Rabu, 24 September 2014

Sang Apoteker


Sumber Gambar
“Jangan pernah merencanakan pembunuhan. Pembunuhan harus terjadi tanpa rencana, seperti kehidupan.” Alfred Hitchcock.

Menjelang tengah malam seperti ini, seluruh pagar rumah terkunci sudah. Penghuninya lelap tertidur. Iryani hati-hati membelokkan mobil memasuki gerbang kompleks perumahan. Pohonan cemara berderet di kanan kiri jalan, mengangguk-angguk tertimpa sisa-sisa rinai hujan.

“Kita udah hampir sampai, Bram.” Tangan kiri Iryani terulur ke kiri, menggoyang tubuh Bram.

“Hmmmhhh…” tubuh kokoh itu menggeliat. Kenikmatan yang belum lama ia hisap dari tubuh Iryani membuainya ke alam mimpi meskipun perjalanan dari hotel ke rumah kekasihnya itu tidak lama. Malas ia melepas seatbelt.

“Jangan turun,” cegah Iryani.

Terlambat. Lelaki simpanannya itu sudah membuka pintu mobil. Sisa kantuk membuat tubuh jangkungnya sempoyongan. Dua kakinya tidak bersamaan menapak tanah. Ia mengaduh. Reflek Iryani menoleh ke kanan. Lampu ruang tengah tetangga depan rumah masih menyala. Pertanda penghuninya masih melek.

“Sialan,” Iryani menyumpah.

Lelaki jomblo bernama Panca itu biasanya tidur awal. Jarang terlihat begadang. Lima tahun menjadi tetangga membuatnya hapal. Sebelum pukul 11 lampu ruang tengahnya pasti sudah mati. Kalau tahu begini dia tidak bakal membawa Bram pulang. Perempuan itu mengutuk diri sendiri. Seharusnya sejak awal ia menyuruh Bram tetap tinggal di mobil sampai masuk garasi. Istri pegawai senior kilang minyak lepas pantai itu hati-hati membuka pintu mobil. Ia tak ingin mengundang perhatian Panca. Mungkin lelaki itu lembur di rumah, pikir Iryani. Kakinya berjingkat. Telunjuk kiri ia taruh di bibir, menyuruh Bram tidak berisik.

Namun pikiran lelaki itu belum sepenuhnya terkumpul. Ia juga dikuasai hasrat kembali mencecap nikmat. Ia tak sabar. Ingin lagi. Lengannya terulur, meraih pinggang perempuan tanpa anak itu. Menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Penuh nafsu bertubi-tubi menghunjamkan ciuman ke lehernya.

“Jangan di sini!” Serak suara Iryani, berusaha meronta, “Nanti tetanggaku…” Suara Iryani terhenti. Jantungnya seakan mencelat. Dilihatnya gordin jendela rumah tetangganya terkuak lebar. Di bawah temaram lampu teras, Iryani tak bisa melihat muka lelaki itu. Namun ia yakin mata pegawai bank itu melekat ke dirinya dan lelaki yang sedang mencumbunya. Lelaki yang bukan suaminya.

** 

Pagi yang panas dan lembab. Kemeja biru muda bergaris-garis putih yang dikenakan Panca sudah mulai terasa lengket meskipun ia belum keluar rumah. Arloji digital di pergelangan tangan kanannya memperlihatkan angka 6.45. Saatnya berangkat bekerja. Pegawai bank itu menyukai pekerjaannya. Tak lama lagi ia tahu akan naik pangkat. Lelaki lajang itu sangat memperhatikan kebugaran tubuh dan kebersihan penampilannya. Selain bersepeda, ia rajin berenang dan sesekali bermain golf menemani atasannya. Tangannya baru meraih kunci mobil ketika tiba-tiba rasa pusing memukul-mukul rongga kepalanya. Tubuh langsingnya menyandar di pintu garasi, lehernya ia putar hati-hati ke kanan-kiri, lalu ke atas-bawah. Melemaskan otot-ototnya. Selama beberapa menit ia mengatur nafas, mencoba mengisi paru-paru dengan oksigen sebanyak-banyaknya.

“Kenapa sejak kemarin aku diserang rasa mual dan pusing-pusing begini?” risaunya dalam hati. Ia merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Ia makan seperti biasa. Minum vitamin secara rutin. Bersepeda tak ketinggalan. Sambil terhuyung Panca membuka pintu garasi. Ia bisa saja menelepon teman kerjanya, namun ia tak mau seorangpun tahu kalau dirinya kurang sehat. Ia ingin terlihat senantiasa prima dan bersemangat di mata koleganya.

Mungkin aku hanya penat, harapnya. Lelaki itu meninggalkan rumah tanpa menutup pintu pagar. Namun ia masih sempat melambaikan tangan pada tetangganya.

 ** 

Pukul 3 sore. Terlihat sepuluh orang menunggu dilayani. Apotik di dekat kampus itu jarang sepi pengunjung. Tak salah Iryani membayar sewa mahal di tempat itu. Dalam waktu kurang dari lima tahun bukan hanya modalnya telah kembali, ia juga mulai menimbun keuntungan.

“Bu Iryani, ada telpon.”

“Dari mana?”

“Katanya tetangga Ibu. Tidak menyebutkan nama.”

Tetangga yang mana, pikirnya. Jangan-jangan ada yang sakit. Butuh obat mendadak. Melepas kacamata Iryani menerima gagang telepon dari pegawainya. “Tolong pintu ditutup,” perintahnya.

“Ya. Halo. Saya Iryani,”

“Selamat sore, Bu Yani. Maaf mengganggu. Anu… saya Bu Nandar. Ada kabar buruk, Bu. Tetangga kita. Pak Panca. Meninggal tiba-tiba. Di kantornya.” Bu Nandar terbata-bata.

“Oh… Ya, Tuhan! Sakit apa? Tadi pagi saya masih ketemu pas mau berangkat kerja…”

“Kurang tahu, Bu. Saya cuma diminta Pak RT nelpon Bu Yani. Mau minta ijin mendirikan tenda di jalan, di depan rumah Bu Yani.”

“Oh… Tentu saja… tentu saja…” Suara Iryani tertahan di tenggorokan, “Saya akan segera pulang. Kalau perlu apa-apa bisa langsung minta Prapti.” Iryani menyebut nama pembantunya yang hanya bekerja siang hari. “Jam segini dia belum pulang.”

“Terima kasih, Bu.” Lalu telepon ditutup. Iryani tercenung sesaat. Kemudian dia membuka pintu, memanggil asistennya. “Sinta, tolong jaga. Kalau ada yang penting telpon aja. Jangan sms. Jangan BBM. Telpon. Ya? Aku mau pulang.”

Asisten apoteker itu mengangguk sopan. Ia mengerti atasannya itu mengabdikan hidupnya untuk pekerjaan. Jarang meninggalkan apotek bila tidak ada urusan darurat. Suaminya yang tiap 5 minggu pulang selama 2 minggu itu cakap mengurus diri sendiri, tak suka dilayani.

Meskipun orang sering menggunjingkan, Iryani tak peduli. Bukan salahnya bila hingga 5 tahun menikah rahimnya belum berbuah. Ia tak perlu mengumbar kabar kalau sperma suaminya selain malas bergerak, jumlahnya juga tidak banyak. Mungkin suaminya kecapekan bekerja di kilang minyak, nun jauh di negeri seberang. Ia menutupi hal itu dari keluarganya. Kalau ayahnya sampai tahu pasti Iryani disuruh minta cerai. Bagi sang apoteker itu pernikahan harus dijaga kelanggengannya, berapapun harganya, apapun risikonya. Perceraian hanya akan merendahkan martabatnya. Mungkin rejekiku memang bukan anak, pikirnya.

Prapti tergopoh-gopoh. Selepas majikannya menelepon mengabarkan kepulangannya, perempuan kurus tinggi itu tak menunggu waktu membuka pintu garasi. Pintu pagar sejak tadi telah dibuka. Ada empat tukang tenda sedang bekerja. Prapti meminta mereka memberi jalan agar mobil majikannya bisa masuk ke halaman.

“Tadi Bu Irwan pinjam gelas dan karpet. Saya…”

“Ya.” Iryani memotong laporan Prapti. “Bawa ke dalam. Saya mau langsung ke depan.” Iryani mengangsurkan tas kerja yang diterima Prapti seketika. Iryani menutup pintu mobil. Tangan kanannya memasukkan sesuatu ke dalam kantung blazernya.

“Aduh… Bu… Tadi ada polisi…” ujar Prapti, matanya mengerjap-ngerjap.

Langkah Iryani terhenti sebelum melewati pintu garasi. “Polisi?” Ia memiringkan kepalanya.

“Iya, Bu. Nggak tahu…” Sebelum selesai bicara majikannya sudah menyeberang jalan, melewati tukang-tukang yang sibuk memasang tenda, menuju rumah si tetangga yang meninggal tiba-tiba.

Selama bertetangga Iryani baru tiga kali masuk rumah Panca. Ia lupa kapan dan untuk keperluan apa. Bujangan 38 tahun itu jarang ikut pertemuan kampung, seperti dirinya. Sibuk sekali. Lagi pula ia tak punya peliharaan atau apapun yang memerlukan perawatan. Tidak juga tanaman. Meskipun begitu, hampir tiap pagi mereka saling menyapa bila hendak berangkat bekerja. Sesekali ia memesan vitamin atau obat padanya.

Tiga hari lalu ia menyerahkan sebotol vitamin baru pesanannya. Panca terlihat sehat. Saat itu sikapnya juga biasa saja. Iryani percaya Panca hanya pura-pura tidak peduli telah memergokinya membawa pulang lelaki.

Iryani yakin bila ada kesempatan, bujangan itu pasti akan menggunjingkan dirinya.

“Bu Yani, masuk saja.” Yu Menik, perempuan yang datang tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah Panca sedang menggelar karpet. Ia yang memberikan kunci rumah Panca pada Pak RT. “Ini kami pinjam…”

“Ya. Prapti sudah bilang,” cepat Iryani menukas. Dilihatnya ruangan tengah sudah kosong, perabotan yang tak seberapa itu sudah dikumpulkan di garasi. Beginilah rumah bujangan, pikir Iryani, mengedarkan matanya.

“Jenazahnya masih di rumah sakit,” tetangga yang sibuk membantu Yu Menik bercerita.

Di perumahan tempat Iryani tinggal segala sesuatunya tertata. Termasuk bila ada yang meninggal. Sudah ada ibu-ibu yang mengurusi. Bapak-bapak biasanya baru muncul sepulang kantor. Yang di rumah akan mengurusi perabotan atau menghubungi keluarga di luar kota atau menyewa tenda dan kursi.

“Katanya ada polisi?” Iryani membantu Bu Nandar mengeluarkan gelas dari kotaknya. Sebagian gelas-gelas itu miliknya. Sebagian lagi entah milik siapa. Mungkin inventaris RW.

“Iya. Katanya ada yang tidak wajar dengan kematiannya. Mungkin akan diotopsi.”

“Memangnya kenapa meninggalnya?” Iryani membukai semua lemari dapur yang tertempel di dinding, mencari-cari sesuatu. “Tidak ada nampan. Dasar bujangan,” keluhnya.

“Saya ambil nampan ke rumah sebentar.” Sambil keluar mata Iryani menyergap botol vitamin di meja makan, di antara toples gula, tisu, botol kecap, botol saus tomat, cangkir kosong, dan tusuk gigi. Tangannya terulur meraih botol itu.

“Apa itu, Bu?” Pak RT muncul dari arah garasi. Keringat membasahi bagian depan kausnya. Ia baru selesai membantu tukang tenda menata kursi.

“Nggak tahu, Pak. Mungkin vitamin.” Tangan kanan Iryani meletakkan botol kecil itu kembali ke atas meja. Tangan kirinya merogoh kantung blazer, mengambil Blackberry. “Saya harus mengabari suami saya, Pak.” Sambil berlalu ia menelepon sang suami.

** 

Malam hampir mencapai puncaknya. Iryani bisa mendengar obrolan diselang-seling canda bapak-bapak yang berjaga di depan rumah almarhum Panca, yang berhadap-hadapan dengan rumahnya. Ia menyuruh Prapti menginap, supaya bisa membantu menyiapkan teh dan kopi.

Rupanya memang benar ada yang salah dengan kematian Panca. Kabarnya akibat racun. Entah apa. Ada yang bilang arsenikum. Yang lain mengatakan racun tikus. Sempat terhembus berita kalau Panca pecandu; sesuatu yang tak masuk nalar, tubuh lelaki itu senantiasa segar dan kinerjanya tanpa cela. Satunya bercerita tentang bisa ular yang dicampur dalam kopi. Ada yang menyebarkan kabar Panca disantet. Koleganya iri sebab ia baru mendapat promosi. Katanya ada juga suami yang cemburu, entah siapa, sebab istrinya punya affair dengan bujangan malang itu. Semua berspekulasi, seolah-olah mereka paling mengerti.

Serupa sirop yang menetes di lantai, semut tak butuh waktu untuk berbaris mengerumuni. Begitulah berita buruk kematian Panca. Kasihan sekali, pikir Iryani, bahkan orang meninggal pun tak luput dari olok-olok.

Tadi dilihatnya polisi datang lagi. Mereka bertanya-tanya. Memeriksa setiap jengkal rumah lelaki itu. Ada satu yang marah-marah pada Pak RT, para tetangga dianggap mengacaukan TKP.

“Ibu tidur saja. Sudah hampir jam 1. Biar saya yang jaga,” Prapti terkantuk-kantuk di depan layar TV. Iryani mengucapkan terima kasih. Sesuatu yang amat jarang diucapkan perempuan kaya itu, apalagi pada pembantunya. Tanpa Prapti, LED TV 60 inci di ruang tengah itu bakal merana tak pernah menyala.

“Saya mau nengok ke depan sebentar.” Iryani mengambil sweater ke dalam kamar.

Prapti membuntuti. Duduk di teras menunggu sang majikan. Iryani mengangguk pada bapak-bapak yang duduk di bawah tenda. Ekor matanya menangkap kelebat dua polisi memasuki pintu garasi. Angin dini hari membuat kulit mulus perempuan cantik itu meremang.

“Selamat malam, Bu.” Seorang lelaki yang wajah dan sosoknya persis Panca bangkit dari kursi, menyapanya. Meskipun tampak tegar, matanya gagal menyembunyikan rasa duka. “Saya Sapto. Adik Mas Panca.” Tangan kanannya agak gemetar, terulur menyalami, tangan kirinya membuang rokok yang tersulut setengah. “Silakan, Bu. Di dalam ada ibu-ibu.”

“Ikut bela sungkawa yang sedalam-dalamnya.” Iryani tulus.

Sapto berbasa-basi. Dari para tetangga Sapto tahu kalau semua karpet itu milik Bu Yani, tetangga depan rumah. Ia ingin menyampaikan terima kasih secara khusus. Ia juga mengatakan kalau sebagian keluarganya masih di rumah sakit menunggu otopsi selesai.

“Bapak sudah pergi dinas lagi?” Sapto menanyakan suaminya. Iryani mengangguk. “Maaf, ya, Bu. Waktu malam itu saya tidak menyapa. Saya kuatir mengganggu. Seharusnya saya keluar dan berkenalan.” Sapto terlihat malu-malu. Terbayang lagi bagaimana tetangganya itu bercumbu di halaman rumah. Ia maklum, Panca pernah cerita kalau suami Bu Iryani bekerja jauh dari rumah.

“Oh?” Iryani berkerut dahi. Tidak paham maksud adik almarhum yang belum pernah ia kenal itu.

“Seminggu yang lalu. Bu Yani dan Bapak pulang malam-malam. Saya hanya membuka gorden tapi tidak keluar. Saya kira waktu itu Mas Panca pulang. Dia tugas luar kota. Kebetulan saya sedang di sini…”

Iryani tak lagi mendengar kelanjutan kata-kata lelaki muda itu.

“Bu Yani istirahat saja. Di sini sudah banyak orang. Katanya jenazah akan diantar pukul 3. Otopsi sudah selesai. Katanya hasilnya baru diketahui beberapa hari lagi. Katanya…”

Langkah Iryani terseok-seok. Ia salah sasaran. Otaknya belum mampu memutuskan dengan cara apa Sapto akan ia bungkam. Prapti berlari-lari menyongsong majikannya. Pikirnya sang majikan pasti kecapekan.

*** 

Kisah ini pernah dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Kotak Pandora" terbitan Kampung Fiksi.

Tidak ada komentar: