Kamis, 17 Januari 2013

Ada Apa dengan Bule dan Janda?

Sumber Foto
Tulisan ini lahir karena sebuah komentar di Facebook.

Syahdan pada suatu malam di negeri Facebook, saya memasang tautan ke salah satu cerpen lama, ‘Faith’, yang tayang di Kampung Fiksi. Salah satu tokoh dalam kisah itu adalah janda asal Jogja bernama Astari yang jatuh cinta pada lelaki Amerika bernama Liam. Tokoh utama cerita ini adalah Aku yang mengisahkan perjalanan cinta ibunya (Astari). Liam, si bule, hanya pemeran pembantu.

Entah mengapa salah satu pembaca, yang kebetulan juga membaca novel perdana saya, berkomentar bahwa karakter-karakter dalam cerita saya ‘pasti bule dan wanitanya janda anak priyayi’. Awalnya saya tertawa, sebab dua tokoh utama dalam novel saya ‘Senja di Chao Phraya’ juga janda dari Jogja dan bule Amerika. Duh!

Namun sehabis tertawa muncul selusin lipatan di jidat. Benarkah karakter-karakter saya ‘pasti bule dan wanitanya janda’? Eiiittts…! Tunggu dulu. Di sini saya cantumkan tautan ke beberapa cerpen saya yang dimuat di Kompas.com, Kampung Fiksi, Baltyra, dan blog saya ini:

Bagai Shabu-Shabu - tokohnya perawan dan jejaka Indonesia
Malaikat Bergaun Merah - tokohnya perempuan bersuami dan jejaka Indonesia
Bara Dendam - tokohnya preman perempuan Indonesia
Pulang - tokohnya dua perempuan lajang Indonesia
Sang Penderas Nira - tokohnya perempuan lajang Indonesia
Allambee, Anak Lelaki Wurundjeri - tokohnya anak Aborigin dan perempuan bersuami Indonesia
Darsinem - tokohnya perempuan lajang Indonesia
Tante Wari - tokohnya perempuan lajang Indonesia

Yang saya sebut di atas hanya sebagian (kecil) dari puluhan cerpen yang pernah saya tulis. Bila benar-benar dihitung, jumlah tokoh yang masuk kategori ‘bule dan janda priyayi’ tak bakal mencapai 5% dari semua tokoh dalam cerita-cerita saya. Ada 8 cerpen saya yang sudah dibukukan dalam 4 kumpulan cerpen oleh Kampung Fiksi. Kalau tidak salah ingat, tidak satupun ada tokoh bule di situ; juga tak ada jandanya. Dalam cerpen ‘A p i’ yang masuk dalam kumpulan cerpen ‘Kotak Pandora’, tokohnya justru preman perempuan, seperti dalam ‘Bara Dendam’.

Mengapa kombinasi ‘bule dan janda’ ini tampak menyolok bagi (sebagian) pembaca? Sungguh – mati – saya jadi penasaran (kok malah nyanyi… hihihiii….). Apakah kebetulan cerita-cerita saya yang menokohkan ‘bule dan janda’ merupakan cerita terbaik saya, hingga karakter-karakter itu melekat dalam benak pembaca? Apakah kombinasi ‘bule dan janda’ itu nyerempet bahaya – yang bagaimana pula ini? Bukankah sudah jamak perempuan Indonesia menikahi bule? Entahlah.

Yang jelas, semua tulisan saya terilhami oleh orang-orang dan kejadian di sekitar saya. Kebetulan teman-teman lelaki bule saya menurut saya (jelas subyektif) tidak mempersoalkan status perempuan – menikah, janda, perawan tua/muda, lajang perawan/tidak perawan. Sedangkan beberapa – sekali lagi hanya beberapa – teman lelaki lokal lebih rewel.

Ada duda tanpa anak, masih relatif muda, menolak saya kenalkan dengan janda. Alasannya: kalau sudah menjanda biasanya rewel. Loh? Buat saya, dengan penolakan itu si duda rewel juga. Bukan begitu? Look who’s talking!

Sebaliknya, perempuan lajang lebih luwes. Sudah saya buktikan juga. Beberapa waktu lalu saya mencoba mengenalkan teman perempuan dengan duda beranak dua. Teman perempuan itu membuka diri, katanya: “Oke. Siapa tahu saling cocok .” Lalu mereka saling bertukar PIN Blackberry. Kalau mereka jadian, waaah… saya mendapat ganjaran Tuhan.

Pengalaman itu jadi ilham. Saya sesekali pilih tokoh bule. Disanggah atau diterima, terutama di kota-kota besar, pola hubungan lelaki-perempuan kini lebih bervariasi ketimbang beberapa dekade lalu. Kemandirian finansial yang diraih perempuan telah ‘memerdekakan’ mereka dari ketergantungan terhadap lelaki (suami, ayah, atau kakak). Perempuan mandiri jadi enggan berpasangan dengan lelaki rewel, yang dikit-dikit minta dilayani, bahkan untuk sekedar menyeduh kopi. Mereka banyak yang menolak menukar kemerdekaan dengan cinta, apalagi kalau harus dihakimi sebagai ‘perawan tua’ atau ‘tak lagi perawan’. Lelaki bule, yang terlahir dan tumbuh di negara-negara yang sudah lebih dulu melewati proses itu (jangan dikira di negara-negara para bule itu perempuan tidak ‘dinomorduakan’. Mereka pun harus berjuang keras untuk meraih kesetaraan) secara umum sudah mau lebih terbuka dan menerima berbagai ‘jenis’ perempuan. Misalnya: mereka tidak mengaitkan keperawanan seorang perempuan dengan moralnya. Kalau ada itu pengecualian.

Bule itu juga semacam symbol saja. Bisa diartikan juga saya telah salah menilai laki-laki Indonesia. Bias. Berprasangka buruk.

Namun saya bukan sosiolog, dan sama sekali jauh dari niat menganalisa secara ilmiah. Yang saya tuliskan itu semata logika plus hasil pengamatan dan pengalaman sehari-hari, untuk menghidupkan tokoh-tokoh cerita saya.

Tokoh-tokoh cerita saya – yang bule – sudah setengah baya. Sempat juga muncul pertanyaan iseng ini: apakah (sebagian) pembaca secara tak sadar mengaitkan tokoh cerita saya dengan para bintang film Hollywood yang – saya akui – tetap sexy meskipun usia menua? Mungkin sambil membaca, ingatan sang pembaca otomatis terhubung dengan hot guys seperti Richard Gere, Mark Harmon, Harrison Ford, George Clooney, dan ‘handsome old fox’ berambut perak lainnya, yang seliweran mejeng di layar TV kita. Hmmm… apa ada yang punya jawabannya?

Saya hanya bisa garuk-garuk kepala.

Mungkin saya perlu menulis kisah dengan pemeran utama duda Indonesia dan perempuan (muda) bule. Tapi tugas saya pasti akan luar biasa berat. Sebab ketika saya membayangkan ‘duda Indonesia’, yang muncul di kepala adalah sosok-sosok di TV itu, para petinggi negeri yang… iiihhh… enggak banget, deh!

Catatan:
Nama Liam dlm cerpen 'Faith' itu jelas-jelas karena saya termehek-mehek sama Liam Neeson. Dan dia dari Irlandia. Begitu juga si Liam McKenna kekasih Astari.... 
 

*** 

Tulisan ini untuk Mbak Edi, yang kebetulan sarjana antropologi, seperti tokoh janda dalam novel saya, yang jatuh cinta pada bule Amerika.

4 komentar:

Ria Rochma mengatakan...

ternyata seperti itu ya mbak? duluuuuu jaman SMA, belajar antropologi tapi nggak belajar tentang janda itu bagaimana, bule atau lokal itu bagaimana juga.

menyenangkan tampaknya untuk dipelajari :)

Unknown mengatakan...

Jiaaahhhh....tp emang yg janda dan bule ini yg cukup melekat di ingatan mba, atau krn gara2 "senja di chao phraya" ya...melekat banget je di kepala, pokoke serasa semua jd mirip goerge cloney...hahaha..mungkin kalo si bre dan kyaw "longyi biru" sdh jd buku bisa kehapus kali ya karakter si osken yg bule ituhahaha...nahh sekali2 bikin yg wanita jogja yg antropolog dgn peranakan cina mba hshaha...malah reques wakakakkk....

Endah Raharjo mengatakan...

Ini pengalaman sy, Miss Rochma. Orang lain, atau Miss Rochma sendiri mungkin punya pengalaman beda. Kalau tokoh dlm cerita kita ingin lebih hidup, memang hrs riset. Mengamati itu bagian dr riset. Tp tiap manusia itu unik, dan nurut sy tokoh2 cerita jg unik. Penulis jg punya kebebasan memberi karakter pd tokoh2nya, di situ slh satu asyiknya nulis fiksi.

Endah Raharjo mengatakan...

Heheheee... Bree ini arsitek, perempuan Jawa dan Kyaw lelaki Burma. Nanti kapan2 request-nya sy coba penuhi. Tp mgkn tdk dlm wkt dekat. Sy hrs mengamati peranakan Cina dulu. Harus wawancara juga. Kalo perempuan antropolog kebetulan adik ipar sy jg antropolog, jd gampang :-)
Saya sungguh tersanjung kalo sampai karakter rekaan sy berkesan di hati pembaca, buruk atau baik itu sepenuhnya hak pembaca unt membayangkan/menilai krn tiap pembaca akan mengaitkan pengalaman pribadinha dgn cerita. Sy jg gitu kalo baca tulisan orang lain.