Sumber Foto |
pagi menyelinap diam-diam, menapaki lipatan gordin sewarna daun jati.
lewat sela-sela bulu mata, kulihat ia merambat turun, menyusuri permukaan kaca, mengkilat ditimpa sinar matahari.
tubuhku sembunyi di hangat selimut putih seharum kuncup lavender.
mataku merapat kembali, pura-pura tak melihatnya.
aku tak mau ia menyingkap selimutku, membangunkanku dengan tangannya yang dingin.
Pagi Baru di Rumahku
celoteh balita seolah musik rancak berirama mars, mengajak bunda siap siaga, berbaris rapi memulai hari.
bagai sehelai kertas kosong beraroma pinus, pagi baru siap dihiasi untaian kata, atau dilukisi warna pelangi, atau dibiarkan bersih tak terisi.
tinggal pilih yang disukai.
di rumahku, pagi baru disambut oleh wangi teh hitam pegunungan Dieng yang diseduh di atas tungku.
uapnya berkejaran, menari-nari di atas cangkir putih, mengawali sederet mimpi untuk dirangkai sepanjang hari.
Tarian Pagi
pagi ini mataku seterang mentari,
hatiku mekar mewangi,
kakiku menapak lantai ringan sekali.
rasaku ingin menari.
berbalut bening embun, berhias seronce kelopak melati, lembut menguarkan sisa aroma mimpi. diiringi harum secangkir coklat, berdendang manja menggoda di atas meja,
ditabuhi manis olesan madu, menggeliat membelai hangat sepotong roti.
ya, pagi ini, aku ingin menari.
Kenangan Pagi Bersama Mbah Kakung dan Mbah Putri
selembar pagi tergelar rapi di atas amben kayu.
sepiring jadah bakar bertabur irisan gula jawa tersaji disandingkan tiga cangkir kopi.
aroma rajangan tembakau mengintip lewat jendela yang daunnya terbuka sebelah, berebut masuk dengan langu lethong sapi.
dari pawon terhirup wangi nasi dari bulir-bulir padi yang dipanen sendiri.
di lubang tungku percik-percik api berlompatan meninggalkan ujung kayu bakar, berebut udara segar.
setenggok jagung teronggok di atas pogo, sabar menunggu belaian tangan keriput mengupasi kulit-kulitnya yang masih menyisakan harum ladang.
kembali ingin kuanyam lembaran-lembaran pagi dengan benang cinta yang dipintal Mbah Kakung dan Mbah Putri.
kembali anganku melayang menembus gapura langit kenangan, lalu hinggap di lereng gunung Sumbing.
kembali ingin kugelar pagi ‘tuk bersila di atasnya bersama Mbah Kakung dan Mbah Putri.
Perempuan yang Kehilangan Pagi
setara hujan yang menyuburkan sawah petani, pagi selalu datang menebar rizki.
“mana rizkiku?” tagih perempuan itu pada matahari yang meninggi,
tiap helai bulu matanya masih digelayuti potongan-potongan mimpi.
sekali lagi perempuan itu kehilangan pagi.
ia bersandar di jendela yang tirainya belum terbuka, sementara siang terburu terbang meninggalkan hutang.
“akan kurebut pagiku pasti,” gerutunya.
tangannya terulur memunguti sisa-sia hari.
bukan hanya kali ini perempuan itu berjanji.
Lelaki yang Menunggu Pagi
dengan cangkul di tangan dan caping tergantung di punggung, lelaki itu menunggu kedatangan Sang Pagi yang tersesat di rimba beton dan belantara kaca yang makin lebat dan makin tinggi.
“ke mana pagiku pergi?” keluhnya, menyandarkan cangkul penuh karat, di antara deretan jendela kaca berkilat.
suaranya parau, memantulkan senyap di tengah kepulan asap pengap.
“akan kucari lagi engkau esok hari,” bisiknya lesu, di sela mesin bulldozer menderu.
dalam gelap, lelaki itu mengendap, berharap Sang Pagi hanya berembunyi di balik punggung malam. namun harap tak jua terjawab, meski doa tak henti terucap.
hari ini, lelaki itu muncul lagi. dengan cangkul di tangan dan caping tergantung di punggung, bersiap menunggu Pagi. entah apa yang terjadi bila Pagi tak menampakkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar