Sumber Gambar |
Dua anaknya sudah tidak lagi memerlukan perhatian. Yang sulung sudah bekerja dan yang bungsu baru mulai menulis skripsi. Sebelum suaminya meninggal, lebih 13 tahun lalu, ketika usianya belum genap 39, Lili hidup teramat nyaman dan serba berkecukupan. Suaminya, dulu, konsultan hukum terpandang. Lelaki tampan dengan tubuh sangat prima. Hampir semua cabang olah raga ia kuasai. Namun nasib punya cara yang mustahil ditebak untuk menambahkan atau mengurangkan sesuatu pada kehidupan seseorang. Sebuah kecelakaan tragis di jalan bebas hambatan merenggut nyawa suami Lili. Semua orang tercengang, lelaki segar-bugar yang doyan olah raga itu tak berumur panjang.
Sejak itu grafik kehidupan Lili, terutama kondisi keuangannya, menukik sempurna. Satu persatu barang-barang berharga ia lego. Tabungan tiap hari berkurang.
Semasa lajangnya perempuan berkulit halus warna sawo matang itu bekerja sebagai manajer humas di sebuah hotel berbintang. Pekerjaan yang cukup bagus itu ia lepas demi mengurus keluarga. Ia berniat meneruskan karirnya yang terputus di tengah jalan, namun jalurnya tak lagi selurus dulu. Usia, pengalaman dan pengetahuannya sudah tertinggal jauh oleh pesaingnya yang lebih muda dan lebih tinggi pendidikannya.
Masih untung, setahun selepas menjanda, Lili bisa mendapat pekerjaan sebagai kasir di sebuah toko buku diskon. Pekerjaan klerikal bergaji minimal itu ia tekuni hingga kini. Sambil membanting tulang, dengan penuh keteguhan, dalam kesempitan dan kesunyian, Lili membesarkan dua anaknya sendirian. Mereka, akhirnya, tumbuh nyaris sempurna meskipun segalanya serba pasa-pasan.
**
“Sebenarnya ada beberapa laki-laki yang tertarik berhubungan denganku, Tia,” katanya di suatu siang.
Kami tengah menikmati hari Minggu berdua saja. Duduk berhadapan di sebuah sudut café, menikmati jus mangga. Kami pesan pula sepuluh biji kroket ayam, tersaji apik di atas piring putih bertabur parutan keju berhias irisan wortel dan lettuce di sana-sini.
“Kamu sudah mengatakan itu berkali-kali. Lelakinya juga ganti-ganti,” ujarku tak bisa menahan tawa, mengamati penampilannya.
Dalam balutan celana jeans dan T-shirt putih yang pas di badan, Lili tampak manis. Sepasang anting emas putih mungil tergantung menggoda di kedua telinganya, membuatnya tampak segar dan muda.
“Kenapa tidak kamu pilih salah satu dan menjalin hubungan pelan-pelan?” lanjutku, “siapa tahu, kan?”
“Tidak mudah melupakan Mas Hasto.” Alasan itu juga sudah kudengar belasan kali.
Kuakui memang, lelaki sekualitas Hasto sebaya Lili pasti langka. Jika ada tentu sudah beristri. Kalaupun menduda ia akan segera menikah lagi.
“Aku tahu. Tapi Mas Hastomu itu sudah tidak di sini. Sudah tidak bersamamu lagi. Sudah pergi. Sudah tiga belas tahun, Lili,” sahutku tanpa pertimbangan. “Kalau memang niat menikah, segera saja. Jangan tunggu-tunggu. Jangan kebanyakan mikir ini-itu.”
Lili menatapku dengan wajah kurang senang. Kata maaf buru-buru kulontarkan sambil memegang tangan kanannya. Di jari manisnya masih tersemat cincin perkawinan. Mudah saja bagiku bicara demikian karena aku masih bersuami.
“Bukan itu saja.” Matanya beralih ke piring kroket. “Rasanya tidak pantas. Dua anakku perempuan. Ivada sudah dua puluh enam, dia belum pingin menikah. Katanya mau bantu aku membiayai kuliah adiknya dulu.” Lili menyebut anak sulungnya yang sudah bekerja di Surabaya, yang tiap bulan mengiriminya uang. “Apa kata orang-orang nanti?” Mata Lili yang sipit menerawang, menembus dinding kaca, menerobos keramaian di luar café.
“Jangan pikirkan kata orang.”
“Enak kamu bicara begitu, Tia.”
“Lalu aku harus bilang apa? Dari dulu-dulu itu saja alasannya. Waktu anak-anakmu kecil, kamu kuatir dibilang egois, nggak mikirin anak. Waktu mereka remaja kamu bilang anakmu sedang sangat butuh perhatian, kamu tak punya waktu untuk dirimu sendiri, apalagi mencari suami. Sekarang mereka sudah dewasa, sudah mendiri. Tapi kamu kuatir dibilang tidak tahu diri. Anak gadisnya belum nikah emaknya udah mau dua kali…” aku berusaha mengekang tawa, namun gagal.
“Hhh…!” Lili mendengus. Seringainya menunjukan perasaannya, antara geli dan nelongso.
Kami beberapa saat terdiam. Menyesap segarnya jus mangga dan menikmati gurihnya kroket.
“Aku heran. Kenapa ya, duda-duda itu gampang ngambil keputusan untuk nikah lagi?” gumamnya.
Aku diam saja.
“Tia!” Lili menarik ujung lengan kaus merahku, minta perhatianku.
“Kamu mikir dirimu sendiri aja. Nggak usah mikir duda-duda, kecuali kalau mereka mau dan cinta sama kamu,” selorohku.
Kami terbahak bersama. Tanpa sadar kami sama-sama mengedarkan pandang mencermati satu persatu lelaki yang ada di café itu. Jangan-jangan di antara mereka ada lelaki yang tengah mencari calon istri.
Aneh memang. Para duda umumnya lebih mudah menentukan pilihan dibandingkan rival mereka, para janda. Sering kubaca di berbagai artikel, buah pena para amatir maupun professional, yang mengatakan bahwa laki-laki tidak bisa menahan hasrat seksual terlalu lama; mereka juga rentan terhadap godaan. Ada juga yang mengulas bahwa laki-laki selalu butuh perempuan untuk mengurus kebutuhan domestiknya sementara mereka lebih fokus pada urusan publik. Selebihnya adalah adanya kecenderungan duda lebih memilih perempuan lajang daripada janda.
Sebaliknya si janda akan menerima cerca-cela bila berani menikahi jejaka. Terlebih bila si perjaka lebih muda. Sudah banyak contoh di sekitar kita.
Aku tak setuju dengan pendapat semacam itu. Perempuan juga sarat hasrat dan mempan godaan. Mereka pun banyak yang senang bila bersuamikan lelaki lebih muda dan perkasa. Namun perempuan umumnya – memang – sulit untuk tidak membandingkan lelaki lain dengan suaminya. Bila suaminya dulu berbudi baik, apalagi memenuhi syarat trilogi lelaki – cerdas, kaya, dan tampan – seorang janda akan kesulitan memilih suami kedua. Beda lagi kisahnya kalau suaminya itu dulu pecundang. Pasti merasa senang bila ditinggal mati duluan.
“Tia. Udahlah....” Kaki Lili yang terbungkus sepatu sendal hitam, sewarna ikat pinggangnya, menendang kakiku yang kusembunyikan di dalam sneakers merah dengan tiga strip putih. “Kayak mikir negara aja!” candanya.
“Jadi?” tanyaku sambil menyeruput sisa jus mangga. “Kita perlu order minuman lagi buat nemani sesi kedua diskusi?”
Lili mengibaskan tangan kanannya. “Yah, kapan-kapan aja kita bicara lagi. Aku capek setiap mikirin rencana kawin lagi.” Lili menuntaskan sebutir kroket sekaligus menghabiskan irisan wortelnya.
“Rencana kawin lagi?” Kukernyitkan dahi. “Punya pacar juga belum!”
Lili menyeringai. “Coba aku bisa kayak duda-duda itu, ya. Nggak usah pacaran. Tinggal pilih terus ngelamar. Beres kan?” Lili menertawai diri sendiri.
“Kenapa tidak begitu aja? Bukannya tinggal dicoba?” sergahku.
“Kalau nggak cocok malah jadi repot,” gerutunya, mengelap bibir dengan tisu, meminta bill pada pelayan.
Kami sama-sama membuka dompet, menarik selembar uang, meletakkan di nampan kecil.
“Pulang? Atau masih mau jalan?” tanyaku.
“Aku pusing. Langsung pulang aja.”
Kami keluar café beriringan. Aku yakin, beberapa minggu lagi, kalau kami duduk berdua menikmati kebersamaan seperti ini, Lili pasti akan membahas soal keinginannya kawin lagi, yang tidak jadi-jadi. Apakah nasib janda memang seperti ini? Kebanyakan memikirkan omongan orang sampai lupa kepentingan sendiri.
***
4 komentar:
wah si Lili ini janda galau rupanya :)
Kayaknya gitu, mbak Edi. Padahal banyak yg naksir, lho :-)
jaman sekarang, benarkah janda jelita sedemikian menutup diri, sedang para pasangan muda di sekitarku saja, juga teman2 Endah sendiri bukan, sepertiganya cerai dan bila ditelusri, nyaris semuanya karena si cewek, eh, si nyonya,yang sebagai perempuan juga memiliki berbagai hasrat, yang selama ini terpendam ba' gunung es, tak ketahuan kedahsyatan, kegarangannya
Lili tdk menutup diri, dia tdk berani memutuskan unt menikah lagi. Kalau setahu saya, paling tdk teman2 dekat yg sdh janda, banyak yg tdk 'garang' dan mampu mengelola hasratnya. Sy yakin jaman dulu maupun jaman sekarang scr umum karakter orang sama saja, bedanya hanya pd jumlah dan penyebaran informasi. Dulu org tdk sebanyak skrg dan komunikasi tdk sehebat skrg, jadi keburukan org tdk mudah diketahui org spt halnya saat ini.
Saya jg masih percaya lbh banyak org baik (laki2 + perempuan) drpd yg tdk baik.
Terima kasih banyak sdh membaca dan meninggalkan komentar. Salam kenal :-)
Posting Komentar