Jumat, 16 Maret 2012

Berteman (bukan) Ala Kebatinan

Saya dan anak  - salah satu teman terhebat-terdekat
Tidak mudah saat harus menerima kenyataan bahwa teman saya marah karena hal-hal yang tidak jelas. Ya, tidak jelas, sebab saya benar-benar tidak tahu penyebab kemarahannya itu. Saya hanya bisa menebak-nebak. Jangan-jangan karena sesuatu yang saya ucapkan. Mungkin karena guyonan saya keterlaluan. Jangan-jangan karena saya terlalu perhatian sampai membuat dia seperti digerecoki. Mungkin... hadeeehhh... ada puluhan kemungkinan.

Saya terlalu sering menduga-duga sebab-musabab suatu persoalan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Saya yakin tidak sendirian. Banyak orang melakukannya. Dalam suatu hubungan, termasuk pertemanan, menduga-duga bukan pilihan bijaksana. Anak saya beberapa tahun lalu pernah bilang sesuatu, entah dia dapat dari mana, kayaknya dari film.

Katanya, "Assumption is the source of all fucked-up." Kemudian dia melanjutkan, "Assume is making an 'ASS' out of 'U' and 'ME'..."

Wah! Genius juga anak saya itu, pikir saya. Ya, dia salah satu teman terbaik saya.

Terlalu sering kita (maksudnya 'saya', cuma malu kalau ngaku-aku) berasumsi atas perasaan atau pikiran atau penilaian orang lain. Mungkin kalau benar-benar "orang lain" tidak apa-apa, tidak akan ada dampaknya, apalagi kalau cuma orang yang berseliweran di jalanan. Namun bila dugaan itu kita bidikkan pada teman, akibatnya justru bisa menambah ruwet saat sedang ada persoalan. Kita... waaahhh... maksudnya 'saya'... Diulangi aja. Saya sering mengalami, teman (dekat) saya tiba-tiba melakukan sesuatu yang saya rasakan tidak nyaman. Dia sepertinya marah. Tapi saya tidak tahu alasannya. Saya lalu merasa atis, nelongso, nggrantes... duuuh... itu semua istilah Jawa. Artinya kira-kira 'feeling down', gitu. Supaya rasa sedih itu tidak berlarut-larut, saya putuskan saja langsung bertanya ke teman itu. Ada apa kok tiba-tiba you send me to the dog house. Kenapa kok I am left alone in a stinky dungeon. Apa salahku hingga kau membuang mukamu... duuuh... muka kok dibuang-buang, kalau disambar kucing gimana, coba?

Kalau teman saya itu memang seorang teman, bukan sekedar kenalan, pasti dia akan menjawab, cepat atau lambat... lama atau kilat. Kalau masih marah mungkin jawabannya agak lama, nunggu sampai rasa yang terasa nyesek di dada (ada nggak, ya, rasa marah yang nyeseknya di pinggul?) itu hilang atau berkurang.

Ini tulisan judulnya nyebut-nyebut kebatinan, tapi kok sama sekali nggak ada kata-kata 'batin', ya? Padahal udah panjang... Sabar... sabar... Udah berasumsi aja, saya disangka asal bikin judul...

Sumber Ilustrasi
Masih sejalan dengan 'ass out of u and me' tadi, saya sering juga membatin, berdialog dengan diri sendiri - jadinya monolog, dunk! Halaaaah...! Yah, semua orang melakukan itu. Membatin sesuatu yang kita mau orang tahu alias berharap orang lain bisa membaca isi hati dan pikiran kita. Berasumsi bahwa laku tubuh kita, body language, isyarat, gesture... apa lagi yaaa... bisa sepenuhnya dimengerti oleh orang lain - terutama teman atau istri atau suami atau anak atau adik-kakak. Termasuk juga sindiran halus, kata-kata bersayap, omelan tidak jelas. Teknik 'kebatinan' ini juga kurang bijak diterapkan dalam membangun pertemanan yang kokoh. Sebab bangunan pertemanan yang kuat, indah dan tahan lama itu butuh alat-alat nyata, yang tidak hanya bisa dirasa, tapi harus bisa diraba, dilihat mata dan didengar telinga; bila perlu terendus hidung.

Kalau ada yang marah sama saya, bilang saja, "Endah, kamu cerewet banget, ngomong melulu! Diem 'napa... bau' kamu..." Misalnya begitu. Saya - mungkin - akan tutup mulut, terus gosok gigi, terus... ngomong lagi...

Intinya, sudah lama saya memutuskan mengurangi teknik berasumsi dan cara-cara ala kebatinan dalam berteman. Tentunya juga bersuami, bersaudara dan beranak (kayaknya kalau dipakai untuk kata 'anak' maknanya jadi beda...???). Kalau saya merasa tidak enak hati pada teman, saya usahakan langsung menyampaikan. Kalau ada yang salah, saya insya allah akan minta maaf... Terkecuali kalau saya memang ingin putus hubungan... Itu lain soal.


**

Ditulis untuk diri sendiri dan seorang teman yang tengah gundah.

4 komentar:

Nathalia mengatakan...

kalau untuk memutuskan hubungan berarti boleh tiba2 menghilang, gitu ya Mba? :D

Endah Raharjo mengatakan...

heheheheee... itu mungkin salah satu teknik memutus hubungan. ada banyak cara lainnya, bawa lari dulu BB-nya wuahahahahaaa... terus baru ngilang :-)

Nathalia mengatakan...

bawa lari BB nya? hmm.. gimana kalau mobilnya aja? #eh lupa, suri belum bisa nyetir :)))

Endah Raharjo mengatakan...

Weeeeh... kalo mobil kegedean, cinta pergi, Suri masuk bui :)