tag:blogger.com,1999:blog-21368083975785308042024-03-13T10:39:10.497+07:00archiTEXTEndah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.comBlogger106125tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-67250793302043656882016-12-27T14:04:00.002+07:002016-12-27T15:32:11.723+07:0010 Juta Pekerja China? <br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-MOGkXfb8eRA/WGISMufOXcI/AAAAAAAAAps/2QDCcKWxq_MtregeU9lDZKeX3tEEIhpoACLcB/s1600/boat.gif" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="288" src="https://4.bp.blogspot.com/-MOGkXfb8eRA/WGISMufOXcI/AAAAAAAAAps/2QDCcKWxq_MtregeU9lDZKeX3tEEIhpoACLcB/s400/boat.gif" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.poeticwaves.net/the-beginnings-of-chinas-emigration-to-america/">Sumber foto</a></td></tr>
</tbody></table>
Sulitkah belajar berhitung? Pastinya!<br />
<br />
Buktinya, banyak orang - entah berapa jumlahnya - percaya berita bahwa ada 10 (atau malah 20) juta tenaga kerja China (ilegal) masuk Indonesia. Bisakah membayangkan seberapa besarnya gerombolan 10 - 20 juta pekerja itu? Apalagi jika semua berpakaian biru?<br />
<br />
Sini, saya ajari cara membayangkannya.<br />
<br />
Jumlah penduduk Singapur itu 5,9 juta. Iya. Cuma segitu itu. Nggak ada separonya dari jumlah penduduk Greater Jakarta. Bayangkan jika mereka serentak mengendap-endap masuk ke Indonesia. Ya… tidak dalam sehari, bayangkan saja dalam rentang sebulan. Supaya mudah, saya bulatkan jumlah penduduk Singapur jadi 6 juta. Jadi dalam sehari ada 200.000 orang secara ilegal masuk Indonesia sampai negara itu kosong.<br />
<br />
Kira-kira mereka naik apa?<br />
<br />
Pesawat dan kapal. Ya. Ilegal, lho. Ilegal.<br />
<br />
Tahukah kalian bahwa hanya ada 30 bandara internasional di seluruh tanah air Indonesia? Atau mungkin 32? Anggap saja 30. Dan kita punya sekitar 114 pelabuhan. Nah… tiap hari bandara dan pelabuhan di Indonesia dilalui orang-orang ilegal ini. Oh! Itu belum termasuk pendatang lain - yang entah jumlahnya berapa, pasti juga ratusan ribu - yang keluar-masuk wilayah Indonesia secara legal setiap hari untuk berbagai keperluan: wisata, bisnis, mengunjungi keluarga, sekolah, pertukaran budaya dan alasan lain.<br />
<br />
Baik, sebagian dari pekerja ilegal itu ada yang lewat pelabuhan-pelabuhan kecil, atau - mungkin - diterjunkan dari pesawat dengan berparasit di tengah malam di hutan-hutan, atau terapung-apung dengan perahu layaknya pengungsi.<br />
<br />
Sebagai perbandingan, yang semoga lebih mudah untuk dibayangkan, jumlah jemaah haji Indonesia tahun 2016 lalu dilaporkan 168.000 orang. Untuk mengangkut jumlah sekecil itu (dibandingkan 10-20 juta jumlah itu keciiil, Mak!) dari 13 embarkasi di seluruh Indonesia, butuh waktu 2 minggu dalam 384 kloter (kloter itu kependekan dari ‘kelompok terbang’, kalau-kalau belum tahu).<br />
<br />
Nah. Sekarang pasti lebih mudah membayangkan bagaimana 10-20 juta orang masuk Indonesia. Dan berlangsung tiap hari selama sebulan penuh. Atau maunya masuk bertahap selama 1 tahun? Boleh. Atau selama kurun waktu 2 tahun sejak 20 Oktober 2014 (ini tanggal dilantiknya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia). Baiklah. Suka-suka kalian. Tapi bayangkan sendiri, ya.<br />
<br />
Mari saya ajak menengok negara-negara besar yang sering menjadi sasaran pekerja dari China. Tahukah, bahwa di Amerika Serikat saat ini imigran asal China tak genap 4 juta kepala dan hanya sekitar setengahnya yang kelahiran China. Sisanya lahir di mana? Coba cari tahu sendiri.<br />
<br />
Kita bergerak ke Australia. Penduduk Australia itu hanya 24 juta! Tidak percaya? Makanya, sering-sering baca. Baca. Bandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat yang nyaris 46 juta tahun ini. Lalu… bayangkan lagi jika separonya masuk Indonesia. Kanguru, koala dan platypus akan jadi ratu dan raja. Menurut statistik, Australia selama kurun 2014 - 2015 menerima sekitar 189.000 imigran. Kira-kira sama dengan jumlah jemaah haji Indonesia pertahun.<br />
<br />
Ingin tahu Eropa? Di tahun 2015 jumlah imigran, termasuk pengungsi (coba cari tahu beda imigran dengan pengungsi) yang masuk ke Eropa, ke berbagai negara di sana, kira-kira 1,3 juta dan sebagian para pencari asilum dari Suriah, Afghanistan, Irak dan Kosovo.<br />
<br />
Jadi, kalau ada 10 bahkan 20 juta pekerja China masuk Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun ini, pasti seluruh dunia sudah geger gendra membicarakannya, bukan hanya di Facebook (atau twitter) saja.<br />
<br />
Bagaimana halnya dengan puluhan ribu orang pekerja China itu? Wajar saja. Di berbagai negara, terutama negara-negara yang relatif aman dan mapan, imigran berdatangan, legal maupun ilegal. Sudah terjadi sejak jaman purba dan akan makin deras di tahun-tahun mendatang sebab jumlah penduduk bumi tiap detik bertambah. Apalagi dari China. Tahu kalian jumlah penduduk China?<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-27637164187296390652016-10-04T16:51:00.000+07:002016-10-04T16:58:45.055+07:00Separuh Darah<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-lOYSK4y_lrU/V_N8_ceiklI/AAAAAAAAApY/Ze3XfGEhRr0op9QQ0Amm9CxsX3V3Xw6EACLcB/s1600/broken-heart-tree-graphic.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="275" src="https://4.bp.blogspot.com/-lOYSK4y_lrU/V_N8_ceiklI/AAAAAAAAApY/Ze3XfGEhRr0op9QQ0Amm9CxsX3V3Xw6EACLcB/s320/broken-heart-tree-graphic.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.imagesbuddy.com/img/broken-heart/page/9/">Sumber ilustrasi</a></td></tr>
</tbody></table>
Serupa garpu hangat disentuhkan di atas secawan mentega, sorot matanya melelehkan hatiku. Usianya empat tahun lebih sebulan. Serta merta kusadari, tak pada tempatnya menyalurkan amarahku pada balita berambut ikal, bermata besar dengan sudut luar naik ke atas, dan berhidung bulat-mungil ini. Makin lama menatapnya, makin aku ingat akan sebentuk wajah yang kerap kulihat di dalam cermin: wajahku.<br />
<br />
"Kak Nadia." Bening suaranya menyeru namaku. Anak bapakku yang pantas menjadi anakku itu memajang senyum.<br />
<br />
Kami tercipta di dalam rahim berbeda meskipun dibuahi oleh sperma milik lelaki yang sama. Lelaki yang meninggalkan ibuku, setelah 23 tahun dicintai sepenuh hati. Lelaki yang menikahi perempuan separuh usianya demi menggapai mimpi menimang anak lelaki kala ibuku tak punya rahim lagi.<br />
<br />
Ternyata, dengan perempuan berbeda, anaknya perempuan juga.<br />
<br />
Anak ayahku itu melorot turun dari kursinya, mendekatiku, suara jernihnya memanggil namaku lagi, disertai sentuhan lembut di lututku. Kualihkan mataku dari sepatuku ke wajah mungilnya. Sepasang bibir merah muda itu merekah, memamerkan giginya yang belum genap.<br />
<br />
Kudengar hembusan napas gelisah keluar dari hidung ibu si balita.<br />
<br />
“Mbak Nadia... bagaimana, mbak?” Untuk kesekian kalinya istri ayahku bertanya. Ia memanggilku ‘mbak’ sebab ia setahun lebih muda dariku. “Dokter bilang Mbak Nadia adalah donor paling tepat.” Mengambang suaranya, bagai asap tipis keluar dari rebusan air, hilang terhisap udara. Pasti ia telah menduga akan menerima reaksi semacam itu dariku.<br />
<br />
Sudah dua tahun aku mendengar kabar kalau ginjal ayahku bermasalah. Tiga minggu lalu ia meneleponku, mengatakan cara terbaik untuk sembuh adalah transplantasi. Ia memintaku menjadi donor. “Kata dokter, donor terbaik adalah anak kandung atau orang tua. Kemungkinan organnya ditolak tubuh resipien jauh lebih kecil daripada organ milik orang asing,” jelasnya.<br />
<br />
Kalau tidak sedang berada di kantor saat itu aku pasti sudah mengumpat.<br />
<br />
Lelaki yang pernah jadi pilar hidupku selama 21 tahun itu benar-benar tak tahu diri. Ia menginginkan salah satu ginjalku setelah mencampakkanku demi anak lelaki yang hingga kini tak juga ia miliki.<br />
<br />
“Tidak,” jawabku singkat dan dingin.<br />
<br />
“Ini bukan untukku, Nadia. Ini demi adikmu,” bujuknya.<br />
<br />
Adikku? Sejak kapan aku punya adik? Bukannya rahim Ibu diambil karena tumor ganas saat aku 5 tahun? Mungkin lelaki yang pernah amat kucintai ini tak hanya gagal ginjal, otaknya juga majal.<br />
<br />
Sesampai di rumah, telepon Bapak tak kusampaikan pada Ibu.<br />
<br />
Ketika diceraikan Bapak 6 tahun lalu, Ibu dan aku keluar dari rumah. Saat itu aku masih kuliah. Aku pindah ke kamar kos tak jauh dari kampusku. Pemilik rumah kos itu, seorang pedagang kayu yang baik, mengijinkan Ibu tinggal sekamar denganku. Ibu punya sedikit tabungan. Ibu menjual semua perhiasannya dan menukar mobil – satu-satunya harta keluarga atas nama Ibu – dengan sepeda motor. Kami hidup hemat; tak membeli pakaian atau sepatu baru selama dua tahun.<br />
<br />
Sambil kuliah aku bekerja paruh waktu sebagai pelayan apotik yang bertugas di akhir pekan dan hari libur, ketika orang-orang butuh cuti. Tugasku tidak berat, hanya melayani pelanggan. Bila sedang sepi aku sembunyi-sembunyi membaca atau mengerjakan tugas kuliah. Aku yakin pemilik apotik tahu kalau aku sering mencuri waktu, namun ia membiarkan.<br />
<br />
Keberadaan Ibu di rumah kos kami, yang dihuni 20 mahasiswi, dianggap berkah. Teman-teman serumah sering memintanya memasak. Kami berdua jadi bisa makan gratis dan Ibu mendapat penghasilan. Sedikit, namun cukup untuk menutup biaya kamar kos tiap bulan. Ibu tidak malu. Ia bahkan rajin membersihkan rumah kos kami. Teman-teman serumah melarangnya, namun Ibu berkeras. “Untuk mengisi waktu dan mengusir sakit hati,” katanya.<br />
<br />
Dua tahun kemudian, ketika aku sedang menulis skripsi, pemilik rumah kos meminta Ibu membantu mengelola hotel melati yang ia beli dari seorang pengusaha bangkrut. Ibu bahagia. Tangis syukurnya lebih panjang daripada saat Bapak menceraikannya.<br />
<br />
Dulu, sebelum menikah Ibu bekerja sebagai staf humas di sebuah hotel berbintang di Surabaya. Sehabis menikah Bapak memintanya berhenti bekerja dan memboyongnya ke Yogya. Katanya Bapak ingin Ibu jadi ratu di rumahnya, ibu untuk anak-anaknya. Bapak ingin punya tiga anak, dua lelaki dan satu perempuan. Ia satu-satunya anak lelaki dari 4 bersaudara. Katanya, tanpa memiliki anak lelaki garis keturunannya akan mati.<br />
<br />
Tak tahu bagaimana kejadiannya, aku masih balita, setelah melahirkanku Ibu dua kali keguguran. Ada tumor ganas di rahimnya. Aku baru saja merayakan ulang tahun kelima saat rahim Ibu dikeluarkan dari rongga perutnya.<br />
<br />
"Ibumu ini sekarang bukan lagi perempuan," keluhnya. Saat itu usiaku 18 tahun. Bapak makin gelisah, kewalahan menahan keinginan beristri lagi demi mendapat anak lelaki.<br />
<br />
Acap kali kupergoki Bapak dan Ibu bertengkar. Kata Bapak keturunannya punah karena aku perempuan. Bila aku bersuami, anakku akan menjadi keturunan suamiku, bukan keturunan bapakku. Tak bisa kugambarkan bagaimana pedih hatiku saat itu, hampir tiap malam aku menangis di kamar, merutuki diri, merasa telah menjadi penyebab rusaknya rahim Ibu sekaligus menumpaskan keturunan bapakku.<br />
<br />
Berkali-kali paman-tante dan kakek-nenekku berupaya menjelaskan kalau tumbuhnya tumor ganas di rahim Ibu itu bukan salahku. Tante Hanna, adik bungsu Ibu, sampai merujuk statistik, “Semua perempuan di atas 18 tahun atau yang sudah aktif secara seksual, di rahimnya sewaktu-waktu bisa tumbuh tumor. Di Indonesia setiap tahun ada ratusan ribu perempuan meninggal karena kanker rahim. Lihat ini.” Tante Hanna menyodorkan beberapa lembar kertas penuh grafik di depanku.<br />
<br />
Mungkin mudah bagi Tante Hanna, ia tidak mengalaminya. Baginya, ibuku hanya satu titik di dalam grafik. Bagi Ibu, kehilangan rahim berarti tamat riwayatnya sebagai perempuan dan berakhirnya cinta Bapak padanya. Ibu gagal meneruskan keturunan suaminya.<br />
<br />
“Mbak Nadia ….”<br />
<br />
Aku tersadar. Kulepas mataku yang melekat di gelas berisi frappuccino. Istri ayahku menunggu jawabanku. Sudah lebih 5 menit aku membisu, terseret ke masa lalu.<br />
<br />
“Paling lambat kapan?” tanyaku, menatap matanya.<br />
<br />
Kudengar hembusan napas lega.
“Makin cepat makin baik, Mbak. Kalau bisa minggu ini. Terima kasih sebelumnya.”<br />
<br />
“Saya belum bilang setuju.”<br />
<br />
“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Kalau Mbak Nadia sudah bersedia memikirkannya, saya sudah senang.”<br />
<br />
“Tolong jangan panggil saya mbak. Dua hari lagi saya kabari." Berkata begitu aku permisi. Kutinggalkan 3 lembar lima puluh ribuan di meja meskipun ia berusaha mencegahku.
Sebelum keluar dari cafe itu, kuelus rambut ikal si kecil. Separuh darah di tubuh montoknya dan separuh darah di tubuh kurusku berasal dari lelaki yang sama.<br />
<br />
Aku bertanya-tanya, kalau saja Bapak tidak sakit, apa putri kecilnya itu akan ia tinggalkan juga bila istrinya tidak bisa melahirkan orok lelaki.<br />
<br />
Malam itu Ibu curiga ada hal genting bercokol dalam pikiranku. Aku tidak menyentuh makanan favoritku: rawon dengan bawang merah goreng dan rajangan seledri melimpah, menutupi permukaan mangkuk.<br />
<br />
“Cuma urusan kantor biasa,” bohongku.<br />
<br />
“Pasti bukan.”<br />
<br />
Aku tidak merespon, pura-pura mengganti saluran TV.<br />
<br />
“Kalau kamu nyalakan TV tanpa nonton acaranya, tandanya ada masalah berat.” Ibu meraih remote control dari tanganku. “Apa ini urusan sakit ginjal bapakmu?”
Ternyata Ibu sudah tahu.
“Sebulan lalu istrinya nelpon Ibu.”<br />
<br />
“Beraninya dia!” geramku.<br />
<br />
“Sebelumnya bapakmu juga sudah nelpon.” Ibu menjangkau lenganku, aku hendak bangkit dari sofa. “Nadia, jangan pergi, duduk sini. Bagaimanapun juga dia bapakmu. Ada mantan istri atau suami, tapi tidak ada mantan anak atau bapak. Berapa kali Ibu harus mengingatkanmu?”<br />
<br />
Suara Ibu membawa kembali kenangan 6 tahun lalu.
Kala itu aku histeris, saking kecewanya atas keputusan bapakku menceraikan Ibu. Namun Ibu sama sekali tidak menangis, ia justru menenangkanku, mengatakan kalau dia tetap bapakku meskipun sudah menceraikan Ibu. Katanya bapakku bisa memilih antara Ibu atau perempuan lain; namun aku tak bisa memilih, ia selamanya bapakku.<br />
<br />
“Ibu berusaha kuat untukmu dan untuk diri sendiri.” Ibu bisa membaca pikiranku. “Waktu itu tidak ada gunanya menghalangi niat ayahmu, hanya menghabiskan tenaga dan memperpanjang penderitaan. Dia bisa pergi kapan saja dan menikah lagi secara siri.” Ibu mendesah panjang. “Kamu tahu, amarah dan dendam adalah benalu di dalam hati. Tidak ada yang bisa melihatnya. Kita sendiri yang digerogoti. Sampai mati <i>ngenes</i>. Ibu tidak mau begitu.” Ibu mengusap-usap punggungku. “Jangan biarkan siapapun, termasuk bapakmu sendiri, membenihkan amarah di sini ….” Ibu menyentuh ulu hatiku.<br />
<br />
“Aku tidak sekuat Ibu.”<br />
<br />
“Jangan bilang begitu. Kamu lebih kuat, bahkan dari bapakmu. Lihat, berkat doronganmu, baru 6 tahun Ibu sudah bisa mendiri, meskipun kecil punya gaji. Dulu, bersama bapakmu, 20 tahun lebih Ibu membiarkan diri tergantung padanya. Apa kamu sama sekali tidak menyadari perubahan ini?” Tatapan Ibu menembus hingga ke hati. Ibarat serat zylon, meskipun halus dan lembut, tatapannya kuat, liat, dan tak mudah meleleh.<br />
<br />
Kugolekkan kepalaku di ribaannya. Kepergian Bapak menyisakan luka, hingga kini masih menganga dan terasa perihnya. Alasan ingin punya anak lelaki itu meremukkan harga diriku. Kalau bapakku sendiri tega meninggalkanku untuk mengejar sesuatu yang belum ada, bagaimana dengan lelaki lain? Aku jadi sulit percaya pada lelaki, itu sebabnya hingga kini aku memilih sendiri. Ibu tentu saja sedih, sudah tiga kali aku menolak lelaki yang menyatakan cinta padaku.<br />
<br />
“Cobalah melihat ke depan. Jangan sampai masa depanmu tercuri oleh masa lalu Ibu.” Ibu membarut rambutku, meminta maaf.<br />
<br />
“Bukan salah Ibu. Ini salahnya. Biar saja dia merasakan hukumannya. Biar saja ginjalnya busuk, seperti kelakuannya.”<br />
<br />
“Sampai kapan kamu mau membebani diri dengan amarah seperti ini?”<br />
<br />
“Sampai aku melihat dia menderita.”<br />
<br />
“Kamu pikir saat ini dia tidak menderita? Enam tahun lalu dia sehat. Kini tubuhnya rusak. Bisa jadi ayahmu mengalami tekanan batin, menyesali perbuatannya.”<br />
<br />
“Kalau menyesal, mengapa selama enam tahun dia tidak sekalipun menghubungi aku? Tahu-tahu muncul minta ginjal! Memangnya ada yang jual!” Kuangkat kepalaku dari pangkuannya.<br />
<br />
“Dengar, Nadia.” Ibu menyentuhku dengan tatapan lembutnya. “Coba pikirkan anak itu.” Ibu menelan ludah, “Nazlina … usianya baru 4 tahun, setiap saat dia bisa jadi anak yatim. Kalau kamu yang sudah dewasa bisa menderita ditinggal ayahmu, bisa kamu bayangkan apa yang terjadi pada anak itu kalau ayahnya meninggal?”<br />
<br />
“Ibu kenapa begitu baik sama Bapak?”<br />
<br />
“Ini cara Ibu menyembuhkan diri. Menyimpan marah dan dendam, sekali lagi, sama saja dengan menyakiti diri.” Ibu kembali memandangku dengan tatapan serat zylon itu. “Sudahlah. Ibu tidak mau berdebat soal ini lagi. Pikirkan saja baik-baik. Ayahmu minta salah satu ginjalmu. Kalau kamu ikhlas, berikan. Kalau tidak ikhlas, ya sudah, bilang saja secepatnya. Jangan ditunda-tunda.”<br />
<br />
Aku merenung selama tiga hari.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Matahari melukis bayanganku memanjang ke timur saat kakiku menapak di teras rumah Bapak. Rumah yang pernah kuhuni, yang semula kuanggap surga. Pintu dibuka sebelum aku mengetuknya. Wajah kurus Bapak menyambutku. Senyumnya gagal menyembunyikan tubuh sakitnya: layu.<br />
<br />
Ia membuka lebar dua lengannya, siap memelukku. Namun yang kuulurkan hanya tangan kananku.
“Apa kamu tidak kangen bapakmu?” Ia menggenggam tanganku dengan dua tangannya, mengajakku masuk ke ruang tengah. Aku minta duduk di ruang tamu.<br />
<br />
Sebelum pantatku menyentuh kursi, istri Bapak muncul membawa nampan berisi dua gelas es sirup dan segelas air putih. Di ruangan yang amat kukenal itu aku merasa asing dan senyap, seperti melihat diriku sendiri dalam sebuah film tanpa suara.<br />
<br />
“Saya datang sesuai janji.” Sikapku resmi, menghindari basa-basi. “Sudah saya putuskan. Saya tidak bersedia menjadi donor. Salah satu ginjal saya akan saya cadangkan untuk Ibu, siapa tahu suatu saat Ibu memerlukan.”<br />
<br />
“Apa ada gejala ibumu sakit ginjal?” tanya Bapak.<br />
<br />
“Sama sekali tidak.”<br />
<br />
“Syukurlah. Lalu….”<br />
<br />
“Selalu ada kemungkinan,” potongku.<br />
<br />
“Artinya kamu tidak mau?”<br />
<br />
“Saya tidak bisa. Semoga Bapak menemukan orang yang bersedia jadi donor.” Suaraku datar dan kosong, layaknya mesin otomatis penjawab telepon.<br />
<br />
Ruangan sedemikian nyenyat, aku bisa mendengar dengung kulkas di dapur. Mata Bapak tertambat pada lututnya sendiri. Kulihat dengan jelas dadanya naik-turun, seperti ada rasa kecewa yang hendak menerobos keluar dari dalam. Istrinya memilin-milin ujung gaunnya. Matanya berpindah-pindah dari wajahku ke wajah suaminya.<br />
<br />
“Saya pamit.”<br />
<br />
“Ahhh… jangan tergesa. Diminum dulu. Diminum dulu ….” Istri Bapak menyodorkan minuman.<br />
<br />
Kuraih gelas di depanku. Kuteguk nyaris habis isinya. Selain haus, aku juga ingin menyenangkan hatinya. Tiba-tiba saja muncul rasa iba pada perempuan muda itu. Jangan-jangan cinta Bapak padanya berkurang akibat gagal memberi anak lelaki.<br />
<br />
“Nadia.” Mata Bapak bertemu mataku. “Bapak minta maaf atas semua yang telah Bapak lakukan di masa lalu.”<br />
<br />
“Saya tidak ingin mendengar apapun tentang masa lalu.”<br />
<br />
“Nadia.” Bapak beringsut maju, tangannya hendak meraih tanganku. Punggungku reflek mundur hingga membentur punggung kursi. Tangan bapak terhenti di udara, lalu kembali ia letakkan di atas lututnya.<br />
<br />
“Kalau tidak transplantasi, usia Bapak tidak akan lama. Sampai saat ini belum ada donor….”<br />
<br />
“Kenapa bukan Anda?” potongku cepat, memandang istri Bapak.<br />
<br />
“Kemungkinan reject-nya makin besar kalau memakai ginjal saya. Kalau sampai reject, tidak ada gunanya.”<br />
<br />
“Saya tahu. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Apa ruginya. Anda istrinya. Anda yang butuh dia.”<br />
<br />
“Nadia!” Tegas Bapak tak lagi menyembunyikan perasaan kecewa.
Saat itu kusadari cintaku padanya benar-benar sirna.<br />
<br />
“Kalau sampai terjadi sesuatu pada Bapak, saya berjanji akan membiayai Nazlina. Anda tak perlu khawatir. Separuh darah saya dan separuh darah Nazlina berasal dari lelaki yang sama.” Kutatap mata istri Bapak. “Saya sarankan Anda segera mencari pekerjaan, supaya bisa mandiri kalau jadi janda.”<br />
<br />
Bapak berseru. Matanya terbelalak manatapku. Rasa sakit yang kupendam lama membuatku mati rasa. Aku pamit. Bapak terlongong.<br />
<br />
Matahari sudah bergeser meninggalkan cakrawala sewaktu aku meninggalkan rumah bapakku. Langkahku ringan, sebagian bebanku telah kulepaskan.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Bapak meninggal beberapa bulan seusai operasi. Kata-kata Ibu terbukti. Selain beban marah tetap bercokol, di dalam hatiku juga tumbuh sesal. Bukan lantaran aku tidak memberikan ginjalku, namun karena telah bersikap kasar pada Bapak dan tidak sempat meminta maaf.<br />
<br />
Sore itu, sepulang kantor kukunjungi makam Bapak. Kubawa seikat anggrek bulan. Bunga kesukaan Bapak yang anehnya baru kuingat setelah dia tiada. Aku berdoa di atas makamnya.
Dalam perjalanan pulang dari makam, aku mampir ke rumah Bapak, rumah kami, rumah yang kini ditempati istri Bapak dan Nazlina.<br />
<br />
“Saya akan menepati janji,” kataku, setelah beberapa saat berbasa-basi. “Saya akan menyokong kebutuhan Nazlina.”<br />
<br />
“Oh, Mbak Nadia baik sekali. Jangan repot-repot. Kami akan pulang ke Semarang. Ke rumah orang tua saya. Rumah ini bukan hak saya. Namun mobil akan saya bawa.”<br />
<br />
Istri Bapak ini orang baik, batinku. “Saya tetap akan rutin mengirim uang untuk Nazlina. Dia adik saya.” Kuharap ia bisa menangkap ketulusan hatiku. “Dan…,” aku terkelu sesaat. “Untuk mengurangi dosa saya pada Bapak.”<br />
<br />
Kami bertatapan. Genangan air memberati matanya.<br />
<br />
“Baik, kalau begitu. Terima kasih sebelumnya.”
Ia mengantarku sampai di luar pagar. “Saya akan pamit sebelum boyongan. Sekalian menyerahkan kunci rumah dan surat-suratnya,” ujarnya, tersenyum samar.<br />
<br />
Beberapa bulan kemudian, istri Bapak meneleponku, mengucap terima kasih atas kiriman uang.<br />
<br />
Rumah yang pernah mengayomiku selama 21 tahun itu kami jual. Uangnya kami bagi tiga: untukku dan Ibu, untuk keluarga Bapak, dan untuk Nazlina.<br />
<br />
Sekali lagi kata-kata Ibu terbukti. Menyimpan amarah dan dendam sama dengan menyimpan penyakit yang menggerogoti diri. Aku ingin sembuh dari penyakit itu. Pelan-pelan aku belajar mencintai Nazlina, bukan hanya mengiriminya uang. Kalau ada waktu luang aku mengunjunginya di Semarang. Sesekali ia diantar ibunya ke Yogya untuk menginap di rumah kami.<br />
<br />
Kasih sayang yang kupupuk untuk Nazlina berangsur-angsur tumbuh subur, menyisihkan benalu dendam, membuahkan rasa tenteram.<br />
<br />
<br />
~ Ditulis lewat tengah hari di Ngaglik, 2013 ~
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-55856332487948524842016-01-03T19:45:00.000+07:002016-01-03T20:05:40.669+07:00Kupu-kupu Patah Sayap<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-cVhltXer3Dw/VokWt7K65LI/AAAAAAAAApA/d8wimE_MdEQ/s1600/ss-1111118-Natalie-Wood-05.grid-5x2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://1.bp.blogspot.com/-cVhltXer3Dw/VokWt7K65LI/AAAAAAAAApA/d8wimE_MdEQ/s400/ss-1111118-Natalie-Wood-05.grid-5x2.jpg" width="301" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.today.com/id/45370201/ns/today-today_entertainment/t/natalie-wood-detectives-face-conflicting-accounts/#.VokWfPH5_eQ">Sumber Foto</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Lupa sudah apa yang membuatku menonton film biografi artis Amerika yang namanya kondang di akhir tahun 50-an hingga meninggalnya di bulan November 1981 itu. Aku begitu saja menemukan videonya - yang berkualitas lumayan - di YouTube. Durasi film 2 jam 45 menit tak membuatku beranjak dari kursi.<br />
<br />
Kisah hidup Natalie - dipanggil Natasha oleh keluarga - bagaikan kupu-kupu yang sayapnya patah. Indah namun tak mampu terbang ke tempat yang ia mau. Karirnya di dunia film diawali dengan upaya sadis oleh ibunya: menarik putus dua sayap seekor kupu-kupu besar hitam untuk membuat Natalie menangis. Saat itu Natalie belum genap 5 tahun. Ibunya, Maria, gigih merencanakan dan mewujudkan karir anaknya sejak ia mendengar seorang gypsy meramalkan bahwa Natalie akan menjadi orang besar yang terkenal namun akan mati ditelan air. Ramalan itu diceritakan pada banyak orang oleh Maria termasuk pada cucu-cucunya, anak-anak Natalie.<br />
<br />
Sedemikian keras Maria melecut semangat Natalie hingga batin si cantik itu babak belur. Hubungan ibu-anak itu selain penuh kasih juga dirundung benci. Saat Natalie remaja ia menjalin cinta dengan pemuda biasa. Maria melarangnya. Akibatnya fatal. Sang pemuda patah hati dan bunuh diri. Hati Natalie ambyar. Tidak sampai di sana. Saat usia Natalie menginjak 19 tahun, Maria mengijinkan putri yang merupakan tambang emas keluarga itu menikahi Robert Wagner, antara lain membintangi It Takes A Thief, Hart to Hart dan muncul dalam beberapa episode NCIS sebagai ayah Anthony Dinozzo. Namun Maria, yang dalam film biografi itu digambarkan berbicara dengan aksen Rusia amat kental, menuntut syarat berat: Natalie dilarang hamil dan punya anak. Susah masuk di akal!<br />
<br />
Ketenaran dan harta melimpah ruah di saat Natalie remaja. Namun ada luka menganga di dalam batinnya. Selepas cerai dari Wagner, Natalie dikabarkan punya banyak pacar. Ia juga berteman dengan Warren Beatty. Dalam salah satu momen ia curhat pada suami Annette Bening itu. Ia mengolok-olok kesuksesannya sendiri. Katanya sinis: "I wanna be a movie star, wanna have fancy cars, big house in Beverly Hills, 9 guys working for me. That's what I wanted and that's what I got." Ketika Beatty mengatakan bahwa Natalie sudah sukses besar, ia menyahut, "It's funny about success. I'm 27 years old, don't have a husband or a baby, not in love with anybody, nobody's in love with me.... Big success, huh?"<br />
<br />
Natalie juga bilang bahwa sebenarnya saat itu, di usia akhir 20-an, ia hanya ingin 'take some classes at UCLA, paint and read books'. Keinginan sederhana yang tak terpenuhi.<br />
<br />
Film biografi bintang film yang mati tenggelam - persis ramalan si gypsy - ini baik ditonton oleh orang tua yang memaksakan ambisi mereka pada anak-anak. Atau yang mendorong anak-anak mereka menempuh 'segala cara' demi meraih sukses. Pun menegaskan bahwa ketenaran tidak selalu seiring sejalan dengan kebahagiaan; bahwa gemerlapnya materi bukan jaminan ketentraman hati. <br />
<br />
Untuk yang berminat menonton filmnya, bisa klik tautan ini: <a href="https://www.youtube.com/watch?v=oiVhT1MpC8c">The Mystery of Natalie Wood</a>. Film biografi yang cukup menarik, di dalamnya ditampilkan bintang-bintang ternama yang kini masih hidup, termasuk Robert Wagner. Ada juga Christopher Walken, yang dianggap tahu banyak tentang matinya Natalie, dan Marilyn Monroe. Sedikit disinggung bagaimana kematian Marilyn semakin membuat Natalie tertekan hingga ia ingin menyusul seniornya itu. <br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-27872593188228590772015-11-07T11:32:00.001+07:002015-11-07T11:49:17.877+07:00Tips Menumbuhkan Uban<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-ME7j7DkU7XA/Vj1-ZfIuuVI/AAAAAAAAAoQ/equvVBc2b4w/s1600/Endah-Gray-Hair.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="392" src="http://4.bp.blogspot.com/-ME7j7DkU7XA/Vj1-ZfIuuVI/AAAAAAAAAoQ/equvVBc2b4w/s400/Endah-Gray-Hair.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Aku dan Rambut Berubanku</td></tr>
</tbody></table>
Menumbuhkan uban? Bukankah uban tumbuh sendiri? Ya, pastinya. Ini bukan soal logika bahasa, ini perkara berhenti mengecat rambut (yang sudah beruban) dan menyamarkan tampilan rambut aneh dua warna: uban di akar rambut dan warna cat (hitam/coklat) di bagian bawahnya.<br />
<br />
Nyaris setahun saya berpikir untuk berhenti mengecat rambut dan menampakkan warna asli rambut saya yang sudah mulai tumbuh uban sejak awal 30-an.<br />
<br />
Kok sampai setahun mikirnya? Takut terlihat tua?<br />
<br />
Bukaan! Saya yakin usia itu matematika dan penampilan itu biologi, jadi sedikit hubungannya. Saya sungguh tidak mau rambut saya terlihat aneh, dua warna, terlihat wagu. Dan saya tidak tahu bagaimana menyamarkan tampilan aneh dua warna itu.<br />
<br />
Saya mencoba mencari tahu lewat internet, tidak banyak membantu. Artikel berbahasa Indonesia yang saya temukan semuanya tentang cara memperlambat tumbuh uban dan mengecat rambut beruban. Artikel berbahasa Inggris banyak menampilkan contoh-contoh gaya rambut beruban, namun tidak saya temukan artikel tentang ‘cara menyamarkan dua warna’ yang saya maui itu. Kebanyakan hanya menuliskan bahwa ‘rambut dua warna’ itu sudi-tak-sudi harus dijalani. Sampai suatu saat, kira-kira di atas 8 bulan, ketika rambut yang beruban sudah cukup panjang, rambut bisa dipotong pada batas bawah ubannya. Wah. Lama. Kalau ingin lebih cepat, 3-4 bulan saja, harus rela rambut dipotong cepak gaya maskulin.<br />
<br />
Selain tidak menemukan artikel yang membantu saya membuat keputusan, saya juga tidak mendapat jawaban memuaskan dari salon-salon rambut yang saya datangi untuk berkonsultasi. Semua, ya… semua petugas di salon-salon itu terheran-heran, tidak paham maksud saya. Bahkan sebagian mengatakan bahwa kemungkinan rambut saya akan makin kering, ada juga yang kuatir tampilannya akan jelek.<br />
<br />
Beberapa orang mengatakan bahwa salon yang bisa melakukan ‘tugas semacam itu’ hanya salon high-end, alias mahal. Tidak masalah. Tapi, ketika saya datangi salon yang termasuk mahal di Yogya, inilah jawaban yang saya terima: “Yaaa… ditunggu aja sampai 6 bulan baru dipotong pendek.”<br />
<br />
Maju. Mundur. Maju. Mundur. Maju. Dan majuuu.... Ya, saya maju.<br />
<br />
Kemarin siang, 6 November 2015, saya masuki salon langganan saya yang murah-meriah-ramah.<br />
<br />
“Berani!” jawab Yuli, salah satu penata rambut. “Itu hanya seperti di-highlight, di bagian-bagian tertentu, lalu diwarna uban,” sambungnya mantap. Lalu kami berdiskusi sebentar.<br />
<br />
Dia akan melakukan layaknya proses bleaching rambut.<br />
<br />
“Rambut Bu Endah sudah coklat. Bagian akarnya sudah tumbuh uban hampir 2 centi. Bagian belakang ubannya sudah lebih panjang. Ini akan cepat. Mungkin hanya perlu bleaching dua kali.” Yuli tegas. Mantap!<br />
<br />
Setelah rambut dipotong, proses bleaching dimulai. Yuli memutihkan beberapa bagian rambut, disesuaikan dengan pola tumbuh uban di kepala saya. Proses pemutihan pertama selesai dalam 30 menit. Ketika dibuka, warna rambut di bagian akar sudah kuning terang, sedangkan ujung bawah masih kecoklatan. Sehabis dicuci dan dikeringkan, saya suka melihat hasilnya.<br />
<br />
“Bleach sekali lagi, Bu. Habis itu baru dicat warna silver,” Yuli tampak senang.<br />
<br />
Yuli benar. Hanya dengan 2 kali pemutihan, helai-helai rambut saya di sana-sini sudah berubah kuning terang.
“Keramas sekali lagi, dan diwarnai ini,” Yuli menunjukkan cat rambut warna perak/abu-abu.<br />
<br />
Sejam kemudian, aku bersorak. Yuli kegirangan pun, sebab ia kuberi tip cukup banyak.<br />
<br />
Hasilnya, bisa dilihat di foto. Rambutku tidak lagi wagu. Aku cinta ubanku.<br />
<br />
Untuk para perempuan beruban yang ingin berhenti mengecat rambut seperti saya, jangan ragu-ragu. Kalau tak ingin rambut dipotong sangat pendek, cara yang saya tempuh ini bisa ditiru. Kata anak dan menantu saya hasilnya unyu-unyu!<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<br />
<b>Catatan</b>: menurut Yuli, kalau rambut sudah biasa dicat hitam, pemutihan bisa sampai 3 atau 4 kali. Lebih lama prosesnya. Proses saya ini butuh waktu sekitar 4 jam.
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-85370859974173190422015-10-27T13:22:00.000+07:002015-11-12T16:32:14.458+07:00Perdu Mawar<i><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-MisUZZjzMj8/Vi8Xnk1U1JI/AAAAAAAAAoA/qxwak8iN3yk/s1600/mawar-merah1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="302" src="http://2.bp.blogspot.com/-MisUZZjzMj8/Vi8Xnk1U1JI/AAAAAAAAAoA/qxwak8iN3yk/s400/mawar-merah1.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><a href="https://caladiumb.wordpress.com/">Sumber Gambar</a></i></td></tr>
</tbody></table>
</i><br />
<i>Seminggu yang lalu. </i><br />
<br />
Suara berdebum disusul lengkingan membelah udara Sabtu siang yang gerah. Mei meletakkan baju yang tengah dijahitnya. Tanpa peduli pada kakinya yang tak beralas, ia tergopoh berlari ke rumah tetangga sebelah.<br />
<br />
Begitu membuka pintu pagar Mei melihat Deti berteriak-teriak histeris di beranda rumahnya. Matanya melotot, menatap perdu mawar di sudut halaman. Mei berusaha menenangkan perempuan yang sejak bercerai berubah jadi penyendiri itu; perempuan yang selama 5 tahun nyaris tak lagi bertegur sapa dengan para tetangganya.<br />
<br />
“Alinaaa… Alinaaa… Alinaaa…!!!” Deti meneriakkan nama anaknya.
Mei kewalahan. Dilihatnya perdu mawar itu – yang selalu rimbun, subur, dan berbunga indah semerah darah – tertimbun batu bata dan adukan semen.<br />
<br />
Tetangga di sebelah rumah Deti, Rustam, sedang membangun kamar di lantai dua. Mungkin tukangnya kurang hati-hati, batu bata yang tengah dipasangnya roboh, jatuh menimpa perdu mawar itu.<br />
<br />
Rustam muncul diikuti si tukang batu. Mereka membantu Mei menenangkan Deti. Rustam minta maaf, berjanji akan menggantinya, berapapun biayanya.<br />
<br />
Walaupun Deti tak lagi bergaul dengan tetangga, namun mawarnya sering jadi pembicaraan. Selain indah dan selalu mekar, para tetangga setiap pagi mendapati Deti merawat mawar-mawarnya, memotong batang-batangnya, dan menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Bila malam, Mei pun kerap melihat sosok Deti duduk di beranda, menatap ke arah perdu mawar itu.<br />
<br />
Jeritan Deti tak berhenti, justru meninggi, menyayat hati. Lalu ia kejang dan pingsan.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
“Kami tidak tahu keberadaan keluarga Bu Deti. Kami juga tidak tahu ia kerja di mana. Dia hidup sendiri,” jelas Rustam pada petugas administrasi di rumah sakit.<br />
<br />
Di ruang IGD, Mei dan istri Rustam menemani Deti yang belum juga siuman.<br />
<br />
Rustam menghubungi Pak RT, meminta bantuannya untuk melacak keluarga dan kawan-kawan Deti. Ditemani tetangga lain, Pak RT terpaksa masuk ke rumah Deti untuk mencari informasi: nama-nama dan nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
<i>Sembilan tahun sebelumnya. </i><br />
<br />
Mei senang punya tetangga baru. Sudah bertahun-tahun rumah di sebelahnya itu kosong setelah pemiliknya pindah tugas ke lain kota. Saking girangnya, hari itu Mei memasak lebih mewah dan lebih banyak dari biasa. Urusan jahitan ia serahkan pada asistennya. Dengan wajah gembira, menjelang makan siang, Mei mengantar semangkuk opor ayam dan sepiring sambal goreng untuk tetangga barunya.
Si pemilik rumah, Deti dan suaminya, menyambut gembira. Mereka berkenalan dan berbincang akrab.<br />
<br />
“Sudah berapa bulan, Jeng?” tanya Mei memandang perut Deti.<br />
<br />
“Empat bulan,” jawab Deti dan suaminya berbarengan. Mereka tertawa. Bahagia.<br />
<br />
“Anak Mbak Mei berapa?” tanya Deti dengan mata berbinar, tangan kanannya mengelus-elus perutnya.<br />
<br />
“Dua. Sudah sekolah semua. Okto, yang besar, kelas 3 SD dan adiknya, April, kelas 1.”<br />
<br />
Kembali mereka tertawa-tawa.<br />
<br />
Hubungan dua keluarga itu terjalin hangat. Sepulang Okto dan April dari sekolah, Alina, anak Deti, sering bermain ke rumah mereka diantar pengasuhnya. Menjelang malam Deti akan menjemput Alina sambil membawa jajanan yang ia beli di toko roti dekat kantornya.<br />
<br />
Empat tahun kemudian semuanya berubah.<br />
<br />
“Capek, ya, Mas. Setiap hari mendengar orang bertengkar,” keluh Mei pada suaminya. “Sudah hampir sebulan mereka begitu. Makin malam makin gencar.”<br />
<br />
“Serba salah. Mau diam gimana, mau bantu nggak bisa,” kata suaminya. “Kita doakan saja supaya mereka bisa segera mengatasi masalah.”<br />
<br />
Beberapa minggu berikutnya Mei tak lagi melihat suami Deti. Sekitar dua bulan selanjutnya rumah sebelah itu nyenyat. Sesekali saja Mei melihat Deti keluar rumah untuk bekerja. Wajahnya berkabut. Matanya selalu melekat ke tanah. Rambutnya lengket di kulit kepala.<br />
<br />
Para tetangga menebak-nebak pasangan itu bercerai dan Alina dibawa ayahnya. Beberapa kali Mei berusaha menemui Deti, namun ditampik. Bila didatangi, Deti tak membuka pintu. Pesan-pesannya tidak dibalas, telepon-teleponnya juga tidak diangkat.<br />
<br />
Mei akhirnya menyerah.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<i>** </i></div>
<br />
<i>Tiga hari yang lalu. </i><br />
<br />
Rustam, Pak RT, dan dua tetangga lain berkumpul di rumah Mei.<br />
<br />
“Terima kasih banyak atas bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu,” ujar Henri, mantan suami Deti. “Meskipun saya sudah bukan suaminya, saya akan berusaha membantu perawatannya.”
Panjang lebar Henri menjelaskan keberadannya.<br />
<br />
Para tetangga Deti menyimak sopan, masing-masing memendam setumpuk pertanyaan.<br />
<br />
“Orang tua Deti sudah meninggal dua-duanya. Saya sudah menghubungi kakak Deti. Dia dan keluarganya tinggal di Eropa. Setahu saya mereka tak pernah pulang ke Indonesia. Saya sendiri juga tidak pernah bertemu Deti. Bahkan saya tidak bisa menemui Alina dan tidak tahu sekarang dia di mana.”<br />
<br />
“Bukannya Alina ikut Anda?” potong Pak RT.<br />
<br />
“Tidak. Sejak bercerai dia ikut ibunya.”<br />
<br />
Ruang tamu mendadak sepi. Mei dan Rustam bertatapan. Lama. Dua tetangga penghuni rumah yang mengapit rumah Deti itu sudah lima tahun tidak mendengar suara – apalagi melihat – Alina.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
<i>Siang tadi.</i><br />
<br />
Kampung yang tenang itu berguncang. Satu tim polisi memasuki rumah Deti. Mereka membongkar perdu mawar yang sebagian tertimbun adukan semen kering dan batu-bata.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***
</div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-87557645469872658182015-10-26T22:51:00.000+07:002015-10-28T09:05:22.213+07:00Kisah Para Penyintas Chernobyl<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-_eNUFlWa0_Q/Vi5LVWX4HuI/AAAAAAAAAnw/flGLaEa3tD0/s1600/Chernobyl.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="265" src="http://2.bp.blogspot.com/-_eNUFlWa0_Q/Vi5LVWX4HuI/AAAAAAAAAnw/flGLaEa3tD0/s400/Chernobyl.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.dailymail.co.uk/news/article-2239505/Pictured-The-cap-lowered-place-protect-world-Chernobyls-crumbling-tomb.html">Sumber Foto</a></td></tr>
</tbody></table>
Membaca kumpulan cerita ‘Voices from Chernobyl’ karya Svetlana Alexievich, pemenang Nobel 2015 untuk karya sastra, memaksaku belajar tentang Belarus, Rusia dan perang saudara di Tajikistan.<br />
<br />
Buku versi pdf yang kuunduh gratis hanya berisi bagian pertama dari kumpulan cerita itu, dua bagian lainnya sulit sekali kutemukan. Mungkin memang belum beredar atau harus membayar.<br />
<br />
Kumpulan cerita ini diawali dengan secuplik sejarah terjadinya bencana Chernobyl, sebagai informasi untuk pembaca (muda) bahwa di tahun 1986 terjadi ledakan pada salah satu reaktor di kawasan pembangkit listrik tenaga nuklir tak jauh dari kota Pripyat, Ukraina, kira-kira 16 km dari perbatasan Ukraina-Belarus. Bencana ledakan reactor nuklir itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah penggunaan reactor nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik. Jumlah korban hingga kini, saat artikel ini ditulis, sulit dihitung. Konon sebaran radioaktifnya hingga ke seluruh penjuru Eropa dan melepaskan radiasi 400 kali lebih dahsyat dari bom yang menghancurkan Hiroshima.<br />
<br />
Bagian pertama dari kumpulan cerita pendeknya itu, sebagian ia sebut sebagai monolog, mengisahkan tentang kematian.<br />
<br />
Dalam prolognya, ia menuliskan tuturan seorang istri (Lyusya) salah satu petugas pemadam kebakaran (Vasya) yang terlibat langsung dalam usaha pemadaman api di reactor yang meledak.
Karena parahnya kondisi Vasya, dan demi keperluan penelitian di laboratorium, ia diterbangkan ke rumah sakit khusus di Moskow. Lyusya menyusul suaminya dan dengan cerdik tapi nekad ia bisa diijinkan masuk ke ruangan tempat suaminya dirawat. Perempuan berusia 23 tahun, pengantin baru, itu berbohong bahwa dirinya sedang tidak hamil demi bisa menjaga suaminya. Ia sama sekali tidak tahu – tidak ada yang tahu, memang dirahasiakan – bahwa radiasi nuklir sangat fatal bagi diri dan janinnya.<br />
<br />
Tubuh suaminya itu telah terkena radiasi hingga sekian kali lipat dari ambang batas yang mematikan. Vasya telah merupa reactor nuklir, ujar salah satu perawat yang memohon agar Lyusya tidak berada dalam satu ruangan dengan suaminya.<br />
<br />
Lyusya menuturkan perubahan wujud suaminya, bagaimana kulitnya melepuh dan penuh gelembung warna-warni, bagaimana ia berak darah dan nanah 25 hingga 30 kali sehari dan rambutnya yang rontok setiap kali kepalanya bergerak, bagaimana tubuhnya <i>mrotholi </i>sedikit demi sedikit. Lyusya menunggui Vasya selama 14 hari hingga petugas pemadam kebarakan itu meninggal.<br />
<br />
Tak berhenti di sana, bayi perempuan mereka meninggal hanya beberapa jam setelah dilahirkan sebab radiasi nuklir menembus tubuh Lyusya hingga ke rahim dan melukai janin.<br />
<br />
Beberapa tahun kemudian Lyusya menikah. Ia melahirkan bayi lelaki yang utuh yang ia namai Andrei. Keduanya sakit, tak jelas apa penyakitnya. Mereka tahu, setiap saat mereka bisa terjatuh dan tidak bangun lagi. Mati.<br />
<br />
Kisah-kisah lain yang ada di bagian pertama buku ini adalah monolog dari beberapa orang, di antaranya seorang psikolog bernama Pyotr. Ia merasa horror yang menghantui hidupnya lenyap ketika perang berakhir. Namun kengerian itu kembali merenggutnya saat ia datang ke kawasan bencana Chernobyl. “The future is destroying me, not the past,” tutur Pyotr mengakhiri monolognya.<br />
<br />
Dalam monolog lain, seorang perempuan menuturkan bagaimana orang-orang tidak tahu ‘wujud’ radiasi di sekitar mereka.<br />
<br />
“Seperti apa itu radiasi?”<br />
<br />
“Ibu, itu semacam kematian. Bilang nenek kalian harus pergi, kalian pindah ke rumah kami.”<br />
<br />
Seperti apa wujud radiasi? Putih atau apa? Orang bilang radiasi tidak berwarna dan tidak berbau. Orang lain lagi bilang warnanya hitam. Seperti tanah. Namun kalau itu tidak berwarna, itu seperti Tuhan. Tuhan ada di mana-mana.<br />
<br />
Mencekam.<br />
<br />
Ada pula monolog yang menggambarkan bagaimana sebuah keluarga dari negara tetangga, Tajikistan, memilih tinggal di kawasan bencana itu. Mengapa? Sebab di negeri mereka tengah terjadi perang saudara antara kaum Kulyab dan Pamir. Perang saudara itu terjadi pada tahun 1992, kira-kira 6 tahun setelah meledaknya salah satu reactor nuklir Chernobyl.<br />
<br />
Kelaurga itu rela pindah ke Belarus agar tidak dibantai oleh saudara sendiri. “Mereka orang-orang biasa, hanya menyandang senjata otomatis,” tutur perempuan yang mengaku bernama Svetlana, yang melihat bagaimana orang-orang disuruh turun dari bis dan ditembak bahkan sebelum sempat menjawab pertanyaan dari para penyandang senjata itu.<br />
<br />
Ketika tiba di salah satu desa tak jauh dari Chernobyl dan melihat banyak rumah kosong, mereka tak peduli meskipun diberi tahu bahwa di wilayah itu sangat berbahaya karena radiasi tinggi. Mereka tak takut pada radiasi. Mereka takut pada manusia. <br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Judul bagian pertama “The Land of the Dead” sesuai dengan kisah-kisah yang diperoleh Svetlana Alexievich dari wawancara dengan para penyintas radiasi dan perang yang terjadi di sekitar kawasan bencana Chernobyl.
Radiasi tak terlihat mata, tak terendus dan tak teraba, namun kengerian dan kepedihannya sungguh nyata.<br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Bagi yang ingin membaca kisah-kisah itu, sila unduh dari <a href="http://www.mediafire.com/view/5zs6j7jd0tlj0ti/VOICES_FROM_CHERNOBYL.pdf">tautan ini</a>.
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-10867385570829463642015-06-26T17:07:00.000+07:002016-10-04T20:10:35.004+07:00Sebuah Kamar dan Sebendel Uang<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-wYlBYXYXMcI/VY0j-_YFu6I/AAAAAAAAAnc/rHS5v8EeqnA/s1600/Virginia%2BWoolf.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://3.bp.blogspot.com/-wYlBYXYXMcI/VY0j-_YFu6I/AAAAAAAAAnc/rHS5v8EeqnA/s320/Virginia%2BWoolf.jpg" width="233" /></a></div>
Membaca essay Virginia Woolf ‘A Room of One’s Own’ saya teringat Kartini. Selisih usia mereka tidak jauh. Virginia lahir di Inggris pada Januari 1882 dan Kartini pada saat itu akan beranjak 3 tahun. Namun Kartini malang tidak berusia panjang untuk punya kesempatan menulis buku. Sebaliknya Virginia menghasilkan banyak karya dan empat di antaranya dikenal masyarakat luas, berupa novel Mrs. Dalloway, To the Lighthouse dan Orlando, serta sebuah essay yang judulnya saya sebut di atas.<br />
<br />
Saya tergerak membaca essay tersebut selepas membaca diktumnya – lupa dalam artikel apa ditulis oleh siapa – yang menurut saya perih terasa, yakni: a woman must have money and a room of her own if she is to write. Duhai!<br />
<br />
Meskipun Inggris kala itu sangat berkuasa dan menjajah banyak negara dari ujung timur hingga ke ujung barat dunia, nasib para perempuan di sana 11-12 dengan di Indonesia yang masih dijajah Belanda.<br />
<br />
Virginia marah di dalam essay itu. Di jamannya para perempuan terlalu miskin harta dan sempit kesempatan untuk berkarya sesuai minatnya, terutama kesusastraan. Oleh karenanya ia dengan sinis mempersilakan orang menyebut dirinya Mary Beton, Mary Seton, Mary Carmichael*) atau apa saja, sebagai pengganti ‘aku’ untuk menekankan bahwa keberadaannya tidak penting; sebab ia seorang perempuan.<br />
<br />
Ia merujuk gagasan para lelaki tentang perempuan yang merendahkan sekitar setengah dari seluruh spesies manusia itu.
Amarahnya terhadap rendahnya posisi perempuan di dunia yang patriarkal itu sebagian ia luapkan dengan mencipta karakter lelaki yang ia namai Professor von X, seperti cuplikan berikut ini:<br />
<br />
“[…] Professor von X engaged in writing his monumental work entitled The Mental, Moral, and Physical Inferiority of the Female Sex. He was not in my picture a man attractive to women. He was heavily built; he had a great jowl; to balance that he had very small eyes; he was very red in the face. His expression suggested that he was labouring under some emotion that made him jab his pen on the paper as if he were killing some noxious insect as he wrote, but even when he had killed it that did not satisfy him; he must go on killing it; and even so, some cause for anger and irritation remained. Could it be his wife, I asked, looking at my picture? Was she in love with a cavalry officer? Was the cavalry officer slim and elegant, and dressed in astrakhan? Had he been laughed at, to adopt the Freudian theory, in his cradle by a pretty girl? For even in his cradle the professor, I thought, could not have been an attractive child. Whatever the reason, the professor was made to look very angry and very ugly in my sketch, as he wrote his great book […]”<br />
<br />
Wah!<br />
<br />
Ia juga mencipta karakter lain bernama Judith Shakespeare, sebagai adik William Shakespeare, untuk menegaskan bahwa di abad 16, di masa kejayaan Ratu Elizabeth (yang dikenal dengan era Elizabethan), perempuan musykil menulis karya sastra sehebat laki-laki.<br />
<br />
Ia menjelaskan bahwa ketika William bersekolah dan belajar berbagai ilmu pengetahuan khususnya seni dan kesusastraan, Judith tinggal di rumah menyulam stoking. Meskipun Judith adalah anak kesayangan ayahnya, ia akan segera dinikahkan dengan anak lelaki tetangga sebelum usianya genap 16. Bila ia menolak maka ayahnya – kalau tidak memukulinya – akan memohon agar Judith tidak mempermalukannya. Lalu Judith akan ditaburi dengan mutu manikam dan gaun-gaun indah asalkan ia mau menikah dengan lelaki pilihan ayah.<br />
<br />
Sebuah fantasi yang pedih. Terlebih karena itu nyata. Kepedihan serupa itu juga terungkap dalam surat-surat Kartini. Puteri Bupati Rembang itu dinikahkan dengan Joyodiningrat, lelaki yang telah beristri tiga. <br />
<br />
Namun dalam situasi seburuk itu terbit juga novel-novel hebat, di antaranya karya Emily Bronte <i>Wuthering Heights</i> dan belasan novel karya Jane Austen yang sebagian sudah difilmkan.<br />
<br />
Kini keadaan sudah berubah. Jauh berubah. Perempuan tidak hanya punya kamar sendiri untuk berkarya sesuka dan sesuai minat mereka. Tak sedikit yang kaya karena punya pekerjaan hebat di berbagai bidang yang seabad lalu masih didominasi lelaki. Di toko-toko buku berderet karya para penulis perempuan. Terlepas dari silang sengkarut karya sastra Indonesia, novel Pulang dan Amba**) yang disorot banyak pihak itu keduanya ditulis oleh penulis perempuan.<br />
<br />
Essay Virginia, buat saya pribadi, adalah pengingat bahwa kesempatan (untuk menulis, berkarya, berbuat baik) harus dicari dan ditemukan bila itu tidak tampak di mata. Dan bila itu tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, jangan dibuang demi sekian macam alasan. Banyak orang harus mati untuk memperolehnya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
<br />
*) Sila googling ‘the four mary’ bila ingin tahu lebih lanjut tentang mereka.<br />
**) Saat artikel ini ditulis novel Pulang dan Amba sedang hangat dihujat dalam kaitannya dengan Frankfurt Book Fair.<br />
***) Tautan untuk mengunduh format pdf dari <a href="http://saylor.org/site/wp-content/uploads/2011/02/A-ROOM-OF-ONES-OWN.pdf">A Room of One's Own</a> Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-70816645373690739762015-06-22T15:07:00.000+07:002015-06-22T15:27:07.836+07:00Menua Bersama dengan Mesra<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-qVYPWRwCRwc/VYfBRqMV4_I/AAAAAAAAAnM/Uwhdwj_qEIY/s1600/Five%2BFlights%2BUp.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://1.bp.blogspot.com/-qVYPWRwCRwc/VYfBRqMV4_I/AAAAAAAAAnM/Uwhdwj_qEIY/s320/Five%2BFlights%2BUp.jpg" width="320" /></a></div>
Itulah kesan pertama selepas nonton film '5 Flights Up' yang menjejerkan 2 bintang favorit saya sebagai lakon: Morgan Freeman (Alex) dan Diane Keaton (Ruth). Beberapa reviewer film menganggap film ini ringan, serupa cerita pendek di majalah perempuan, tanpa kejutan sedikitpun dan tawar. Bagi saya film ini menjadi jeda yang nyaman sehabis disuguhi adu cacat-cela di media sosial.<br />
<br />
Pasangan Alex dan Ruth bersama seekor anjing bernama Dorothy tinggal di sebuah apartemen berlantai 5 di Brooklyn. Ruth adalah pensiunan guru dan berkulit putih. Alex adalah pelukis berkulit hitam yang karyanya cukup laku dan masih produktif hingga tua. Mereka berniat menjual apartemen berkamar 2 yang telah mereka huni selama 40 tahun.<br />
<br />
Rencana itu dipengaruhi oleh keponakan mereka, Lilly, seorang broker rumah, dengan alasan bahwa Alex dan Ruth menua hingga perlu pindah ke apartemen yang dilengkapi dengan lift supaya mereka tidak kesulitan naik-turun tangga.<br />
<br />
Kisah berkutat pada proses menjual apartemen lama dan membeli yang baru (yang dilengkapi lift). Diselingi sakitnya si Dorothy dan reportase langsung di TV tentang adanya ancaman bom oleh teroris yang akan meledakkan truk tangki minyak di dekat jembatan Brooklyn.
Benar bahwa film ini plotnya sederhana, namun akting Freeman dan Keaton memesona hingga saya menikmati tiap kata dan kedip mata mereka. Bahkan sesekali membayangkan diri saya bersama suami akan tetap semesra mereka 20 tahun lagi.<br />
<br />
Cara mereka membahas suatu persoalan, bercanda dan saling mengejek mencerminkan perkawinan mereka yang bahagia meskipun jalan yang mereka tempuh terjal. Dalam salah satu adegan Ruth mengatakan bahwa saat mereka menikah 30 negara bagian di Amerika Serikat masih menganggap pernikahan campur sebagai tindakan ilegal. Dan 20 tahun berikutnya orang masih memandang mereka dengan penuh prasangka. Keluarga Ruth sendiri tidak mendukung pernikahan itu. Namun mereka melaluinya dengan baik.<br />
<br />
Riak-riak kecil sehari-hari dalam perjalanan pernikahan - dengan sedikit flashback - berhasil ditampilkan wajar dan memikat. Ada beberapa sentilan dan humor dalam dialognya. Misalnya ketika teman mereka, keluarga pemilik galeri yang sudah lama menjual lukisan-lukisan Alex, meminta Alex mengubah gaya lukisannya. Terjadi dialog yang menegaskan bahwa galeri adalah bisnis, jadi keuntungan adalah tujuan utama. Sementara bagi Ruth dan Alex beda lagi; seniman melukis bukan untuk memuaskan pasar, seniman melukis untuk memuaskan dirinya sendiri.
Juga ketika Alex harus minum obat dan ia gagal membuka botolnya. Di dekatnya ada gadis kecil yang menolongnya. “Mengapa mereka membuat botol sulit dibuka seperti ini?” tanya Alex pada si gadis kecil. “Untuk mencegah agar tidak dibuka anak-anak,” jawab si gadis kecil, menyerahkan botol yang berhasil ia buka tutupnya. Dan saya tergelak.<br />
<br />
Sebuah film yang nyaman ditonton sambil menunggu buka puasa, atau sejenak rehat dari keruwetan sehari-hari. Saya paling suka dengan citra yang tersurat dalam kisahnya: pasangan yang menua bersama dan tetap mesra.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-69714236574894090062015-06-03T11:41:00.000+07:002015-06-03T11:47:26.693+07:00Lelaki yang Kehilangan Tiga Anak Perempuannya<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-J5Amkazdpb4/VW6EqaJ2TEI/AAAAAAAAAm8/NPtV-aHplSU/s1600/Lonely-man.gif" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="235" src="http://1.bp.blogspot.com/-J5Amkazdpb4/VW6EqaJ2TEI/AAAAAAAAAm8/NPtV-aHplSU/s400/Lonely-man.gif" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://hala-hi.org/author/dr-chijioke-enweluzo/">Sumber foto</a></td></tr>
</tbody></table>
Lelaki itu mantan tetanggaku.<br />
<br />
Karena kegagalannya menjaga tali kasih-setia, ia bercerai dari istrinya. Perceraian yang banyak dikenang orang sebab diawali kekerasan berdarah hingga si istri harus dirawat di rumah sakit selama seminggu. Dan karenanya si suami masuk bui beberapa bulan, seminggu sebelum putusan cerai ditimpakan.<br />
<br />
<br />
Peristiwa itu sudah lama.<br />
<br />
Dan beberapa hari lalu, hari pernikahan anak keduanya, semua rangkaian kisah tak indah itu hadir lagi di mataku.<br />
<br />
Lelaki itu tiba pagi itu juga dari luar kota dengan kereta. Ia tidak masuk ke rumah mantan istrinya, namun langsung menuju rumah tetangganya tempat para panitia resepsi pernikahan anaknya sedang dirias. Kebetulan saja aku satu-satunya perempuan yang sedang menunggu untuk dirias, hingga aku bisa menyambut kedatangannya dan berbasa-basi dengannya.<br />
<br />
Ia menanyakan kabarku. Senyumnya masih seramah dulu. Tubuhnya kurus dan layu. Kabarnya ia sakit gula. Semua derita hidupnya – mungkin akibat ulahnya sendiri – terlukis di wajahnya. Ia pandangi aku dari kaki hingga kepala dan memujiku tampak awet muda. “Sekarang seger,” sambungnya. Maksudnya tentu aku gemuk. Terakhir bertemu dengannya bobotku 44 kg.<br />
<br />
Ia pun menanyakan kabar semua orang, termasuk anak-anak kami. “Semua baik. Semua sehat. Anak saya sekarang di Jakarta. Menikah tahun lalu…” Kujelaskan banyak hal, termasuk anak ragil si pemilik rumah tempat kami dirias, yang sebaya dengan anak bungsunya, yang juga sudah menikah dan tengah hamil muda.<br />
<br />
“Sungguh waktu begitu cepat berlalu. Begitu cepat berlalu. Luar biasa cepat. Benar-benar sekejap. Semua berubah. Anak-anak yang dulu kecil-kecil sekarang sudah menikah.” Berkata begitu mata lelaki itu terbang, mengembara entah ke mana.<br />
<br />
Tiba-tiba di tengah celoteh ceria para perempuan yang sibuk berdandan, sebersit pedih berhasil menyelinap menggores hatiku.
Lelaki itu memiliki 3 anak perempuan. Semuanya ia tinggalkan demi seorang selingkuhan, yang kini ia peristri. Konon secara fisik, sosial, intelektual dan finansial istri keduanya itu di bawah istri pertamanya. Entahlah kalau urusan lainnya. <br />
<br />
Ketika kami sedang berbicara, anak sulungnya muncul di pintu. Ia datang bukan khusus menyambut ayahnya, namun untuk menyerahkan pakaian yang harus dikenakan lelaki itu saat upacara ijab kabul.<br />
<br />
“Papa sehat?” suaranya datar tanpa getar rindu seorang anak perempuan pada ayahnya yang lama tak ia temui. Ada adegan cium pipi kanan-kiri yang mekanis. “Nanti Papa didandani mbak itu.” Si anak menunjuk pada salah satu perias yang sedang sibuk. Lalu ia keluar.
Begitu saja. Si sulung yang punya satu anak itu sama sekali tidak bicara tentang kaluarganya – anak dan suaminya – pun tidak tentang adiknya, si anak kedua, yang beberapa saat lagi menikah.<br />
<br />
Dan rasa pedih itu kembali menusukku.
Untuk mengusir canggung, aku bercerita tentang hal-hal indah yang terjadi di kampung kami. Kampungnya juga, dulu. Sekitar 13 tahun lalu.<br />
<br />
Dari pintu kulihat anak ragilnya masuk. Pasti kakak sulungnya telah menyuruhnya datang untuk menyalami ayahnya. Jelas sekali dari gerak tubuh dan sorot matanya, gadis 24 tahun itu tidak merindukan ayahnya.<br />
<br />
“Sehat, Pa?” sapanya. Tanpa cium pipi. Tanpa salaman. Hanya dua kata terucap: sehat pa. Itu saja. Lalu ia bercanda dengan beberapa temannya yang sedang dirias, yang hendak menjadi pager ayu.<br />
<br />
“Saya antar ke rumah depan?” Kutawarkan padanya untuk masuk ke rumah mantan istrinya, mantan rumahnya, untuk menengok anak keduanya yang sebentar lagi akan ia nikahkan.<br />
<br />
“Ah. Tidak usah. Nanti ngganggu.” Ia menunduk, mempermainkan ritsleting tas tempat menyimpan pakaian yang harus ia kenakan. “Nanti juga ketemu,” tambahnya.<br />
<br />
Dari matanya bisa kulihat dirinya tidak di dalam tubuhnya. Suwung. Mungkin jiwanya sedang mngunjungi masa lalu. Mungkin ia tengah menyesali diri, menyesali kegagalannya menahan hasrat liarnya. Hasrat liar yang merenggut tiga anak perempuannya dari hidupnya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-78645636950224809582015-05-13T18:20:00.000+07:002015-05-13T18:20:49.001+07:00Dicari: Perempuan Sempurna<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-zfvuAjpGd4Y/VVMzCUR5KUI/AAAAAAAAAms/_OWatBcfHVY/s1600/perfect-woman-612x480.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="312" src="http://3.bp.blogspot.com/-zfvuAjpGd4Y/VVMzCUR5KUI/AAAAAAAAAms/_OWatBcfHVY/s400/perfect-woman-612x480.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://hellogiggles.com/means-perfect-human/">Sumber ilustrasi</a></td></tr>
</tbody></table>
Alisku terangkat dan senyumku mengembang ketika seorang ibu yang kutemui di sebuah acara menanyakan kalau-kalau aku segera punya cucu.<br />
<br />
“Pangestunipun, Bu. Semoga segera,” jawabku mengelus punggungnya. Lalu dia lekas-lekas kutinggalkan.<br />
<br />
Pertanyaan serupa itu terlontar entah untuk keberapa kalinya sejak setahun ini. Sejak aku punya menantu.
Awalnya aku menambah jawabanku dengan penjelasan bahwa anak-anakku belum berniat punya anak namun bila Sang Pencipta memutuskan segera membenihkan janin, mereka tidak menolak. Seiring bulan berganti, kupikir penjelasan semacam itu tak perlu.<br />
<br />
Ketika beberapa jam lalu aku bertemu seorang ibu – beliau tidak memiliki anak dan hanya kuasa Allah semata bila ia kelak memilikinya sebab usianya sudah 60-an – yang menanyakan hal serupa, maka kuputuskan untuk menulis curhatan perasaan ini.<br />
<br />
Seorang perempuan dituntut sempurna oleh orang (perempuan) lain. Sempurna dalam hal ini adalah: menikah (dan tidak bercerai atau dimadu), punya anak, punya cucu, punya pekerjaan hebat, pintar mengatur waktu antara keluarga-pekerjaan-kehidupan sosial-diri sendiri dan penampilan menarik sampai-tua-tetap-cantik. Itu saja dulu batasan sempurna meskipun bagi beberapa kalangan masih ada syarat lagi, misalnya: solehah. Apa itu maksud solehah jelas tidak akan dibahas di sini (sebab aku juga tidak paham). Dan dalam tulisan curhat ini fokusnya adalah pada tiga hal paling awal yaitu menikah, punya anak dan punya cucu.<br />
<br />
Ketika usia belasan hingga awal 20-an, pertanyaan yang acap muncul adalah “apa sudah punya pacar.” Selulus sarjana, pertanyaan berkembang jadi “kapan menikah.” Dan pertanyaan satu ini bisa berlanjut hingga bahkan umur 40-an. Tak jemu-jemu mereka bertanya. Sehabis dijawab ‘belum menikah’ maka bertebaran nasihat di depan muka. Wuahhh! Wajar saja bila yang mengalaminya ingin jauh-jauh buang muka mendapat pertanyaan sejenis itu.<br />
<br />
“Sudah menikah? Oh! Bagus! Sudah <i>bathi</i>?” ini pertanyaan tingkat lanjut. <b>Bathi</b> adalah bahasa Jawa yang berarti untung, maksudnya punya anak. Bila jawabannya belum, maka terburai lagi bulir-bulir petuah.<br />
<br />
Jika anak pertama menginjak usia 2 tahun atau lebih, segera berdenging pertanyaan kesekian: “Nggak dikasih adik? Anak tunggal itu nanti manja, tidak mandiri. Tralala-trilili bla-bla-bla-bli-lbi-bli…”<br />
Aku adalah perempuan yang duluuu… duluuu… sering mendengar pertanyaan semacam itu.<br />
<br />
Anakku satu. Aku hamil dua kali. Kehamilan pertama berhasil nyaris sempurna dan lahirlah anak lelaki yang kini sudah punya istri. Kehamilan kedua hanya bertahan 8 minggu – atau kurang – aku lupa. Sudah lamaaa.<br />
<br />
Berhenti pertanyaan dari orang (sesama perempuan) lain sehabis beranak? Tidak. Ada lagi. “Oh? Anak sudah dewasa? Sudah lulus sarjana? Kapan mantunya?” Jreng! Dreng… dreng… dreng…<br />
<br />
Pasti tidak tuntas di sana. Kalau tuntas tidak kutulis jreng-dreng-dreng itu. Maksudnya itu musik pengiring adegan paling seram dalam film horor.<br />
<br />
Dan, drum-drum-drum-didum-didum... bila anak telah menikah… masih ada lagi pertanyaan. Seperti di atas itu: “Kapan punya cucu?”<br />
<br />
Siapa tak ingin punya pasangan? Punya anak? Punya cucu? Mungkin ada satu-dua dan mereka punya alasan yang jitu untuk keputusan mereka itu. Namun umumnya orang – makanya disebut umumnya – ingin punya anak-cucu.<br />
<br />
Orang-orang – anehnya yang bertanya memang lebih banyak sesama perempuan – bertanya mungkin hanya basa-basi saja. Mungkin? Kukira tidak. Yakin? Apa buktinya?
Ada.<br />
<br />
Dengarkan baik-baik obrolan para perempuan saat mereka bertemu. “Oh. Anak Bu Itu tahun ini 30 tahun tapi belum nikah…” atau “Coba, Jeng. Sudah 5 tahun Si Ini nikah. Tapi masih belum bathi… hihihihihiiii…”<br />
<br />
Mungkin saatnya para perempuan berhenti saling menanyakan hal semacam itu. Tak peduli niatnya sekedar basa-basi atau benar-benar ingin tahu apalagi bila bermaksud menyindir. Ada ribuan pertanyaan lain yang bisa diajukan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyenangkan.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-43903755562639646312015-04-10T12:12:00.000+07:002015-04-10T12:12:26.219+07:00K E L I K<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-66ozDxs6bHE/VSdbTkgncFI/AAAAAAAAAmY/Fa5bI0JlNyk/s1600/Kelik.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-66ozDxs6bHE/VSdbTkgncFI/AAAAAAAAAmY/Fa5bI0JlNyk/s1600/Kelik.jpg" height="242" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://m.kaskus.co.id/post/52d3af993ecb17867e8b4658">Sumber Foto</a></td></tr>
</tbody></table>
Hampir sepuluh menit aku duduk di meja kesukaanku ini, namun anak lelaki itu belum terlihat juga. Biasanya beberapa detik setelah duduk di kursi ini aku sudah bisa mendengar gemerincing lonceng kecil yang ia kaitkan di kotak peralatan semirnya, disusul dengan sapaan riangnya, “Selamat siang Mbak Niar. Mau makan apa kali ini? Sepatunya mau disemir lagi?” Tangan kurusnya itu akan melambai ke arahku, ditemani senyum yang mempertontonkan giginya yang putih cemerlang.<br />
<br />
Orang-orang heran ia bisa memiliki gigi sebersih itu, padahal hidupnya lebih banyak ia habiskan di jalan.<br />
<br />
“Kamu ikut kontes gigi sehat, aja, Lik. Siapa tahu menang. Bisa jadi bintang iklan. Muncul di tivi saban hari. Jadi kaya. Dijekar-kejar cewek di mana-mana,” godaku.<br />
<br />
“Kalau dikeramas di salon rambutmu itu tak kalah sama Giring Nidji,” gurau salah satu temanku.<br />
<br />
Berkali-kali aku memintanya memanggilku ‘bu’. Usianya kira-kira 3 tahun lebih muda dari anak sulungku. Namun ia berkeras, “Mbak Niar cakep, nggak pantes dipanggil bu,” ia merayu supaya aku melepas sepatuku.<br />
<br />
“Memangnya cuma orang jelek yang pantas dipanggil bu?” sahut temanku yang lain.<br />
<br />
“Itu! Bu Wiwik…” kepala yang ditumbuhi rambut keriting itu meneleng ke kanan. Kami tahu siapa yang dia maksudkan. Pemilik kios sate ponorogo berbadan super besar-gempal dengan wajah kurang sedap dipandang. Memang hanya dia saja yang dipanggil ‘bu’ oleh semua pelanggan dan penjual lain di food court ini. Namun Bu Wiwik baik hati, ia jarang absen memberi Kelik makanan.<br />
<br />
Aku dan tiga teman kantorku selalu makan siang di food court itu. Kami suka tempatnya yang terbuka dan makanannya yang beragam. Jaraknya tak sampai 5 menit jalan kaki dari kantor kami. Tidak ada yang ingat kapan pertama kali kami melihat Kelik mulai menjual jasa di sini. Tahu-tahu saja suatu siang dia muncul, dengan kotak semirnya yang dicat merah menyala dihiasi lima lonceng kecil yang ia kaitkan di salah satu sisinya.<br />
<br />
“Mbak… Mas… Sepatunya disemir, ya? Itu udah berdebu.” Tangan kurusnya menyibakkan segumpal rambut keriting yang menutupi separuh keningnya. Matanya memandangi sepatu kami satu-satu.<br />
<br />
Aku suka pada senyumnya yang dihiasi gigi-gigi bersih itu, lalu kulepas sepatuku. “Hati-hati, lho! Ini kulit asli. Buatan Itali,” selorohku.<br />
<br />
Ia tertawa senang, kembali gigi-gigi bersih itu terpampang. “Mau dari Itali mau dari Belanda. Kalau udah dipakai tetep aja bau,” tukasnya.<br />
<br />
“Hey! Kalau kamu berani bilang sepatuku bau. Aku nggak mau bayar,” goda salah satu temanku sambil melepas sepatunya.<br />
<br />
Kelik juga kreatif. Selain semir dan sikat, ia juga membawa lap kain dan sebotol air bersih. “Untuk mbersihin sepatu yang bahannya kain atau kanvas,” kilahnya.<br />
<br />
Selain agar sepatu kami selalu bersih, kami memakai jasanya karena ingin membantu. Sambil menyemir Kelik gemar bercerita. Lulusan SD yang semestinya duduk di bangku SMP itu memilih bekerja. Bapaknya dulu tukang batu yang mati akibat demam berdarah. Ibunya buruh tani, penghasilannya tak cukup untuk memberi makan empat anaknya. Sebuah kisah pedih yang mulai terdengar klise di telinga.<br />
<br />
“Sekolah itu cuma ngabisin waktu dan duit. Katanya aja gratis, tapi bayar seragam, buku, les ini-itu. Setelah lulus juga belum tentu bisa kerja,” gumamnya biasa-biasa saja, tak ada penyesalan dalam suaranya. “Kalau gini, meskipun nggak banyak, tiap sore aku bisa setor duit buat Emak. Adik-adikku bisa makan.”<br />
<br />
“Mereka sekolah, kan?” Tanya salah satu temanku. Nyata sekali ia berharap Kelik akan mengatakan ‘ya’ atau mengangguk.<br />
<br />
“Yang ragil dan yang nomer tiga masih sekolah. Adikku satunya udah kerja.” Suara Kelik bangga.<br />
<br />
Ah, pekerjaan macam apa yang bisa didapat anak usia 12 tahun, pikirku.<br />
<br />
“Adikku itu pinter njahit. Ada juragan garmen yang tiap hari ngedrop baju dan seragam. Kerjaan adikku masang kancing,” seakan ia bisa mendengar isi pikiranku. “Dulu emakku yang minta kerjaan di juragan itu, tapi yang ngerjakan adikku,” tambahnya.<br />
<br />
Makanan kami sudah tersaji. Kelik belum menampakkan diri.<br />
<br />
“Mungkin Kelik udah kerja sama orang itu,” temanku mengingatkan. Ia tahu aku sedang memikirkan penyemir sepatu kesayanganku itu.<br />
<br />
Kutengok sepatuku. Wajah Kelik menari-nari di ujung-ujungnya yang berdebu.<br />
<br />
Tiga hari lalu Kelik bercerita dengan bangganya kalau dia baru saja bertemu seorang boss baik hati. “Dia mau ngasih aku kerjaan kantor,” katanya. “Gajinya gedhe, Mbak. Kata boss itu aku bakal bisa beli sepeda motor setelah 6 bulan kerja. Nanti lama-lama beli rumah buat Emak.” Ia bangga bahkan sebelum tahu apa pekerjaannya dan alamat kantornya.<br />
<br />
Temanku ingin tahu siapa orang baik yang mau memberi anak lulusan SD pekerjaan bergaji besar. Namun Kelik tidak mau cerita, hanya tertawa. Katanya yang penting gajinya.<br />
<br />
“Selamat, ya. Kalau udah kaya jangan lupa sama kami,” selorohku, mengulurkan uang untuk membayar jasanya.<br />
<br />
Hingga saat kami harus meninggalkan food court itu, gemerincing lonceng di kotak merah Kelik tidak kudengar.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Lima hari berlalu tanpa Kelik menyemir sepatu kami.<br />
<br />
“Nggak keluar?” Temanku melongokkan kepalanya ke ruanganku.<br />
<br />
Saatnya makan siang, namun perutku masih kenyang, mungkin karena pisang dan jeruk yang kumakan bersama semangkuk havermut pagi tadi.<br />
<br />
“Es dawet juga nggak pingin?” temanku menggoda. Semua temanku tahu aku mencintai es dawet melebihi suamiku. “Siapa tahu hari ini Kelik muncul,” diliriknya sepatuku.<br />
<br />
Sejak aku bertemu Kelik, kebersihan sepatuku memang kupercayakan padanya. Dan aku kangen senyumnya.
“Oke. Kalian duluan,” kataku, menyimpan dokumen dan foto-foto yang masih terbuka di layar komputer.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Aku belum sempat duduk ketika Bu Wiwik terengah-engah membawa tubuh gempalnya mendekati kami. Di tangannya ada lembaran koran.<br />
<br />
“Kelik, Mbak Niar! Kelik…” Wajah Bu Wiwik semakin jelek akibat menahan tangis. “Ini… Ini…”<br />
<br />
Koran itu ia gelar di atas meja favorit kami. “Ini! Kata orang-orang ini Kelik…”tangisnya meledak.<br />
<br />
Aku belum membaca koran sejak pagi. Di halaman depan bagian bawah kulihat judul berita yang ditulis besar-besar: Mayat Remaja Lelaki Ditemukan, Organ-organ Tubuhnya Hilang.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-19391800178752820002015-04-05T10:54:00.000+07:002015-04-08T18:25:38.921+07:00Chloe: Membayar Perempuan untuk Menggoda Suami<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-TNp-j5dckiY/VSCw7bZOwGI/AAAAAAAAAmI/jiIQ8mDdHCA/s1600/chloe-3.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-TNp-j5dckiY/VSCw7bZOwGI/AAAAAAAAAmI/jiIQ8mDdHCA/s1600/chloe-3.jpg" height="320" width="224" /></a></div>
<br />
Saya menonton film ini, Chloe, dua kali. Jelas karena Liam Neeson memerani tokoh utamanya, David Stewart. Lain tidak! Pertama nonton saya sama sekali tidak terkesan dengan kisahnya. Biasa. Apalagi akhir kisahnya tidak fair untuk Chloe. Kedua kalinya, saya terilhami untuk berbagi sesuatu - yang saya pelajari dari film ini - dengan pembaca yang kesasar ke blog saya ini.<br />
<br />
Diklaim sebagai sexual thriller, film ini menceritakan sepasang suami istri yang memasuki usia paruh baya, David dan Catherine Stewart (diperankan oleh salah satu aktris favorit saya pemenang Oscar 2014: Julianne Moore). Mereka sukses dalam karir, David sebagai profesor dan Catherine sebagai dokter kandungan.
Tanpa mereka sadari, David dan Catherine saling menjauh akibat terhisap kuat oleh derasnya arus sukses pekerjaan masing-masing. Sebagai profesor David populer di kalangan mahasiswinya. Siapa yang tidak termehek-mehek punya dosen sekeren Liam Neeson? Sebaliknya Catherine kerap harus mendengarkan curhat para pasiennya tentang masalah hidup mereka. Memang enak jadi dokter?<br />
<br />
Hubungan mereka memburuk semenjak David menghindari pesta kejutan yang dibuat Catherine untuk merayakan ulang tahun suaminya itu. Sebenarnya David sudah tahu istrinya mengundang sahabat-kerabatnya ke rumah, saat ia sedang berada di luar kota untuk seminar. Agar terhindar dari pesta yang tak ia sukai itu, David berbohong bahwa dirinya ketinggalan pesawat. Catherine curiga David selingkuh dan menghabiskan malam bersama kekasihnya.<br />
<br />
Keeseokan paginya, ketika masing-masing sedang hendak berangkat kerja, Catherine mencuri lihat sebuah MMS yang masuk ke ponsel David. Voila! Kecurigannya makin parah saat dilihatnya foto David berdua dengan gadis muda, mahasiswinya.<br />
<br />
Konflik berawal dari sana.<br />
<br />
Kemudian kisah berkembang.<br />
<br />
Catherine menyewa seorang gadis panggilan bernama Chloe untuk menyamar sebagai mahasiswi dan menggoda suaminya. Chloe bersedia.<br />
<br />
Namun tulisan ini bukan tentang film itu. Ini tentang pasangan suami istri, entah yang baru saja menjalani bulan madu, baru mendapat bayi cantik mungil sehat menggemaskan, baru membeli rumah, maupun yang sudah sukses seperti David dan Catherine.<br />
<br />
Perjalanan sebuah perkawinan tidak pernah semulus janji setia suami-istri di depan naib atau pendeta. Pun tak bakal seindah foto pengantin. Selalu ada lubang menjebloskan, gundukan menghadang, kelokan menyesatkan, tanjakan memberatkan bahkan jembatan putus yang memaksa harus berbalik dan mencari jalur alternatif atau nekat menuruni tebing dan menyebrangi sungai – yang mungkin berarus kuat, dalam dan penuh batu-batu tajam.<br />
<br />
Perjalanan pernikahan memang berat, namun tidak berarti seluruhnya menyedihkan, memilukan dan sakit. Sudah pasti tidak selalu menyenangkan, membahagiakan dan nikmat. Ia campuran antara sedih-senang, bahagia-pilu dan sakit-nikmat.<br />
<br />
Agar campuran berjuta rasa itu menjelma musik yang harmonis dibutuhkan komunikasi dua arah yang jujur, terbuka dan dijaga. Terus menerus. Pantang menyerah – yaaa… kecuali kalau memang ingin pisah!<br />
<br />
Seandainya David mau bicara jujur pada Catherine bahwa dia tidak suka pesta ulang tahun – sebab itu mengingatkan dirinya makin tua – mungkin Pak Dosen itu tidak perlu susah payah mencari cara agar terlambat tiba di rumah. Jika Catherine menahan hati cemburu dan memilih bertanya pada suaminya tentang gadis muda yang ada dalam fotonya itu, mungkin ia tak perlu membayar Chloe untuk mengetahui bahwa suaminya selingkuh. Biasa kalau seorang dosen sering diminta foto oleh atau menjadi idola para mahasiswinya. Aih! Kebetulan saja suami saya dosen!<br />
<br />
Komunikasi terbuka dan jujur tidak turun golong-golong teplok ke pangkuan suami istri. Ia harus dipelajari, diakrabi dan yang terpenting dijalankan. Bersama. Berdua. Mustahil sendiri-sendiri, apalagi hanya sepihak.
Komunikasi terbuka dan jujur wajib dilandasi baik sangka. Kalau ada prasangka buruk, curiga, segara minta maaf setelah persoalannya didudukkan dengan benar. Bahkan bila bersikap dan berkata jujur itu menyakitkan, tetap harus ditunjukkan. Supaya bisa mencari jalan tengah bila pasangan tidak mau menerima. Supaya beban bohong tidak menumpuk dan akhirnya pernikahan itu mati tertimbun kebohongan mereka sendiri.<br />
<br />
Sebutir demi sebutir komunikasi terbuka dan jujur dirangkai bersama. Hingga lambat laun bicara dan bersikap jujur dan terbuka pada pasangan merupa hiasan terindah dan termegah sebuah perkawinan. Dan hidup sebagai pasangan suami istri akan nikmat. Menentramkan. Lalu masing-masing bakal awet muda.<br />
<br />
Bila – karena beratnya persoalan – pasangan suami istri harus berpisah, tetap saja komunikasi terbuka dan jujur mempermudah proses dan mengurangi rasa sakit. Percayalah!<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-39537399860951300832015-01-09T10:30:00.000+07:002015-01-09T10:36:08.930+07:00A P I<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-GrjUeGT5Dgo/VK9FJ6-vsoI/AAAAAAAAAlY/boX1aKAn4cI/s1600/fire-03.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-GrjUeGT5Dgo/VK9FJ6-vsoI/AAAAAAAAAlY/boX1aKAn4cI/s1600/fire-03.jpg" height="180" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://globe-views.com/dcim/dreams/fire/fire-03.jpg">Sumber Foto</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: right;">
<b><i>“An eye for an eye makes the whole world blind.” </i></b></div>
<div style="text-align: right;">
<i>Mahatma Gandhi</i> </div>
<br />
<br />
“Ini apa?” tanya seorang lelaki tua pada bocah lelaki yang terus menatapnya. Tangan si tua menggenggam obor. Baru saja ia sorongkan ujung obor itu ke api unggun. Nyala api obor itu membara.<br />
<br />
“Api,” jawab si bocah tanpa berpikir. Manik-manik matanya bercahaya.<br />
<br />
“Bukan! Ini bukan api…” Si lelaki tua berteka-teki.<br />
<br />
“Oh?” Mata bocah itu melekat pada lelaki yang berdiri masih dengan obor di tangan.<br />
<br />
“Ini senjata.”<br />
<br />
Dua lelaki beda usia itu saling memandang. Mata mereka berkilat-kilat memantulkan lidah api unggun yang menjilat-jilat udara. Di antara gelap malam dan lolong serigala, menyelinap sebuah rencana jahat.<br />
<br />
Potongan adegan film itu menusuk-nusuk dinding otakku. Menyerikan sakit hatiku. Menyalakan dendamku. Aku tak ingat judul film itu, apalagi ceritanya. Namun adegan itu bercokol bagai benalu di pikiranku. Menggerogoti.<br />
<br />
Api adalah senjata. Aku bisa mudah mendapatkannya. Cukup dengan sejerigen bensin dan sebatang korek api, aku akan punya senjata ampuh untuk memusnahkannya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Tiga belas tahun lalu kebahagiaanku direnggut dariku, semasa aku masih bocah.<br />
<br />
Baru delapan tahun umurku. Bersama ibuku, yang hanya 16 tahun lebih tua dariku, aku tinggal tak jauh dari jembatan. Bukan di sampingnya, namun di bawahnya. Sepetak kamar selebar dua depa dan panjangnya tak sampai 10 langkah itu kusebut rumah.<br />
<br />
Sebagai buruh cuci, ibuku melarat; mana ada buruh cuci yang kaya. Dalam sehari uang yang ia peroleh sering tak cukup untuk membeli nasi. Saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti.<br />
<br />
Pagiku selalu habis untuk bermain di kali. Sambil menunggui ibu mencuci di sumur yang mirip belik di bantaran kali, aku rajin mencari apa saja yang terbawa arus kali. Kalau ada barang yang terapung aku suka mengejarnya. Berteriak-teriak. Kalau berhasil kuraih, aku akan bersorak. Teman-temanku sering iri, aku bisa bermain sepanjang hari sementara mereka harus duduk di ruang kelas, dengan tangan sedekap di atas meja, mendengarkan guru bicara.<br />
<br />
Suatu pagi aku beruntung menemukan cincin emas. Kata ibuku itu cincin kawin. Ukurannya cukup kecil, pas di jari manisnya. Katanya itu mungkin milik seorang istri yang baru diceraikan suami, lalu dibuang ke kali. Tanpa menunggu cuciannya kering, ibu membawaku ke pasar, melego cincin itu.<br />
<br />
Orang-orang di pasar melihat kami dengan sorot mata aneh, pasti mereka mengira aku mencuri, gerutu ibuku. Ia tak peduli, apalagi aku. Yang kuingat hanya satu, ibu membelikanku baju baru.<br />
<br />
“Ini hadiah ulang tahunmu, Nduk. Yang ke delapan.” Ibu memelukku erat. Itulah pertama kali aku dapat hadiah ulang tahun. Saat itu pula pertama kali ibu menyadari kalau payudaraku mulai tumbuh. Seingatku, ah… aku sebenarnya ingin melupakan hari itu. Ya, seingatku Ibu membeli sepotong baju untuk dirinya juga.<br />
<br />
Ia menuntunku ke kamar mandi yang jauh lebih kotor dari sumur di kali dan bau pesingnya membuat pusing. Kami berganti baju di situ. Dengan baju baru itu, kulihat ia berubah cantik. Mirip Jeng Siwi, salah satu majikan ibu, yang sering membawa makanan kalau menyetor baju kotor.<br />
<br />
“Kita sekarang beli pukis. Mau?” Ibu menawariku. Wah. Tentu saja aku suka sekali. Bau pukis yang wangi membuat perutku yang baru diisi nasi ayam lapar lagi. Tukang pukis berkumis itu memuji kecantikan ibu.<br />
<br />
“Mbak, boleh kenalan?” Seorang lelaki bersepeda motor mencolek lengan ibu. Ibu tampak senang disapa pemuda itu. Tongkrongannya mirip Mas Dito, mahasiswa yang seminggu sekali mengantar baju kotor untuk dicuci ibu. Sepeda motornya bercat merah, terlihat gagah. Belum pernah kulihat ada lelaki setampan itu berbicara dengan ibu. “Ini adiknya? Sama-sama manisnya,” tambah lelaki itu. Ibuku malu-malu. Matanya berbinar menatap wajahku.<br />
<br />
Entah bagaimana selanjutnya aku lupa, aku sibuk menikmati pukis isi keju yang rasa manisnya meleleh di mulutku. Tahu-tahu lelaki itu membantu ibu mengangkat tubuhku ke atas sadel sepeda motornya. Ia mengantar kami pulang ke rumah. Ya, ke rumahku, ke bedeng di bawah jembatan itu.<br />
<br />
Aku ingat saat itu Jumat malam, sebab Mbah Jirah menyetel radionya keras-keras, mendengarkan acara wayang. Duljani, anaknya yang pincang itu, marah-marah. Suara radio emaknya mengganggu suara TV yang sepanjang hari tak henti ia pelototi.
“Nduk… cepat sembunyi. Di sini…” Ibu menarik lengan kiriku. Tubuhku ia jejalkan ke bawah amben kayu. Selembar jarik lusuh yang biasa ia pakai alas menyeterika digelar di atas kasur kapuk, ujungnya dibiarkan keleweran menutupi kolong amben.<br />
<br />
Beberapa menit kemudian kudengar langkah kaki melewati satu-satunya pintu bedeng kami. Dari sela selebar dua jari antara tepian jarik dan kaki amben, aku tahu itu sepasang kaki lelaki. Ia menyapa ibuku seperti saat ibu menidurkanku waktu aku kecil dulu. Lembut. Membuai. Aku merasa kenal suara itu. Tak begitu lama, amben reyot yang beberapa pakunya copot itu berkerenyit, melengkung terbebani tubuh ibuku dan tubuh lelaki itu. Kudengar suara-suara. Napas ibuku memburu, seperti sedang menggosok celana jeans penuh lumpur. Lama-lama aku tak bisa lagi membedakan suara-suara yang menyerbu telingaku. Debu-debu rontok mengotori wajahku, sebagian masuk ke mataku. Aku menahan batuk sekuat-kuatnya, sampai dadaku mau pecah. Aku ketakutan amben itu ambruk menindihku. Lalu kudengar lenguhan panjang, bukan dari mulut ibuku. Lenguh yang belum pernah kudengar dari mulut manusia. Serupa sapi kekenyangan. Sapi milik tetangga kami yang kaya di desa asal ibu.<br />
<br />
“Jangan merokok di sini, Mas,” suara ibu kudengar, sedikit terengah.<br />
<br />
“Cerewet!” Lelaki itu membentak.<br />
<br />
“Tolong, Mas, kalau mau merokok keluar sebentar.”<br />
<br />
“Plaaak!” Kudengar suara pukulan disusul rintihan ibu. “Asu!” Lelaki itu mengumpat.<br />
<br />
Perasaan takut merambati tubuhku. Ia mengumpat sekali lagi sebelum membuka pintu lalu menghempaskannya kuat-kuat sampai-sampai genteng keripik yang sebagian sudah pecah itu serpihannya rontok.<br />
<br />
“Nduk!” Cepat ibuku menyingkap jarik, mengangsurkan lengannya, menarikku keluar. “Maafkan Ibu.” Ia memangku tubuhku yang basah oleh keringat. Wajahku lesi. “Kita bisa beli nasi ayam. Kamu mau?” Ibu melirik selembar uang 20 ribu yang tergeletak di atas baju yang belum diseterika. Baju itu <i>mawut-mawut</i> entah tadi kena tendang kaki siapa.<br />
<br />
Selanjutnya lelaki itu datang kapan saja. Lelaki yang memboncengkan kami pulang dari pasar. Lelaki yang tadinya kukira baik hati. Kadang ia muncul pagi-pagi sebelum adzan subuh. Baunya mirip cairan pemutih yang dipakai ibu menghilangkan noda baju.<br />
<br />
“Ibumu sekarang nyambi nglonthe, Nduk. Kamu sini saja,” tukas Mbah Jirah suatu pagi, ketika aku merangkak keluar dari kolong amben dan lelaki itu mendengkur sekeras mesin diesel di bengkel sepeda motor di barat jembatan. Ibu sudah turun ke sumur di pinggir kali. Mencuci.<br />
<br />
Minggu berlalu. Bulan datang menggantikan. Ibuku masih saja didatangi lelaki itu. Juga sering dipukuli. Namun setelah ia pergi, ibu selalu membelikanku makanan yang lezat. Tubuhku jadi sedikit berisi. Ibu juga membelikan sandal seperti milik Neny, anak bungsu Bu Hesti yang bajunya sering dicuci ibu. Warnanya kuning seperti kembang kenikir yang ditanam Yu Sarti, tetangga kami yang jualan gorengan di timur jembatan. Kata Mbah Jirah kalau memakai sandal itu aku jadi ayu.<br />
<br />
Suatu sore ibu didatangi seorang pelanggan, diminta membantunya di rumah. Ia punya hajatan dan butuh bantuan di dapur, mencuci piring dan gelas serta pekerjaan lainnya. Aku ditinggal sendiri. Mbah Jirah mengajakku ke rumahnya, mendengarkan siaran radio kesukaannya. Aku tidak suka radio. Aku ingin sekali nonton TV, tapi Duljani hanya akan membentakku, mengusirku seperti kucing pencuri teri. Kutolak ajakan Mbah Jirah. Lebih baik keleletan di amben rumah, membantu ibu melipat baju kering yang belum diseterika. Supaya bedeng kami rapi.<br />
<br />
Aku sedang menyusun lipatan baju ketika pintu terbuka. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, kakinya mengangkang, menanyakan ibu. Kubilang ibu sedang bekerja di rumah orang. Aku tak berani menatap matanya. Sejak pertama memukul ibu, tak kudengar lagi suaranya yang membuai. Tapi kali ini ia tidak marah, malah tertawa renyah. Dengan sekali langkah ia sudah berada di dekatku. Mengangkat tubuhku. “Nduk, cah ayu. Lihat dirimu. Mulai mekar. Segar.” Lalu ia duduk di amben. Tubuhku dipangku. Tangannya berpindah dari pinggangku ke dadaku. Meraba payudaraku yang putingnya baru sedikit menyembul. Menekannya keras-keras sampai aku tak bisa bernapas. Ia merebahkan tubuhku. Selanjutnya aku tak ingat. Yang pasti ketika pulang ibu melolong panjang melihat darah berlepotan di pahaku.<br />
<br />
Kejadian itu berulang. Tak hanya dua-tiga kali. Selama berminggu-minggu. Sampai ibu tak tahan lagi. Suatu malam mereka berkelahi. Ujungnya ibuku mati, dengan 17 tusukan di tubuhnya. Tetanggaku ramai-ramai menghajarnya. Lelaki itu kabarnya masuk bui.<br />
<br />
Jangan tanyakan bagaimana rasanya, marah, sedih, sakit hati, dendam, dan takut bercampur dalam tubuh kecilku. Kala itu aku ingin ikut mati, lumer dalam darah ibuku yang mengucur sederas air kali.<br />
<br />
Seminggu kemudian aku tinggalkan bedeng, menggelandang di jalanan. Tetanggaku tak ada yang peduli.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
“Nduk, ada titipan,” suara Samson membuyarkan lamunanku. “Ini!” Lelaki kelahiran Papua itu menyorongkan amplop coklat ke hidungku. “Pesenanmu. Dari Kampret.”<br />
<br />
Mendengar nama Kampret disebut aku melompat meraih amplop itu. Sudah beberapa minggu aku minta bantuannya. Mencari laki-laki yang membunuh ibuku dan mengoyak hidupku. Ia bebas dari penjara setahun lalu. Amplop kubuka. Isinya secarik kertas ditempeli sebuah foto dengan alamat lengkap tertulis di bawahnya.<br />
<br />
“Siapa?”<br />
<br />
“Bajingan itu,” pendek jawabku. “Ia utang nyawa padaku.”<br />
<br />
“Mau kubantu nagih?”<br />
<br />
Aku menggeleng.<br />
<br />
“Hati-hati,” pesannya. Kuminta Samson mengantarku mencari alamat itu. Lelaki yang tubuhnya menyerupai batang pohon sawo tua di halaman balai kota itu sudah hampir 13 tahun menjadi pelindungku. Ia menemukanku hampir mati kelaparan di sudut sebuah pasar swalayan, meringkuk di sisi bak sampah tempat para pegawai membuang sisa-sisa makanan dan sayuran busuk tak terjual.<br />
<br />
Kata orang-orang setelah dewasa kini aku mirip ibuku, namun aku lebih pandai dan lebih berani. Samson mengajariku membaca dan menulis, juga teknik berkelahi dan mempertahankan diri. Sebagai balasannya, sejak empat tahun lalu, setelah aku cukup dewasa, aku menjadi pasangan tetapnya. Aku setia. Ia suka masakanku.<br />
<br />
“Itu,” Samson menepikan sepeda motor, berhenti di antara dua truk penuh bahan bangunan, di depan sebuah rumah yang cat temboknya mengelupas di sana-sini. Atapnya miring. Halamannya kering, bungkus rokok dan tas kresek tersebar di sana-sini. Rumah itu seperti tak dihuni. Di sekitarnya berderet toko bahan bangunan. Entah siapa pemilik rumah kecil itu, terselip di antara baliho dan spanduk iklan genteng, cat tembok, keramik dan segala macam pernak-pernik penghias rumah.<br />
<br />
“Kita pergi,” kataku.<br />
<br />
“Pergi? Aku bisa nagih hutangnya sekarang ini!” Suara Samson dipenuhi rasa benci. Ia tahu kisahku dari mantan tetanggaku. Selama hampir 13 tahun mulutku terkunci. Aku tak sudi membicarakan deritaku yang nyaris menguburku hidup-hidup di kota ini.<br />
<br />
“Lain kali.” Kutepuk punggung Samson, memintanya pergi.<br />
<br />
Hari berikutnya kudatangi rumah itu. Sendirian. Wajah lelaki itu masih sama, hanya menua. Tubuhnya kini kurus, terbungkus oblong kumal dan celana jeans yang terlihat berbulan-bulan tak dicuci. Susah payah ia menyalakan mesin sepeda motornya. Hampir 10 menit kakinya mengengkol namun si mesin tua yang tak terawat tetap membeku. Wajah yang tak kalah lusuh dengan celananya itu banjir keringat. Rambut pendeknya lengket di kepala. Ia menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari orang lewat yang mungkin mau membantunya.
Ia tak melihatku. Kalaupun matanya menangkap sosokku, pasti ia tak mengenaliku. Untuk nyawa ibuku yang ia cabik-cabik dengan belati, ia hanya diganjar 11 tahun, bukan dihukum mati.
Mata seorang tukang parkir menumbuk mata lelaki itu. Namun si tukang parkir pura-pura tak melihat, mulutnya terus berteriak, tangannya sibuk membantu supir truk menepikan kendaraannya.
Bekas narapidana yang kejahatannya seolah tertempel pada wajahnya itu menyerah. Dua tangan kurusnya menuntun motor, gontai langkahnya menjauh dari hingar bingar di sekitarnya tanpa ada yang peduli, serupa tikus yang takut-takut menyelinap keluar dari got di depan rumahnya.<br />
<br />
Kuhabiskan waktu seminggu mengintainya. Di rumah yang terjepit toko itu, ia tinggal seorang diri.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Pukul 1.20 dini hari. Sudah dua jam aku meringkuk di balik tumpukan kotak-kotak kayu di seberang jalan, mengamati rumah itu. Selepas tengah malam, jalan ini bagai mati. Lelampu jalan gagal menembus tabir hitam malam. Tiga truk kosong terparkir hampir menempel pada pintu-pintu toko, bayangannya kelam, menghalangi sorot lampu-lampu kecil di langit-langit emperan toko. Tak kuhiraukan puluhan nyamuk menyerbu tubuhku. Tak berkedip mataku menatap teras rumah itu, lampu 5 watt tertempel di antara lubang-lubang menganga di langit-langitnya. Malam ini penghuninya harus membayar lunas hutangnya padaku.<br />
<br />
Aku sabar menunggu.<br />
<br />
Sepeda motor berhenti di depan rumah beratap miring itu, suara mesinnya terengah, bagai orang sekarat. Lelaki itu datang. Langkahnya sempoyongan menuju pintu.<br />
<br />
Mengendap-endap aku menyeberang jalan. Kubuka tutup jerigen penuh bensin di tanganku. Pantat serata papan itu kutendang dari belakang. Lelaki itu mengumpat, lalu berbalik.<br />
<br />
Di bawah temaram lampu teras ia berusaha mengenali sosokku. Bibirnya menyeringai, tangannya terulur, mencoba meraihku.
“Heiii… siapa kamu?” Suaranya serak.<br />
<br />
Aku tak bergerak. Kuatur jarak. Kakiku kokoh berjaga-jaga.<br />
<br />
Matanya lurus menembus mataku. “Hahaha… aku ingat kamu!” Mungkin ia mengira sedang melihat hantu. “Kamu pelacur yang membuatku dipenjara. Hahaha…!”<br />
<br />
Tawanya tersumbat isi jerigen yang kusiram ke mukanya, membasahi separuh atas tubuhnya. “Apa ini…?”<br />
<br />
Sekejap ia panik. Seketika matanya mendelik. Ia tahu.<br />
<br />
Kunyalakan pemantik murahan yang kuambil dari saku jaket Samson. Cepat kulemparkan. Api langsung berkobar. Melahap rambutnya. Menjilati mukanya. Aku berkelebat pergi. Jeritannya mengoyak kepekatan malam, terdengar bagai nyanyian.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: x-small;"><i>Cerita ini pernah dimuat dalam kumpulan cerpen "Kotak Pandora" yang diterbitkan Kampung Fiksi dan sudah dicabut peredarannya. </i> </span></div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-79451096258129960392014-09-24T13:07:00.000+07:002014-09-24T13:49:42.247+07:00Sang Apoteker<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-jat-WcI3qn0/VCJXDCVNnsI/AAAAAAAAAlI/-BLaVXkpwFU/s1600/pharmacist-300x200.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-jat-WcI3qn0/VCJXDCVNnsI/AAAAAAAAAlI/-BLaVXkpwFU/s1600/pharmacist-300x200.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.healthcaredegreesonline.com/job-descriptions/pharmacist-job-description-salary-and-education">Sumber Gambar</a></td></tr>
</tbody></table>
<i>“Jangan pernah merencanakan pembunuhan. Pembunuhan harus terjadi tanpa rencana, seperti kehidupan.”
<b>Alfred Hitchcock.</b></i> <br />
<br />
Menjelang tengah malam seperti ini, seluruh pagar rumah terkunci sudah. Penghuninya lelap tertidur. Iryani hati-hati membelokkan mobil memasuki gerbang kompleks perumahan. Pohonan cemara berderet di kanan kiri jalan, mengangguk-angguk tertimpa sisa-sisa rinai hujan.<br />
<br />
“Kita udah hampir sampai, Bram.” Tangan kiri Iryani terulur ke kiri, menggoyang tubuh Bram.<br />
<br />
“Hmmmhhh…” tubuh kokoh itu menggeliat. Kenikmatan yang belum lama ia hisap dari tubuh Iryani membuainya ke alam mimpi meskipun perjalanan dari hotel ke rumah kekasihnya itu tidak lama. Malas ia melepas <i>seatbelt</i>.<br />
<br />
“Jangan turun,” cegah Iryani.<br />
<br />
Terlambat. Lelaki simpanannya itu sudah membuka pintu mobil. Sisa kantuk membuat tubuh jangkungnya sempoyongan. Dua kakinya tidak bersamaan menapak tanah. Ia mengaduh.
Reflek Iryani menoleh ke kanan. Lampu ruang tengah tetangga depan rumah masih menyala. Pertanda penghuninya masih melek.<br />
<br />
“Sialan,” Iryani menyumpah.<br />
<br />
Lelaki jomblo bernama Panca itu biasanya tidur awal. Jarang terlihat begadang. Lima tahun menjadi tetangga membuatnya hapal. Sebelum pukul 11 lampu ruang tengahnya pasti sudah mati. Kalau tahu begini dia tidak bakal membawa Bram pulang. Perempuan itu mengutuk diri sendiri. Seharusnya sejak awal ia menyuruh Bram tetap tinggal di mobil sampai masuk garasi.
Istri pegawai senior kilang minyak lepas pantai itu hati-hati membuka pintu mobil. Ia tak ingin mengundang perhatian Panca. Mungkin lelaki itu lembur di rumah, pikir Iryani. Kakinya berjingkat. Telunjuk kiri ia taruh di bibir, menyuruh Bram tidak berisik.<br />
<br />
Namun pikiran lelaki itu belum sepenuhnya terkumpul. Ia juga dikuasai hasrat kembali mencecap nikmat. Ia tak sabar. Ingin lagi. Lengannya terulur, meraih pinggang perempuan tanpa anak itu. Menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Penuh nafsu bertubi-tubi menghunjamkan ciuman ke lehernya.<br />
<br />
“Jangan di sini!” Serak suara Iryani, berusaha meronta, “Nanti tetanggaku…” Suara Iryani terhenti. Jantungnya seakan mencelat. Dilihatnya gordin jendela rumah tetangganya terkuak lebar. Di bawah temaram lampu teras, Iryani tak bisa melihat muka lelaki itu. Namun ia yakin mata pegawai bank itu melekat ke dirinya dan lelaki yang sedang mencumbunya. Lelaki yang bukan suaminya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Pagi yang panas dan lembab. Kemeja biru muda bergaris-garis putih yang dikenakan Panca sudah mulai terasa lengket meskipun ia belum keluar rumah. Arloji digital di pergelangan tangan kanannya memperlihatkan angka 6.45. Saatnya berangkat bekerja. Pegawai bank itu menyukai pekerjaannya. Tak lama lagi ia tahu akan naik pangkat. Lelaki lajang itu sangat memperhatikan kebugaran tubuh dan kebersihan penampilannya. Selain bersepeda, ia rajin berenang dan sesekali bermain golf menemani atasannya.
Tangannya baru meraih kunci mobil ketika tiba-tiba rasa pusing memukul-mukul rongga kepalanya. Tubuh langsingnya menyandar di pintu garasi, lehernya ia putar hati-hati ke kanan-kiri, lalu ke atas-bawah. Melemaskan otot-ototnya. Selama beberapa menit ia mengatur nafas, mencoba mengisi paru-paru dengan oksigen sebanyak-banyaknya.<br />
<br />
“Kenapa sejak kemarin aku diserang rasa mual dan pusing-pusing begini?” risaunya dalam hati. Ia merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Ia makan seperti biasa. Minum vitamin secara rutin. Bersepeda tak ketinggalan.
Sambil terhuyung Panca membuka pintu garasi. Ia bisa saja menelepon teman kerjanya, namun ia tak mau seorangpun tahu kalau dirinya kurang sehat. Ia ingin terlihat senantiasa prima dan bersemangat di mata koleganya.<br />
<br />
Mungkin aku hanya penat, harapnya. Lelaki itu meninggalkan rumah tanpa menutup pintu pagar. Namun ia masih sempat melambaikan tangan pada tetangganya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Pukul 3 sore. Terlihat sepuluh orang menunggu dilayani. Apotik di dekat kampus itu jarang sepi pengunjung. Tak salah Iryani membayar sewa mahal di tempat itu. Dalam waktu kurang dari lima tahun bukan hanya modalnya telah kembali, ia juga mulai menimbun keuntungan.<br />
<br />
“Bu Iryani, ada telpon.”<br />
<br />
“Dari mana?”<br />
<br />
“Katanya tetangga Ibu. Tidak menyebutkan nama.”<br />
<br />
Tetangga yang mana, pikirnya. Jangan-jangan ada yang sakit. Butuh obat mendadak. Melepas kacamata Iryani menerima gagang telepon dari pegawainya. “Tolong pintu ditutup,” perintahnya.<br />
<br />
“Ya. Halo. Saya Iryani,”<br />
<br />
“Selamat sore, Bu Yani. Maaf mengganggu. Anu… saya Bu Nandar. Ada kabar buruk, Bu. Tetangga kita. Pak Panca. Meninggal tiba-tiba. Di kantornya.” Bu Nandar terbata-bata.<br />
<br />
“Oh… Ya, Tuhan! Sakit apa? Tadi pagi saya masih ketemu pas mau berangkat kerja…”<br />
<br />
“Kurang tahu, Bu. Saya cuma diminta Pak RT nelpon Bu Yani. Mau minta ijin mendirikan tenda di jalan, di depan rumah Bu Yani.”<br />
<br />
“Oh… Tentu saja… tentu saja…” Suara Iryani tertahan di tenggorokan, “Saya akan segera pulang. Kalau perlu apa-apa bisa langsung minta Prapti.” Iryani menyebut nama pembantunya yang hanya bekerja siang hari. “Jam segini dia belum pulang.”<br />
<br />
“Terima kasih, Bu.” Lalu telepon ditutup.
Iryani tercenung sesaat. Kemudian dia membuka pintu, memanggil asistennya. “Sinta, tolong jaga. Kalau ada yang penting telpon aja. Jangan sms. Jangan BBM. Telpon. Ya? Aku mau pulang.”<br />
<br />
Asisten apoteker itu mengangguk sopan.
Ia mengerti atasannya itu mengabdikan hidupnya untuk pekerjaan. Jarang meninggalkan apotek bila tidak ada urusan darurat. Suaminya yang tiap 5 minggu pulang selama 2 minggu itu cakap mengurus diri sendiri, tak suka dilayani.<br />
<br />
Meskipun orang sering menggunjingkan, Iryani tak peduli. Bukan salahnya bila hingga 5 tahun menikah rahimnya belum berbuah. Ia tak perlu mengumbar kabar kalau sperma suaminya selain malas bergerak, jumlahnya juga tidak banyak. Mungkin suaminya kecapekan bekerja di kilang minyak, nun jauh di negeri seberang. Ia menutupi hal itu dari keluarganya. Kalau ayahnya sampai tahu pasti Iryani disuruh minta cerai. Bagi sang apoteker itu pernikahan harus dijaga kelanggengannya, berapapun harganya, apapun risikonya. Perceraian hanya akan merendahkan martabatnya. Mungkin rejekiku memang bukan anak, pikirnya.<br />
<br />
Prapti tergopoh-gopoh. Selepas majikannya menelepon mengabarkan kepulangannya, perempuan kurus tinggi itu tak menunggu waktu membuka pintu garasi. Pintu pagar sejak tadi telah dibuka. Ada empat tukang tenda sedang bekerja. Prapti meminta mereka memberi jalan agar mobil majikannya bisa masuk ke halaman.<br />
<br />
“Tadi Bu Irwan pinjam gelas dan karpet. Saya…”<br />
<br />
“Ya.” Iryani memotong laporan Prapti. “Bawa ke dalam. Saya mau langsung ke depan.” Iryani mengangsurkan tas kerja yang diterima Prapti seketika. Iryani menutup pintu mobil. Tangan kanannya memasukkan sesuatu ke dalam kantung blazernya.<br />
<br />
“Aduh… Bu… Tadi ada polisi…” ujar Prapti, matanya mengerjap-ngerjap. <br />
<br />
Langkah Iryani terhenti sebelum melewati pintu garasi. “Polisi?” Ia memiringkan kepalanya.<br />
<br />
“Iya, Bu. Nggak tahu…”
Sebelum selesai bicara majikannya sudah menyeberang jalan, melewati tukang-tukang yang sibuk memasang tenda, menuju rumah si tetangga yang meninggal tiba-tiba.<br />
<br />
Selama bertetangga Iryani baru tiga kali masuk rumah Panca. Ia lupa kapan dan untuk keperluan apa. Bujangan 38 tahun itu jarang ikut pertemuan kampung, seperti dirinya. Sibuk sekali. Lagi pula ia tak punya peliharaan atau apapun yang memerlukan perawatan. Tidak juga tanaman. Meskipun begitu, hampir tiap pagi mereka saling menyapa bila hendak berangkat bekerja. Sesekali ia memesan vitamin atau obat padanya.<br />
<br />
Tiga hari lalu ia menyerahkan sebotol vitamin baru pesanannya. Panca terlihat sehat. Saat itu sikapnya juga biasa saja. Iryani percaya Panca hanya pura-pura tidak peduli telah memergokinya membawa pulang lelaki.<br />
<br />
Iryani yakin bila ada kesempatan, bujangan itu pasti akan menggunjingkan dirinya.<br />
<br />
“Bu Yani, masuk saja.” Yu Menik, perempuan yang datang tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah Panca sedang menggelar karpet. Ia yang memberikan kunci rumah Panca pada Pak RT. “Ini kami pinjam…”<br />
<br />
“Ya. Prapti sudah bilang,” cepat Iryani menukas. Dilihatnya ruangan tengah sudah kosong, perabotan yang tak seberapa itu sudah dikumpulkan di garasi. Beginilah rumah bujangan, pikir Iryani, mengedarkan matanya.<br />
<br />
“Jenazahnya masih di rumah sakit,” tetangga yang sibuk membantu Yu Menik bercerita.<br />
<br />
Di perumahan tempat Iryani tinggal segala sesuatunya tertata. Termasuk bila ada yang meninggal. Sudah ada ibu-ibu yang mengurusi. Bapak-bapak biasanya baru muncul sepulang kantor. Yang di rumah akan mengurusi perabotan atau menghubungi keluarga di luar kota atau menyewa tenda dan kursi.<br />
<br />
“Katanya ada polisi?” Iryani membantu Bu Nandar mengeluarkan gelas dari kotaknya. Sebagian gelas-gelas itu miliknya. Sebagian lagi entah milik siapa. Mungkin inventaris RW.<br />
<br />
“Iya. Katanya ada yang tidak wajar dengan kematiannya. Mungkin akan diotopsi.”<br />
<br />
“Memangnya kenapa meninggalnya?” Iryani membukai semua lemari dapur yang tertempel di dinding, mencari-cari sesuatu. “Tidak ada nampan. Dasar bujangan,” keluhnya.<br />
<br />
“Saya ambil nampan ke rumah sebentar.” Sambil keluar mata Iryani menyergap botol vitamin di meja makan, di antara toples gula, tisu, botol kecap, botol saus tomat, cangkir kosong, dan tusuk gigi. Tangannya terulur meraih botol itu.<br />
<br />
“Apa itu, Bu?” Pak RT muncul dari arah garasi. Keringat membasahi bagian depan kausnya. Ia baru selesai membantu tukang tenda menata kursi.<br />
<br />
“Nggak tahu, Pak. Mungkin vitamin.” Tangan kanan Iryani meletakkan botol kecil itu kembali ke atas meja. Tangan kirinya merogoh kantung blazer, mengambil Blackberry. “Saya harus mengabari suami saya, Pak.” Sambil berlalu ia menelepon sang suami.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Malam hampir mencapai puncaknya. Iryani bisa mendengar obrolan diselang-seling canda bapak-bapak yang berjaga di depan rumah almarhum Panca, yang berhadap-hadapan dengan rumahnya. Ia menyuruh Prapti menginap, supaya bisa membantu menyiapkan teh dan kopi.<br />
<br />
Rupanya memang benar ada yang salah dengan kematian Panca. Kabarnya akibat racun. Entah apa. Ada yang bilang arsenikum. Yang lain mengatakan racun tikus. Sempat terhembus berita kalau Panca pecandu; sesuatu yang tak masuk nalar, tubuh lelaki itu senantiasa segar dan kinerjanya tanpa cela. Satunya bercerita tentang bisa ular yang dicampur dalam kopi. Ada yang menyebarkan kabar Panca disantet. Koleganya iri sebab ia baru mendapat promosi. Katanya ada juga suami yang cemburu, entah siapa, sebab istrinya punya <i>affair</i> dengan bujangan malang itu. Semua berspekulasi, seolah-olah mereka paling mengerti.<br />
<br />
Serupa sirop yang menetes di lantai, semut tak butuh waktu untuk berbaris mengerumuni. Begitulah berita buruk kematian Panca. Kasihan sekali, pikir Iryani, bahkan orang meninggal pun tak luput dari olok-olok.<br />
<br />
Tadi dilihatnya polisi datang lagi. Mereka bertanya-tanya. Memeriksa setiap jengkal rumah lelaki itu. Ada satu yang marah-marah pada Pak RT, para tetangga dianggap mengacaukan TKP.<br />
<br />
“Ibu tidur saja. Sudah hampir jam 1. Biar saya yang jaga,” Prapti terkantuk-kantuk di depan layar TV. Iryani mengucapkan terima kasih. Sesuatu yang amat jarang diucapkan perempuan kaya itu, apalagi pada pembantunya. Tanpa Prapti, LED TV 60 inci di ruang tengah itu bakal merana tak pernah menyala.<br />
<br />
“Saya mau nengok ke depan sebentar.” Iryani mengambil <i>sweater</i> ke dalam kamar.<br />
<br />
Prapti membuntuti. Duduk di teras menunggu sang majikan. Iryani mengangguk pada bapak-bapak yang duduk di bawah tenda. Ekor matanya menangkap kelebat dua polisi memasuki pintu garasi. Angin dini hari membuat kulit mulus perempuan cantik itu meremang.<br />
<br />
“Selamat malam, Bu.” Seorang lelaki yang wajah dan sosoknya persis Panca bangkit dari kursi, menyapanya. Meskipun tampak tegar, matanya gagal menyembunyikan rasa duka. “Saya Sapto. Adik Mas Panca.” Tangan kanannya agak gemetar, terulur menyalami, tangan kirinya membuang rokok yang tersulut setengah. “Silakan, Bu. Di dalam ada ibu-ibu.”<br />
<br />
“Ikut bela sungkawa yang sedalam-dalamnya.” Iryani tulus.<br />
<br />
Sapto berbasa-basi. Dari para tetangga Sapto tahu kalau semua karpet itu milik Bu Yani, tetangga depan rumah. Ia ingin menyampaikan terima kasih secara khusus. Ia juga mengatakan kalau sebagian keluarganya masih di rumah sakit menunggu otopsi selesai.<br />
<br />
“Bapak sudah pergi dinas lagi?” Sapto menanyakan suaminya. Iryani mengangguk. “Maaf, ya, Bu. Waktu malam itu saya tidak menyapa. Saya kuatir mengganggu. Seharusnya saya keluar dan berkenalan.” Sapto terlihat malu-malu. Terbayang lagi bagaimana tetangganya itu bercumbu di halaman rumah. Ia maklum, Panca pernah cerita kalau suami Bu Iryani bekerja jauh dari rumah.<br />
<br />
“Oh?” Iryani berkerut dahi. Tidak paham maksud adik almarhum yang belum pernah ia kenal itu.<br />
<br />
“Seminggu yang lalu. Bu Yani dan Bapak pulang malam-malam. Saya hanya membuka gorden tapi tidak keluar. Saya kira waktu itu Mas Panca pulang. Dia tugas luar kota. Kebetulan saya sedang di sini…”<br />
<br />
Iryani tak lagi mendengar kelanjutan kata-kata lelaki muda itu.<br />
<br />
“Bu Yani istirahat saja. Di sini sudah banyak orang. Katanya jenazah akan diantar pukul 3. Otopsi sudah selesai. Katanya hasilnya baru diketahui beberapa hari lagi. Katanya…”<br />
<br />
Langkah Iryani terseok-seok. Ia salah sasaran. Otaknya belum mampu memutuskan dengan cara apa Sapto akan ia bungkam. Prapti berlari-lari menyongsong majikannya. Pikirnya sang majikan pasti kecapekan.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<i>Kisah ini pernah dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Kotak Pandora" terbitan Kampung Fiksi. </i></div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-8300219409770862172014-03-20T13:29:00.001+07:002014-03-20T14:05:31.963+07:00Pohon Kenanga di Halaman Belakang<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-x1r_C7zFvFU/UyqHhsneFKI/AAAAAAAAAk0/Cw5e1RQGa_M/s1600/bunga-kenanga.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-x1r_C7zFvFU/UyqHhsneFKI/AAAAAAAAAk0/Cw5e1RQGa_M/s1600/bunga-kenanga.jpg" height="255" width="320" /></a></div>
Sore itu Bobi memacu sepeda motornya bagai pembalap kalap. Sesuatu telah membuatnya ketakutan melebihi kehilangan nyawanya. Ia ingin segera sampai di rumah barunya, di pinggir kota.<br />
<br />
“Bobi …!” seru Kiki, raba-rubu membuka pintu. Perempuan lajang 26 tahun itu hapal suara sepeda motor adiknya. Ia khawatir. Pikirnya, pasti ada hal genting yang membuat si pendiam itu memasuki halaman rumah dengan raungan mesin sepeda motor yang menggetarkan kaca-kaca jendela.<br />
<br />
“Gawat, mbak. Gawat. Kacau. Gawat. Kacau ….” Bobi bergumam seolah merapal mantra.<br />
<br />
“Ada apa? Tenang, Bob.” Kiki merengkuh lengan pemuda 20 tahun itu, mendudukkannya di kursi tengah tempat mereka menonton TV dan menerima kunjungan sahabat serta keluarga.<br />
<br />
“Kita bakal ketahuan, Mbak. Gawat.” Lelaki muda yang memilih bekerja selulus SMA itu menggigil. Dua tangannya meremas-remas rambut ikalnya. “Kita bakal ketahuan ….” Lirih suaranya meremangkan bulu tengkuk kakaknya.<br />
<br />
“Ada apa, Bob?” Kiki bersimpuh di depan adiknya, lembut memegangi dua lututnya.<br />
<br />
“Pohon kenanga kita sudah ditebang. Pemilik rumah itu mau membongkar halaman belakang. Rumah itu mau ditingkat,” desis Bobi. “Pagi tadi tukangnya sudah mulai menggali tanah buat pondasi.” Tubuh jangkung kurus itu gemetaran.<br />
<br />
Kiki bangkit, lalu duduk mepet adiknya. Lengan kanannya ia rangkulkan ke pundak lelaki yang senantiasa ia lindungi itu. “Kita akan baik-baik saja. Yakinlah, Bob. Kita akan baik-baik saja. Kalau sampai terjadi apa-apa, Mbak Kiki tidak akan sembunyi. Mbak Kiki akan menanggungnya.”<br />
<br />
Berkata begitu tangan kanan Kiki mengusap-usap punggung Bobi dan tangan kirinya membelai tangan adiknya yang kaku mencengkeram lutut.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Tiga belas tahun silam.<br />
<br />
Keluarga Subakti tertimbun duka. Bu Subakti meninggal dunia dalam usia muda, 37 tahun, akibat penyakit lupus yang mulai menyiksanya selepas melahirkan anak pertama. Kala itu Kiki belum genap 13 tahun dan tiga hari sebelumnya Bobi merayakan ulang tahun ke-7.<br />
<br />
Pak Subakti sedari muda dikenal bengal. Yang mau dekat dengannya hanya orang-orang yang membutuhkannya. Perilakunya tak membaik meskipun sudah beranak dua. Selain mudah marah tanpa alasan, ia gemar main perempuan. Beberapa kali ia pernah mencoba meniduri pembantu rumahnya. Ketika kabar tersiar, tak ada lagi pembantu rumah tangga yang sudi bekerja di rumah mereka. “Istriku sakit-sakitan,” atau “Istriku tidak bisa melayaniku lagi,” begitu alasannya tiap ditegur orang.<br />
<br />
Menjadi duda dalam usia 40 dengan tanggungan dua anak yang tengah membutuhkan kasih sayang membuat pemilik toko kayu itu menjadi-jadi. Ia serupa kapal yang rusak mesin dan putus jangkar: terapung-terapung terhempas gelombang.<br />
<br />
Ia tak peduli bahwa dua anaknya makin memerlukan dirinya. Sepeninggal istrinya ia jadi makin sering dan makin lama pergi, mencari kayu di berbagai wilayah dan gentayangan mirip hantu di hutan-hutan yang ia datangi. Bila pulang, ia rajin membawa perempuan, tak jelas siapa dan bertemu di mana.
Keluarga besar Subakti prihatin. Berbagai cara telah mereka upayakan untuk menghentikan kebejatannya, hingga akhirnya mereka kewalahan. Mereka juga sama-sama punya beban hidup yang tak bisa ditangguhkan. Tangisan Kiki dan Bobi pada kakek-nenek dan paman-bibinya makin hari merupa tembang pilu yang membosankan untuk didengar. Mereka tak bisa mencarikan jalan keluar. Hal terbaik yang bisa mereka berikan adalah menghibur dengan kata-kata, yang hari ke hari hanya itu-itu saja.<br />
<br />
Belum genap setahun sejak istrinya meninggal, salah satu perempuan yang sering dibawa Subakti hamil. Lelaki itu tak hendak bertanggung jawab. Punya dua anak dari istri sah saja ia telantarkan, apalagi ini akan dianggap anak haram. Perempuan itu dipaksanya menggugurkan kandungan dengan imbalan uang.<br />
<br />
Semenjak itu, Subakti berubah.<br />
<br />
Ia tak lagi terlihat menggandeng perempuan. Ia jadi lebih sering pulang dan rajin mengundang salah satu pegawai lelakinya bertandang ke rumah. Kadang pegawainya itu menginap. Orang-orang mengira Subakti jera, mulai memerhatikan anak-anaknya, menyuruh pegawainya itu membantu bersih-bersih rumah.<br />
<br />
“Ayahmu sudah sadar, Ki. Semoga dia segera menemukan jodoh lagi. Meskipun ibu tiri, akan ada orang yang merawat kalian,” ujar nenek Kiki, menghibur si cucu dengan impiannya.<br />
<br />
Namun mimpi nenek Kiki tak jadi nyata. Subakti ternyata tidak betah di rumah. Bila pergi ke hutan atau mendatangi lelang kayu, ia selalu membawa serta pegawainya yang masih muda itu.
Seiring waktu, perangai Subakti makin menyakitkan keluarganya. Apalagi setelah pegawainya itu keluar tanpa pamit dan pindah ke lain kota.<br />
<br />
Bila sedang di rumah, ia sering mengajak Bobi bermain, hanya berdua saja, tanpa Kiki. Dari kecil Kiki tidak mendapat kasih sayang ayahnya. Ia dianggap sebagai sumber malapetaka, asal-usul bibit penyakit yang diderita ibunya. Bila ia menangis, bukan pelukan atau belaian yang ia terima, justru hardikan dan sesekali tamparan. Namun gadis belia itu tangguh dan selalu berusaha kukuh.<br />
<br />
“Gara-gara kamu, ibumu jadi sakit dan mati!” bentak lelaki itu pada anak sulungnya tiap kali Kiki memintanya tinggal di rumah lebih lama.<br />
<br />
Memasuki akhir tahun kedua hidup tanpa bunda dan terus menerus menanggung murka ayahnya, amarah Kiki tumbuh bagai sel-sel kanker: tak terlihat namun mematikan. Gadis itu menyalurkan amarahnya lewat sepak bola dan karate. Ia ingin kuat dan perkasa demi melindungi adik yang ia sayangi.<br />
<br />
“Mbak Kiki akan menjagamu. Jangan kuatir,” janji Kiki pada adiknya bila si adik menangis merindukan ayah-bundanya.<br />
<br />
Di sepenggal pagi, Kiki mendapati Bobi tersedu-sedu di sudut kamarnya.<br />
<br />
“Ada apa, Bob?” Kiki mengelus kepala adiknya yang sebulan lagi ulang tahun ke-9. Adiknya membisu. Air matanya membanjir. Kiki memeluknya tanpa bertanya lagi. Ia tahu ayahnya telah berbuat sesuatu yang menyakitkan hati adiknya.<br />
<br />
Pada hari ulang tahun Bobi, Subakti membelikannya satu set komputer. Namun Bobi menolaknya. Ia berlari ke kamar. Ayahnya membanting pintu depan. Pergi.<br />
<br />
“Kenapa, Bob?” tanya Kiki, membujuk adiknya agar menerima hadiah itu. Bobi tetap menolak. Kiki mendesaknya, mengatakan kalau Bobi beruntung mendapat perhatian besar dari ayahnya, sedangkan ia jarang disapa.<br />
<br />
“Aku nggak mau! Ayah jahat, Mbak. Ayah memberi hadiah agar aku mau terus digituin ….” Tangis anak lelaki itu tumpah ruah.<br />
<br />
Saat itu Kiki tidak mengerti, tidak menyadari petaka yang menimpa adiknya. Ia mengira Bobi sekedar dibentak ayahnya. Seperti biasa, Kiki hanya memeluk Bobi sampai tangisnya reda.<br />
<br />
Hingga seminggu kemudian.<br />
<br />
Kiki terbangun oleh suara pintu depan dibuka. Ayahnya pulang dini hari, tanpa membuka pintu garasi. Pasti ia menggadaikan lagi mobilnya, atau malah menjualnya akibat kalah judi, pikir Kiki. Ia tengah berusaha kembali tidur saat terdengar rintihan dari kamar adiknya, disusul suara ayahnya berusaha membujuk Bobi. Awalnya Kiki tak berniat bangun, namun ia ingat keluhan Bobi tentang ayahnya.<br />
<br />
Remaja itu curiga. Sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami menyuruhnya segera menengok adiknya.
Gadis 15 tahun itu pelan-pelan membuka pintu kamar Bobi. Matanya terbeliak. Mulutnya menganga namun tak ada suara. Jantungnya seakan mencelat hingga menyumpal tenggorokannya. Dalam temaram lampu tidur 5 watt Kiki melihat tubuh tambun ayahnya menunggangi tubuh kerempeng adiknya.<br />
<br />
Kiki ingat tumpukan potongan kayu di halaman belakang.<br />
<br />
Lari gadis remaja itu cepat bagai ditarik setan.<br />
<br />
Beberapa menit berikutnya, pedagang kayu itu tersungkur di lantai dengan tulang tengkuk patah dan tengkorak pecah.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
“Mbak Kiki akan menanam pohon di sudut halaman belakang itu. Pohon kenanga,” bisik gadis remaja itu di telinga adiknya. “Kamu tidak perlu takut. Mbak Kiki akan mengurus semua. Tidak bakal ada yang curiga. Ayah tak peduli pada kita. Selalu pergi. Semua orang tahu itu. Bila dia tidak pulang, orang akan mengira dia sengaja meninggalkan kita.” Tangan Kiki mendekap erat tubuh kurus adiknya.<br />
<br />
Peristiwa dini hari itu tak diketahui orang.<br />
<br />
Kiki dan Bobi sehidup-semati menjaga rahasia, saling berjanji akan melupakan semuanya, memendamnya di bawah pohon kenanga.<br />
<br />
Sekian tahun kemudian, pohon di sudut halaman belakang yang ditanam Kiki itu tumbuh rimbun. Bunga kuningnya senantiasa mekar sepanjang tahun dan wanginya bisa tercium oleh tetangga. Tiap kali mimpi buruknya menghantui, Kiki mengajak adiknya berdoa di bawah pohon itu.<br />
<br />
Untuk menopang hidup Kiki dan Bobi, kakek dan paman mereka sepakat menjual toko kayu Subakti yang terbengkelai. Tak satupun anggota keluarga berniat mencari lelaki itu. Semua orang yakin Subakti minggat atau terbunuh di hutan saat berkelahi berebut kayu dengan pembalak liar.<br />
<br />
Satu-satunya orang yang menginginkan lelaki itu cuma si bandar judi, yang tiap hari datang menagih hutang. Untuk menutup hutang itu, adik perempuan Subakti membeli rumahnya. Kelebihan uangnya, bersama hasil jual murah sisa-sisa kayu gelondongan, ditabung untuk tambahan biaya hidup Kiki dan Bobi.<br />
<br />
Kakak-beradik itu tetap diijinkan menempati rumah itu.<br />
<br />
Mereka hidup menumpang di sana sampai setahun lalu, ketika Kiki selesai kuliah dan bekerja. Walau tidak banyak, Bobi juga sudah punya penghasilan sendiri. Sisa tabungan mereka cukup untuk membayar uang muka sebuah rumah kecil di pinggir kota. Selebihnya mereka angsur bersama.<br />
<br />
Kiki sama sekali tidak mengira kalau bibinya akan menjual rumah itu segera setelah ia dan Bobi pindah ke rumah baru.<br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
<div style="text-align: left;">
“Tulang tidak bisa busuk, Mbak,” rintih Bobi, duduk membeku dengan dua siku bertumpu di lutut dan dua tangan menutup muka. “Kita menguburnya tak sampai 2 meter.” </div>
<br />
Kiki makin ketat mendekap adiknya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***
</div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-31452302028854959172013-12-30T10:23:00.001+07:002013-12-30T14:58:00.194+07:00The Hunt: Kebohongan Kecil yang Menghancurkan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-9BQwGLSsQRU/UsDnAWLCC2I/AAAAAAAAAkg/fRVkcX0SbQo/s1600/photo_01.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="http://1.bp.blogspot.com/-9BQwGLSsQRU/UsDnAWLCC2I/AAAAAAAAAkg/fRVkcX0SbQo/s320/photo_01.jpg" width="320" /></a></div>
Film Denmark yang dibintangi pemeran serial Hannibal, Mads Mikkelsen, ini awalnya saya sangka film action-thriller. Karena judulnya itu: The Hunt.<br />
<br />
Saya salah.<br />
<br />
Setting film ini mengingatkan saya akan Halifax, sebuah kota di pantai timur Kanada tempat saya dan keluarga pernah tinggal selama 2 tahun: nyenyat, dingin, lindap, penduduknya sedikit, dan permukaan tanahnya selalu dipenuhi rontokan daun. Namun tempat berlangsungnya kisah bukan kota, semacam desa yang penduduknya saling kenal dan rukun.<br />
<br />
Mads Mikkelsen yang menurut saya seksi dan misterius itu memerankan Lucas, duda cerai yang bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Ia memiliki seorang anak lelaki bernama Marcus yang tinggal bersama mantan istrinya.<br />
<br />
Lucas hidup seorang diri di sebuah rumah mungil dan ditemani seekor anjing betina tua bernama Fanny.
Lucas disayangi murid-muridnya dan sangat piawai menangani mereka. Selain bermain bersama anak-anak, tugasnya termasuk membantu cebok selepas buang air besar. Di antara muridnya ada gadis lucu berwajah sedih bernama Klara. Sejak pertama Klara diperlihatkan murung. Ia ditemukan Lucas ‘hilang’ di depan sebuah toko swalayan. Ia mengaku tidak bisa menemukan jalan pulang. Lucas yang ditemani Fanny mengantarnya pulang. Di jalan Klara meminta ijin untuk sesekali mengajak Fanny jalan-jalan. Lucas menyambut senang.<br />
<br />
Sesampai di rumah ayah Klara berkomentar kalau anak bungsunya itu memang sering keluyuran sendiri tanpa pamit.<br />
<br />
Klara punya seorang kakak remaja yang sedang getol-getolnya mengunduh foto-foto porno dengan tabletnya. Suatu kali ia menunjukkan foto alat kelamin laki-laki yang sedang ereksi dan ejakulasi. Remaja itu bilang, “Lihat, nih. Mencuat sekeras besi….!” Sambil cekakakan bersama sobatnya. Klara tampak terguncang.<br />
<br />
Gadis kecil nan pemurung itu sangat menyukai Lucas. Mungkin karena gurunya itu sahabat baik ayahnya sejak kecil dan sangat sayang padanya pula. Suatu hari Lucas dan murid-murid lelakinya bercanda ria, mereka bergulingan. Klara memandang mereka dan sangat ingin bergabung. Tiba-tiba si kecil yang jarang tersenyum itu menubruk Lucas dan mencium bibir gurunya itu sekilas. Sebelum kejadian itu, Klara membungkus hadiah – sebuah mainan warna pelangi berbentuk hati - untuk seseorang. Rupanya hadiah itu untuk sang guru tersayang. Dengan lembut Lucas mengembalikan hadiah itu dan wanti-wanti agar Klara tidak mencium bibir siapapun sebab ciuman semacam itu hanya pantas diberikan untuk ayah dan ibunya.<br />
<br />
Klara kecewa. Ia gundah. Ia marah.<br />
<br />
Sorenya, ibunya terlambat menjemput Klara. Saat disapa kepala sekolahnya, Grethe, Klara berbohong tentang Lucas. Bagi Grethe kebohongan itu terdengar nyata sebab Klara bisa menggambarkan 'burung Lucas yang mencuat sekeras besi....'<br />
<br />
Kebohongan kecil itu berbuah petaka bagi Lucas.<br />
<br />
Lelaki yang hidup sederhana dan menyayangi anak-anak itu tiba-tiba dianggap monster oleh para tetangganya. Ia dibenci. Ia dijauhi. Sebegitu marah mereka hingga Marcus - yang mengunjungi ayahnya sembunyi-sembunyi karena dilarang ibunya - dan si anjing Fanny menerima hukuman pula.<br />
<br />
Salah satu keluarga tetap percaya bahwa Lucas bukanlah orang jahat peleceh bocah seperti yang dituduhkan. Dalam sebuah perbincangan teman yang kaya itu mengatakan, “<i>It’s always assumed that children tell the truth….</i>”<br />
<br />
Meskipun kemudian polisi membebaskan Lucas dari tuduhan akibat tidak cukup bukti dan Klara berusaha menjelaskan bahwa Lucas tidak melakukan apapun dan ia hanya berbohong, namun vonis ‘peleceh anak’ terlanjur dijatuhkan oleh masyarakat.<br />
<br />
Akting Mads Mikkelsen elok. Sepanjang film ini ia sukses merupa binatang jinak yang disudutkan dan tak melihat jalan keluar.
Saya menangis melihat Lukas, Marcus, dan Fanny menderita. Saya sedih melihat Klara yang begitu lugu dan sama sekali tak memahami akibat kebohongannya. Saya ikut sakit melihat orang-orang di sekeliling Lucas tiba-tiba menjauhinya.<br />
<br />
Film ini berhasil menggambarkan bagaimana sebuah dusta kecil – apalagi dilakukan oleh anak-anak – mampu memecah-belah masyarakat. Bagaimana kebencian menabiri kebenaran. Bagaimana gossip menenggelamkan kebaikan. Sebuah gambar yang acap saya lihat muncul di masyarakat kita. Apapun perkaranya dan siapapun pelakunya. Betapa manusia itu lemah namun pongah. Bila ia sudah percaya sesuatu – meskipun salah – mata jadi buta dan telinga berubah tuli. Pun rasa pelan-pelan mati…. Hilang cinta yang dibangun oleh Lucas dan ayah Klara selama puluhan tahun, dicuri oleh curiga dan dikuasai amarah.<br />
<br />
Klara bagi saya adalah simbol kepolosan dan kemurnian. Di dunia fana ini tak ada satupun yang murni mutlak. Bahkan gadis kecilpun bisa berbohong bila ia dirundung kecewa.<br />
<br />
Film ini membuat saya ingin lebih berhati-hati bicara dan terutama berpikir berkali-kali sebelum bereaksi terhadap b/cerita. Semoga saya mampu menjalankannya, bukan berhenti pada ‘ingin’ belaka.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<i>Catatan: satu menit sebelum film berakhir saya baru paham film ini dijuduli 'The Hunt'. </i></div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-7589711896486057662013-11-20T13:34:00.001+07:002015-10-27T00:14:33.158+07:00Antara Gadis Muda dan Lelaki Tua<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-x8ja3blibqo/UoxX29GmaZI/AAAAAAAAAkQ/XVInRefOEl4/s1600/kawabata_yasunari_the_house_of_the_sleeping_beauties_pic_1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://1.bp.blogspot.com/-x8ja3blibqo/UoxX29GmaZI/AAAAAAAAAkQ/XVInRefOEl4/s400/kawabata_yasunari_the_house_of_the_sleeping_beauties_pic_1.jpg" width="296" /></a></div>
<br />
Setelah <i><a href="http://endahraharjo.blogspot.com/2013/11/snow-country-geisha-salju-dan-haiku.html">Snow Country</a></i> yang romantis dan mistis itu, rasanya agak miris membaca karya Kawabata yang satu ini: <i>The House of the Sleeping Beauties</i>. Bagaimana tidak? Kisah ini tentang seorang lelaki yang menemukan hobi baru di masa tuanya: tidur dengan gadis belia yang dibius – atau diobati – begitu rupa yang dijamin tak bakal bangun semalaman. Gadis-gadis itu tetap lelap hingga para lelaki yang mengeloni mereka terbangun keesokan paginya.<br />
<br />
Para lelaki itu dikatakan sudah bukan lelaki lagi dan tak mampu menikmati perempuan sebagaimana seharusnya perempuan dinikmati. Intinya: mereka sudah impoten, tak bisa ereksi lagi!<br />
<br />
Eguchi yang berusia 67 tahun, atas saran sobatnya Kiga, mendatangi sebuah rumah yang menyediakan gadis-gadis usia belasan untuk dikeloni. Mereka, yang dikisahkan masih perawan itu, tidur telanjang di dalam kamar-kamar. Para lelaki tua akan masuk ke kamar-kamar itu setelah para gadis terlelap karena obat. Seorang perempuan tengah baya – yang tak disebut namanya sepanjang cerita – mengelola ‘layanan puteri tidur’ ini secara profesional dengan aturan yang ketat demi melindungi para pelanggan dan para gadisnya. Bila tiada aturan yang dilanggar, maka sampai kapanpun para gadis tak akan tahu para lelaki yang pernah menyelusup ke dalam selimut mereka.<br />
<br />
Pada malam pertama kedatangannya, Eguchi masih malu-malu. Sang Perempuan menyediakan untuknya seorang gadis muda yang tidur begitu lelap. Dengan takut-takut Eguchi menatap, meraba, dan memegang bagian-bagian tubuh si gadis yang menarik hasratnya. Aroma susu yang menguar dari tubuh si gadis membawa Eguchi ke masa lalu. Termasuk kenangan buruk akan seorang geisha yang ngambek karena dia membaui aroma susu dari tubuh Eguchi yang baru saja membopong anak bungsunya sebelum menemui si geisha.<br />
<br />
Di dalam tiap kamar disediakan dua butir pil tidur untuk diminum para lelaki bila mereka ingin sama-sama terlelap. Sambil mendekap dan merasakan kehangatan tubuh belia yang tergolek nyenyak di sampingnya, Eguchi justru menggali kenangan-kenangan lama akan perempuan-perempuan yang pernah menjalin hubungan dengannya. Ketika ia mencoba tidur dengan menelan salah satu pil, beberapa mimpi buruk mendatanginya.<br />
<br />
Pengalaman tidur dengan puteri cantik yang tertidur-tak-bangun-hingga-pagi itu tak ingin diulang Eguchi.
Namun yang terjadi tidak demikian.<br />
<br />
Dua minggu berikutnya, Eguchi kembali ke sana. Malam itu Sang Perempuan menyediakan gadis muda yang katanya ‘lebih berpengalaman'. Sungguh aneh, kata Eguchi, apa bedanya antara berpengalaman atau tidak bila para gadis itu hanya tergeletak tidur sepanjang malam; bahkan ketika ia meninggalkan kamar si gadis belum terjaga.<br />
<br />
Namun setelah Eguchi masuk ke kamar, menanggalkan pakaiannya, dan menyuruk ke dalam selimut si gadis, ia bisa merasakan bedanya. Walaupun tidur nyenyak, si gadis seperti bisa berkomunikasi dengan Eguchi.<br />
<br />
Aroma dan bentuk bagian-bagian tubuh putri tidur kedua ini mengingatkan Eguchi akan bungaan, terutama peoni dan camellia putih. Si puteri tidur juga membawanya pada tiga anak perempuannya yang sudah menikah. Setiap bagian tubuh si gadis, caranya bernapas dan menggeliat, merupa potongan-potongan masa lalunya yang menyenangkan maupun menyakitkan.<br />
<br />
Hanya butuh waktu 8 hari untuk membawa Eguchi kembali ke rumah puteri tidur itu. Gadis ketiga yang ia keloni bertubuh kecil dan tidur bagai mati, mengingatkannya pada salah satu selingkuhannya, perempuan muda bersuamikan lelaki asing. Suaminya sering bertugas ke luar negeri dan terkesan tidak memersoalkan kelakukan istrinya selama ia pergi.<br />
<br />
Istri Eguchi tak diceritakan secara jelas dalam rangkaian kenangan yang datang silih berganti itu. Mungkin, ini menunjukkan bagaimana posisi seorang istri dalam kehidupan lelaki Jepang pada umumnya: dianggap sebagai ‘suatu pelengkap’ yang sudah seharusnya ada dan diam manis di tempatnya. <br />
<br />
Pada kunjungan kesekian, selepas tahun baru, di malam yang bersalju dan berhujan, Eguchi mengeloni 2 gadis sekaligus. Yang satu berkulit terang dengan bau tubuh manis-sedap bagai bayi dan satunya berkulit gelap beraroma menyengat. Beberapa saat sebelumnya, di rumah puteri tidur itu terjadi kecelakaan. Salah satu pelanggannya, seorang direktur uzur bernama Fukura, kedatangan ajal. Tidak jelas bagaimana mayatnya dibawa pergi dari rumah itu tanpa menimbulkan kehebohan. Menurut Kiga, Pak Fukura tua mati akibat serangan jantung.<br />
<br />
Pada saat Eguchi ngeloni dua gadis itu terjadi sesuatu. Dan seperti halnya dalam Snow Country, ceritanya berakhir begitu saja. <br />
<br />
Selama membaca, saya membayangkan Bapak, suami, dan lelaki-lelaki lain yang saya kasihi sambil bertanya-tanya apakah mereka punya hasrat erotis semacam itu: ketika tua dan kelelakiannya tak lagi berfungsi ingin kelonan dengan gadis remaja.<br />
<br />
Menurut pengamatan saya yang tidak mendalam, penampilan lelaki (orang) Jepang memang terkesan malu-malu, pendiam, halus budi, namun isi kepalanya liar. Cerita yang ditulis oleh pemenang Penghargaan Nobel Sastra tahun 1968 ini merupakan salah satu potretnya.<br />
<br />
Dalam kisah ini birahi Eguchi dan hasrat erotisnya digambarkan melalui bagian-bagian tubuh secara rinci: bukaan bibir yang menampakkan gigi dan lidah, daun dan lubang telinga, leher dan lekukan antara dagu dan leher, lengkung alis, ketebalan bulu mata, kelopak mata, kelentikan jemari, pergelangan tangan, hingga lubang hidung. Bagian-bagian tubuh yang umumnya dianggap sumber birahi seperti pinggul, payudara, dan paha justru tidak dikupas-tuntas.<br />
<br />
Saya menganggap kisah ini sebagai wujud kecintaan akan masa muda dan ketakutan akan masa tua. Kemudaan melambangkan hidup, harapan, keindahan, dan kebahagiaan. Sedangkan ketuaan sebagai kesepian, keterasingan, penyesalan, rasa sakit, dan kegelapan.<br />
<br />
Melalui tubuh muda gadis yang masih murni, Eguchi (lelaki tua) menemukan kembali masa-masa indahnya dan terhibur dari luka hatinya. Seperti potongan pendek ini: “What flowed deep behind his eyelids from the girl's arm was the current of life, the melody of life, the lure of life, and, for an old man, the recovery of life”<br />
<br />
Cerita ini juga saya maknai sebagai perbandingan antara birahi (yang sebatas fisik) serta hasrat akan kehangatan (yang menyentuh jiwa). Namun tak urung saya merasa heran, geli, sekaligus ngeri, sebab ada orang (laki-laki) yang ingin merasakan kembali masa mudanya dengan cara ngeloni perempuan muda yang dibius sampai tak sadar apa yang terjadi di sekitarnya.<br />
<br />
Pertanyaan saya selanjutnya: apakah nanti, bila saya makin tua, ingin kelonan dengan brondong yang tidur pulas nyaris mati? Hiii…!!!<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-53879213656879035392013-11-15T09:51:00.000+07:002015-10-27T00:13:51.974+07:00Snow Country: Geisha, Salju dan Haiku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-eOIXLMmOeVs/UoWL8D5abZI/AAAAAAAAAkA/hnLchfNjpUU/s1600/photo+20-18-43.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://3.bp.blogspot.com/-eOIXLMmOeVs/UoWL8D5abZI/AAAAAAAAAkA/hnLchfNjpUU/s400/photo+20-18-43.JPG" width="251" /></a></div>
"<i>The windows were still screened from the summer. A moth so still that it might have been glued there clung to one of the screens. Its feelers stood out like delicate wool, the color of cedar bark, and its wings, the length of a woman's finger, were a pale, almost diaphanous green</i>."<br />
<br />
Salah satu paragraf yang menggambarkan seekor rama-rama dalam novel Kawabata 'Snow Country' itu selembut dan seelok puisi. Novel ini, yang oleh beberapa kritikus dinilai sebagai karya terbaik Yasunari Kawabata, memang serupa 'mega' haiku.<br />
<br />
Seperti judulnya, kisahnya bertempat di sebuah desa pegunungan di Jepang yang selalu berselimutkan salju di musim dingin. Di desa itu terdapat sumber air panas yang kerap dikunjungi oleh para lelaki, baik sendirian maupun berkelompok. Mereka menginap di losmen-losmen dan dihibur serta ditemani oleh geisha desa. <br />
<br />
Shimamura, seorang lelaki Tokyo kelas menengah yang beristri (tidak diceritakan adanya anak) berkunjung ke desa itu sendirian. Selama di sana ia ditemani seorang geisha bernama Komako. Si geisha, berumur awal 20-an, jatuh cinta pada Shimamura. Cinta mereka khas Jepang, sepemahaman saya akan cinta gaya Jepang: malu-malu, hati-hati, lembut, sekaligus fatal.<br />
<br />
Mereka selalu bertemu setiap kali Shimamura berkunjung ke desa itu. Setelah lebih setahun, hubungan mereka yang terkesan sembunyi-sembunyi itu diketahui oleh warga desa. Bahkan supir taksi menahan laju kendaraannya saat mengantar Shimamura dan melihat Komako sedang berdiri di depan sebuah losmen, memberi kesempatan pada Shimamura bila ia ingin menyapa kekasihnya.<br />
<br />
Meskipun Komako mencintai Shimamura, ia tetap melayani dan menghibur tetamu lain, baik di losmen tempat Shimamura menginap maupun di losmen lain. Dalam setahun si geisha menghadiri puluhan pesta dan melayani banyak tetamu. Tak jarang ia mendadak muncul di kamar Shimamura dalam keadaan mabuk.<br />
<br />
Di awal cerita, dalam perjalanan dengan kereta api ke desa di pegunungan itu Shimamura melihat seorang gadis muda duduk tak jauh di hadapannya. Gadis yang kelak ia ketahui bernama Yoko itu sempat menambat hatinya. Setiap orang di desa yang damai dan indah itu mengenal satu sama lain. Begitu pula Komako dan Yoko.<br />
<br />
Kisah antara Shimamora, Komako, dan Yoko diletakkan oleh Kawabata di atas latar desa pegunungan yang memesona. Tiap paragraf dihiasi oleh deskripsi keindahan desa yang dingin, damai, dan tradisional. Pucuk-pucuk cemara udang (cedar) yang membingkai langit, bunga krisan, peoni, dan aneka bunga musim gugur yang terhampar bagai sutera keperakan menyelimuti punggung gunung, dipadu dengan salju yang beku, angin musim gugur dan musim dingin yang mengiris kulit, menghadirkan kesan magis selama membaca kisah cinta malu-malu-penuh-keraguan-ditahan-tahan ini.
Kawabata piawai memotret pesona alam dengan kata-kata.<br />
<br />
Seperti salah satu paragraf yang menggambarkan pemandangan dari kaca jendela kereta api ini: [...] <i>A mountain, cut at the top in curious notches and spires, fell off in a graceful sweep to the far skirts. Over it the moon was rising. The solid, integral shape of the mountain, taking up the whole of the evening landscape there at the end of the plain, was set off in a deep purple against the pale light of the sky. The moon was no longer an afternoon white, but, faintly colored, it had not yet taken on the clear coldness of the winter night</i> [...]<br />
<br />
Betapa eloknya sepotong wajah bulan yang muncul di balik gunung keunguan itu.<br />
<br />
Mudah merasakan udara beku dan cabikan angin musim dingin, sebab saya pernah mengalami 2 kali musim dingin di Kanada dan sekali di Amerika. Namun saya kesulitan membayangkan jalinan sosial masyarakat Jepang di desa pegunungan itu. Apalagi saya belum pernah berkunjung ke Jepang, sekedar menginjak bandaranya 4-5 kali saja.<br />
<br />
Saking banyaknya pesona alam dipamerkan dalam novel ini, sambil membaca kerap terbayang haiku karya Shiro, Santoka, dan tentu saja Basho. Saya jadi lebih fokus pada suasana alamnya daripada kisahnya.<br />
<br />
Di bagian awal, saya kesulitan menangkap hubungan romantis antara Shimamora dan Komako, baru di bagian kedua semuanya menjadi lebih jelas. Emosinya - yang malu-malu-tapi-mau-dan-rindu - lebih terasa. Lamat-lamat. Serupa gerimis sore hari di awal musim penghujan.<br />
<br />
Di desa itu, banyak gadis muda bekerja sebagai geisha. Di musim ramai, dalam semalam mereka biasa melayani tetamu di beberapa pesta, minum sake hingga mabuk. Keahlian utama mereka adalah menari, menyanyi sambil memainkan shamisen, menulis kaligrafi, dan bermain aneka <i>games</i>. Mereka pun sering harus menjadi pendengar yang baik dan selalu tersenyum.<br />
<br />
Saya tidak paham bagaimana posisi geisha ini dalam masyarakat Jepang. Konon, mereka adalah pekerja seni, seperti namanya yang terdiri dari dua kata 'gei' yang berarti seni dan 'sha' yang berarti orang atau pelaku/pekerja. Meskipun demikian, saya pribadi sulit melepaskan profesi mereka dengan para penghibur di kelab-kelab malam. Para perempuan yang - karena banyak alasan - dibayar untuk menghibur para lelaki yang meninggalkan anak-istri demi mencari kesenangan sendiri. Oleh karenanya profesi ini - buat saya - cenderung inferior. Terlebih dalam banyak cerita digambarkan bagaimana setelah sekian
tahun bekerja mereka ingin berhenti untuk memulai usaha sendiri dengan
tabungannya; ada pula yang berharap menjadi gundik atau disunting oleh pelanggannya.<br />
<br />
Dalam Snow Country, Shimamura tidak berkeinginan untuk menjadikan Komako sebagai gundiknya, meskipun Komako - terkesan - berharap demikian. <br />
<br />
Lalu bagaimana jadinya? Apakah harapan Komako jadi nyata? Kisah yang dituturkan sehalus salju dan seanggun gunung ini berakhir pilu. Serasa sedang duduk di teras menikmati sepoi angin selepas hujan di senja bulan November, tiba-tiba ada truk pasir nyelonong masuk...<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-17655958193161608922013-11-05T14:33:00.001+07:002013-11-05T18:03:51.147+07:00Captain Phillips: Menangisi Perompak<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-wWH_6_lO6sE/UnifAgBvWDI/AAAAAAAAAjo/F3U1exuVdO4/s1600/Captain+Phillips+2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="250" src="http://4.bp.blogspot.com/-wWH_6_lO6sE/UnifAgBvWDI/AAAAAAAAAjo/F3U1exuVdO4/s400/Captain+Phillips+2.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Najee, Muse, Bilal, Elmi</td></tr>
</tbody></table>
"Bagi banyak anak muda, remaja, dan keluarga, menjadi perompak adalah jalan keluar. Mereka adalah korban perang saudara selama 20 tahun. Sulit mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak," demikian komentar Faysal Ahmed, pemeran Najee dalam film Captain Phillips, tentang para perompak Somalia yang umumnya berusia muda itu.<br />
<br />
Bagi saya Captain Phillips bukan sekedar film thriller. Ia adalah potret koyak generasi muda produk sebuah bangsa yang gagal. Di akhir film, mata saya pedas karena membendung air mata. Saya ingin menangis bukan untuk Captain Phillips yang dengan dahsyat diperankan oleh Tom Hanks. Saya menangis untuk Muse Si Kapten Perompak yang bijak, untuk Najee yang beringas, Emil yang penurut, dan terutama untuk si remaja Bilal yang lembut hati dan telapak kaki telanjangnya berlumur darah terobek pecahan kaca.<br />
<br />
Somalia, negara yang terletak di bagian 'tanduk' Afrika dengan wilayah menyerupai huruf J memanjang dari Samudera Hindia hingga Teluk Aden, tak henti dirundung petaka. Perang saudara tak berkesudahan yang diperparah dengan kekeringan, telah membunuh ratusan ribu jiwa, juga mendorong penduduknya menempuh cara apapun untuk sekedar bertahan hidup. Salah satunya adalah perompakan, yang jadi pilihan para nelayan yang tak hanya terdesak perang, juga pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan mereka.<br />
<br />
Di antara mereka adalah Abdul Wali Muse, yang diperankan oleh aktor baru asal Somalia, Barkhad Abdi. Lelaki kurus berdahi lebar bergigi tonggos itu nekad merompak kapal barang Maersk Alabama. Kapal Amerika. Ia ditemani oleh Najee, Elmi, dan Bilal yang masih ingusan. Menyandang AK 47, tubuh-tubuh kurus bertampang garang itu berhasil naik ke kapal raksasa yang dipimpin oleh Captain Phillips.<br />
<br />
Captain Phillips mencoba membujuk para perompak dengan menawari mereka uang tunai US$ 30.000. Mereka menolak, merasa dilecehkan, dianggap pengemis. Sebab target mereka merompak jutaan dolar.
Para perompak marah, gelisah, sekaligus takut gagal.
Kejadian demi kejadian mencekam diperlihatkan di dalam kapal yang mengangkut bantuan pangan dan barang kebutuhan pengungsi ke Mombasa, Kenya, itu. Ujung-ujungnya, Captain Phillips dibawa ke dalam sekoci oleh Muse dan kawanannya, sebagai tawanan yang harus ditebus - oleh pihak asuransi - sebesar US$ 10 juta.<br />
<br />
Captain Phillips - yang paham betul tentang sikap pemerintah Amerika terhadap tindak kriminal semacam itu pada warganya di wilayah internasional - berusaha meyakinkan Muse dan anak buahnya agar melepasnya dan pergi membawa uang yang telah ia berikan. Namun Muse, yang terus-terusan dirongrong oleh Najee, pantang mundur.<br />
<br />
"Aku pantang menyerah. Aku sudah bertindak sejauh ini," rutuknya, menantang kapal perang Amerika dan tak gentar dikepung oleh tim Navy Seal yang tersohor itu.<br />
<br />
Di dalam sekoci kecil warna oranye berbentuk seperti jerigen itu, selain sumpah serapah, gertakan, dan ancaman, terjadi adegan dan dialog yang memilukan hati (saya). Bagaimana Bilal yang masih remaja hendak diobati lukanya oleh Captain Phillips. Bagaimana Bilal memberi air pada Si Kapten dan memohon agar ia menuruti saja perintah Muse dan Najee, sebab bila tidak mereka berdua bisa dibunuh. Juga bagaimana Muse mengisahkan mimpinya pindah ke Amerika, ke New York, dan membeli mobil.<br />
<br />
Pemimpin perompak dekil-kurus-dan-terlihat-lapar yang tangannya tertusuk pisau itu juga sesumbar tentang keberhasilnnya merompak sebuah kapal Yunani yang memberinya uang US$ 6 juta.<br />
<br />
"Kalau begitu, mengapa kamu ada di sini?" tanya Captain Phillips.<br />
<br />
Muse membuang muka sambil bergumam bahwa ia punya atasan. Yang ia maksud adalah seorang warlord. Uang hasil merompak direbut oleh para warlords itu, menyisakan kemiskinan, tumpukan kemarahan, dan dendam.<br />
<br />
"Kalau begitu, mengapa kamu melakukan hal ini? Bukannya ada pilihan pekerjaan lain?"<br />
<br />
"Mungkin di Amerika.... Mungkin di Amerika...." cetus Muse pahit, dengan pandangan kosong ke bawah, sekosong harapannya untuk hidup tentram di negerinya.<br />
<br />
Betapa getir hidup mereka. Karenanya saya ingin menangis.<br />
<br />
Muse, Najee, Elmi, dan Bilal adalah contoh manusia yang tergencet, terdesak hingga ke bibir jurang; oleh pemerintah yang korup, lemah, dan tidak adil, juga oleh berbagai kekuatan keji yang mengiringinya. Saya tak memihak perompakan. Kejahatan semacam itu tak bisa diterima meskipun demi menghidupi keluarga. Tujuan mulia tidak membenarkan cara jahat untuk mencapainya.<br />
<br />
Saya menangisi orang-orang seperti Muse, manusia yang hanya mengenal kekerasan sebagai cara bertahan hidup. Serupa binatang yang terpojok, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah menyerang, menerkam sepenuh kekuatan.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
<i>Sutradara:</i> Paul Greengrass<br />
<i>Pemain</i>:
Tom Hanks sbg Captain Richard Phillips;
Barkhad Abdi sbg Abdul Wali Muse;
Faysal Ahmed sbg Najee;
Barkhad Abdirahman sbg Bilal;
Mahat M. Al sbg Elmi
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-51795717494474032332013-10-21T10:10:00.000+07:002013-10-21T10:16:15.263+07:00Tante Paling Laris<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-CqowCfud7Uw/UmSajco1xaI/AAAAAAAAAjY/lTX5bIYgBjQ/s1600/766px-Group_of_Women_Airforce_Service_Pilots_and_B-17_Flying_Fortress.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="312" src="http://3.bp.blogspot.com/-CqowCfud7Uw/UmSajco1xaI/AAAAAAAAAjY/lTX5bIYgBjQ/s400/766px-Group_of_Women_Airforce_Service_Pilots_and_B-17_Flying_Fortress.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Group_of_Women_Airforce_Service_Pilots_and_B-17_Flying_Fortress.jpg">Para tante cantik jelita gagah perkasa </a></td></tr>
</tbody></table>
Cerpenku yang berjudul <a href="http://endahraharjo.blogspot.com/2012/08/tante-wari.html">Tante Wari </a>ini selalu jadi postingan paling populer. Sesekali saja, sehabis mengunggah tulisan baru, ia bergeser ke bawah. Tapi tidak lama. Seminggu kemudian – atau kadang lebih – ketika tidak ada lagi yang membaca tulisan terbaru, si Tante Wari akan naik lagi.<br />
<br />
Awalnya aku tidak memerhatikan, sebab blog ini bukan etalase, tapi semacam laci. Untuk menyimpan pernak-pernik yang kusuka tapi sudah jarang atau tidak kupakai lagi. Atau, kalau mau sok eksis di dunia maya – yang justru sering lebih heboh dari dunia nyata – blog ini pertanda aku pernah hidup di dalamnya. Moga-moga saja cucuku – aaaaauuuwww … udah pingin punya cucu kayaknya, disebut-sebut melulu – tidak malu kalau menemukan jejak neneknya ini.<br />
<br />
Balik ke obrolan <a href="http://endahraharjo.blogspot.com/2012/08/tante-wari.html">Tante Wari</a>, kok jadi melenceng ngomongin cucu.
Nah! Suatu hari ada seorang pembaca setia blog ini (aku 100% kagum dan salut pada pembaca baik hati itu. Selain berterima kasih, pastinya. Sungguh ingin banget menyebut namanya di sini!) mengirim pesan pribadi lewat Facebook. Dia bercanda soal si Tante itu. Duh.<br />
<br />
Aku jadi mengamati perilaku <a href="http://endahraharjo.blogspot.com/2012/08/tante-wari.html">Tante Wari</a> ini. Setelah sekian hari – ngamatinya tidak terus-terusan berhari-hari, sekali-kali aja kalau pas lega – kutemukan jawabnya. Rupanya, cerpen itu sering muncul di search engine bila ada orang memasukkan keyword ‘tante’ dan berbagai keyword yang mengandung bumbu tante.<br />
<br />
Lalu kucoba sendiri. Voila! Padahal munculnya tidak di halaman pertama, ia nyelip entah di lembar ke berapa. Tapi masih ketahuan juga. Dan aku tidak memberi label ‘tante’ di cerpen itu. Jadi, kira-kira ini berkat judulnya.<br />
<br />
Suatu sore yang penuh aroma iseng, aku tergelitik untuk menulis cerpen biru (ada nggak istilah kayak gitu?). Cerpen yang isinya anu dan judulnya berlendir. Penasaran. Ingin membuktikan apakah cerpen itu bisa menggeser posisi Tante Wari.<br />
<br />
Tapi aku ragu-ragu.<br />
<br />
Kok ragu-ragu?<br />
<br />
Menulis, pada tingkat tertentu, bagaikan mengenakan baju. Ini analogi versiku sendiri. Terlalu banyak memakai baju tertentu, orang di sekitarku akan mengidentikkan diriku dengan baju yang kupakai itu. Sebab baju adalah salah satu penentu identitas, ia bukan sekedar selembar kain penutup tubuh, juga pembawa pesan. Lho… kok jadi membahas baju! Kira-kira itu. Penulis cerpen disebut cerpenis. Kalau banyak menulis cerpen genre tertentu, fantasi misalnya, penulisnya akan dikenal sebagai penulis cerpen fantasi. Dan seterusnya.<br />
<br />
Tapi, kalau ada yang ingin mencoba, asyik juga. Ada yang mau? Tulislah topik panas, jangan lupa labelnya juga, dan lihat sendiri apa yang terjadi …. Mungkin blogmu akan lariiiiiiis sekali!<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<a href="http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Group_of_Women_Airforce_Service_Pilots_and_B-17_Flying_Fortress.jpg">Sumber Gambar</a></div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-64558944867279702762013-10-07T15:15:00.001+07:002013-10-07T16:59:59.976+07:00Bara Dendam<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i><b>~ Balas dendam terdengar kejam, namun itu alamiah ~
William Makepeace Thackeray, Vanity Fair</b> </i></span></div>
<br />
<br />
<br />
Selembar
kartu nama warna putih tulang tergeletak di atas meja jati bundar
berpelitur hitam. Sepasang mata mirip goresan arang membaca nama yang
tertulis di atas kertas itu. Gigi tonggos sedikit mengintip di balik
senyum sinis yang tersungging di bibir berpoleskan lipstik merah jambu.<br />
<br />
“Asistennya
menunggu di luar, Mak,” Darto lapor pada perempuan yang duduk
menyerupai arca itu. Dari sorot matanya seolah akan keluar api, siap
membakar kartu nama itu. “Orangnya ada di dalam mobil. Katanya dia perlu
bantuan Emak untuk menemukan laptopnya yang dicuri tadi malam. Kalau
Emak mau, Emak akan diajak ke kantornya untuk bicara. Dia menyebut uang
ratusan juta.”<br />
<br />
Sudah hampir 10 menit. Perempuan berpakaian
sewarna bulu burung kepodang yang dipanggil Emak itu bahkan tidak
berkedip. Darto tak berani bersuara lagi. Sikap Emak yang diam itu
pertanda kurang baik. Ia sedang berpikir keras dan tak ingin diusik.<br />
<br />
“Bilang
aku sedang tidur,” desis perempuan itu, “Tak ada orang berani
menggangguku.” Kibasan tangan kiri perempuan itu mengisyaratkan agar
Darto cepat keluar dari ruangan.<br />
<br />
Tubuh berotot sekekar
batang pohon beringin itu menghilang di balik pintu.
Sebagai tangan kanan dan centeng kesayangan, Darto akan melakukan apa
saja untuk perempuan itu. Selain Darto, masih ada empat orang lainnya.
Berlima mereka bergiliran menjaga majikan perempuan yang dikenal oleh
setiap penghuni dunia hitam sebagai Emak. Semua copet, jambret, penjudi
kakap, maling dan preman di kota itu kenal dan takut pada Emak. Lima
centengnya siap pasang badan. Keluarga para centeng itu dijamin penuh
oleh Emak. Biaya sekolah anak-anak mereka ditanggung hingga lulus
sarjana. Rumah pun dibangun tanpa kesulitan. Istri-istri mereka tak
ketinggalan. Ada yang memiliki usaha salon, katering, toko kelontong dan
warung internet. Istri Darto telah memiliki lima truk untuk disewakan.<br />
<br />
“Dasar
pengecut!” Emak menyumpah. “Kalau berani kenapa tidak menemuiku
langsung.” Bibirnya mengerucut, membungkus gigi tonggosnya. “Dikiranya
dia siapa.” Sinis suaranya.<br />
<br />
Tiga centengnya saling
melirik dengan ekor mata, tak bernyali menggerakkan tubuh apalagi
membuka suara. Bila Emak menggerutu berkepanjangan seperti itu biasanya
ada sesuatu yang memicu amarahnya.<br />
<br />
Tiba-tiba dua
tangannya bersamaan meraih kartu nama itu, menyobeknya menjadi
kepingan-kepingan seukuran bulir beras, lalu menyebarnya ke kolong meja.
Serpihan-serpihan kertas malang itu melayang, berhamburan,
mengingatkannya pada hatinya yang patah berkeping-keping hampir 30 tahun
lalu.<br />
<br />
“Bersihkan!” perintahnya pada perempuan muda, pelayan pribadinya yang sedari tadi duduk menunduk bagai pajangan di pojok ruang.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Yogi
Sukmajaya. Namanya harum di kalangan gadis-gadis remaja. Sudah pasti ia
tak menganggap Sugirah ada. Andai wajahnya secantik Farah, tubuhnya
seindah Triana, rambutnya setebal dan sehitam Vina dan orang tuanya
sekaya orang tua Pipit, mungkin Yogi akan mengenalnya. Bila beruntung ia
akan menjadi temannya. Yogi sang idola. Si kaya yang elok rupa.<br />
<br />
Sementara
Sugirah bukan hanya tonggos giginya. Namanya saja sudah memancing
ledekan teman sekelasnya. Belum kepalanya yang terlalu besar
dibandingkan tubuh kecil-pendeknya; membuat orang menjulukinya gonteng.
Setiap kali mata Yogi bertemu dengan matanya, remaja ganteng itu
membuang muka, lalu meludah jijik. Di matanya gadis itu laiknya kecoa.
Bukannya Sugirah tak tahu kalau Yogi pantang mengenalnya.<br />
<br />
Namun
gadis itu tak menyerah. Mimpinya sederhana, sekedar berharap suatu hari
pujaannya itu akan memberinya senyum indah. Sepotong senyum saja. Akan
cukup menyembuhkan rasa sakit yang ia tanggung untuk mendapatkannya.<br />
<br />
Rupanya
Yogi mematok harga terlampau tinggi untuk seulas senyumnya. Suatu pagi,
Yogi tiba di gerbang sekolah bersamaan dengan Sugirah. Sang gadis
berniat menyapa. Dengan keringat berlelehan di wajah, sambil menuntun
sepedanya, Sugirah mendekati Yogi. Lelaki muda yang diperebutkan para
gadis di sekolahnya itu merasa terhina. Didorongnya tubuh pendek Sugirah
hingga terjengkang. Gadis itu jatuh bersamaan dengan sepedanya, tepat
di atas genangan air hujan, nyaris tercebur ke selokan. Seragamnya
dipenuhi lumpur. Salah satu sakunya robek tersangkut pedal sepeda.
Sepanjang hari ia menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Meskipun lebih
pahit dari brotowali, kenyataan itu ia telan dalam diam.<br />
<br />
Semenjak
peristiwa itu, mimpinya melihat senyum Yogi terhenti. Setiap pagi ia
bangun dengan hati dipenuhi dendam, wajah tampan itu ingin ia
hancurkan.<br />
<br />
Pagi itu, sekitar pukul 6.30, dengan wajah
asam Sugirah mengayuh sepeda bututnya ke sekolah. Suasana kampung di
pinggiran kota saat itu masih sepi, tak ada sepeda motor, apalagi mobil
berseliweran.<br />
<br />
Semua orang, pelajar dan pegawai,
mengendarai sepeda. Pelajar yang kaya naik sepeda mini warna warni. Ada
yang bersadel panjang dengan stang melengkung tinggi. Ada yang pedalnya
bulat berhias kaca yang bisa menyala di malam hari. Gadis-gadis mengayuh
bangga sepeda mereka yang dilengkapi keranjang di atas roda depan.
Namun Sugirah hanya mengendarai sepeda tua, warna hitamnya sudah pudar,
rantainya karatan, stangnya sedikit bengkok akibat jatuh berkali-kali,
pedal kirinya tinggal separuh membuatnya sulit dikayuh.<br />
<br />
Seperti
biasa Sugirah bersepeda sendiri, jauh di belakang teman-temannya yang
beriringan dalam rombongan kecil-kecil, berdua atau bertiga, berceloteh
dan tertawa-tawa. Rambut tipisnya membuat kepalanya terlihat makin
besar, melambai tertiup angin pagi. Sepasang kaki pendeknya susah payah
mengayuh pedal. Kulit gelap wajahnya berkilat tertimpa sinar matahari.
Mata kecilnya bagai dua goresan arang, menyipit menahan silau. Bibir
ungunya kering, megap-megap memasukkan udara ke paru-parunya, memamerkan
gigi tonggosnya.<br />
<br />
Ketika hendak berbelok ke jalan raya,
remaja itu mendengar rintihan dari selokan di sebelah kiri jalan. Karena
penasaran, ia berhenti. Sepeda ia sandarkan ke pohon kelapa, lalu
pelan-pelan kepala gontengnya ia longokkan ke selokan. Tak ada sesiapa.
Namun rintihan itu kembali ia dengar, kali ini lebih keras.<br />
<br />
Sugirah
berjongkok. Tangannya menyibak daunan ilalang, sesosok tubuh gempal
terlihat meringkuk di sela-sela semak rimbun yang tumbuh di tepian
selokan. Ada bercak-bercak darah berlepotan di singlet dekil yang
dikenakannya. Jantung Sugirah berdebar-debar. Siapakah orang ini,
tanyanya dalam hati.<br />
<br />
“Pak….” Takut-takut Sugirah menyapa.
Lelaki itu diam saja.
“Pak….”<br />
<br />
Lelaki itu pelan-pelan mendongak. Dilihatnya
kepala gonteng Sugirah lewat semak-semak. Ia lega. Anak sekolah,
pikirnya. Semoga ia tidak berteriak, doanya. “Tolong saya, Nduk,”
rintihnya.<br />
<br />
Sugirah menengok sekelilingnya yang mulai
sepi. Teman-temannya sudah tak terlihat lagi, sementara para pegawai
belum berangkat kerja. Tiba-tiba saja ada kekuatan yang membuatnya
mengulurkan tangan menyibak semak makin lebar. Kini ia bisa melihat
kepala lelaki itu, rambut keritingnya berlepotan darah kering. Sekali
lagi lelaki itu mendongak, matanya yang bulat hitam bertemu dengan mata
kecil Sugirah.<br />
<br />
“Tolong saya, Nduk,” rintihnya lagi. “Saya jatuh dari pohon kelapa itu.” Lelaki itu berbohong.<br />
<br />
“Saya akan minta tolong orang kampung, Pak.”<br />
<br />
“Jangan, Nduk. Jangan….”<br />
<br />
“Saya….”<br />
<br />
“Pergilah
ke Pasar Pon. Carilah orang bernama Karjo Gemblung. Katakan kalau aku
jatuh dari pohon kelapa. Di selokan ini. Namaku Freddy.”<br />
<br />
“Saya…”
Mata Sugirah mengerjap berkali-kali. Ia ingat akan doanya yang sering
ia ucapkan dalam kesendiriannya, memohon pada Tuhan agar diberi tempat
yang bisa dituju selain sekolah.<br />
<br />
“Cepat, Nduk.” Meski gemetar suara lelaki itu sangat tegas.<br />
<br />
Tanpa
berpikir lagi, Sugirah meninggalkan tempat itu, menuju Pasar Pon tak
jauh dari sekolahnya. Ia tahu telah terlambat masuk sekolah, namun
hatinya justru senang. Inilah tempat lain itu, pikirnya, doaku
terkabulkan. Untuk apa ke sekolah kalau hanya menjadi bahan ledekan
saja. Untuk apa bertemu Yogi, kalau ia tak menyadari kehadirannya. Kalau
saja ada tempat tujuan lain, ia pasti akan membolos sekolah setiap
hari. Kini alasan itu ia dapatkan.<br />
<br />
Ia juga merasa
dibutuhkan orang. Selama hidupnya, jarang ada orang mau mengajaknya
bicara. Orang itu membutuhkan pertolongnanku, serunya dalam hati, aku
harus menolongnya. Tersengal-sengal remaja itu mengayuh sepeda tuanya.<br />
<br />
Seminggu
kemudian, Sugirah berhenti sekolah. Ia menjalin persahabatan dengan
Freddy, si germo dan sang raja judi. Lelaki yang ia tolong itu. Pemilik
toko kelontong di kota itu merasa berhutang nyawa pada Sugirah.<br />
<br />
Di
belakang toko itulah ia mengoperasikan bisnis yang sesungguhnya. Judi
dan pelacuran kelas tinggi. Setiap hari belasan orang dari berbagai kota
mendatangi toko Freddy. Supaya tidak menyolok, mereka memarkir
kendaraan cukup jauh dari toko Freddy. Sebagian ada yang diantar supir,
diturunkan di suatu tempat, lalu berjalan kaki memasuki toko kelontong
itu, pura-pura membeli sesuatu.<br />
<br />
Sugirah bekerja di sana,
melayani pembeli. Orang tua Sugirah tak kuasa menahan anaknya. Sugirah
muda belajar berbagai ilmu pada guru barunya yang menganggapnya sebagai
hoki. “Aku disediakan kamar di sana, Mbok. Kamar yang bagus, dindingnya
tembok, lantainya tegel hijau, kasurnya besar dan empuk.”<br />
<br />
Sejak itu, Sugirah tak pernah pulang. Ia dianggap anak hilang.<br />
<br />
Freddy
memperlakukan Sugirah secara istimewa. Semua anak buahnya wajib
menghormati remaja buruk rupa itu. Bisnis judi milik Freddy berkembang
pesat. Sugirah belajar dengan cepat.<br />
<br />
Dua puluh lima tahun
kemudian Sugirah mewarisi tahta sang guru, dinobatkan sebagai ratu
dunia hitam di kotanya. Emak adalah panggilan kehormatannya. Perjudian,
pelacuran, pencucian uang dan penadahan barang-barang curian hanya
sebagian dari lahan bisnisnya. Para pembesar kota sering minta
perlindungan Sugirah dari musuh mereka. Polisi tak ada yang berani
menangkapnya karena atasan mereka menjadi pelanggannya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
<br />
“Gimana?
Dia mau bantu?” Yogi penuh harap. Kalau perempuan itu tidak bersedia
menemukan laptopnya yang hilang, nama baiknya terancam hancur dan
pencalonannya sebagai walikota bakal gugur.<br />
<br />
“Tidak tahu, Boss. Dia sedang tidur. Centengnya tak ada yang berani membangunkan.”<br />
<br />
“Dasar goblok! Mestinya kamu bilang kalau aku mau bayar ratusan juta!”<br />
<br />
“Sudah, Boss. Mereka tetap tidak berani.”<br />
<br />
“Kita pergi. Akan saya kirim orang untuk membujuknya. Bila perlu sekalian membawa uangnya!”<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
“Darto! Temukan laptop itu sebelum gelap!”<br />
<br />
“Baik, Mak.” Tubuh besar itu berkelebat tanpa suara.<br />
<br />
Matahari
belum sepenuhnya sembunyi di balik busur langit ketika Darto meletakkan
sebuah laptop berwarna keperakan di atas meja jati bundar. Dua goresan
arang di wajah Sugirah bersinar.<br />
<br />
“Panggil Zebra!”<br />
<br />
Jago komputer dengan berat tubuh cuma 40 kilogram yang dipanggil Zebra itu terbirit-birit masuk ke ruangan majikannya.<br />
<br />
“Ada
perintah apa, Mak?” Sosoknya mirip angkrek, muncul dari balik punggung
kekar Darto. Buru-buru rokok ia matikan, lalu puntungnya ia selipkan ke
saku celana.<br />
<br />
Tangan Sugirah memberi isyarat agar Zebra
duduk di dekatnya. Darto buru-buru menarik sebuah kursi. “Itu tugasmu!”
Dengan dagunya Sugirah menunjuk laptop di atas meja. “Lihat isinya.
Pasti ada yang berharga ratusan juta.”<br />
<br />
Sugirah bertepuk
tangan. Dari mulutnya keluar semacam lolongan. Mata kecilnya menyorot
licik ke layar laptop. Tangan kirinya menarik salah satu laci, meraih
sebungkus rokok, menyorongkan rokok itu ke dekat Zebra. Lelaki kurus itu
menyeringai senang. Bagai belulang menari jemarinya lincah, melompat,
mengetuk, berpindah-pindah.<br />
<br />
Hanya dalam hitungan menit,
Zebra berhasil menemukan sesuatu. Mata ahli komputer itu tak berkedip
memandangi hasil kerjanya. Deretan gambar di depannya itu pastilah yang
dicari majikannya. “Yihaaa…!!!” serunya memecah telinga. Semua yang ada
di dalam ruangan penasaran.<br />
<br />
Sigap laptop ia putar agar sang majikan bisa melihat gambar yang terpampang di layar.<br />
<br />
Mulut
Sugirah terbuka lebar, gigi tonggosnya berkilat-kilat. Mata kecilnya
memelototi belasan gambar dengan nanar. Satu demi satu ingatan perih
masa kecilnya ikut berbaris di layar. Luka hatinya kembali meradang.
Bulu-bulu tengkuk perempuan itu meregang. Bara dendamnya seketika
menyala. Perempuan itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan.
“Kini nasibmu ada di tangan dekilku! Akan segera kau rasakan cabikan
cakarku!” Sugirah bersorak dalam diam. Inilah saatnya membuat si tampan
itu buruk rupa.<br />
<br />
“Sebarkan!” Perintah Sugirah pada Darto, disusul ledakan tawa membahana.<br />
<br />
Tubuh
pendeknya berguncang-guncang, kepala gontengnya bergoyang-goyang, dua
gores arang di wajahnya berkerlipan. Sugirah terlihat seperti mainan
anak-anak yang bisa melompat-lompat naik turun bila tombol di
punggungnya diputar-putar.<br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
<br />
Tabir
malam belum sepenuhnya terkuak saat Darto tergopoh-gopoh menenteng
koran pagi. Di halaman depan tertulis besar-besar berita skandal seks
sejenis yang dilakukan oleh sang calon walikota Yogi Sukmajaya. Lengkap
dengan foto-foto sebagai bukti.<br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
*** </div>
<br />
<i><b>Catatan</b>: cerita ini pernah diunggah di Kompas.com dan diterbitkan oleh Kampung Fiksi dalam kumpulan cerpen Kotak Pandora</i>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-28787435099642924432013-10-03T13:19:00.005+07:002013-10-04T09:16:03.123+07:00Menjangkau Hunian Hijau<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-53UFj-Ta51Q/Uk4j6WSBPPI/AAAAAAAAAjI/xRq0EPOQHuQ/s1600/1239865_10201393239767169_312801222_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="298" src="http://1.bp.blogspot.com/-53UFj-Ta51Q/Uk4j6WSBPPI/AAAAAAAAAjI/xRq0EPOQHuQ/s400/1239865_10201393239767169_312801222_n.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Rumah Eko Prawoto, arsitek ahli bambu dan pendaur-ulang bahan bangunan</td></tr>
</tbody></table>
Kudapati bagian depan rumah temanku gelap gulita. Jangan-jangan ia tidak di rumah. Sewaktu kakiku menapaki halaman, lampunya tiba-tiba menyala.<br />
<br />
Ah, dia di rumah, hanya lupa menyalakan lampu, pikirku lega.<br />
<br />
Sebenarnya temanku bukan lupa. Lampu halaman rumah temanku di kota Melbourne, Australia, itu memang dilengkapi alat sensor; alat untuk mendeteksi gerakan/panas tubuh. Di malam hari, atau dalam keadaan gelap, bila alat itu menangkap gerakan/panas tubuh, secara otomatis lampu akan menyala. Alat semacam itu sudah jamak dipasang di tiap rumah. Gelap, dong! Tidak juga. Sebab penerangan jalan menjadi tanggung jawab pemerintah, dan jarang bermasalah.<br />
<br />
Pemasangan alat semacam itu bertujuan untuk menghemat listrik, yang merupakan salah satu praktek ‘green architecture’.<br />
<br />
Arsitektur hijau – green architecture – sering pula disebut arsitektur bioklimatis atau arsitektur berkelanjutan. Arsitektur hijau merujuk pada bangunan yang dirancang dan dibangun dengan mempertimbangkan iklim dan kelestarian lingkungan serta mengurangi penggunaan air, listrik, dan sumberdaya alam yang tak bisa diperbarui untuk mencapai kenyamanan.
Dibandingkan dengan negara-negara lain Indonesia tertinggal cukup jauh dalam melaksanakan konsep ‘go green’ di tingkat hunian keluarga. Menurut Eko Prawoto, dosen dan arsitek pecinta bambu, prakteknya masih sebatas pada slogan bisnis yang tidak menyentuh persoalan intinya.<br />
<br />
<b>Kesederhanaan sebagai gaya hidup</b><br />
Pada tingkat hunian, bagian terpenting dari praktek ini adalah membatasi konsumsi. Salah satu cara dalam membangun rumah hijau yaitu menerapkan konsep 3R – reduce-reuse-recycle – seperti mengelola sampah. “Jangan segan memakai bahan bangunan bekas yang masih bagus. Misalnya kusen dan daun pintu/jendela. Penting untuk mengadopsi kesederhaan secara sukarela, bukan karena ingin hemat. Kalau ingin hemat, setelah punya banyak uang nanti beda lagi,” papar Eko Prawoto.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-CYe1ztczg7M/Uk0L1aRbeyI/AAAAAAAAAig/HhkAP1yLY0c/s1600/skylight.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://1.bp.blogspot.com/-CYe1ztczg7M/Uk0L1aRbeyI/AAAAAAAAAig/HhkAP1yLY0c/s400/skylight.jpg" width="298" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Skylight: hiasan sekaligus memasukkan cahaya</td></tr>
</tbody></table>
Ia juga mencontohkan perilaku konsumtif yang tanpa disadari merupakan pemborosan luar biasa. “Pemakaian marmer dari Zimbabwe, contohnya. Bayangkan besarnya energi yang dibutuhkan untuk mengangkutnya hingga ke Indonesia.”<br />
<br />
Memang. Bila sudah menyangkut hasrat batasnya hanya langit.<br />
<br />
<b>Ketinggalan jaman dan mahal </b><br />
Di Indonesia arsitektur hijau bukan barang baru. Sejak berabad-abad lalu orang telah memraktekannya, rumah-rumah tradisional menjadi buktinya. Misalnya rumah panggung. Kolong di bawah lantai tidak saja menghindarkan penghuni rumah dari serangan binatang serta pengaruh lembab tanah basah, juga memberi kesempatan angin lalu-lalang menyejukkan ruang di atasnya. Pun rumah tradisional Jawa dengan perpaduan atap tinggi berteritis lebar dan jendela serba terbuka untuk mengurangi panas matahari sekaligus melancarkan sirkulasi udara.<br />
<br />
Di wilayah-wilayah lain, seperti Spanyol, Australia, Pakistan dan India, penggunaan adobe hingga kini masih menjadi alternatif untuk menghemat bahan bakar fossil. Bahan bangunan ini dibuat dengan cara mencetak tanah liat yang dicampur pasir dan dijemur di bawah sinar matahari, tanpa dibakar.<br />
<br />
Dalam perkembangannya, khususnya untuk rumah atau hunian, arsitektur hijau menjadi tidak populer, bahkan cenderung dihindari. Mengapa? Ada dua alasan utama: dianggap ketinggalan jaman dan dinilai mahal.<br />
<br />
Serupa pakaian, kebanyakan orang menginginkan desain rumah yang mengikuti trend. Rumah bukan sekedar tempat bernaung, ia juga simbol status sosial-budaya-ekonomi penghuninya. Hal ini berpengaruh tidak hanya pada rancangan, juga pemilihan bahan bangunan dan kelengkapannya. Bila mampu membayar listrik ribuan watt demi rumah berpenyejuk udara sentral mengapa repot membuat jendela lebar yang – mungkin – akan memasukkan debu, karbonmonoksida atau malah maling sekalian? Bila mampu memasang lelampu di halaman agar terang benderang dan lebih aman, mengapa membiarkannya gelap gulita dan mengundang pencoleng datang?<br />
<br />
Kira-kira hal semacam itu menjadi penyebab orang enggan memraktekkan prinsip-prinsip arsitektur hijau dalam merancang hunian.
Adanya anggapan bahwa hunian go green itu (lebih) mahal juga menjadi hambatan. Prakteknya tidak demikian. Ambil saja salah satu elemen utilitas hunian ini: penghawaan dan pencahayaan. Iklim di Indonesia sangat mendukung, sinar matahari melimpah ruah sepanjang tahun. Prinsip-prinsip penghawaan dan pencahayaan alam bisa (kembali) dipraktekkan tanpa tambahan biaya berarti. Jendela dibuat lebar dengan daun yang bisa dibuka maksimal; untuk keamanan bisa dilengkapi tralis.<br />
<br />
Jendela nako, yang popular di tahun 80-an, sebenarnya ramah lingkungan dan murah, namun kini sudah dilupakan karena dianggap ketinggalan jaman.<br />
<br />
<b>Panen air </b><br />
Di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, orang terbiasa memanen air hujan dan menampungnya ke dalam bak-bak ukuran besar. Di wilayah tandus yang selalu kekeringan di musim kemarau itu air hujan dipakai untuk minum dan masak. Di berbagai negara lain, termasuk Australia, kebiasaan memanen air hujan dilakukan juga, didukung oleh perlengkapan yang banyak dijual di pasar serta mudah dipasang. Di sana, air hujan ini dipakai untuk menyiram tanaman dan mengguyur toilet.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-WD53i9x-LTs/Uk0MJxaMEYI/AAAAAAAAAio/qjleRi3vdvo/s1600/bukaan-pintu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://1.bp.blogspot.com/-WD53i9x-LTs/Uk0MJxaMEYI/AAAAAAAAAio/qjleRi3vdvo/s400/bukaan-pintu.jpg" width="298" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bagian atas pintu tak harus pepat, agar cahaya bisa lewat</td></tr>
</tbody></table>
Pada peringatan ulang tahun ITB yang ke-92, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan bahwa kekurangan air di musim kemarau makin mengancam pulau Jawa yang dihuni oleh sekitar 58% penduduk Indonesia. Dalam kondisi ini, panen air bisa menjadi salah satu solusi, khususnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selain air minum dan memasak.<br />
<br />
Sebagai negara dengan rata-rata curah hujan 2.000 – 3.000 mm/tahun (menurut beberapa sumber telah terjadi penuruan curah hujan rata-rata 1 – 50 mm permusim pertahun) layak mendapat perhatian. Bila seluruh rumah di Indonesia mau memraktekkannya, pasti dahsyat pengaruhnya pada penghematan air.<br />
<br />
<b>Teknologi tepat guna </b><br />
Umumnya orang mengaitkan teknologi tepat guna dengan kemiskinan dan keterbatasan sumberdaya. Salah kaprah ini sudah saatnya diperbaiki. Pada kenyataannya teknologi tepat guna tidak sama dengan low-tech, ia bisa juga high-tech. Contohnya panel surya.
Seperti pendapat Eko Prawoto, “Panel surya itu contoh teknologi tepat guna yang high-tech. Sekarang harganya masih dianggap mahal karena kita masih sekedar konsumen. Dengan kekayaan sinar matahari yang kita miliki, panel surya ini tepat guna. Tidak hanya di wilayah-wilayah yang belum terjangkau listrik, bagi yang mampu berinvestasi, sudah saatnya memakai teknologi ini.”<br />
<br />
Saat ini di pasar sudah banyak dijual panel surya dengan berbagai merk, harga, dan spesifikasi. Konon produk dalam negeri juga mulai mudah diperoleh di pasar dengan harga lebih terjangkau dan kualitas bersaing. Benar bahwa harga panel surya masih mahal bagi kantung rata-rata keluarga Indonesia. Namun untuk hunian di wilayah-wilayah yang belum terjangkau listrik, untuk jangka panjang penggunaan panel surya lebih eknomis dibandingkan penggunaan mesin diesel atau alat lain yang butuh bahan bakar setiap kali hendak dipakai. Apalagi di beberapa wilayah di Indonesia bahan bakar selain sangat mahal juga tidak selalu tersedia.<br />
<br />
“Bila peminatnya melimpah, kemungkinan harga panel surya akan murah dalam waktu tidak lama lagi,” tambah Eko Prawoto.<br />
<br />
<b>Gunakan bahan bangunan lokal</b><br />
Banyak orang tidak menyadari bahwa penggunaan bahan bangunan lokal merupakan bagian penting dalam mendukung hunian hijau. Bila dipraktekkan secara luas dengan penuh kesadaran, dampaknya bisa luar biasa, bahkan mampu memperkuat akar budaya bangsa.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-0UVMl34kY-4/Uk0R_pSYzeI/AAAAAAAAAi4/QKaSwsFR56A/s1600/1236847_10151859508089419_318971204_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://4.bp.blogspot.com/-0UVMl34kY-4/Uk0R_pSYzeI/AAAAAAAAAi4/QKaSwsFR56A/s400/1236847_10151859508089419_318971204_n.jpg" width="300" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Rumah Gadjah Air - foto Mamang Firmansyah</td></tr>
</tbody></table>
“Contohnya penggunaan bambu,” jelas Eko Prawoto, “ketika orang tidak lagi memakainya, kita kehilangan banyak sekali. Di antaranya tradisi budidaya bambu, ketrampilan lokal menganyam dan mengolah bambu, produksi berbagai peralatan pertukangannya, dan merambat ke punahnya matapencaharian berbasis bambu.”<br />
<br />
Masih menurut Eko Prawoto, selama ini kita salah paham terhadap penggunaan kayu sebagai bahan bangunan. Masyarakat Indonesia dihimbau tidak memakai kayu dengan alasan global warming dan deforestasi. “Faktanya, kayu kita dijual ke luar negeri. Indonesia bangga menjadi penyedia kayu dunia sementara negara-negara lain getol melindungi hutan mereka. Arsitektur Indonesia itu bertumpu pada kayu. Ia tumbuh di halaman kita. Sama dengan bambu, bila kita berhenti memakai kayu karena alasan yang keliru, tradisi kayu kita akan hilang, hingga ke hutan-hutannya. Kita terpaksa mengimpor besi dan aluminium dari negara lain. Yang penting adalah memakai kayu dengan bijaksana, menanam lagi setelah menebang, dan menggunakan kayu seumur pohonnya. Artinya, bila menebang pohon umur 60 tahun, kayunya harus dipakai untuk konstruksi atau perabotan yang kuat dipakai minimal selama 60 tahun. Tidak seperti sekarang ini. Pohon umur 60 tahun ditebang untuk dijual ke negara lain, diserut menjadi tripleks yang usianya hanya 3 bulan. Itu kejahatan lingkungan yang tidak kita sadari,” jelas Eko Prawoto panjang lebar.<br />
<br />
Membangun hunian hijau memang bukan trend yang muncul sesaat, ia harus menjadi gaya hidup, dijalani dengan semangat kesederhaan dan penuh kesadaran.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: left;">
<i>Catatan: artikel ini rencananya akan dimuat dalam majalah arsitektur, namun si majalah batal terbit. </i></div>
</div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-3826310878020013282013-09-20T10:02:00.003+07:002013-09-20T10:02:51.752+07:00Mbah Imo dan Pohon-Pohon Melinjo<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-3E8Dzwr6eI8/Uju6AzMnhmI/AAAAAAAAAiI/l-PsNwp9Y6c/s1600/pohon+melinjo.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://3.bp.blogspot.com/-3E8Dzwr6eI8/Uju6AzMnhmI/AAAAAAAAAiI/l-PsNwp9Y6c/s400/pohon+melinjo.jpg" width="292" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi oleh Azam Raharjo</td></tr>
</tbody></table>
Dua tangannya liat dan berkeriput, terulur menggapai tubuh yang bersimpuh di samping ambennya. Kilau cahaya melemah pada sepasang mata rabunnya.<br />
<br />
“Ini Jono, Mak,” si anak mencondongkan tubuhnya, berbisik ke telinga kiri emaknya.
Terdengar helaan napas memburu. Lirih perempuan tua itu menyampaikan pesan terakhirnya, “Kalau emak dipundhut Gusti, emak minta dikubur di bawah pohon melinjo.”<br />
<br />
“Nggih, Mak. Nggih,” ujar Jono, mendekap tubuh renta itu. “Akan saya pilih tempat di bawah pohon paling subur. Di pekarangan belakang,” janjinya.<br />
<br />
Perempuan 77 tahun itu tersenyum samar, lalu gelagepan, napasnya tersengal. Beberapa saat kemudian kepalanya lunglai. Ia meninggal dalam pelukan anaknya.<br />
<br />
Sambil melafalkan doa lelaki tambun berambut keriting itu membaringkan tubuh emaknya yang terkulai tak bernyawa. Digenggamnya dua tangan yang masih hangat itu, diciumnya buku-buku jemarinya yang berbonggol dan keras. Dengan menahan sedu-sedan, Jono meminta istrinya mengabarkan kematian emaknya pada para tetangga.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Mbah Imo dikenal oleh seluruh warga desa. Hingga detik terakhir hidupnya perempuan itu selalu memakai jarit dan kebaya, dengan kendit hitam dililitkan ke perut dan pinggulnya. Hidupnya berawal dan berakhir di sebuah desa di kaki Gunung Merapi.<br />
<br />
Sejak kanak-kanak Mbah Imo telah gemar bekerja. Ia rajin ikut emak dan bapaknya bertani, paling suka menyertai mereka memetik biji melinjo, bunganya yang dinamai kroto dan daunnya yang disebut so. Setelah tenggok-tenggok di dapur emaknya penuh biji melinjo dan kroto, Mbah Imo selalu minta ikut bapaknya, berjalan sejauh 5 kilometer ke pasar di kota, menjual hasil panen mereka.<br />
<br />
Hubungan Mbah Imo dengan pohon melinjo serupa laki-bini. Apalagi setelah suaminya meninggal, saat dirinya tengah mengandung anak kedua, ia bagai mengawini pohon-pohon tinggi-lencir itu.<br />
<br />
Pohon melinjo telah menjadi sumber penghidupannya. Membantunya membesarkan dua anak lelakinya. Yang sulung bernama Hartono, pengusaha sukses di Jakarta. Anak kedua dinamai Jono, tinggal tak jauh dari rumahnya, menjadi guru SD di samping kantor desa.<br />
<br />
Berkali-kali Hartono meminta Mbah Imo tinggal bersamanya. Begitu pula Jono, meskipun cuma guru desa ia sanggup mencukupi semua kebutuhan emaknya. Namun Mbah Imo menolak tawaran mereka, memilih tinggal di rumah gedek hingga meninggalnya.<br />
<br />
“Emakmu ini masih bisa <i>nyonggo urip</i>, ‘<i>Ngger</i>,” kilahnya.<br />
<br />
Untuk melegakan hati anak-anaknya, Mbah Imo membiarkan lantai tanah rumahnya dilapis tegel. Langit-langit pun dipasang di bawah atap, agar bila hujan tidak tampias. Begitu pula pintu dan jendela, diganti dengan yang lebih kokoh.<br />
<br />
Pekarangan rumah Mbah Imo dirimbuni pohon melinjo. Cintanya pada pohon itu membuat Mbah Imo menanami hampir setiap tanah kosong di desa dengan pohon melinjo; dengan seijin pemiliknya. Setiap hari Mbah Imo keliling desa: menanam, merawat, dan memanen pohon-pohon melinjonya.<br />
<br />
Perempuan itu tahu, setelah berumur 5 atau 6 tahun, pohon melinjo dapat dipanen bijinya, setahun dua kali. Antara Mei sampai Juli wajah Mbah Imo semakin berseri-seri. Ia panen besar, setiap hari ke pasar, mengenakan jarit teruntum kesukaannya. Sepulangnya, ia membeli jajanan, dibagi-bagikan pada para pemilik tanah. Uang yang diperolehnya tak seberapa, sekedar ditukar beras, bumbu dapur, dan gula-teh. Namun Mbah Imo tak pernah lupa pada mereka.<br />
<br />
Antara Oktober hingga Desember, Mbah Imo panen biji melinjo lagi. Hasilnya tak sebesar panen Mei-Juli. Biasanya, Mbah Imo akan membeli mainan di pasar, diberikan pada cucu-cucunya atau cucu-cucu tetangga.<br />
<br />
Mbah Imo lebih mengenal polah tingkah pohon-pohon melinjo daripada kebiasaan para tetangganya. Setiap pagi, ketika sedang memetik daun-daun muda dan krotonya, Mbah Imo mengajak pohon-pohon itu berbicara. Saat musim sedang tak ramah, ia paham apa yang harus dikerjakan agar pohon-pohon itu tidak marah dan tetap menghidupinya.<br />
<br />
Tanpa menghitung dan mencatat Mbah Imo tahu, pohon yang telah cukup umur dan sehat, tiap tahun memberinya 100 kilo klathak, biji melinjo yang telah dikupas kulitnya. Belum lagi kulit bijinya, krotonya, dan daunnya.<br />
<br />
Mbah Imo hapal, semua pohon jantan setiap selapan daun-daunnya bisa dipanen, diikat segenggam demi segenggam. Bila hendak memanen so, ia minta bantuan pemuda desa. Si pemuda akan melemparkan tambang ke tengah-tengah batangnya, manariknya kuat-kuat ke bawah, mengikatnya kencang-kencang pada pasak bambu yang dipancang di tanah. Kemudian Mbah Imo dengan sigap memetik kroto dan daun-daun muda. Tangannya lincah melemparkan hasil panen itu ke tenggok di punggungnya. Tanpa meminta, pemuda yang membantunya pasti memperoleh persenan dari hasil penjualannya.<br />
<br />
Hati Mbah Imo melekat pada pohon-pohon yang menjadi perantara bagi dirinya dengan Gusti Sang Pemberi Rizki. Sehabis panen, batang-batang pohon yang kayunya rapuh itu ia usap-usap mesra.<br />
<br />
“<i>Nduk</i>… <i>Ngger</i>… matur nuwun,” ucapnya sepenuh jiwa, seakan tengah membelai anak-anaknya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Dua tahun sebelum meninggal Mbah Imo kerap gundah hati. Satu persatu lahan kosong di desanya dibeli orang kaya dari kota. Pohon-pohon melinjonya ditebangi. Sebagai gantinya ditanamlah berderet-deret kamar, disewakan pada mahasiswa atau pekerja yang butuh kos-kosan. Mbah Imo jadi sakit-sakitan.<br />
<br />
Pagi itu, Hartono datang dari Jakarta membawa temannya, seorang pengembang real estate di berbagai kota. Sang pengusaha tertarik membeli sebidang tanah luas milik Pak Lurah yang terletak di pinggir jalan raya desa.<br />
<br />
Di belakang tanah itu mengalir sungai kecil yang berhulu di lereng Gunung Merapi, di bawah menyatu dengan Sungai Code yang membelah Kota Jogja. Ukuran, lokasi dan topografi tanah itu sempurna, cocok dikembangkan menjadi perumahan mewah. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, kepemilikan tanah telah berpindah tangan.<br />
<br />
“Mak, aku dapat untung besar,” lapor Hartono setelah transaksi terjadi, pulang ke rumah emaknya.<br />
<br />
“Ya, syukur pada Gusti. Untung besar apa, <i>Ngger</i>?”<br />
<br />
“Dari jual beli tanah Pak Lurah, Mak.”<br />
<br />
“Tanah yang mana, <i>Ngger</i>? Pak Lurah tanahnya banyak.”<br />
<br />
“Yang di Dusun Timbulsari, yang di dekat kali itu, di pinggir jalan raya desa.”<br />
<br />
Mbah Imo terperanjat. Nalurinya mengatakan akan ada lagi perubahan besar di desa. Sudah berhektar-hektar sawah dan ladang di desanya berubah menjadi kumpulan <i>gedong magrong-magrong</i> entah milik siapa. Rumah-rumah yang sebagian besar dibiarkan kosong, yang dikelilingi pagar tinggi dengan gardu jaga di gerbang depan.<br />
<br />
“Untuk investasi,” ujar para pemuda desa yang bekerja sebagai satpam di sana.<br />
<br />
“Untuk ngeram istri muda,” kilah yang lainnya, tertawa-tawa.<br />
<br />
Dengan dada berdebar Mbah Imo tergagap bertanya, “Untuk apa? Mau dibangun gedong-gedong juga?”<br />
<br />
Anak sulungnya mengangguk sambil menyesap kopi tubruk seduhan emaknya.<br />
<br />
“Duh, Gusti, tiba juga saat ini. Saat yang aku kuatirkan akan terjadi,” rintih Mbah Imo dalam hati.<br />
<br />
Kecuali pekarangan miliknya, tanah Pak Lurah itu satu-satunya tanah kosong di desa yang masih bisa ia tanami. Tangan-tangannya telah puluhan tahun merawat pohon-pohon yang tumbuh subur di sana.<br />
<br />
“Ngger, jangan lakukan itu. Jangan sekarang ini. Tunggu sebentar lagi kalau emakmu sudah <i>ditimbali</i> Gusti.” Mbah Imo memohon agar anaknya membatalkan jual beli yang telah terjadi.<br />
<br />
Namun daya tak lagi ada walau upaya sudah dicoba. Dengan hati pilu, paginya si sulung berpamitan pada emaknya. Mbah Imo tak mau menerima uang komisi jual-beli yang diberikan untuk menambal luka kecewa.<br />
<br />
Selang beberapa bulan, berbagai alat berat didatangkan untuk menebang pohon-pohon melinjo di atas tanah itu. Suara bisingnya memekakkan telinga.<br />
<br />
Mbah Imo mengawasi penebangan itu dari seberang kali. Ia menggelesot di bawah pohon kelapa, menatap para kekasihnya yang tegak gagah <i>ijo royo-royo</i> itu satu-satu lunglai di tanah.
Air mata Mbah Imo membanjiri keriput pipi. Dua tangannya yang selalu mengelus-elus batang-batang pohon melinjo itu tertangkup di dada, menahan nyeri.<br />
<br />
Setiap kali sebatang pohon terkapar, dada Mbah Imo serasa ditebas juga, lalu berdarah.<br />
<br />
Sejak hari itu, Mbah Imo sakit dan tergeletak di amben kayunya. Ia tak mampu menahan duka. Sebulan kemudian, Mbah Imo dipanggil Tuhan berbarengan dengan pohon melinjo terakhir yang ditebang jatuh oleh tangan-tangan kokoh para pekerja bangunan.<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
*** </div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<span style="font-size: x-small;"><i>Pernah dimuat di sebuah tabloid budaya yang sudah tidak terbit lagi</i></span><br />
<br />
<br />
<i>Keterangan</i>:<br />
Dipundhut Gusti: diambil (nyawanya) oleh Gusti<br />
Nyonggo urip: menyangga (membiayai) hidup<br />
Ngger: dari kata ‘angger’, artinya anak atau bocah<br />
Gedong magrong-magrong: bangunan besar dan mewah<br />
Ditimbali Gusti: dipanggil Tuhan<br />
Ijo royo-royo: hijau subur
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-73352130272183749872013-09-13T14:39:00.000+07:002013-09-13T15:13:39.487+07:00Empat Perempuan<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-hu2chm9L69c/UjK-XVNbb-I/AAAAAAAAAh4/J2I6L7UOjwo/s1600/empat+perempuan+2013.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="http://3.bp.blogspot.com/-hu2chm9L69c/UjK-XVNbb-I/AAAAAAAAAh4/J2I6L7UOjwo/s320/empat+perempuan+2013.jpg" width="276" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi oleh Azam Raharjo</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>Episode 30: Si Hitam Dijual</b><br />
<br />
Hujan masih sesekali mengguyur tanah Jogja di minggu terakhir April 2011. Iroh berlari-lari dari minimarket ke rumah, dilihatnya mendung datang mendadak. Tas kresek berisi sabun cuci piring di tangannya melonjak-lonjak. Ia tak ingin jemurannya – yang hampir kering – kembali basah.<br />
<br />
Meski di rumah, Eyang pasti lupa kanan-kiri, sedang asyik dengan jarum rendanya, membuat ini-itu untuk teman-temannya.<br />
<br />
“Kok gedebukan ada apa?” tegur Eyang, terganggu derap kaki Iroh yang memasuki rumah lewat garasi.<br />
<br />
“Gerimis, Eyaaang. Jemuraaan.” Iroh tak memperlambat langkahnya. Eyang hanya sekejap mengangkat matanya dari benang dan jarum renda.<br />
<br />
Beberapa saat kemudian Iroh muncul ke ruang tengah dengan rambut diikat tinggi-tinggi. Kulit wajahnya memerah sehabis berlari.
“Eyang, tadi saya ketemu Pak Heru di toko. Tanya-tanya mobil hitam. Apa bener mau dijual.”<br />
<br />
Sekonyong-konyong Eyang meletakkan pekerjaannya ke sofa. “Kok dia tahu?”<br />
<br />
“Katanya ada iklannya di koran. Ada nama Nyonya. Tapi Pak Heru nggak yakin kalau itu mobil Eyang. Memang mau dijual, Yang?”<br />
<br />
Eyang membuang napas hati-hati. “Iya. Memang mau dijual.” Suara Eyang seperti gaung yang berasal dari lubang dalam.<br />
<br />
Iroh tak berani lagi bertanya. “Saya hanya diminta menyampaikan.” Ia berbalik, meninggalkan Eyang, ke dapur, menyiapkan makan siang.<br />
<br />
Terdengar suara gemeretak dari atap yang tertimpa deras curah hujan.<br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
“Iklannya udah jadi kamu pasang, ya?” tanya Eyang, mengekor Runi masuk ke kamar, tangannya menjangkau handel pintu, menutupnya.<br />
<br />
“Sudah dari kemarin. Dimuat hari ini. Itu kan maunya Ibu.”
Runi melepas baju kerjanya, menggantinya dengan daster katun biru tosca polos bertali seperti spageti di bagian pundak.<br />
<br />
Eyang mengawasi tubuh anaknya yang masih langsing dan indah walaupun pada bagian-bagian tertentu sedikit menyimpan lemak.
“Kok rasanya berat, ya,” keluh Eyang, nyaris berupa bisikan.<br />
<br />
“Lho? Gimana? Kalau berat ya batal aja. Tadi udah ada yang nelpon. Tiga orang. Baru tanya-tanya harga dan kondisinya, belum nawar.” Di iklan itu dicantumkan nama dan nomor ponsel Runi untuk dihubungi.<br />
<br />
“Kata Iroh, Pak Heru, tetangga kita, juga nanyain. Harganya itu, lho. Nggak sebanding dengan mobilnya. Masih bagus, mulus, tokcer….” Eyang nyaris menangis.<br />
<br />
“Ya gitu kalau mobil tua dilepas di pasar. Makanya, sebenarnya aku mau cari kolektor, orang yang bisa menghargai mobil bukan dari umurnya, tapi dari kondisinya. Gimana?”
Sehabis mengikat rambut, Runi meraup bajunya untuk dibawa ke belakang.<br />
<br />
“Kamu udah bayar untuk iklan berapa kali?”<br />
<br />
“Tiga kali, persis pesen Ibu. Hari ini dan selanjutnya selang dua hari. Gimana? Mau dibatalkan? Asal kita nggak minta balik uangnya, pasti bisa.”<br />
<br />
Si Ibu mengikuti anaknya ke belakang. “Harganya itu lho. Rendah banget.”<br />
<br />
Runi menahan tawa. Sudah berkali-kali dia menjelaskan pada ibunya kalau mobil tahun 80-an itu tanggung umurnya – apalagi cukup besar cc-nya – pasti ditaksir sangat rendah oleh pembeli biasa.<br />
<br />
“Kalau Ibu belum rela melepas, sebaiknya jangan dijual. Dirawat aja. Toh Mas Kuncung masih sanggup mbawa jalan-jalan seminggu sekali dan ngrawat tiap bulan. Dana juga… nggak ada masalah kan?” Runi duduk di kursi makan, meletakkan secangkir kopi yang ia seduh sendiri. “Duduk, Bu. Mau aku buatin apa? Coklat panas apa teh?” Runi bangkit dari kursi, memandang ibunya yang hanya berdiri di ambang pintu antara ruang makan dan ruang belakang.<br />
<br />
“Air putih aja,” jawabnya, menarik kursi dan mendudukinya. “Maksud Ibu, kalau mobil itu dijual, ongkos perawatannya bisa ditabung. Bisa untuk macam-macam. Bisa untuk Dea.”<br />
<br />
“Waaah… kok Dea. Ibu lupa, ya. Dea itu kaya. Deposito dari uang asuransi kecelakaan Mas Iwan nggak pernah disentuh. Bunganya aja sekarang udah ngumpul lumayan banyak.”<br />
<br />
“Ibu nggak butuh apa-apa. Makan ngikut kamu aja udah kekenyangen.” Eyang tertawa. “Uang dari adik-adikmu juga cuma buat Iroh, arisan, beli buku, dan sekarang beli benang.”<br />
<br />
“Apa buat Iroh, aja. Buat bantu adiknya beli mesin jahit.” Runi ingat kalau Iroh berniat membelikan mesin jahit untuk Karti yang mengambil jurusan busana.<br />
<br />
“Buat Yarti juga. Dia butuh oven dan mixer katanya,” tambah Eyang. “Tapi… kalau nanti Yarti jadi nikah setelah lulus? Gimana?”<br />
<br />
“Udahlah, Bu. Yang penting Ibu mantep dulu. Mau dijual atau mau dirawat. Soal ngasih modal ke adik-adiknya Iroh itu urusan beda lagi. Kalau kita udah niat bantu orang, pasti jalannya akan dimudahkan.” Runi menghabiskan kopinya. “Aku harus nyiapin materi buat pelatihan besok, Bu. Kita bicarakan nanti lagi, ya. Tapi tolong Ibu putuskan, kalau mau dibatalkan aku bisa telpon korannya. Ya?”<br />
<br />
Eyang mengangguk, mempermainkan gelas di depannya yang masih penuh. Meskipun suaminya tidak punya pensiun, Sekar tidak pernah kekurangan. Sepeninggal Mas Aji, semua setuju menjual rumah keluarga. Anak-anaknya tahu itu rumah warisan; bila dijual hasilnya seharusnya dibagi berempat, mau sesuai agama atau berdasar kesepakatan. Ternyata tiga anaknya memberikan seluruh uang hasil penjualan pada sang bunda. Uang itu didepositokan, bunganya untuk membayar premi asuransi kesehatannya. Ia lalu tinggal bersama Runi, saling menemani, sekalian membantu menjaga Dea.<br />
<br />
Cara hidup Eyang sederhana, juga hemat. Namun akhir-akhir ini – karena harga-harga kebutuhan harian membubung tinggi – Eyang ingin mengurangi pengeluaran yang tidak penting; yang menurutnya cenderung sebagai pemborosan. Salah satunya biaya pemeliharaan Si Hitam.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
“Runi, barusan Pak Heru ke sini. Nanyain mobil.” Eyang menelepon anaknya.<br />
<br />
“Oh? Ibu kasih lihat mobilnya? Ibu bilang apa?” Runi berbisik, menyingkir ke dekat pintu keluar. Salah satu narasumber sedang presentasi di depan peserta pelatihan.<br />
<br />
“Ibu bilang kalau kita masih ragu-ragu. Ibu nggak nyebut harga. Tapi dia udah nawar.” Eyang menyebutkan harga yang diajukan tetangganya itu.<br />
<br />
“Walah, Bu. Itu kan sama dengan harga laptopku.” Untung Runi bisa menahan tawa dan menjaga suaranya tetap rendah. “Terus gimana?”<br />
<br />
“Cuma gitu aja. Dia minta kita cepet-cepet ngabari. Setuju atau nggak.”<br />
<br />
Runi meminta ibunya bersabar, menunggunya pulang. Ia akan berusaha mencari pembeli yang sepadan dengan kualitas Si Hitam.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
** </div>
<br />
Runi menutup pintu belakang mobil dengan pantatnya. Tangan kanannya menenteng tas kerja dan tangan kirinya mendekap sebendel dokumen lekat ke dada. Detak sepatunya terdengar lebih cepat dari biasa. Perempuan itu jelas-jelas ingin segera masuk ke dalam rumah.<br />
<br />
“Ada kabar baik. Pak Handito mau membeli mobil Ibu,” lapor Runi pada ibunya.<br />
<br />
Iroh buru-buru mengambil alih barang-barang majikannya, meletakkannya di atas meja kerja.<br />
<br />
“Harganya dua kali lipat dari harga pasar.”<br />
<br />
“Nak Handito? Bapaknya Priyo?” seru Eyang, matanya membeliak.<br />
<br />
“Siapa lagi?” Senyum Runi lebar.<br />
<br />
“Kamu telpon Nak Handito?”<br />
<br />
“Ya. Memang kenapa? Orang mau jualan. Dulu, waktu Priyo nyupiri Ibu, dia bilang kalau bapaknya ngincer mobil itu. Mau dibangun buat dikoleksi. Untung aku ingat.”<br />
<br />
“Waaah… kamu telpon dia? Kapan?” Eyang terkesan tidak peduli pada mobilnya yang ditawar dengan harga tinggi, justru lebih tertarik pada anaknya yang menelepon si pembeli.<br />
<br />
“Tadi siang. Pas istirahat makan. Dia malah cerita koleksinya. Ada Impala tahun 50-an, Holden dan Fiat tahun 60-an. Ada satu lagi yang aku nggak ingat.”<br />
<br />
“Ibu mau telpon Nak Handito. Biar mobilnya diambil aja. Sekarang. Bayarnya besok-besok nggak apa-apa.”<br />
<br />
“Bu. Jangan telpon dulu. Sabar.”<br />
<br />
Serupa elang yang melihat anak kelinci sendirian di tengah padang rumput, Eyang tak bisa ditahan. Tangan kirinya cekatan meraih gagang telepon. “Tolong, nomer Nak Handito,” pinta Eyang pada Runi yang terkelu dan terkesima menatap ibunya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***<br />
<br />
Episode 1-30 pernah dimuat di Oase-Kompas.com dan sebagian juga ada di <a href="http://www.kampungfiksi.com/2011/10/empat-perempuan.html">Kampung Fiksi</a></div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2136808397578530804.post-75952624908587764202013-09-10T20:13:00.000+07:002013-09-10T20:17:17.468+07:00Bogel dan Loreng<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-9QKb59drss8/Ui8aiPsPDSI/AAAAAAAAAho/iXuaQdOWI4g/s1600/cat_dog_fight.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="266" src="http://3.bp.blogspot.com/-9QKb59drss8/Ui8aiPsPDSI/AAAAAAAAAho/iXuaQdOWI4g/s400/cat_dog_fight.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.catplanet.co.uk/archive/Front-Page-Scroller/Dogs-Beat-Cats-in-the-Popularity-Stakes.html">Sumber gambar</a></td></tr>
</tbody></table>
Gara-gara Bogel dan Loreng, orang-orang di kampung Asri tidak bisa tidur nyenyak. Sudah beberapa hari, siang dan malam, dua ekor binatang itu bertengkar. Mereka berebut kandang.<br />
<br />
“Hei! Loreng! Pergi sana! Ini bukan kandangmu!” teriak Bogel ketika ia melihat Loreng kembali mengendap-endap di dekat kandang.<br />
<br />
“Enak saja! Memangnya ini punyamu?” balas Loreng tak mau kalah.
Walaupun tubuh dan taringnya lebih kecil, Loreng berani menantang Bogel. “Percuma jadi kucing liar kalau tak berani unjuk taring melawan anjing kurapan tak bertuan.” Loreng menepuk dadanya yang penu panu.<br />
<br />
“Dasar kucing liar tak tahu diri. Pergi sana! Kamu dekil dan bau!” Bogel menyalak dengan garang. Keempat kakinya mengangkangi pintu kandang. Taring-taringnya dipamerkan.<br />
<br />
Loreng tak gentar. Ia menggerung-gerung tanda menantang. Bulu-bulunya tegak mengembang. Cakar-cakarnya siap disabetkan.<br />
<br />
"Bogeeeel…! Loreeeeng…!” Tiba-tiba dari belakang Loreng muncul Prengil, anjing betina si pemilik kandang. “Kenapa bertengkar melulu?” Dengan manis Prengil mencoba menenangkan.<br />
<br />
“Jangan coba-coba kamu, ya!” Loreng membentak Prengil. “Pergi sana. Ini urusan para pejantan!” Lanjut Loreng dengan mata melotot dan kumis meregang.<br />
<br />
“Aduuuhh… ada apa siiihhh…? Kalian ini pada ngeributin apa? Nggak kasihan sama bayi Bu Minah yang sedang sakit? Dia nggak bisa tidur gara-gara kalian ribut melulu siang malam.” Prengil yang baik hati mendekati Loreng pelan-pelan.<br />
<br />
“Pergi kamu! Betina bisa apa!” ejek Loreng.<br />
<br />
“Lho, ini kan kandangku, yang dibuat tuanku untuk aku.” Prengil tidak terima diusir.<br />
<br />
Melihat sahabatnya diserang tanpa alasan, Bogel semakin panas. Ditubruknya Loreng dengan ganas. Loreng yang liar berkelit dan mengeong hingar bingar. Bogel menyalak dengan galak. Dua binatang itu kembali berperang. Seisi kampung terganggu suara gaduh dan debu beterbangan.<br />
<br />
“Sudah! Sudah! Sudaaaaahhhh…!!!” Prengil mencoba melerai. “Kalian boleh tinggal di kandangkuuuuuuuuuu…!!!” Prengil hilang kesabaran dan melolong kuat-kuat.<br />
<br />
Ajaib. Lolongan Prengil yang panjang mampu menghentikan perkelahian. Mereka bertiga saling berpandangan. Nafas Bogel dan Loreng masih terengah-engah dan mata mereka masih merah.<br />
<br />
“Kalian berdua boleh tinggal di kandangku.” Prengil menatap Bogel dan Loreng bergantian. “Kalau Loreng mau, nanti aku kenalkan pada tuanku. Dia baik hati, mungkin kamu boleh tidur di garasi.” Prengil sebenarnya tidak tahu pasti apakah tuannya mau menerima Loreng yang tak jelas asal-usulnya.<br />
<br />
“Kamu janji?” Suara Loreng berubah ramah.<br />
<br />
“Iya, Loreng, aku janji. Tapi….” Prengil menoleh ke rumah tuannya.<br />
<br />
“Tapi apa?” Suara Loreng kembali meninggi.<br />
<br />
“Tuanku tidak suka kucing dekil kayak kamu.” Prengil memandangi sekujur tubuh Loreng yang kotor penuh debu.<br />
<br />
Loreng sebenarnya merindukan kedamaian dan elusan tangan seorang tuan. Ia segera menjilati sekujur tubuhnya agar semua debu dan kotorannya hilang. Dulu Loreng pernah hidup tenang di rumah seorang tuan. Namun darah muda Loreng tak mau dikekang. Ia lari menerobos pagar lalu hidup di jalanan.
Kini Loreng merasa lelah berkelana sebagai kucing liar. Sudah terlalu lama ia berpindah-pindah dari satu teritisan ke teritisan serta mengais-ngais tong sampah untuk makan.<br />
<br />
Ketika sampai di kampung Asri dan melihat Prengil hidup nyaman di dalam kandang, hati Loreng menjadi panas karena dengki. Kemudian Loreng membuat ulah agar Prengil takut dan melarikan diri. Tapi ternyata Prengil punya teman, Bogel, anjing liar yang kerap datang mengunjungi.<br />
<br />
“Aku tidak mau tinggal di kandangmu, Prengil.” Bogel memecah keheningan.<br />
<br />
“Lho? Kenapa? Kandangku cukup besar untuk bertiga.”<br />
<br />
“Aku lebih suka bebas.” Bogel memandangi tubuhnya sendiri yang kecil namun kokoh dan muda.<br />
<br />
“Lalu kenapa kamu bertengkar sama Loreng rebutan kandang?” Prengil terheran-heran.<br />
<br />
“Aku nggak suka caranya mengendap-endap tiap malam, mau merebut kandangmu.”<br />
<br />
“Aku kedinginan!” Loreng kembali meradang.<br />
<br />
“Sudah. Sudah.” Prengil mencegah kembalinya pertengkaran. “Sekarang maumu apa, Bogel?” tanya Prengil.<br />
<br />
“Aku mau pergi. Aku tidak butuh tuan. Aku bisa cari makan sendiri.” Bogel memandangi Prengil dengan lembut. “Kalau aku kangen, aku akan main ke sini.” Bogel tersenyum, memperlihatkan ujung-ujung taringnya yang putih tajam. "Kamu sebaiknya baik-baik sama Prengil. Awas kalau kamu curang." Bogel menatap Loreng. Kemudian anjing tak bertuan itu membalikkan badannya dan melangkah pergi meninggalkan Prengil dan Loreng.<br />
<br />
“Hati-hati ya, Bogel.” Prengil memandangi kepergian temannya. Prengil yakin, Bogel yang terlahir tanpa tuan itu bisa menjaga dirinya sendiri.<br />
<br />
“Hei! Aku masih di sini lho….” Loreng mengibaskan ekornya pelan. “Maaf ya, Prengil, aku sudah bicara kasar dan menyakiti hatimu.”<br />
<br />
“Nggak apa-apa. Aku tahu kamu cuma kesepian dan butuh perhatian. Kamu juga biasa main kasar karena kamu kucing liar.” Prengil penuh pengertian.<br />
<br />
“Seperti kucing garong ya?” canda Loreng.<br />
<br />
Prengil dan Loreng tertawa bersama. Mereka kemudian berteman.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
Endah Raharjohttp://www.blogger.com/profile/03645756585023929576noreply@blogger.com0