Rabu, 06 Maret 2013

Mia Terseret Arus Cerita

Sumber: film dokumenter tentang pengungsi Burma
Cerita panjang – cerber atau novel atau apapun namanya – yang saya juduli ‘Tembak Di Tempat’ ibarat telur yang nggak juga menetas meskipun sudah dikerami selama 2 tahun. Wuih! Kalau menetas jangan-jangan nanti menjelma dinosaurus….

Tembak Di Tempat (TDT) ini hasil kegiatan J50K tahun 2011. Dulu, saya pingin banget menulis cerita tentang ‘pengalaman lapangan’ berdekatan dengan pengungsi di perbatasan barat-utara Thailand-Burma. Bayangan saya bakal asyik menulisnya. Memang asyik, sebab saya jadi membaca-baca laporan proyek, artikel, dan buku (fiksi dan non-fiksi) yang berkaitan dengan konflik di kawasan itu; juga mewawancarai teman-teman kerja dan memelototi foto-foto yang kualitasnya kurang mantap karena diambil dengan tergesa di sela-sela urusan pekerjaan.

Oh, ya… ketika mulai menulis TDT ini, saya sering mencuri-curi waktu kerja, sampai Bos saya tahu kalau saya punya ‘proyek sampingan’. Untungnya dia malah suka, bahkan membelikan beberapa buku untuk memperkaya wawasan saya.

Jadi proses menulis TDT ini saya awali dengan semangat 45. Selain itu, waktu itu saya sedang sangat ingin belajar menulis banyak tokoh dalam sebuah cerita, terilhami oleh novel-novel ‘besar’ yang saya baca.

Ternyata… amboi… ternyata. Menulis cerita dengan banyak tokoh – yang peranannya sama-sama penting – sulitnya berlipat-lipat. Tiap-tiap tokoh sudah saya rinci: tanggal/tahun/tempat lahir, pekerjaan, nama orang tua/saudara kandung, hobi, pendidikan, ciri-ciri fisik, kebiasaan, dan segala macam atribut yang bisa memperkaya karakter mereka. Tetapi semua rincian itu sering timbul-tenggelam terseret arus perkembangan cerita.

Mia, misalnya, si Aku yang menuturkan kisahnya. Dia adalah perempuan dewasa yang cenderung dingin, cuek, menahan diri (tertutup) terhadap lelaki, tidak suka dandan, punya hobi merajut (yang agak aneh untuk anak muda), membaca komik, dan mendengarkan musik klasik. Namun dalam cerita sepanjang 20 bagian itu (yang sudah rampung saya tulis dan masih ada beberapa bagian lagi hingga tamat) saya sama sekali belum pernah menyebutkan hobi merajutnya! Pun tak ada secuil kalimat yang menceritakan si lajang dari Jogja itu membaca komik. Konyol, bukan? Karakternya yang dingin itu juga baru terjelaskan dalam bagian 14, saat ia bertemu dengan Ronn. Namun, menurut saya, penjelasan itu dangkal dan ‘numpang lewat’, kurang mantap. Itulah yang saya maksud dengan ‘timbul tenggelam’.

Bukan hanya Mia saja. Setelah saya baca ulang, sebelum meneruskan menulis bagian 21, tokoh-tokoh lain seperti Tim, Rudi, Tong Rang, Naing Naing, dan Ronn seolah terbenam dalam plotnya. Tim, Mia, Tong Rang, dan Ronn punya sejarah hidup yang maunya… mau saya… akan jadi sub-plot. Namun, masih menurut saya, mereka justru hilang di antara tumpukan sub-sub-plot itu. Hadeeeh…!

Karena sudah mencapai 20 bagian (masing-masing bagian sepanjang kurang-lebih 1.500 kata), beberapa hal tentang tokoh-tokoh itu terpaksa tidak saya ungkapkan dalam cerita. Sudah terlambat! Artinya karakter mereka jadi berbeda dengan keinginan awal saya. Tentu saja saya kecewa. Paling tidak rencana saya untuk menceritakan mengapa Mia memilih merajut untuk mengisi waktu luangnya tidak kesampaian.

Mengapa sampai begitu? Entahlah…. Mungkin jawaban yang paling masuk akal adalah saya masih harus banyak belajar menulis, terutama menguasai teknik-teknik pengembangan karakter para tokohnya agar mereka tidak tertutup oleh jalan ceritanya. Sebab salah satu elemen terpenting cerita adalah karakter para tokohnya.

Meskipun begitu, cerita yang saya nilai bantat itu rupanya disukai beberapa pembaca. Tidak banyak, jumlah mereka bisa dihitung dengan jari tangan kanan. Dan yang membuat saya sukaaa… salah satu pembaca ‘setia’ bisa menangkap premis atau sesuatu yang mendasari kisah TDT ini: drama yang dilakoni orang-orang yang membantu para pengungsi, bukan kisah konflik di perbatasan Thailand-Burma.

Untuk para pembaca itu, saya berhutang terima kasih. Karena mereka, saya tetap bersemangat meneruskannya. Meskipun tidak banyak, bagi saya, pembaca – yang menikmati cerita saya – adalah ratu dan saya senang melayani mereka.

***

2 komentar:

Jejak Nomadenku mengatakan...

Mbak Endah raharjo, saya termasuk telat membaca karya Njenengan. (Saya baru belajar internetan. Beberapa kali saya komen.di sini ternyata tak terkirim)
Saya tahu pertama kali karya Njenengan di Kompas. Lelaki berlongyi biru. Lha saya jatuh cinta dg karya Njenengan. Saya nguber sampai di archi text ini. Saya baca hampir semua. Saya juga nyari sampai Baltyra. Dan saya makin suka karena.bisa baca banyak tulisan Njenengan. Matur nuwun Mbak Endah...

Endah Raharjo mengatakan...

Manis Boleh, saya tersanjung, nih :-)
terima kasih banyak sdh membaca cerita2 sy di sini dan di tempat2 lain, jelas menambah semangat saya menulis lbh banyak lagi. Semoga bs dinikmati.