Kamis, 03 Oktober 2013

Menjangkau Hunian Hijau


Rumah Eko Prawoto, arsitek ahli bambu dan pendaur-ulang bahan bangunan
Kudapati bagian depan rumah temanku gelap gulita. Jangan-jangan ia tidak di rumah. Sewaktu kakiku menapaki halaman, lampunya tiba-tiba menyala.

Ah, dia di rumah, hanya lupa menyalakan lampu, pikirku lega.

Sebenarnya temanku bukan lupa. Lampu halaman rumah temanku di kota Melbourne, Australia, itu memang dilengkapi alat sensor; alat untuk mendeteksi gerakan/panas tubuh. Di malam hari, atau dalam keadaan gelap, bila alat itu menangkap gerakan/panas tubuh, secara otomatis lampu akan menyala. Alat semacam itu sudah jamak dipasang di tiap rumah. Gelap, dong! Tidak juga. Sebab penerangan jalan menjadi tanggung jawab pemerintah, dan jarang bermasalah.

Pemasangan alat semacam itu bertujuan untuk menghemat listrik, yang merupakan salah satu praktek ‘green architecture’.

Arsitektur hijau – green architecture – sering pula disebut arsitektur bioklimatis atau arsitektur berkelanjutan. Arsitektur hijau merujuk pada bangunan yang dirancang dan dibangun dengan mempertimbangkan iklim dan kelestarian lingkungan serta mengurangi penggunaan air, listrik, dan sumberdaya alam yang tak bisa diperbarui untuk mencapai kenyamanan. Dibandingkan dengan negara-negara lain Indonesia tertinggal cukup jauh dalam melaksanakan konsep ‘go green’ di tingkat hunian keluarga. Menurut Eko Prawoto, dosen dan arsitek pecinta bambu, prakteknya masih sebatas pada slogan bisnis yang tidak menyentuh persoalan intinya.

Kesederhanaan sebagai gaya hidup
Pada tingkat hunian, bagian terpenting dari praktek ini adalah membatasi konsumsi. Salah satu cara dalam membangun rumah hijau yaitu menerapkan konsep 3R – reduce-reuse-recycle – seperti mengelola sampah. “Jangan segan memakai bahan bangunan bekas yang masih bagus. Misalnya kusen dan daun pintu/jendela. Penting untuk mengadopsi kesederhaan secara sukarela, bukan karena ingin hemat. Kalau ingin hemat, setelah punya banyak uang nanti beda lagi,” papar Eko Prawoto.

Skylight: hiasan sekaligus memasukkan cahaya
Ia juga mencontohkan perilaku konsumtif yang tanpa disadari merupakan pemborosan luar biasa. “Pemakaian marmer dari Zimbabwe, contohnya. Bayangkan besarnya energi yang dibutuhkan untuk mengangkutnya hingga ke Indonesia.”

Memang. Bila sudah menyangkut hasrat batasnya hanya langit.

Ketinggalan jaman dan mahal 
Di Indonesia arsitektur hijau bukan barang baru. Sejak berabad-abad lalu orang telah memraktekannya, rumah-rumah tradisional menjadi buktinya. Misalnya rumah panggung. Kolong di bawah lantai tidak saja menghindarkan penghuni rumah dari serangan binatang serta pengaruh lembab tanah basah, juga memberi kesempatan angin lalu-lalang menyejukkan ruang di atasnya. Pun rumah tradisional Jawa dengan perpaduan atap tinggi berteritis lebar dan jendela serba terbuka untuk mengurangi panas matahari sekaligus melancarkan sirkulasi udara.

Di wilayah-wilayah lain, seperti Spanyol, Australia, Pakistan dan India, penggunaan adobe hingga kini masih menjadi alternatif untuk menghemat bahan bakar fossil. Bahan bangunan ini dibuat dengan cara mencetak tanah liat yang dicampur pasir dan dijemur di bawah sinar matahari, tanpa dibakar.

Dalam perkembangannya, khususnya untuk rumah atau hunian, arsitektur hijau menjadi tidak populer, bahkan cenderung dihindari. Mengapa? Ada dua alasan utama: dianggap ketinggalan jaman dan dinilai mahal.

Serupa pakaian, kebanyakan orang menginginkan desain rumah yang mengikuti trend. Rumah bukan sekedar tempat bernaung, ia juga simbol status sosial-budaya-ekonomi penghuninya. Hal ini berpengaruh tidak hanya pada rancangan, juga pemilihan bahan bangunan dan kelengkapannya. Bila mampu membayar listrik ribuan watt demi rumah berpenyejuk udara sentral mengapa repot membuat jendela lebar yang – mungkin – akan memasukkan debu, karbonmonoksida atau malah maling sekalian? Bila mampu memasang lelampu di halaman agar terang benderang dan lebih aman, mengapa membiarkannya gelap gulita dan mengundang pencoleng datang?

Kira-kira hal semacam itu menjadi penyebab orang enggan memraktekkan prinsip-prinsip arsitektur hijau dalam merancang hunian. Adanya anggapan bahwa hunian go green itu (lebih) mahal juga menjadi hambatan. Prakteknya tidak demikian. Ambil saja salah satu elemen utilitas hunian ini: penghawaan dan pencahayaan. Iklim di Indonesia sangat mendukung, sinar matahari melimpah ruah sepanjang tahun. Prinsip-prinsip penghawaan dan pencahayaan alam bisa (kembali) dipraktekkan tanpa tambahan biaya berarti. Jendela dibuat lebar dengan daun yang bisa dibuka maksimal; untuk keamanan bisa dilengkapi tralis.

Jendela nako, yang popular di tahun 80-an, sebenarnya ramah lingkungan dan murah, namun kini sudah dilupakan karena dianggap ketinggalan jaman.

Panen air 
Di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, orang terbiasa memanen air hujan dan menampungnya ke dalam bak-bak ukuran besar. Di wilayah tandus yang selalu kekeringan di musim kemarau itu air hujan dipakai untuk minum dan masak. Di berbagai negara lain, termasuk Australia, kebiasaan memanen air hujan dilakukan juga, didukung oleh perlengkapan yang banyak dijual di pasar serta mudah dipasang. Di sana, air hujan ini dipakai untuk menyiram tanaman dan mengguyur toilet.

Bagian atas pintu tak harus pepat, agar cahaya bisa lewat
Pada peringatan ulang tahun ITB yang ke-92, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan bahwa kekurangan air di musim kemarau makin mengancam pulau Jawa yang dihuni oleh sekitar 58% penduduk Indonesia. Dalam kondisi ini, panen air bisa menjadi salah satu solusi, khususnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selain air minum dan memasak.

Sebagai negara dengan rata-rata curah hujan 2.000 – 3.000 mm/tahun (menurut beberapa sumber telah terjadi penuruan curah hujan rata-rata 1 – 50 mm permusim pertahun) layak mendapat perhatian. Bila seluruh rumah di Indonesia mau memraktekkannya, pasti dahsyat pengaruhnya pada penghematan air.

Teknologi tepat guna 
Umumnya orang mengaitkan teknologi tepat guna dengan kemiskinan dan keterbatasan sumberdaya. Salah kaprah ini sudah saatnya diperbaiki. Pada kenyataannya teknologi tepat guna tidak sama dengan low-tech, ia bisa juga high-tech. Contohnya panel surya. Seperti pendapat Eko Prawoto, “Panel surya itu contoh teknologi tepat guna yang high-tech. Sekarang harganya masih dianggap mahal karena kita masih sekedar konsumen. Dengan kekayaan sinar matahari yang kita miliki, panel surya ini tepat guna. Tidak hanya di wilayah-wilayah yang belum terjangkau listrik, bagi yang mampu berinvestasi, sudah saatnya memakai teknologi ini.”

Saat ini di pasar sudah banyak dijual panel surya dengan berbagai merk, harga, dan spesifikasi. Konon produk dalam negeri juga mulai mudah diperoleh di pasar dengan harga lebih terjangkau dan kualitas bersaing. Benar bahwa harga panel surya masih mahal bagi kantung rata-rata keluarga Indonesia. Namun untuk hunian di wilayah-wilayah yang belum terjangkau listrik, untuk jangka panjang penggunaan panel surya lebih eknomis dibandingkan penggunaan mesin diesel atau alat lain yang butuh bahan bakar setiap kali hendak dipakai. Apalagi di beberapa wilayah di Indonesia bahan bakar selain sangat mahal juga tidak selalu tersedia.

“Bila peminatnya melimpah, kemungkinan harga panel surya akan murah dalam waktu tidak lama lagi,” tambah Eko Prawoto.

Gunakan bahan bangunan lokal
Banyak orang tidak menyadari bahwa penggunaan bahan bangunan lokal merupakan bagian penting dalam mendukung hunian hijau. Bila dipraktekkan secara luas dengan penuh kesadaran, dampaknya bisa luar biasa, bahkan mampu memperkuat akar budaya bangsa.

Rumah Gadjah Air - foto Mamang Firmansyah
“Contohnya penggunaan bambu,” jelas Eko Prawoto, “ketika orang tidak lagi memakainya, kita kehilangan banyak sekali. Di antaranya tradisi budidaya bambu, ketrampilan lokal menganyam dan mengolah bambu, produksi berbagai peralatan pertukangannya, dan merambat ke punahnya matapencaharian berbasis bambu.”

Masih menurut Eko Prawoto, selama ini kita salah paham terhadap penggunaan kayu sebagai bahan bangunan. Masyarakat Indonesia dihimbau tidak memakai kayu dengan alasan global warming dan deforestasi. “Faktanya, kayu kita dijual ke luar negeri. Indonesia bangga menjadi penyedia kayu dunia sementara negara-negara lain getol melindungi hutan mereka. Arsitektur Indonesia itu bertumpu pada kayu. Ia tumbuh di halaman kita. Sama dengan bambu, bila kita berhenti memakai kayu karena alasan yang keliru, tradisi kayu kita akan hilang, hingga ke hutan-hutannya. Kita terpaksa mengimpor besi dan aluminium dari negara lain. Yang penting adalah memakai kayu dengan bijaksana, menanam lagi setelah menebang, dan menggunakan kayu seumur pohonnya. Artinya, bila menebang pohon umur 60 tahun, kayunya harus dipakai untuk konstruksi atau perabotan yang kuat dipakai minimal selama 60 tahun. Tidak seperti sekarang ini. Pohon umur 60 tahun ditebang untuk dijual ke negara lain, diserut menjadi tripleks yang usianya hanya 3 bulan. Itu kejahatan lingkungan yang tidak kita sadari,” jelas Eko Prawoto panjang lebar.

Membangun hunian hijau memang bukan trend yang muncul sesaat, ia harus menjadi gaya hidup, dijalani dengan semangat kesederhaan dan penuh kesadaran.

***


Catatan: artikel ini rencananya akan dimuat dalam majalah arsitektur, namun si majalah batal terbit.

Tidak ada komentar: