Ilustrasi oleh Azam Raharjo |
Menjadi janda, di Indonesia, saat usia masih relatif muda katanya ibarat memakai sepatu sebelah saja. Aneh. Tidak nyaman. Serasa pincang. Diperhatikan orang. Sudah pasti, perempuan yang belum mengalaminya akan sangat sulit membayangkan bagaimana rasanya.
Ada empat janda yang menjadi teman saya, sebut saja Lili, Lala, Lolo dan Lulu. Mereka masih tampak muda, dari penampilan dan semangat hidupnya. Tulisan ini adalah sekelumit cerita mereka.
Lili belum lama merayakan ulang tahunnya yang ke 38 ketika suaminya tiba-tiba meninggal dunia. Hidupnya yang indah dan nyaris sempurna itu tiba-tiba berubah menjadi malapetaka. Dua anaknya masih sangat belia. Sejak menikah, Lili meninggalkan pekerjaannya karena suaminya tidak menginginkan ia bekerja. Kematian suaminya yang mendadak itu berarti pula terhentinya sumber penghasilan keluarga.
Dengan semangat menyambung hidup dan membesarkan kedua buah hati warisan tak ternilai dari suaminya, Lili rela bekerja mengelola sebuah rumah makan kecil milik temannya. Tentu saja uang bulanannya tidak dapat mencukupi bahkan untuk kebutuhan dasar. Satu persatu harta yang ada dilepaskan. Walau berat dan menyakitkan dengan cepat Lili mampu menyesuaikan diri terhadap himpitan situasi. Namun Tuhan senantiaa beserta mereka dan karena kegigihannya, Lili mampu bertahan hingga kini, kira-kia 13 tahun setelah suaminya meninggal.
Dalam usianya yang menginjak 51 di tahun 2011 ini, Lili masih tampak segar. Tubuhnya semampai. Wajah mungilnya senantiasa berhias senyuman. Tak heran bila ada beberapa lelaki yang tertarik untuk mengisi hatinya yang kosong sejak lama.
Suami Lili dulu, menurut saya, adalah lelaki sempurna. Perawakannya tinggi dan atletis karena semua jenis olah raga ia kuasai. Sikapnya juga santun, rendah hati dan penuh perhatian pada tetangga. Siapa saja yang membutuhkan pertolongan pasti ia bantu tanpa pandang bulu.
“Sulit bagiku mencari pengganti suamiku. Berkali-kali aku berusaha menerima lelaki yang mencoba mendekatiku. Tapi ternyata tidak mudah. Selalu saja aku membanding-bandingkan mereka dengan suamiku dulu. Dan aku juga tidak mau memaksakan diri.” Begitu cerita Lili.
Wajar saja bila Lili kesulitan mencari pengganti suaminya itu karena lelaki dengan karakter dan penampilan fisik yang mampu ‘menandingi’ almarhum suaminya, kemungkinan besar sudah berkeluarga. Baginya menjalani hidup dengan lelaki yang tidak mengena di jiwa dan hasratnya, sama saja dengan mempertaruhkan kebahagiannya. Itulah salah satu sebab utama hingga kini Lili memilih menjalani hidupnya dalam indahnya kenangan bersama almarhum suaminya.
Lain lagi cerita Lala. Perempuan cerdas dan mandiri ini harus berpisah dari suaminya karena lelaki yang telah memberinya tiga dara itu berselingkuh dan hampir saja membunuh Lala ketika perbuatannya terungkap. Sejak awal pernikahannya, Lala lebih sukses secara professional dan finansial. Namun situasi itu mestinya tidak bisa dijadikan alasan, karena seharusnya suami Lala bersyukur memiliki istri yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga.
Salah satu hal yang saya kagumi dari Lala adalah konsistensinya terhadap prinsip-prinsip hidupnya. Walaupun tidak sedikit tetangga yang menggunjingkannya ketika konflik rumah tangganya terbuka, ia tidak mengubah pendiriannya. Ketika suaminya memukulinya sedemikian hebatnya hingga Lala harus dirawat di rumah sakit selama seminggu, ia memutuskan untuk berpisah darinya.
Kini Lala hidup tenteram dan bahagia bersama tiga anak gadisnya yang sudah dewasa. Lala beberapa kali pernah dilamar namun ia memilih sekedar berteman. Dalam kesendirian Lala menemukan kebebasan dan Lala tidak ingin terpenjara kembali atas nama cinta yang dulu pernah menyengsarakan. Terlebih karena ketiga anaknya semua perempuan. Tak bisa disalahkan bila kini Lala memilih sendiri karena pengalaman telah mengajarkan padanya untuk tidak percaya pada lelaki.
Yang satu ini, Lulu yang jelita dan bertubuh aduhai, memang luar biasa. Perceraiannya dengan suaminya dulu tak jelas karena apa. Ia sengaja memilih tetap menjanda karena ingin ‘menyimpan lelaki’ sebanyak-banyaknya. Sungguh, prinsipnya itu ia pegang teguh tak peduli apa yang didengar dari tetangga, teman dan keluarganya. Lulu pernah berpacaran dengan lebih dari selusin pria. Ada yang masih mahasiswa, perjaka tua, duda dan tentu saja lelaki berkeluarga. Kini ia hidup mewah dan memiliki sebuah rumah megah karena menjadi simpanan lelaki kaya yang memberinya apa saja yang Lulu suka. Sebuah butik pun ia buka sebagai kedok untuk sumber hartanya.
Cerita Lolo beda lagi. Kebalikan dengan Lala, Lolo dikaruniai tiga arjuna dari perkawainannya yang bahagia. Namun semua itu harus berakhir ketika kanker menggerogoti tubuh suaminya dan akhirnya merenggut nyawanya.
Lolo tentu saja berduka. Tidak seperti Lili, Lolo punya pekerjaan yang mapan di sebuah perusahaan besar. Kabarnya, ketika suaminya masih ada, Lolo pula yang menjadi tulang punggung keluarga.
Sama juga dengan Lili dan Lala, penampilan Lolo tetap terjaga dan prima walaupun usianya sudah berkepala lima. Bahkan di mata saya, Lolo tampak sexy. Mungkin karena kedewasaan pikiran dan kemandirian batinnya yang terpancar halus dari sorot matanya yang lembut.
Pergaulannya yang luas membuat Lolo tidak sepi dari lelaki. Namun ia juga memilih sendiri. Katanya suatu ketika, ia hanya mau dinikahi oleh duda pensiunan jenderal atau yang setara, yang anak-anaknya sudah mentas semua. Mengapa?
“Ah, legan golek momongan.” Begitu kilahnya dalam bahasa Jawa. Maksudnya, kini dirinya tidak lagi butuh apa-apa karena sudah punya semuanya. Ketiga anaknya sudah mandiri dan Lolo menikmati hidupnya yang kini bagai jomblo lagi. Ia tidak ingin mengurus lelaki yang bukan ayah anak-anaknya yang nantinya hanya akan merepotkannya saja.
Tulisan ini hanya sekelumit cerita dari empat perempuan yang memilih menjalani hidupnya sebagai janda. Semoga saja bisa membuat kita sedikit lebih mengenal siapa mereka dan tidak menilai secara sepihak atas pilihan mereka.
***
11 komentar:
saya memang janda, di usia yg masih teramat hijau saya harus menghadapi pandangan sinis dan cibiran sadis dr orang orang..
Saya memang menjanda, di usia yg baru 26..
Tapi saya bangga dengan pilihan saya..
Saya memilih untuk tetap menjadi herlia..
Salam kangen mbak endah ;)
janda, perawan atau bersuami nggak jadi soal. nurut saya yg penting kita konsisten menjalani pilihan. Salut atas keberanian Herlia.... miss you too... :) makasih udah meninggalkan komentar :)
Lalu adalah perempuan kelima. Ia belajar menjanda dari keempat perempuan di atas. Jika menjanda kelak menjadi pilihan dalam perjalanan maka ia akan berjalan dengan kakinya sendiri. Juga jika ia menjanda di luar keinginan maka ia tidak akan meratapinya. Sebab buat Lalu, perempuan adalah manusia penuh kekuatan.
Terimakasih atas pembelajaran ini, Mbak. Ada satu lagi kisah yang bisa 'memaksa' laki-laki menghormati perempuan.
Long live women!
Terima kasih atas komentar yang simpatik, Mas Indra. Salam saling menghormati :-D
belum kebayang mbak seperti apa, tampaknya berat apalagi ada anak ya. Hebatnya para janda yang berjuang menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya, menyentuh.
wew artikel yang sangat bagus Mbak, di kampung saya banyak juga yg memilih menjanda. Mereka rata2 sukses membesarkan anak2 seorang diri, menjanda bukan pilihan jelek, paling tidak salah satu kasus yang mbak ceritakan bisa membuat seseorang sangat kaya walau hanya jadi simpanan ...
saya janda di usia yang teramat muda,,25 tahun,,pernikahan saya hanya berjalan 11 bulan,,karena ternyata suami yang harusnya menjadi pencari nafkah hanya ingin numpang hidup saja,,makan tidur jd kerjaan sehari2nya,,saya memilih sendiri untuk masa depan anak saya,,:)
kepahitan masa lalu lebih menguatkan saya,,dan pandangan hidup menjadi lebih realistis,,
Menarik, menanggapi Lili dan Tia, aku dulu menduda 20 tahun lho Endah, pada saat kritis pernh delapan th lebih tak nyentuh perempuan, di warung melihat tiga cewwk berbincang aku sediiih, pengin mengelus lengan salah satunya yg sungguh lembut, berwarna sawomatang cerah kekuningan, berbulu sangat jelas dan panjang2 yang membuanya semakin exotik. Di titik paling kritis, saat kutahu pacarku ternyata selingkuh(setelah aku pacaran lagi), hampir saja aku melamar sembarang perempuan yg bersikap baik kepadaku. Untung ada yang melindungiku. Tak benar sama sekali, lelaki tinggal menikah lagi bila jadi duda, emang ganti sepatu ? Pacar, teman ranjang, sahabat dan isteri itu berbeda bagi kami. Teman ranjang ya teman yang kebetulan sama2 suka meranjang tanpa ikatan lebih jauh, sama2 mencari sekedar hiburan. Kalau teman ranjang bertemu kontinyu sebulan dua - tiga kali, setelah satu-dua tahun ya sering jadi pacar, padahal pacar malah belum tentu sesering itu mau atau minta diajak berkelana di alam persetubuhan. Tapi di indonesia cari merk 'teman seranjang' sulit, celakanya, yang kupacari menuju serius justru teman seranjang beberapa orang, baik pemuda lajang atau beristeri, mereka lebih pinter dariku mencari sparring partner, aku selalu mendahulukan keseimbangan rasa, dan keadilan kemanusiaan. Isteri tentu diharap bisa mengisi semua kebuituhan, ya sebagai pacar, teman seranjang, sahabat dan semuanya. Tetapi yang paling indah ternyata, kenangan dengan sahabat yg sungguh2 sahabat. Aku punya beberapa, sayang semua bukan berkebudayaan Indonesia. Aku sering melihat/berdua dg mereka telanjang bulat, tapi bukan hendak bercinta, habis atau mau mandi atau berganti pakaian. Mereka tak menolak kucium bibir, juga terkadang meminta ciumanku, tapi dari lima sahabat terbaikku itu, hanya dengan salah satunya pernah aku bercinta dan hanya dua kali. Selebihnya sahabat2 yg tak kan kulupakan seumur hidupku, yg sering aku rindukan, lebih dari perempuan yg pernah berpacaran denganku atau bahkan yg pernah jadi isteriku.
Pondok Lebah, terima kasih sdh membaca. Waaah... komentarnya panjaaang, sekali lg terima kasih sdh berbagi kisah di sini. Semoga sang istri bs jadi sahabat dlm segala aspek hidup :-D
Salam
All the best
Posting Komentar