Senin, 07 Oktober 2013

Bara Dendam

~ Balas dendam terdengar kejam, namun itu alamiah ~ William Makepeace Thackeray, Vanity Fair 



Selembar kartu nama warna putih tulang tergeletak di atas meja jati bundar berpelitur hitam. Sepasang mata mirip goresan arang membaca nama yang tertulis di atas kertas itu. Gigi tonggos sedikit mengintip di balik senyum sinis yang tersungging di bibir berpoleskan lipstik merah jambu.

“Asistennya menunggu di luar, Mak,” Darto lapor pada perempuan yang duduk menyerupai arca itu. Dari sorot matanya seolah akan keluar api, siap membakar kartu nama itu. “Orangnya ada di dalam mobil. Katanya dia perlu bantuan Emak untuk menemukan laptopnya yang dicuri tadi malam. Kalau Emak mau, Emak akan diajak ke kantornya untuk bicara. Dia menyebut uang ratusan juta.”

Sudah hampir 10 menit. Perempuan berpakaian sewarna bulu burung kepodang yang dipanggil Emak itu bahkan tidak berkedip. Darto tak berani bersuara lagi. Sikap Emak yang diam itu pertanda kurang baik. Ia sedang berpikir keras dan tak ingin diusik.

“Bilang aku sedang tidur,” desis perempuan itu, “Tak ada orang berani menggangguku.” Kibasan tangan kiri perempuan itu mengisyaratkan agar Darto cepat keluar dari ruangan.

Tubuh berotot sekekar batang pohon beringin itu menghilang di balik pintu. Sebagai tangan kanan dan centeng kesayangan, Darto akan melakukan apa saja untuk perempuan itu. Selain Darto, masih ada empat orang lainnya. Berlima mereka bergiliran menjaga majikan perempuan yang dikenal oleh setiap penghuni dunia hitam sebagai Emak. Semua copet, jambret, penjudi kakap, maling dan preman di kota itu kenal dan takut pada Emak. Lima centengnya siap pasang badan. Keluarga para centeng itu dijamin penuh oleh Emak. Biaya sekolah anak-anak mereka ditanggung hingga lulus sarjana. Rumah pun dibangun tanpa kesulitan. Istri-istri mereka tak ketinggalan. Ada yang memiliki usaha salon, katering, toko kelontong dan warung internet. Istri Darto telah memiliki lima truk untuk disewakan.

“Dasar pengecut!” Emak menyumpah. “Kalau berani kenapa tidak menemuiku langsung.” Bibirnya mengerucut, membungkus gigi tonggosnya. “Dikiranya dia siapa.” Sinis suaranya.

Tiga centengnya saling melirik dengan ekor mata, tak bernyali menggerakkan tubuh apalagi membuka suara. Bila Emak menggerutu berkepanjangan seperti itu biasanya ada sesuatu yang memicu amarahnya.

Tiba-tiba dua tangannya bersamaan meraih kartu nama itu, menyobeknya menjadi kepingan-kepingan seukuran bulir beras, lalu menyebarnya ke kolong meja. Serpihan-serpihan kertas malang itu melayang, berhamburan, mengingatkannya pada hatinya yang patah berkeping-keping hampir 30 tahun lalu.

“Bersihkan!” perintahnya pada perempuan muda, pelayan pribadinya yang sedari tadi duduk menunduk bagai pajangan di pojok ruang.

** 

Yogi Sukmajaya. Namanya harum di kalangan gadis-gadis remaja. Sudah pasti ia tak menganggap Sugirah ada. Andai wajahnya secantik Farah, tubuhnya seindah Triana, rambutnya setebal dan sehitam Vina dan orang tuanya sekaya orang tua Pipit, mungkin Yogi akan mengenalnya. Bila beruntung ia akan menjadi temannya. Yogi sang idola. Si kaya yang elok rupa.

Sementara Sugirah bukan hanya tonggos giginya. Namanya saja sudah memancing ledekan teman sekelasnya. Belum kepalanya yang terlalu besar dibandingkan tubuh kecil-pendeknya; membuat orang menjulukinya gonteng. Setiap kali mata Yogi bertemu dengan matanya, remaja ganteng itu membuang muka, lalu meludah jijik. Di matanya gadis itu laiknya kecoa. Bukannya Sugirah tak tahu kalau Yogi pantang mengenalnya.

Namun gadis itu tak menyerah. Mimpinya sederhana, sekedar berharap suatu hari pujaannya itu akan memberinya senyum indah. Sepotong senyum saja. Akan cukup menyembuhkan rasa sakit yang ia tanggung untuk mendapatkannya.

Rupanya Yogi mematok harga terlampau tinggi untuk seulas senyumnya. Suatu pagi, Yogi tiba di gerbang sekolah bersamaan dengan Sugirah. Sang gadis berniat menyapa. Dengan keringat berlelehan di wajah, sambil menuntun sepedanya, Sugirah mendekati Yogi. Lelaki muda yang diperebutkan para gadis di sekolahnya itu merasa terhina. Didorongnya tubuh pendek Sugirah hingga terjengkang. Gadis itu jatuh bersamaan dengan sepedanya, tepat di atas genangan air hujan, nyaris tercebur ke selokan. Seragamnya dipenuhi lumpur. Salah satu sakunya robek tersangkut pedal sepeda. Sepanjang hari ia menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Meskipun lebih pahit dari brotowali, kenyataan itu ia telan dalam diam.

Semenjak peristiwa itu, mimpinya melihat senyum Yogi terhenti. Setiap pagi ia bangun dengan hati dipenuhi dendam, wajah tampan itu ingin ia hancurkan.

Pagi itu, sekitar pukul 6.30, dengan wajah asam Sugirah mengayuh sepeda bututnya ke sekolah. Suasana kampung di pinggiran kota saat itu masih sepi, tak ada sepeda motor, apalagi mobil berseliweran.

Semua orang, pelajar dan pegawai, mengendarai sepeda. Pelajar yang kaya naik sepeda mini warna warni. Ada yang bersadel panjang dengan stang melengkung tinggi. Ada yang pedalnya bulat berhias kaca yang bisa menyala di malam hari. Gadis-gadis mengayuh bangga sepeda mereka yang dilengkapi keranjang di atas roda depan. Namun Sugirah hanya mengendarai sepeda tua, warna hitamnya sudah pudar, rantainya karatan, stangnya sedikit bengkok akibat jatuh berkali-kali, pedal kirinya tinggal separuh membuatnya sulit dikayuh.

Seperti biasa Sugirah bersepeda sendiri, jauh di belakang teman-temannya yang beriringan dalam rombongan kecil-kecil, berdua atau bertiga, berceloteh dan tertawa-tawa. Rambut tipisnya membuat kepalanya terlihat makin besar, melambai tertiup angin pagi. Sepasang kaki pendeknya susah payah mengayuh pedal. Kulit gelap wajahnya berkilat tertimpa sinar matahari. Mata kecilnya bagai dua goresan arang, menyipit menahan silau. Bibir ungunya kering, megap-megap memasukkan udara ke paru-parunya, memamerkan gigi tonggosnya.

Ketika hendak berbelok ke jalan raya, remaja itu mendengar rintihan dari selokan di sebelah kiri jalan. Karena penasaran, ia berhenti. Sepeda ia sandarkan ke pohon kelapa, lalu pelan-pelan kepala gontengnya ia longokkan ke selokan. Tak ada sesiapa. Namun rintihan itu kembali ia dengar, kali ini lebih keras.

Sugirah berjongkok. Tangannya menyibak daunan ilalang, sesosok tubuh gempal terlihat meringkuk di sela-sela semak rimbun yang tumbuh di tepian selokan. Ada bercak-bercak darah berlepotan di singlet dekil yang dikenakannya. Jantung Sugirah berdebar-debar. Siapakah orang ini, tanyanya dalam hati.

“Pak….” Takut-takut Sugirah menyapa. Lelaki itu diam saja. “Pak….”

Lelaki itu pelan-pelan mendongak. Dilihatnya kepala gonteng Sugirah lewat semak-semak. Ia lega. Anak sekolah, pikirnya. Semoga ia tidak berteriak, doanya. “Tolong saya, Nduk,” rintihnya.

Sugirah menengok sekelilingnya yang mulai sepi. Teman-temannya sudah tak terlihat lagi, sementara para pegawai belum berangkat kerja. Tiba-tiba saja ada kekuatan yang membuatnya mengulurkan tangan menyibak semak makin lebar. Kini ia bisa melihat kepala lelaki itu, rambut keritingnya berlepotan darah kering. Sekali lagi lelaki itu mendongak, matanya yang bulat hitam bertemu dengan mata kecil Sugirah.

“Tolong saya, Nduk,” rintihnya lagi. “Saya jatuh dari pohon kelapa itu.” Lelaki itu berbohong.

“Saya akan minta tolong orang kampung, Pak.”

“Jangan, Nduk. Jangan….”

“Saya….”

“Pergilah ke Pasar Pon. Carilah orang bernama Karjo Gemblung. Katakan kalau aku jatuh dari pohon kelapa. Di selokan ini. Namaku Freddy.”

“Saya…” Mata Sugirah mengerjap berkali-kali. Ia ingat akan doanya yang sering ia ucapkan dalam kesendiriannya, memohon pada Tuhan agar diberi tempat yang bisa dituju selain sekolah.

“Cepat, Nduk.” Meski gemetar suara lelaki itu sangat tegas.

Tanpa berpikir lagi, Sugirah meninggalkan tempat itu, menuju Pasar Pon tak jauh dari sekolahnya. Ia tahu telah terlambat masuk sekolah, namun hatinya justru senang. Inilah tempat lain itu, pikirnya, doaku terkabulkan. Untuk apa ke sekolah kalau hanya menjadi bahan ledekan saja. Untuk apa bertemu Yogi, kalau ia tak menyadari kehadirannya. Kalau saja ada tempat tujuan lain, ia pasti akan membolos sekolah setiap hari. Kini alasan itu ia dapatkan.

Ia juga merasa dibutuhkan orang. Selama hidupnya, jarang ada orang mau mengajaknya bicara. Orang itu membutuhkan pertolongnanku, serunya dalam hati, aku harus menolongnya. Tersengal-sengal remaja itu mengayuh sepeda tuanya.

Seminggu kemudian, Sugirah berhenti sekolah. Ia menjalin persahabatan dengan Freddy, si germo dan sang raja judi. Lelaki yang ia tolong itu. Pemilik toko kelontong di kota itu merasa berhutang nyawa pada Sugirah.

Di belakang toko itulah ia mengoperasikan bisnis yang sesungguhnya. Judi dan pelacuran kelas tinggi. Setiap hari belasan orang dari berbagai kota mendatangi toko Freddy. Supaya tidak menyolok, mereka memarkir kendaraan cukup jauh dari toko Freddy. Sebagian ada yang diantar supir, diturunkan di suatu tempat, lalu berjalan kaki memasuki toko kelontong itu, pura-pura membeli sesuatu.

Sugirah bekerja di sana, melayani pembeli. Orang tua Sugirah tak kuasa menahan anaknya. Sugirah muda belajar berbagai ilmu pada guru barunya yang menganggapnya sebagai hoki. “Aku disediakan kamar di sana, Mbok. Kamar yang bagus, dindingnya tembok, lantainya tegel hijau, kasurnya besar dan empuk.”

Sejak itu, Sugirah tak pernah pulang. Ia dianggap anak hilang.

Freddy memperlakukan Sugirah secara istimewa. Semua anak buahnya wajib menghormati remaja buruk rupa itu. Bisnis judi milik Freddy berkembang pesat. Sugirah belajar dengan cepat.

Dua puluh lima tahun kemudian Sugirah mewarisi tahta sang guru, dinobatkan sebagai ratu dunia hitam di kotanya. Emak adalah panggilan kehormatannya. Perjudian, pelacuran, pencucian uang dan penadahan barang-barang curian hanya sebagian dari lahan bisnisnya. Para pembesar kota sering minta perlindungan Sugirah dari musuh mereka. Polisi tak ada yang berani menangkapnya karena atasan mereka menjadi pelanggannya.

** 


“Gimana? Dia mau bantu?” Yogi penuh harap. Kalau perempuan itu tidak bersedia menemukan laptopnya yang hilang, nama baiknya terancam hancur dan pencalonannya sebagai walikota bakal gugur.

“Tidak tahu, Boss. Dia sedang tidur. Centengnya tak ada yang berani membangunkan.”

“Dasar goblok! Mestinya kamu bilang kalau aku mau bayar ratusan juta!”

“Sudah, Boss. Mereka tetap tidak berani.”

“Kita pergi. Akan saya kirim orang untuk membujuknya. Bila perlu sekalian membawa uangnya!”

** 

“Darto! Temukan laptop itu sebelum gelap!”

“Baik, Mak.” Tubuh besar itu berkelebat tanpa suara.

Matahari belum sepenuhnya sembunyi di balik busur langit ketika Darto meletakkan sebuah laptop berwarna keperakan di atas meja jati bundar. Dua goresan arang di wajah Sugirah bersinar.

“Panggil Zebra!”

Jago komputer dengan berat tubuh cuma 40 kilogram yang dipanggil Zebra itu terbirit-birit masuk ke ruangan majikannya.

“Ada perintah apa, Mak?” Sosoknya mirip angkrek, muncul dari balik punggung kekar Darto. Buru-buru rokok ia matikan, lalu puntungnya ia selipkan ke saku celana.

Tangan Sugirah memberi isyarat agar Zebra duduk di dekatnya. Darto buru-buru menarik sebuah kursi. “Itu tugasmu!” Dengan dagunya Sugirah menunjuk laptop di atas meja. “Lihat isinya. Pasti ada yang berharga ratusan juta.”

Sugirah bertepuk tangan. Dari mulutnya keluar semacam lolongan. Mata kecilnya menyorot licik ke layar laptop. Tangan kirinya menarik salah satu laci, meraih sebungkus rokok, menyorongkan rokok itu ke dekat Zebra. Lelaki kurus itu menyeringai senang. Bagai belulang menari jemarinya lincah, melompat, mengetuk, berpindah-pindah.

Hanya dalam hitungan menit, Zebra berhasil menemukan sesuatu. Mata ahli komputer itu tak berkedip memandangi hasil kerjanya. Deretan gambar di depannya itu pastilah yang dicari majikannya. “Yihaaa…!!!” serunya memecah telinga. Semua yang ada di dalam ruangan penasaran.

Sigap laptop ia putar agar sang majikan bisa melihat gambar yang terpampang di layar.

Mulut Sugirah terbuka lebar, gigi tonggosnya berkilat-kilat. Mata kecilnya memelototi belasan gambar dengan nanar. Satu demi satu ingatan perih masa kecilnya ikut berbaris di layar. Luka hatinya kembali meradang. Bulu-bulu tengkuk perempuan itu meregang. Bara dendamnya seketika menyala. Perempuan itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. “Kini nasibmu ada di tangan dekilku! Akan segera kau rasakan cabikan cakarku!” Sugirah bersorak dalam diam. Inilah saatnya membuat si tampan itu buruk rupa.

“Sebarkan!” Perintah Sugirah pada Darto, disusul ledakan tawa membahana.

Tubuh pendeknya berguncang-guncang, kepala gontengnya bergoyang-goyang, dua gores arang di wajahnya berkerlipan. Sugirah terlihat seperti mainan anak-anak yang bisa melompat-lompat naik turun bila tombol di punggungnya diputar-putar.

** 


Tabir malam belum sepenuhnya terkuak saat Darto tergopoh-gopoh menenteng koran pagi. Di halaman depan tertulis besar-besar berita skandal seks sejenis yang dilakukan oleh sang calon walikota Yogi Sukmajaya. Lengkap dengan foto-foto sebagai bukti.

*** 

Catatan: cerita ini pernah diunggah di Kompas.com dan diterbitkan oleh Kampung Fiksi dalam kumpulan cerpen Kotak Pandora

Tidak ada komentar: