“Mamamu sembrono,” gerutuku, menemukan sedikit tonjolan tajam pada bibir kaleng, “biar Tante aja yang bawa ini. Kamu yang ngambil laron-laron itu,” ujarku, menuntun tangan keponakanku, mendekati tiang lampu jalan di dekat rumah Mbak Mimi, kakak sulungku.
Si bungsu lima tahun itu berseru kesenangan, menjumputi laron-laron yang kelojotan di atas jalan konblok. Hujan turun cukup lebat sesorean, laron-laron itu berlomba meninggalkan liang, beterbangan menuju lelampu, mencari pasangan, lalu berjatuhan dengan sayap patah.
“Vivi, ya?” suara lelaki menyapaku. Aku menoleh. Selain keluarga kakakku tak ada orang lain mengenalku di tempat ini.
“Bayu?” Dalam remang petang kukenali sosok yang menggandeng anak perempuan seusia Atika itu. Ia mengangguk.
“Lupa, ya?” selengkung senyum terpampang. “Apa kabar?” Sepasang matanya berkilau oleh sinar lampu jalan.
“Baik. Sehat. Alhamdulillah. Apa kabarmu? Kamu tinggal di sini? Ini siapa? Anakmu?” Bayu salah satu mantan pacarku. Sudah sepuluh tahun, sejak putus cinta, kami tidak bertemu. Wajahnya masih sama. Namun tubuhnya sedikit gemuk.
“Ya. Ini Kana, anakku nomer dua. Itu anakmu? Mirip kamu.”
“Bukan. Anak bungsu Mbak Mimi.”
Matanya tertunduk sembari tertawa. Ia masih ingat Mbak Mimi, namun belum tahu kalau kakakku itu tinggal di perumahan ini. Baru dua bulan keluarganya ia boyong ke mari. Anaknya dua. Si sulung hampir 8 tahun, kelas 2 SD, sangat suka bermain sepak bola, seperti bapaknya. Dari ceritanya, kuperkirakan Bayu menikah hanya setahun setelah hubungan kami berakhir. Sambil mengawasi dua balita bermain laron, Bayu mengisahkan dirinya. Istrinya memilih jadi ibu rumah tangga. Masih Bayu yang dulu, yang gemar bicara dan mudah tertawa.
Selepas makan malam, di sela-sela mencuci piring, kuceritakan pertemuanku dengan Bayu pada Mbak Mimi. Kakakku juga belum tahu kalau mantan pacarku itu jadi tetangganya.
“Kalau dulu kamu mau dinikahi, pasti anakmu udah dua,” ujarnya, menaruh piring bersih ke dalam rak, rasa sesal terselip dalam suaranya.
“Maksudnya?”
“Aku cuma bercanda.”
“Bukan bercanda kalau sering ngomong kayak gitu. Udah berapa kali aku bilang kalau belum pingin nikah. Aku juga nggak pernah merasa sendirian. Kalau mau, ada dua orang yang siap melamarku. Kalau aku mau.” Kalimat terakhir kuucapkan pelan dan tegas.
“Vivi. Aku cuma bercanda,” bisiknya, mengusap punggungku.
Dengan kesal kulepas apron dan kulempar ke atas meja makan. Aku mengunjungi kakakku karena sedang cuti. Ingin santai, sekalian menemaninya selama suaminya tugas ke luar negeri. Namun sejak menjemputku di bandara, ibu tiga anak itu tak henti-henti bicara dan menyindir tentang kesendirianku. “Kapan, Vi? Masa subur perempuan itu terbatas. Usiamu udah 34.” Itu sambutannya sambil memelukku di bandara, dua hari lalu. Aku tak menanggapinya. Pembicaraan kualihkan ke soal cuaca. “Kalau dulu sehabis lulus S-2 kamu langsung nikah, pasti anakmu udah sebaya Dwipa,” ujarnya, menyebut nama anak keduanya, kemarin pagi, saat kami menyiapkan sarapan. “Aku kenalin sama teman Mas Yok mau?” Itu tawaran entah yang keberapa selama beberapa tahun ini.
Mbak Mimi, sarjana sospol hubungan internasional itu, selalu resah dengan pilihan hidupku. Terutama sepeninggal Ibu, ia makin gencar menuntutku segera menikah.
“Maaf, Vi. Aku nggak niat ngerusak liburanmu. Aku cuma ingin kamu nggak nyia-nyiakan hidupmu,” ujarnya, dari dapur menyusulku ke kamar.
“Siapa bilang aku menyia-nyiakan hidupku? Aku udah membantu banyak orang. Ribuan korban konflik bisa terlindungi, ribuan anak-anak bisa sekolah lagi, karena program-programku. Bukan cuma di Indonesia. Di banyak negara!” jeritku. “Aku nggak mau kayak laron-laron itu. Keluar liang cuma buat cari pasangan, terpesona oleh gemerlap cinta, lalu mati lemas dengan sayap lepas. Sekolah tinggi-tinggi cuma untuk cari suami. Setelah nikah, ilmunya mati,” kata-kataku kuniatkan untuk membalas Mbak Mimi.
Kakakku menyelingar di ambang pintu. Selama ini tak sekalipun aku menyinggung pilihannya jadi ibu rumah tangga. Aku juga belum pernah berteriak sekeras itu padanya. Sepasang mata bulat-besarnya mengerjap-ngerjap. Kepala berambut ikal lebat itu tertunduk bagai bunga layu. Hati-hati pintu kamar ia rapatkan.
Esoknya, sehabis mengantar anak-anak sekolah Mbak Mimi mengajakku duduk di teras. Ia minta maaf atas tindakannya selama ini.
“Kamu sungguh-sungguh menganggapku seperti laron-laron itu, Vi?” tanyanya, memandang gelas berisi jus jambu yang masih penuh.
Di kala kecil kami suka sekali mengumpulkan laron. Di awal musim hujan, mereka selalu berebut keluar liang begitu hujan reda, mengerumuni sumber cahaya, mencari pasangan. Yang berhasil akan membentuk koloni baru dan sang betina jadi ratu. Yang gagal akan mati berbarengan munculnya mentari.
“Mungkin kita kayak laron. Mbak Mimi berhasil menemukan pasangan, lalu jadi ratu di rumah ini. Suatu saat Arya, Dwipa, dan Atika akan keluar dari sini, membentuk koloni mereka sendiri. Mungkin aku laron mutan, sayapku nggak rontok, aku nggak mati meskipun nggak dapat pasangan. Entahlah. Aku semalam cuma marah aja.”
“Aku ingin kamu bisa seperti Cici,” ia menyebut kakakku nomer dua, notaris sukses sekaligus istri dan ibu dua anak yang tampak berbahagia.
“Kalau Mbak Mimi tidak bisa seperti Mbak Cici, kenapa berpikir aku bisa seperti dia?”
“Sebagai mbakyumu aku berharap kamu bisa hidup lebih senang.”
“Aku senang dengan hidupku. Bisa keliling dunia, ketemu banyak orang, belajar hal-hal baru. Aku tidak mau mengikatkan diri pada laki-laki seperti Bayu atau Rangga.”
“Atau Danar dan Koko,” sahut Mbak Mimi menyebut dua nama lagi, mantan-mantan pacarku.
“Mereka nggak bisa nerima pekerjaanku, padahal aku sangat mencintainya. Ya udah…. Selain itu, kenapa Mbak Mimi sulit nerima kalau aku nggak ingin punya anak?” Kutatap kakakku. “Ada perempuan yang ingin jadi ibu dan istri saja, ada yang bisa seperti Mbak Cici, mungkin itu yang ideal. Ada yang mati-matian pingin punya anak tapi nggak bisa lalu adopsi atau malah beli bayi. Ada yang seperti aku. Apa itu sulit dimengerti?”
“Ya. Aku masih sulit mengerti,” bisiknya, “tapi aku akan berusaha menerima.”
Aku mendengus. “Nggak apa-apa, asal jangan nggerecokin. Kalau aku ketemu laki-laki yang cocok, aku pasti akan cerita.” Ingin kuakhiri obrolan kami perkara ini. “Sudah saatnya njemput Atika,” kataku.
“Ya. Tolong urus dapur, ya. Semua udah aku racik, tinggal ditumis aja.”
Siang ini kami ingin makan nasi hainan.
“Jangan lupa cuciannya, ya,” ujar Mbak Mimi, memakai sepatunya, melihat ke langit.
Kupandangi mobil kakakku keluar halaman. Kulihat di angkasa beringsut-ingsut awan gelap mendekat, menjulurkan lidah-lidahnya, pertanda hujan segera tiba. Pasti sore nanti Atika akan kembali mengajakku mencari laron, mengumpulkannya ke dalam kaleng bekas susu, mengamati mereka sampai bosan lalu memberikannya ke tetangga sebagai pakan ikan-ikan di kolam belakang.
***
10 komentar:
benar2 kisah jomblo..hahaha..
Btw, itu loncatannya bisa dipelajari tuh Mbak..tengkyuuu..
benar2 kisah jomblo..hahaha..
Btw, itu loncatannya bisa dipelajari tuh Mbak..tengkyuuu..
karir terkadang memang membutakan status :)
ah,, karir :)
suka mbak sama cerpen ini :) semoga nanti linda bisa jadi kayak cici :D
Sari: iya. ini memang kisah jomblo. banyak jomblo di sekitarku dan kisah mereka asyik2... :-)
@Mbak Afriyani: terima kasih sdh baca + berkomentar. yg saya dengar dari para jomblo itu, karir mereka tdk "membutakan", tapi justru "membuka mata lebih lebar". Mereka punya tambahan pilihan: berkeluarga dan jadi IRT, berkarir sambil berkeluarga, atau berkarir saja. Pilihan hidup orang beragam dan kisah pendek ini sy tulis untuk menghargai semua pilihan itu.... :-)
Salam.
Linda: terima kasih. semoga terkabulkan, aamiin...
mbak endah, agak bingung. tadi di awal cerita kalau ketemu sama si bima waktu cari laron. kok lama-lama jadi bayu yak? apa akunya yang kurang teliti baca?
Miss Rochma, justru Miss Rochma yang teliti. Saya yg tdk teliti wkt mengubah nama dari Bima jadi Bayu. Sekarang semua udh saya ganti namanya jadi Bayu.
Terima kasih banyak. Salam :-)
Saya merasa spt sosok mba mimi disini, 2 th lalu saya lumayan "usil" thd adik saya yg hingga di usianya yg 36 th jg blm menikah, saya selalu merasa kurang apa sih adik saya itu, lulusan cumlaude dr UGM, kariernya jg lancar, tp jodohnya teramat seret, sbg kakak tertua saya yg selalu kebagian "job" dr ibuk utk ngingetin adik saya itu ttg umurnya dan akhirnya berhasil, dia berjodoh dgn org yg sama sekali tdk kami bayangkan, org "biasa" yg bahkan kuliah pun tdk, tp namanya jodoh siapa yg bisa memungkirinya, dan mungkin saja Atika nanti akan berjodoh dgn org yg "biasa2" aja kali ya hehehe
Memang, mb Edi, umumnya mbakyu apa ibu apa nenek apa tante yg udh nikah, suka usil kalau ada kerabat yg belum nikah. Pada lupa kalau si lajang menjalani hidup bahagia dan benar2 tdk ingin bersuami (dan beranak) krn berbagai alasan. Semoga adiknya skrg lebih bahagia, ya.
Posting Komentar