Udara mulai kurasakan menggerogoti otot-ototku. Tubuh tropisku hampir tak menyimpan cadangan lemak untuk melindungi tulang-tulang kecilku. Kupakai baju bertumpuk dan jaket yang lebih tebal daripada yang dipakai teman-temanku. Kemarin kuborong setengah lusin syal warna-warni, penghangat leher sekaligus pemanis jaket hitamku.
Matahari telah lama tenggelam saat kakiku yang terbalut boot kulit melangkah keluar gerbang utama kampus. Setengah berlari aku menyeberangi jalan raya, selepas lampu bergambar pejalan kaki berubah hijau. Delapan menit kemudian aku sampai di halaman depan apartemenku.
Kulihat lampu balkon apartemenku, di lantai 7, telah menyala. Pertanda temanku Vjera, mahasiswi dari Montenegro, sudah pulang lebih dulu. Tadi pagi ia berjanji akan masak pasta untuk makan malam berdua. Beruntung aku mendapat teman seperti Vjera. Selain pandai memasak, ia juga gemar bicara, persis seperti aku. Bukan soal masaknya, tapi urusan bicara itu. Sehabis makan malam biasanya kami akan duduk-duduk barang satu sampai dua jam, membicarakan apa saja, dari dosen keren sampai model sepatu yang sedang in.
Aku baru akan mengeluarkan kunci dari saku tas saat kudengar suara lelaki terbatuk-batuk dari arah taman. Aku kenal si pemilik suara. Old Peter. Demikian orang-orang memanggilnya. Imigran dari Pantai Gading itu telah belasan tahun bekerja membersihkan halaman, lobi, dan koridor gedung apartemenku. Old Peter selalu baik padaku dan Vjera.
Tubuhnya besar, hampir selebar batang Elm yang sebagian rantingnya menjuntai menyentuh kaca jendela kamarku. Sejak awal jumpa aku tidak takut padanya, malah menyukainya. Kalau kebetulan aku dan Vjera masak agak banyak, Old Peter pasti kebagian. Katanya kalau semua penghuni apartemen seperti kami, ia bisa menghemat gajinya.
“Edna. Is that you?” Suaranya serak akibat batuk. Dia tak pernah bisa mengucapkan namaku dengan benar. Tak mengapa. Toh tidak ada yang tahu arti namaku juga.
“Ya. Ini aku. Ada apa? Kamu sakit?” Aku mendekatinya.
Ia duduk membungkuk di salah satu bangku kayu. Selimut tebal membalut tubuh besarnya. Sebuah topi usang menutup kepalanya. Kulit wajahnya legam, tampak mengkilat terkena sinar lampu. Dalam keremangan bisa kubaca garis-garis kesedihan menabiri sorot matanya. Aku belum pernah melihatnya gundah seperti itu.
“Aku dirampok,” keluhnya di sela-sela batuknya. “Hei. Jangan dekat-dekat. Nanti kamu ketularan.” Aku mundur selangkah, batal duduk di sampingnya.
“Dirampok? Di mana? Kapan?”
“Ya. Tadi siang. Di apartemenku sendiri.” Old Peter menghela nafas panjang. “Dia penjudi miskin. Tak pernah menang dan banyak hutang. Tak kapok meskipun pernah dipukuli orang sampai hampir mati. Dia pura-pura mabuk waktu datang ke kamarku. Setelah dia pergi baru aku tahu kalau amplop yang berisi cek gajiku minggu ini sudah hilang.”
“Aduh!” seruku, “apa sudah lapor polisi?”
“Tidak ada gunanya. Sudahlah. Tidak seberapa. Aku hanya sedih karena selain uangku habis aku juga tidak bisa mengirim uang untuk cucuku.” Old Peter punya tanggungan keluarga di negerinya. Setiap bulan ia mengirimkan sebagian gajinya untuk mereka.
“Kamu baik-baik saja?” Aku bertanya sambil mengeluarkan dompet. Beasiswaku memang tidak banyak. Tapi aku hemat, jadi setiap bulan selalu ada sisanya. Bahkan masih bisa kutabung untuk jalan-jalan dan sedikit hura-hura dengan teman-teman.
“Ini untuk membeli teh dan gula.” Kusodorkan dua lembar pecahan 20 dolar. Cuma itu yang ada di dompetku dan tiga lembar pecahan 1 dolar. Bukan kebiasaanku menyimpan uang tunai banyak-banyak di dalam dompet. Asal cukup untuk membayar taksi dan membeli makan malam bila terlambat pulang.
“Oh! Jangan! Jangan!” Old Peter mengangkat dua tangannya dan terbatuk-batuk lagi. “Kamu mahasiswa. Kamu membutuhkannya. Kamu bukan orang kaya.”
“Tidak apa-apa. Aku cukup kaya.” Aku bercanda sambil melambaikan cincin berlian di kelingking kiriku. “Old Peter… ambilah…”
Setelah berpikir sebentar, tangan kirinya yang hitam kokoh itu terjulur. Dia nyeletuk di antara batuknya, “teh dan gula?”
“Itu istilah yang dipakai di negeriku kalau orang memberikan uang yang jumlahnya tidak seberapa,” jelasku.
Kami tertawa bersama.
Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang Old Peter beranjak dari duduknya, berjalan di depanku menuju pintu depan. Dengan gaya seorang doorman membukakan pintu untuk tamu hotel, Old Peter mempersilakan aku masuk duluan.
**
Gedung Preinkert, Kampus Universitas Maryland. Senin, 7 Oktober 2002.
Aku masuk ke ruang kelas dengan tergesa. Teman-temanku ramai memperbincangkan sniper yang berkeliaran dan menembaki orang secara acak di wilayah Washington D.C., Maryland dan Virginia. Dikabarkan selama dua hari, 2 dan 3 Oktober, penjahat brutal itu telah menembak 6 orang.
Teman-temanku tampak benar-benar ketakutan. Bagiku berita itu hanya mengingatkanku akan film-film laga.
“Endah, hati-hati, ya. Kamu sering nongkrong di perpustakaan sampai malam. Sebaiknya naik bis kalau pulang, jangan jalan kaki.” Mentorku mengkhawatirkanku. “Atau kamu telpon aku kalau mau pulang malam, siapa tahu aku masih di kantorku, bisa mengantarmu,” tambahnya, dua alisnya bertautan, membuat wajah gantengnya tampak serius.
Sorenya, berita tentang sniper jahanam itu semakin santer terdengar di tiap sudut kampus, kuputuskan untuk pulang awal. Mengerjakan tugas di apartemen saja. Kujejalkan empat buku ke dalam ransel.
Sebelum keluar kompleks kampus, kutelpon Vjera untuk memberitahu kalau aku pulang awal sambil menanyakan masakan untuk makan malam. Rupanya Vjera juga sedang di perjalanan.
Ketika langkahku hampir sampai di gerbang utama kampus, kulihat dari kejauhan Old Peter sedang menyeberang jalan. Selimut tebal membalut tubuh besarnya. Kepalanya terlindungi topi yang itu-itu juga.
“Hello, Edna,” sapanya ramah ketika kami sudah saling berdekatan. Batuknya telah sembuh. Wajahnya tampak cerah.
“Mau kemana?” Sebenarnya pertanyaan itu tidak pada tempatnya, tapi terlontar begitu saja. Old Peter pernah bercerita kalau selama belasan tahun bekerja di apartemen yang kutinggali itu, dia baru dua kali masuk kampus. Yang pertama karena diajak oleh seorang mahasiswa dari Pantai Gading yang akan diwisuda. Yang kedua karena ingin melihat-lihat setiap bangunannya yang katanya semua megah dan indah.
“Aku menjemputmu, Edna.” Old Peter membungkukkan badan.
“Apa? Menjemputku?”
“Ya. Kamu tahu kan, ada sniper gila gentayangan. Aku kira kamu akan pulang malam. Aku tadinya ingin menunggumu di luar gedung perpustakaan, supaya kamu punya teman kalau pulang.” Senyumnya mengembang. Kerut-merut di seputar mata dan pipinya semakin kelihatan. Kulit hitamnya, seperti biasa, tampak berkilat karena keringat. Matanya yang abu-abu itu menatap mataku dengan lembut. Mata seorang bapak yang ingin melindungi anaknya.
“Ya, Tuhan, Old Peter. Kamu baik sekali.”
Kubiarkan ia memeluk pundakku sejenak. Sambil tertawa-tawa kami berjalan pulang beriringan.
***
Catatan:
Cerita ini berdasarkan kisah, lokasi dan peristiwa nyata yang dialami penulis. Tentunya direka-reka juga. Menurut berita, sepuluh orang terbunuh dan tiga lainnya luka parah di berbagai wilayah di Metropolitan Washington dan kawasan jalan raya Interstate 95 di Virginia, Amerika. Pada September 2003 dua pelaku penembakan itu salah satunya dijatuhi hukuman mati dan satunya lagi dihukum enam kali seumur hidup tanpa peluang bebas bersyarat. Hukuman mati, melalui suntikan, dilaksanakan pada 10 November 2009.
Sumber gambar:
http://www.weedenhousemuseum.com/maria_howard_weeden.htm (link ini tidak ditemukan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar