumber sedang presentasi di depan peserta pelatihan.

“Ibu bilang kalau kita masih ragu-ragu. Ibu nggak nyebut harga. Tapi dia udah nawar.” Eyang menyebutkan harga yang diajukan tetangganya itu.

“Walah, Bu. Itu kan sama dengan harga laptopku.” Untung Runi bisa menahan tawa dan menjaga suaranya tetap rendah. “Terus gimana?”

“Cuma gitu aja. Dia minta kita cepet-cepet ngabari. Setuju atau nggak.”

Runi meminta ibunya bersabar, menunggunya pulang. Ia akan berusaha mencari pembeli yang sepadan dengan kualitas Si Hitam.

** 

Runi menutup pintu belakang mobil dengan pantatnya. Tangan kanannya menenteng tas kerja dan tangan kirinya mendekap sebendel dokumen lekat ke dada. Detak sepatunya terdengar lebih cepat dari biasa. Perempuan itu jelas-jelas ingin segera masuk ke dalam rumah.

“Ada kabar baik. Pak Handito mau membeli mobil Ibu,” lapor Runi pada ibunya.

Iroh buru-buru mengambil alih barang-barang majikannya, meletakkannya di atas meja kerja.

“Harganya dua kali lipat dari harga pasar.”

“Nak Handito? Bapaknya Priyo?” seru Eyang, matanya membeliak.

“Siapa lagi?” Senyum Runi lebar.

“Kamu telpon Nak Handito?”

“Ya. Memang kenapa? Orang mau jualan. Dulu, waktu Priyo nyupiri Ibu, dia bilang kalau bapaknya ngincer mobil itu. Mau dibangun buat dikoleksi. Untung aku ingat.”

“Waaah… kamu telpon dia? Kapan?” Eyang terkesan tidak peduli pada mobilnya yang ditawar dengan harga tinggi, justru lebih tertarik pada anaknya yang menelepon si pembeli.

“Tadi siang. Pas istirahat makan. Dia malah cerita koleksinya. Ada Impala tahun 50-an, Holden dan Fiat tahun 60-an. Ada satu lagi yang aku nggak ingat.”

“Ibu mau telpon Nak Handito. Biar mobilnya diambil aja. Sekarang. Bayarnya besok-besok nggak apa-apa.”

“Bu. Jangan telpon dulu. Sabar.”

Serupa elang yang melihat anak kelinci sendirian di tengah padang rumput, Eyang tak bisa ditahan. Tangan kirinya cekatan meraih gagang telepon. “Tolong, nomer Nak Handito,” pinta Eyang pada Runi yang terkelu dan terkesima menatap ibunya.

***

Episode 1-30 pernah dimuat di Oase-Kompas.com dan sebagian juga ada di Kampung Fiksi

Tidak ada komentar: