Minggu, 05 April 2015

Chloe: Membayar Perempuan untuk Menggoda Suami


Saya menonton film ini, Chloe, dua kali. Jelas karena Liam Neeson memerani tokoh utamanya, David Stewart. Lain tidak! Pertama nonton saya sama sekali tidak terkesan dengan kisahnya. Biasa. Apalagi akhir kisahnya tidak fair untuk Chloe. Kedua kalinya, saya terilhami untuk berbagi sesuatu - yang saya pelajari dari film ini - dengan pembaca yang kesasar ke blog saya ini.

Diklaim sebagai sexual thriller, film ini menceritakan sepasang suami istri yang memasuki usia paruh baya, David dan Catherine Stewart (diperankan oleh salah satu aktris favorit saya pemenang Oscar 2014: Julianne Moore). Mereka sukses dalam karir, David sebagai profesor dan Catherine sebagai dokter kandungan. Tanpa mereka sadari, David dan Catherine saling menjauh akibat terhisap kuat oleh derasnya arus sukses pekerjaan masing-masing. Sebagai profesor David populer di kalangan mahasiswinya. Siapa yang tidak termehek-mehek punya dosen sekeren Liam Neeson? Sebaliknya Catherine kerap harus mendengarkan curhat para pasiennya tentang masalah hidup mereka. Memang enak jadi dokter?

Hubungan mereka memburuk semenjak David menghindari pesta kejutan yang dibuat Catherine untuk merayakan ulang tahun suaminya itu. Sebenarnya David sudah tahu istrinya mengundang sahabat-kerabatnya ke rumah, saat ia sedang berada di luar kota untuk seminar. Agar terhindar dari pesta yang tak ia sukai itu, David berbohong bahwa dirinya ketinggalan pesawat. Catherine curiga David selingkuh dan menghabiskan malam bersama kekasihnya.

Keeseokan paginya, ketika masing-masing sedang hendak berangkat kerja, Catherine mencuri lihat sebuah MMS yang masuk ke ponsel David. Voila! Kecurigannya makin parah saat dilihatnya foto David berdua dengan gadis muda, mahasiswinya.

Konflik berawal dari sana.

Kemudian kisah berkembang.

Catherine menyewa seorang gadis panggilan bernama Chloe untuk menyamar sebagai mahasiswi dan menggoda suaminya. Chloe bersedia.

Namun tulisan ini bukan tentang film itu. Ini tentang pasangan suami istri, entah yang baru saja menjalani bulan madu, baru mendapat bayi cantik mungil sehat menggemaskan, baru membeli rumah, maupun yang sudah sukses seperti David dan Catherine.

Perjalanan sebuah perkawinan tidak pernah semulus janji setia suami-istri di depan naib atau pendeta. Pun tak bakal seindah foto pengantin. Selalu ada lubang menjebloskan, gundukan menghadang, kelokan menyesatkan, tanjakan memberatkan bahkan jembatan putus yang memaksa harus berbalik dan mencari jalur alternatif atau nekat menuruni tebing dan menyebrangi sungai – yang mungkin berarus kuat, dalam dan penuh batu-batu tajam.

Perjalanan pernikahan memang berat, namun tidak berarti seluruhnya menyedihkan, memilukan dan sakit. Sudah pasti tidak selalu menyenangkan, membahagiakan dan nikmat. Ia campuran antara sedih-senang, bahagia-pilu dan sakit-nikmat.

Agar campuran berjuta rasa itu menjelma musik yang harmonis dibutuhkan komunikasi dua arah yang jujur, terbuka dan dijaga. Terus menerus. Pantang menyerah – yaaa… kecuali kalau memang ingin pisah!

Seandainya David mau bicara jujur pada Catherine bahwa dia tidak suka pesta ulang tahun – sebab itu mengingatkan dirinya makin tua – mungkin Pak Dosen itu tidak perlu susah payah mencari cara agar terlambat tiba di rumah. Jika Catherine menahan hati cemburu dan memilih bertanya pada suaminya tentang gadis muda yang ada dalam fotonya itu, mungkin ia tak perlu membayar Chloe untuk mengetahui bahwa suaminya selingkuh. Biasa kalau seorang dosen sering diminta foto oleh atau menjadi idola para mahasiswinya. Aih! Kebetulan saja suami saya dosen!

Komunikasi terbuka dan jujur tidak turun golong-golong teplok ke pangkuan suami istri. Ia harus dipelajari, diakrabi dan yang terpenting dijalankan. Bersama. Berdua. Mustahil sendiri-sendiri, apalagi hanya sepihak. Komunikasi terbuka dan jujur wajib dilandasi baik sangka. Kalau ada prasangka buruk, curiga, segara minta maaf setelah persoalannya didudukkan dengan benar. Bahkan bila bersikap dan berkata jujur itu menyakitkan, tetap harus ditunjukkan. Supaya bisa mencari jalan tengah bila pasangan tidak mau menerima. Supaya beban bohong tidak menumpuk dan akhirnya pernikahan itu mati tertimbun kebohongan mereka sendiri.

Sebutir demi sebutir komunikasi terbuka dan jujur dirangkai bersama. Hingga lambat laun bicara dan bersikap jujur dan terbuka pada pasangan merupa hiasan terindah dan termegah sebuah perkawinan. Dan hidup sebagai pasangan suami istri akan nikmat. Menentramkan. Lalu masing-masing bakal awet muda.

Bila – karena beratnya persoalan – pasangan suami istri harus berpisah, tetap saja komunikasi terbuka dan jujur mempermudah proses dan mengurangi rasa sakit. Percayalah!

***

Tidak ada komentar: