Senin, 10 Juni 2013

Mommy, Vera Has No Bird!

Saya dan anak di hari wisuda, Februari 2013
Sebelum menulis judul di atas, saya terlebih dulu minta ijin anak lelaki saya, karena selarik pendek kalimat itu sudah menjadi semacam ‘quote’ dalam keluarga kami. Yang pasti, nama asli Si Vera saya ganti, sebab saya tidak punya kesempatan minta ijin memakai namanya di ruang publik.

Alkisah, 17 tahun lalu, di sebuah bangunan tinggi asrama mahasiswa, di kompleks kampus di Kota Halifax, Nova Scotia, Canada. Tersebutlah para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar yang tinggal di dalam bangunan 25 lantai itu. Banyak di antara mereka yang membawa keluarga – istri/suami dan anak-anak. Suami saya salah satunya. Kami menjadi akrab satu sama lain, layaknya keluarga besar. Anak-anak kami, yang semuanya masih balita atau batita, pun tak kalah rukunnya.

Di antara anak-anak itu, ada salah satu gadis kecil yang menjadi sahabat akrab anak saya yang waktu itu usianya sama-sama 3 tahun. Sebut saja namanya Vera. Gadis mungil cantik pintar ini sering main di apartemen kami.

Suatu siang, di akhir pekan, sehabis bermain, Vera minta diantar ke kamar mandi untuk pipis. Setelah saya bantu duduk di toilet, saya ke dapur. Tak lama terdengar pekikan anak lelaki saya. Lantang dan panjang.

“Mommyyyy… Vera has no bird! Vera has no bird!”

Saya melompat ke depan kamar mandi dan melihat anak saya tidur tengkurap persis di depan toilet itu, mengamati Vera yang tengah pipis. Untuk beberapa saat saya kebingungan. Tapi saya tidak berkata apa-apa, hanya meminta anak saya untuk bangkit lalu saya membasuh Vera. Mereka memang telah pandai pipis dan pupup di toilet walaupun saat berada di Day Care (tempat penitipan anak balita) mereka kadang memakai pampers.

Anak saya mulai benar-benar belajar bicara dan bermasyarakat justru ketika kami berada di Kanada, sehingga saat itu ia fasih berbahasa Inggris, laiknya native speaker, meskipun beberapa istilah seperti ‘bird’ itu jelas berasal dari bapak dan ibunya.

Peristiwa itu menjadi semacam tonggak bagi saya dan anak lelaki saya untuk mulai bicara tentang seks karena ia tak henti-henti bertanya soal Vera yang tidak punya burung. Saya sangat kebingungan awalnya. Saya jelaskan sebisanya - bukan saya marahi atau alihkan pembicaraan - dengan bantuan buku-buku science yang banyak gambarnya ditambah dengan benda-benda. Saya berikan pula contoh-contoh barang-barang perempuan dan laki-laki yang berbeda bentuknya, seperti sepatu, rok, celana panjang, hingga celana dalam. Saya ingin dia tahu bahwa perbedaan itu sifatnya alamiah. Saya berusaha tidak berbohong dengan alasan demi ‘kebaikannya’. Bila saya kesulitan menjawab pertanyaannya, dengan jujur saya sampaikan dan berjanji akan menjawab kalau sudah tahu.

Kebiasaan ini berlanjut terus hingga suatu saat kami berbincang tentang kehamilan. Seingat saya, usianya sekitar 9 tahun. Saya dan suami membahas hal itu bersama anak kami di meja makan dengan memakai buku biologi sebagai acuan. Kami memilih istilah-istilah teknis seperti ‘kopulasi’ atau ‘persetubuhan’, supaya lebih bermakna alamiah dan ilmiah. Kami juga tak ragu-ragu menyebut kata vagina untuk kelamin perempuan dan penis untuk kelamin laki-laki, begitu pula sperma dan sel telur. Supaya lebih mantap kami perlihatkan gambar-gambar dari buku biologi. Selain membahas kehamilan pada manusia, kami lengkapi dengan binatang dan tumbuhan, agar ia tahu bahwa kopulasi itu bukan hal tabu, namun sebuah proses alam yang dilakukan semua makhluk hidup untuk berkembang biak dan mempertahankan keturunan.

Setelah ia paham tentang kopulasi, pelan-pelan kami mulai bicara tentang norma, aturan, cinta dan moral. Sungguh, bicara moral ini tidak gampang. Sebagai ibunya, neraca moralitas saya naik-turun juga. Untuk topik seks dan moral ini, saya lebih fokus pada ‘mengapa’ dan bukan ‘apa’, sehingga diskusi bisa berkembang. Dalam hal ini agama jadi salah satu pintu masuk utama, walau sering saya minta ia bertanya pada ahlinya, agar saya tidak salah bicara.

Saya pernah jadi remaja juga, dan saat itu saya bisa berpikir dan menganalisa, tidak hanya asal coba-coba, jadi saya percaya bahwa anak saya punya kemampuan setara. Pada topik ini, pemahaman saya tentang nilai dan norma, baik yang lokal maupun universal, diuji.

Saat ia memasuki usia belasan, kami sering nonton film bersama. Awalnya dia suka menggerak-gerakkan kaki karena geli tiap melihat adegan ciuman. Kadang-kadang menutup mata sambil tertawa-tawa, namun lama-lama jadi biasa. Tentu saja kami membahasnya, bukan sekedar menonton saja. Saya tahu bahwa bila mau, dia bisa melihat gambar-gambar atau film-film yang lebih vulgar lagi di belakang saya. Saya menyadari bila ada fasilitas internet, hal semacam itu ‘only one click away’, jadi saya tidak mau berasumsi bahwa dia tidak melakukannya. Dengan begitu, sebagai orang tua saya bisa lebih waspada.

Pertama kali ia mulai bicara tentang teman perempuan istimewa, saya segera wanti-wanti agar ia menjaga kehormatan dirinya dan terlebih-lebih teman perempuannya itu. Kesetaraan gender wajib diajarkan sejak dini. Namun harus dibarengi dengan memahamkan bahwa dunia di luar sana sering tidak memakai teori, sehingga lelaki wajib melindungi perempuan di dunia yang faktanya didominasi oleh lelaki ini. Berbagai akibat dari persetubuhan di masa remaja dan di luar pernikahan kami bahas dengan contoh-contoh yang sudah ada di lingkungan dan media. Saya garis bawahi betapa besarnya penderitaan yang akan dipikul gadis remaja yang hamil di luar nikah, sedangkan si remaja lelaki bisa berkelit dengan mudah.

Mengingat anak kami hanya satu, proses yang saya lalui tidak gampang, terutama saat usianya 13 – 15 tahun. Kadang sebelum menjelaskan sesuatu, saya harus belajar sungguh-sungguh bagaikan mau melakukan presentasi proyek di depan mitra kerja. Sampai-sampai harus membuka kamus segala. Namun hasilnya memang tidak sia-sia. Paling tidak, hingga kini, anak kami berhasil melalui masa remaja tanpa halangan berarti dalam hal yang satu ini.

Kini, setelah usianya menginjak 20 tahun, kami jarang diskusi tentang seks lagi karena ia sudah cukup dewasa untuk mengatasi sendiri. Justru saya sering belajar darinya tentang hal-hal lain yang lebih ia kuasai. Kasus terakhir yang kami bahas, dan tonton bersama, adalah video heboh Luna Maya-Ariel dan Cut Tari-Ariel.

Mau tahu apa katanya?

“Kayak orang lagi aerobik aja. Nggak pake rasa cinta.”

Jawaban ini melegakan, sebab saya jadi tahu bahwa bagi anak saya bersebadan itu bukan perkara adu fisik semata, harus ada cinta, minimal paham dan wajib bertanggung-jawab akan akibatnya bila dilakukan asal-asalan.

Segala yang kasat mata dan teraba di dunia kini semakin cepat berganti dan tak terduga, apa saja ada, apa saja bisa terjadi, pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Sebagai ibu saya tidak selalu bisa menjaga dan melindunginya. Saya percaya, seorang anak terlahir tidak untuk dijauhkan dari bahaya yang ada di luar rahim ibunya. Ia justru harus diajari mengenal dunia beserta semua bahaya, ancaman dan rintangan, sambil membantunya mengasah potensi dan membekali diri agar ia mandiri dan kuat menghadapi semua itu dalam perjalanan panjang hidupnya.

***

Ditulis tahun 2010, untuk merenungkan masa 20 tahun menjadi ibu dan dipersembahkan untuk para ibu muda.

Tidak ada komentar: