Senin, 17 Juni 2013

Bebek-bebek di Kecamatan


Sumber Foto
Bumi masih enggan melepaskan selimut kabutnya ketika pagi merayap naik bersama sang surya. Puluhan jenis burung di dalam sangkar warna-warni yang bergantungan menghias teritisan Dalem Kecamatan berkicau bersahutan. Saling melengkapi bagai sebuah orkestra penanda hari baru segera berawal.

Kanjeng Camat menggeliat malas di peraduan. Ia enggan beranjak dari kasur mewah yang dirancang khusus untuknya oleh seorang ahli ortopedi paling ternama di penjuru kecamatan. Bukan karena kambuh encoknya bila Kanjeng Camat masih betah tergolek di atas kasur. Ia tengah memikirkan mimpinya yang tak mau pergi jua walaupun mata telah terbuka.

“Mimpiku…” ujar Kanjeng Camat pada salah satu abdinya yang berjaga di sebelah kanan peraduannya.

“Kanjeng Putri Camat sedang mandi,” jawab si abdi mengira Kanjeng Camat menanyakan sang istri.

“Mimpiku… Aku mimpi… Mimpiku!” Kanjeng Camat berteriak dengan suara agak serak.

“Ampun, Kanjeng Camat.” Seorang abdi lainnya yang berjaga di sebelah kirinya mendekat sambil membantu tuannya duduk di tepi peraduan.

“Siapkan air panas. Aku mau mandi,” perintah Kanjeng Camat pada dua abdinya. “Setelah itu segara panggil Patih untuk menghadap,” seru Kanjeng Camat sambil menyeret sendalnya menuju kamar mandi.

Ketika telah rapi berpakaian kebanggaan karya perancang favoritnya, Kanjeng Camat bergegas menemui Patih yang telah duduk di Pendopo Kecamatan. Begitu melihat junjungannya, Patih bangkit dari duduknya dan menghaturkan sembah dengan cara menelangkupkan kedua telapak tangan di dada.

“Selamat pagi, Kanjeng Camat. Ada titah apa?” Patih memandang wajah gundah penguasa kecamatan itu. Pasti ada kejadian genting lainnya karena Kanjeng Camat memanggilnya untuk menghadap sepagi ini. Bahkan mentari belum lebih tinggi dari pucuk daun jagung yang mengering di ladang samping rumahnya.

“Aku mimpi, Patih. Bila mimpiku ini jadi nyata, maka kecamatan kita akan terbebas dari kutukan.”

Tanpa panjang kata seperti biasanya, tanpa gerakan-gerakan tangan serupa pujangga membaca syairnya, Kanjeng Camat mulai bercerita. Dalam mimpinya Kanjeng Camat ditemui seorang pertapa tua. Sedemikian tuanya pertapa itu hingga bukan hanya rambut dan jenggotnya saja yang berwarna putih keperakan, juga kulit tubuh dan bola matanya. Semuanya putih, menyilaukan mata. Katanya, sang pertapa adalah jelmaan angin barat yang dipercaya sering bertiup ke timur menyebarkan keajaiban yang mampu membebaskan siapa saja dari kutukan.

Sang pertapa menyuruh Kanjeng Camat agar meminta warganya menyerahkan bebek ke Pendopo Kecamatan. Bebek-bebek itu akan diambil telurnya. Kanjeng Camat harus memilih seribu biji telur yang paling bersih dan besar. Telur-telur itu harus digoreng di Dapur Kecamatan dan dipotong kecil-kecil. Potongannya dibagikan pada seluruh warga kecamatan. Setiap warga harus mendapat satu bagian. Bila kata pertapa tua itu dilaksanakan maka kecamatan akan menjadi makmur dan tenteram.

Sebenarnya kecamatan itu wilayahnya amat subur. Lebih subur dari kecamatan-kecamatan lain yang terletak di sekelilingnya. Tanahnya gembur dan hujan turun secara teratur memenuhi sungai-sungai yang meliuk di sela-sela gunung dan perbukitan. Namun kutukan tampaknya telah mengubah tanah sawah berangsur-angsur tandus, perbukitan terancam gundul, dan sungai-sungai mengering perlahan. Kanjeng Camat telah bekerja keras untuk mencari cara agar wilayahnya terbebas dari kutukan. Namun upayanya tak membuahkan hasil. Hingga ia bermimpi bertemu seorang pertapa yang memberinya wangsit agar dirinya mengumpulkan bebek di Pendopo Kecamatan.

“Daulat, Kanjeng Camat,” kata Patih dengan penuh hormat. “Namun para penduduk kecamatan saat ini sangat melarat. Beras tak ada. Panen tak seberapa. Mereka tak akan mampu membeli bebek, Kanjeng Camat.”

Kanjeng Camat tercenung. Tiba-tiba wajah gelisahnya berubah cerah. “Aku punya gagasan.” Kanjeng Camat memandang Patih lekat-lekat. “Para warga akan membeli bebek dengan cara patungan. Satu bebek akan dibeli oleh sepuluh warga. Bagaimana? Gagasan yang cerdas, bukan?”

Patih yang setia mengangguk-anggukan kepalanya yang gundul dan tertutup kupiah kuning cerah itu. “Bagus, Kanjeng Camat. Bagus sekali.” Patih manggut-manggut tak henti-henti.

Pagi itu juga, tepat ketika matahari naik hampir setinggi pohon kelapa, Kanjeng Camat mengeluarkan perintah resmi. “Patihku yang setia. Perintahkan pada para Lurah agar warga mereka menyerahkan bebek ke Pendopo Kecamatan segera. Satu bebek dibeli oleh sepuluh warga.”

Sebelum tengah hari, Patih sudah mengumpulkan semua Lurah dan menyampaikan perintah Kanjeng Camat. “Wahai para Lurah, perintahkan pada para Kepala Dukuh agar warga mereka menyerahkan bebek ke Pendopo Kecamatan segera. Satu bebek dibeli oleh sepuluh warga.”

Para Lurah kemudian berlarian kembali ke desa mereka masing-masing dan mengumpulkan para Kepala Dukuh. Titah yang sama mereka serukan pada para Kepala Dukuh. Hari itu, semua Lurah dan Kepala Dukuh se kecamatan sibuk menghitung jumlah semua warga yang tinggal di wilayah kekuasaan masing-masing. Selanjutnya mereka menghitung jumlah bebek yang harus dibeli dan meminta semua warga untuk menyerahkan uang.

** 

Di salah satu desa di kecamatan itu ada seorang janda kaya raya. Selain berdagang, perempuan beranak tiga itu juga beternak bebek. Ada ribuan bebek yang setiap hari hilir mudik keluar masuk kandangnya yang lebih luas dari lapangan sepak bola. Sang janda bergembira ria. “Aku akan semakin kaya. Kanjeng Camat menitahkan para warga mengirim bebek ke Pendopo Kecamatan.”

Sepanjang malam perempuan itu bernyanyi sambil melayani para Kepala Dukuh yang antri membeli bebeknya.

“Itu bebekku. Aku sudah memilih yang gemuk itu!” teriak seorang Kepala Dukuh pada Kepala Dukuh lainnya yang merebut bebek dari tangannya. “Ini sudah kuikat kakinya dari tadi!” gertak Kepala Dukuh lainnya lagi. Maka hingar-bingar rumah sang janda kaya oleh suara bebek bercampur baku hantam para Kepala Dukuh yang saling berebut bebek paling gemuk.

“Tunggu! Tunggu dulu!” pekik sang janda. “Aku punya akal. Bebek-bebek yang sudah terbeli atau dipilih, akan aku beri warna berbeda pada bulunya agar kalian tidak bertengkar.”

Para Kepala Dukuh setuju. Pertengkaran sedikit mereda walaupun masih saja ada adu mulut di sana-sini. Sebelum tengah malam, para Kepala Dukuh dan pembantu mereka menggiring bebek-bebek yang telah diberi warna itu berbaris ke Pendopo Pedukuhan. Sedangkan sang janda begadang sepanjang malam, menghitung tumpukan uang hingga fajar menjelang.

 ** 

Keseokan harinya, terlihat dari segala arah rombongan Kepala Dukuh menggiring ribuan bebek ke Pendopo Kecamatan. Penduduk yang tinggal di kecamatan itu berjumlah tiga puluh ribu, jadi ada tiga ribu bebek yang pagi itu digiring masuk ke Pendopo Kecamatan.

“Hei! Pak Dukuh! Lewat sini! Bukan lewat situ!” Seorang penjaga kecamatan berteriak marah pada seorang Kepala Dukuh yang tidak mau antri dan mau menerobos lewat gerbang belakang.

“Di depan penuh, Pak Penjaga. Saya mau cepat masuk ke pendopo agar bebek-bebek saya yang gemuk-gemuk ini segera dilihat Kanjeng Camat,” kilahnya.

“Tidak bisa! Harus lewat depan!” Penjaga mengacungkan tombaknya.

“Pak Penjaga, tolonglah…” Sambil berkata begitu Kepala Dukuh itu membuka kantongnya yang bergemerincingan penuh dengan keping uang.

Tanpa banyak bicara, Pak Penjaga segera menurunkan tombaknya dan membuka gerbang belakang. “Cepat. Cepat,” bisik Pak Penjaga sambil menyelipkan beberapa keping uang ke saku celananya.

Sementara itu barisan bebek terus saja memasuki halaman pendopo kecamatan. Mereka gaduh bukan kepalang. Para Kepala Dukuh kesulitan menertibkan para bebek yang berlarian ke sana ke mari semau mereka sendiri. Seorang Kepala Dukuh yang mengecat bulu bebek-bebeknya dengan warna biru belingsatan mengejar dua ekor bebeknya yang masuk ke lingkaran bebek-bebek bercat hijau milik Kepala Dukuh tetangganya.

Suasana Pendopo Kecamatan gaduh tiada tandingan. Dalam waktu singkat tidak hanya keributan saja yang terlihat di pendopo kecamatan, tapi ada bau tak sedap yang menyebar karena ribuan bebek itu bergantian buang kotoran yang lembek kehitaman. Patih berteriak-teriak mencoba mengatasi keadaan yang makin sulit dikendalikan.

“Mana Kanjeng Camat?” tanya seorang Kepala Dukuh tidak sabar. “Bebek-bebek ini mulai kelaparan. Kami tidak punya makanan,” keluhnya sambil mengusap lelehan keringat di jidat dan lehernya.

“Sebentar… Sebentar…” Patih berlari masuk ke Dalem Kecamatan.

Dengan ketakutan ia memanggil Kanjeng Camat yang tengah menikmati sarapan. “Kanjeng Camat, ampunkan Patih yang tak becus ini. Para Kepala Dukuh sudah berada di pendopo dengan ribuan bebek yang gemuk. Bebek-bebek itu semua kelaparan, belum diberi makan sejak kemarin malam.”

Kanjeng Camat meninggalkan meja makan dengan muka masam. Ia tak berkenan. Langkahnya dipacu menuju Pendopo Kecamatan. “Mengurus bebek saja kalian tidak becus,” dengusnya.

Begitu tiba di Pendopo Kecamatan, Kanjeng Camat segera menyesali kata-katanya sendiri. Ribuan bebek beserta tahi lembek dan rontokan bulu berserakan menjijikkan. Bagaimana mereka bisa bertelur kalau suasana seperti perang begini? Mengapa tak kusuruh Patih dan semua Punggawa menyiapkan kandang duluan? Mengapa tak kusuruh para Penjaga menyiapkan pakan? Keluh Kanjeng Camat pada diri sendiri.

Teringat akan pakan, Kanjeng Camat makin gundah. Dari mana ia akan mendapat uang untuk membeli dedak? Apakah warga yang miskin pangan itu mau bila diminta patungan lagi? Ataukah gunung di perbatasan itu dijual saja pada Raden Camat tetangga?

Kanjeng Camat terduduk lemas memandangi ribuan bebek yang rontokan bulu dan tahinya mengotori lantai dan dinding Pendopo Kecamatan. Para Kepala Dukuh belingsatan membersihkan sekujur pakaian mereka yang belepotan tahi bebek yang lembek-hitam. Sementara Patih diam-diam melangkah keluar meninggalkan Pendopo Kecamatan melalui gerbang belakang.

 ***

Tidak ada komentar: