Kamis, 20 Maret 2014

Pohon Kenanga di Halaman Belakang

Sore itu Bobi memacu sepeda motornya bagai pembalap kalap. Sesuatu telah membuatnya ketakutan melebihi kehilangan nyawanya. Ia ingin segera sampai di rumah barunya, di pinggir kota.

“Bobi …!” seru Kiki, raba-rubu membuka pintu. Perempuan lajang 26 tahun itu hapal suara sepeda motor adiknya. Ia khawatir. Pikirnya, pasti ada hal genting yang membuat si pendiam itu memasuki halaman rumah dengan raungan mesin sepeda motor yang menggetarkan kaca-kaca jendela.

“Gawat, mbak. Gawat. Kacau. Gawat. Kacau ….” Bobi bergumam seolah merapal mantra.

“Ada apa? Tenang, Bob.” Kiki merengkuh lengan pemuda 20 tahun itu, mendudukkannya di kursi tengah tempat mereka menonton TV dan menerima kunjungan sahabat serta keluarga.

“Kita bakal ketahuan, Mbak. Gawat.” Lelaki muda yang memilih bekerja selulus SMA itu menggigil. Dua tangannya meremas-remas rambut ikalnya. “Kita bakal ketahuan ….” Lirih suaranya meremangkan bulu tengkuk kakaknya.

“Ada apa, Bob?” Kiki bersimpuh di depan adiknya, lembut memegangi dua lututnya.

“Pohon kenanga kita sudah ditebang. Pemilik rumah itu mau membongkar halaman belakang. Rumah itu mau ditingkat,” desis Bobi. “Pagi tadi tukangnya sudah mulai menggali tanah buat pondasi.” Tubuh jangkung kurus itu gemetaran.

Kiki bangkit, lalu duduk mepet adiknya. Lengan kanannya ia rangkulkan ke pundak lelaki yang senantiasa ia lindungi itu. “Kita akan baik-baik saja. Yakinlah, Bob. Kita akan baik-baik saja. Kalau sampai terjadi apa-apa, Mbak Kiki tidak akan sembunyi. Mbak Kiki akan menanggungnya.”

Berkata begitu tangan kanan Kiki mengusap-usap punggung Bobi dan tangan kirinya membelai tangan adiknya yang kaku mencengkeram lutut.

** 

Tiga belas tahun silam.

Keluarga Subakti tertimbun duka. Bu Subakti meninggal dunia dalam usia muda, 37 tahun, akibat penyakit lupus yang mulai menyiksanya selepas melahirkan anak pertama. Kala itu Kiki belum genap 13 tahun dan tiga hari sebelumnya Bobi merayakan ulang tahun ke-7.

Pak Subakti sedari muda dikenal bengal. Yang mau dekat dengannya hanya orang-orang yang membutuhkannya. Perilakunya tak membaik meskipun sudah beranak dua. Selain mudah marah tanpa alasan, ia gemar main perempuan. Beberapa kali ia pernah mencoba meniduri pembantu rumahnya. Ketika kabar tersiar, tak ada lagi pembantu rumah tangga yang sudi bekerja di rumah mereka. “Istriku sakit-sakitan,” atau “Istriku tidak bisa melayaniku lagi,” begitu alasannya tiap ditegur orang.

Menjadi duda dalam usia 40 dengan tanggungan dua anak yang tengah membutuhkan kasih sayang membuat pemilik toko kayu itu menjadi-jadi. Ia serupa kapal yang rusak mesin dan putus jangkar: terapung-terapung terhempas gelombang.

Ia tak peduli bahwa dua anaknya makin memerlukan dirinya. Sepeninggal istrinya ia jadi makin sering dan makin lama pergi, mencari kayu di berbagai wilayah dan gentayangan mirip hantu di hutan-hutan yang ia datangi. Bila pulang, ia rajin membawa perempuan, tak jelas siapa dan bertemu di mana. Keluarga besar Subakti prihatin. Berbagai cara telah mereka upayakan untuk menghentikan kebejatannya, hingga akhirnya mereka kewalahan. Mereka juga sama-sama punya beban hidup yang tak bisa ditangguhkan. Tangisan Kiki dan Bobi pada kakek-nenek dan paman-bibinya makin hari merupa tembang pilu yang membosankan untuk didengar. Mereka tak bisa mencarikan jalan keluar. Hal terbaik yang bisa mereka berikan adalah menghibur dengan kata-kata, yang hari ke hari hanya itu-itu saja.

Belum genap setahun sejak istrinya meninggal, salah satu perempuan yang sering dibawa Subakti hamil. Lelaki itu tak hendak bertanggung jawab. Punya dua anak dari istri sah saja ia telantarkan, apalagi ini akan dianggap anak haram. Perempuan itu dipaksanya menggugurkan kandungan dengan imbalan uang.

Semenjak itu, Subakti berubah.

Ia tak lagi terlihat menggandeng perempuan. Ia jadi lebih sering pulang dan rajin mengundang salah satu pegawai lelakinya bertandang ke rumah. Kadang pegawainya itu menginap. Orang-orang mengira Subakti jera, mulai memerhatikan anak-anaknya, menyuruh pegawainya itu membantu bersih-bersih rumah.

“Ayahmu sudah sadar, Ki. Semoga dia segera menemukan jodoh lagi. Meskipun ibu tiri, akan ada orang yang merawat kalian,” ujar nenek Kiki, menghibur si cucu dengan impiannya.

Namun mimpi nenek Kiki tak jadi nyata. Subakti ternyata tidak betah di rumah. Bila pergi ke hutan atau mendatangi lelang kayu, ia selalu membawa serta pegawainya yang masih muda itu. Seiring waktu, perangai Subakti makin menyakitkan keluarganya. Apalagi setelah pegawainya itu keluar tanpa pamit dan pindah ke lain kota.

Bila sedang di rumah, ia sering mengajak Bobi bermain, hanya berdua saja, tanpa Kiki. Dari kecil Kiki tidak mendapat kasih sayang ayahnya. Ia dianggap sebagai sumber malapetaka, asal-usul bibit penyakit yang diderita ibunya. Bila ia menangis, bukan pelukan atau belaian yang ia terima, justru hardikan dan sesekali tamparan. Namun gadis belia itu tangguh dan selalu berusaha kukuh.

“Gara-gara kamu, ibumu jadi sakit dan mati!” bentak lelaki itu pada anak sulungnya tiap kali Kiki memintanya tinggal di rumah lebih lama.

Memasuki akhir tahun kedua hidup tanpa bunda dan terus menerus menanggung murka ayahnya, amarah Kiki tumbuh bagai sel-sel kanker: tak terlihat namun mematikan. Gadis itu menyalurkan amarahnya lewat sepak bola dan karate. Ia ingin kuat dan perkasa demi melindungi adik yang ia sayangi.

“Mbak Kiki akan menjagamu. Jangan kuatir,” janji Kiki pada adiknya bila si adik menangis merindukan ayah-bundanya.

Di sepenggal pagi, Kiki mendapati Bobi tersedu-sedu di sudut kamarnya.

“Ada apa, Bob?” Kiki mengelus kepala adiknya yang sebulan lagi ulang tahun ke-9. Adiknya membisu. Air matanya membanjir. Kiki memeluknya tanpa bertanya lagi. Ia tahu ayahnya telah berbuat sesuatu yang menyakitkan hati adiknya.

Pada hari ulang tahun Bobi, Subakti membelikannya satu set komputer. Namun Bobi menolaknya. Ia berlari ke kamar. Ayahnya membanting pintu depan. Pergi.

“Kenapa, Bob?” tanya Kiki, membujuk adiknya agar menerima hadiah itu. Bobi tetap menolak. Kiki mendesaknya, mengatakan kalau Bobi beruntung mendapat perhatian besar dari ayahnya, sedangkan ia jarang disapa.

“Aku nggak mau! Ayah jahat, Mbak. Ayah memberi hadiah agar aku mau terus digituin ….” Tangis anak lelaki itu tumpah ruah.

Saat itu Kiki tidak mengerti, tidak menyadari petaka yang menimpa adiknya. Ia mengira Bobi sekedar dibentak ayahnya. Seperti biasa, Kiki hanya memeluk Bobi sampai tangisnya reda.

Hingga seminggu kemudian.

Kiki terbangun oleh suara pintu depan dibuka. Ayahnya pulang dini hari, tanpa membuka pintu garasi. Pasti ia menggadaikan lagi mobilnya, atau malah menjualnya akibat kalah judi, pikir Kiki. Ia tengah berusaha kembali tidur saat terdengar rintihan dari kamar adiknya, disusul suara ayahnya berusaha membujuk Bobi. Awalnya Kiki tak berniat bangun, namun ia ingat keluhan Bobi tentang ayahnya.

Remaja itu curiga. Sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami menyuruhnya segera menengok adiknya. Gadis 15 tahun itu pelan-pelan membuka pintu kamar Bobi. Matanya terbeliak. Mulutnya menganga namun tak ada suara. Jantungnya seakan mencelat hingga menyumpal tenggorokannya. Dalam temaram lampu tidur 5 watt Kiki melihat tubuh tambun ayahnya menunggangi tubuh kerempeng adiknya.

Kiki ingat tumpukan potongan kayu di halaman belakang.

Lari gadis remaja itu cepat bagai ditarik setan.

Beberapa menit berikutnya, pedagang kayu itu tersungkur di lantai dengan tulang tengkuk patah dan tengkorak pecah.

** 

“Mbak Kiki akan menanam pohon di sudut halaman belakang itu. Pohon kenanga,” bisik gadis remaja itu di telinga adiknya. “Kamu tidak perlu takut. Mbak Kiki akan mengurus semua. Tidak bakal ada yang curiga. Ayah tak peduli pada kita. Selalu pergi. Semua orang tahu itu. Bila dia tidak pulang, orang akan mengira dia sengaja meninggalkan kita.” Tangan Kiki mendekap erat tubuh kurus adiknya.

Peristiwa dini hari itu tak diketahui orang.

Kiki dan Bobi sehidup-semati menjaga rahasia, saling berjanji akan melupakan semuanya, memendamnya di bawah pohon kenanga.

Sekian tahun kemudian, pohon di sudut halaman belakang yang ditanam Kiki itu tumbuh rimbun. Bunga kuningnya senantiasa mekar sepanjang tahun dan wanginya bisa tercium oleh tetangga. Tiap kali mimpi buruknya menghantui, Kiki mengajak adiknya berdoa di bawah pohon itu.

Untuk menopang hidup Kiki dan Bobi, kakek dan paman mereka sepakat menjual toko kayu Subakti yang terbengkelai. Tak satupun anggota keluarga berniat mencari lelaki itu. Semua orang yakin Subakti minggat atau terbunuh di hutan saat berkelahi berebut kayu dengan pembalak liar.

Satu-satunya orang yang menginginkan lelaki itu cuma si bandar judi, yang tiap hari datang menagih hutang. Untuk menutup hutang itu, adik perempuan Subakti membeli rumahnya. Kelebihan uangnya, bersama hasil jual murah sisa-sisa kayu gelondongan, ditabung untuk tambahan biaya hidup Kiki dan Bobi.

Kakak-beradik itu tetap diijinkan menempati rumah itu.

Mereka hidup menumpang di sana sampai setahun lalu, ketika Kiki selesai kuliah dan bekerja. Walau tidak banyak, Bobi juga sudah punya penghasilan sendiri. Sisa tabungan mereka cukup untuk membayar uang muka sebuah rumah kecil di pinggir kota. Selebihnya mereka angsur bersama.

Kiki sama sekali tidak mengira kalau bibinya akan menjual rumah itu segera setelah ia dan Bobi pindah ke rumah baru.

** 

“Tulang tidak bisa busuk, Mbak,” rintih Bobi, duduk membeku dengan dua siku bertumpu di lutut dan dua tangan menutup muka. “Kita menguburnya tak sampai 2 meter.” 

Kiki makin ketat mendekap adiknya.

***

5 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus sekali ceritanyaa

Unknown mengatakan...

bagus sekali ceritanya

writer mengatakan...

bungan kenanga ..
ada serem serem juga sih
:)

Unknown mengatakan...

buka kenanga sering di identikan dengan hal yang berbau mistis ya :)

Endah Raharjo mengatakan...

@Ucu: katanya begitu. mungkin karena sering dipakai untuk upacara sakral.