Tulisan ini semacam rekam jejak bagaimana saya mengembangkan dua karakter utama dalam novel perdana saya: Senja di Chao Phraya. Beberapa komentar pembaca novel itu saya petik untuk melengkapi tulisan ini. Ada juga sebenarnya sebuah tulisan pendek berisi kesan mendalam tentang dua karakter dalam cerita itu, namun sudah dihapus, jadi tidak bisa saya rujuk lagi.
Novel tersebut merupakan prasasti penanda berawalnya karir – waduuuhhh – saya di dunia menulis fiksi. Cikal bakal novel itu berupa kisah perjalanan sepanjang 5 ribu kata, berjudul Di Balik Belitan Razor Wire. Setelah tulisan itu jadi, saya terpicu untuk menaruh kisah cinta di dalamnya. Pikir saya, waktu itu, akan asyik.
Lalu saya ciptakan 2 tokoh utama, perempuan Jogja bernama Larasati dan lelaki bule bernama Osken O’Shea. Di pertengahan tahun 2010, lahirlah sebuah cerita bersambung 4 episode, saya juduli ‘Senja Di Chao Phraya’. Dua tahun kemudian, tanpa terasa kisah cinta itu berkembang menjadi naskah setebal 210 halaman A-4, sejumlah 55 ribu kata.
Pada bagian pertama ini akan saya bagikan pengalaman saya mengembangkan karakter Larasati.
Alkisah, hiduplah perempuan Jogja bernama Jeng Larasati, dipanggil Laras, janda beranak dua, antropolog yang bekerja sebagai peneliti di sebuah lembaga penelitian internasional berkantor di Bangkok, Thailand.
Di benak saya, waktu itu, Laras saya ‘ciptakan’ sebagai perempuan bekerja, cerdas, mandiri, keras kepala, dan angkuh. Suaminya seorang lelaki sabar, mengerti karirnya, dan memberinya keleluasaan untuk menjadi diri sendiri. Suami idaman, pokoknya! Hidup Laras, awalnya, nyaris sempurna. Namun usia sang suami pendek.
Sepeninggal suaminya, Laras terguncang, karakternya berubah menjadi peragu, gamang, kikuk, terlalu keras menjaga citranya sebagai ‘janda baik-baik’. Galau, gitulah! Segala persoalan hidupnya bersumber pada dirinya sendiri. Dalam pikiran saya, perubahan karakter itu merupakan mekanisme pertahanan diri – defense mechanism – seorang janda yang hidup dalam lingkungan yang masih didominasi lelaki; dan dikelilingi perempuan yang – sadar atau tak sadar – menganggap lelaki adalah pelindung mereka. Saya merujuk pada salah satu teori psikoanalisis Freud (tidak akan saya jabarkan di sini, sebab pemahaman saya mungkin tidak tepat, bisa bahaya, apalagi saya bukan ahlinya). Saya membaca buku tentang teori-teori Freud yang ditulis oleh orang lain.
Untuk memperkuat karakter Laras, di sana-sini saya munculkan pikiran-pikirannya tentang berbagai hal, khususnya pendapatnya tentang janda dan keputusan-keputusan yang harus dibuat perempuan dalam menapaki hidupnya. Bisa jadi ungkapan-ungkapan pikiran pribadi Laras itu terlalu kuat, atau porsinya kebanyakan, sehingga banyak pembaca punya kesan bahwa Laras adalah perempuan yang sangat keras dan super galau.
Karakter tokoh dibangun lewat tiga elemen utama cerita: dialog, narasi, dan deskripsi. Kira-kira penerapannya seperti di bawah ini:
Dialog. Penulis bisa memakai dialog untuk menggambarkan karakter tokohnya. Misalnya ia ingin membuat tokoh yang suka mengumpat, bisa lewat dialog semacam ini:
“Anjing!” seru Rini.
“Rin, sabar, ini malam tahun baru, di mana-mana lalu lintas macet.”
“Kamu nggak usah banyak bacot! Yang nyupir siapa,” salaknya, menengok ke arahku. “Brengsek! Babi!” matanya melotot mengikuti mobil silver itu.
Narasi. Untuk tokoh Rini di atas, bisa digambarkan dengan narasi seperti ini:
“… Wajah manisnya bertolakbelakang dengan kebiasaannya mengumpat. Bila sedang kesal, mulut Rini enteng saja menyebut aneka binatang berkaki empat semacam anjing dan babi. Telingaku sampai perih…”
Deskripsi. Masih tetap memakai tokoh Rini sebagai contoh:
“… Mulut Rini monyong satu inci, menyumpahi pengendara mobil yang menyalip dari kiri, nyaris membentur kaca spion mobil kami. Matanya tak berhenti melotot mengikuti mobil silver itu. Umpatannya keras dan keji, membuatku membayangkan seekor anjing kurus kurapan yang liurnya penuh virus rabies…”
Agar kesan pembaca terhadap karakter si tokoh tidak meleset jauh dari keinginan penulis, diperlukan latihan terus menerus.
Penulis juga harus ingat bahwa manusia umumnya tidak berkarakter tunggal: baik atau buruk, hitam atau putih. Kebanyakan orang – atau mungkin malah semua – berkarater campuran: rendah hati, pintar, dan pelit; cantik, sombong, miskin, dan licik; sopan, tampan, curang, dan pemalas.
Kembali pada salah satu tokoh utama dalam novel saya, Larasati. Seorang pembaca punya kesan Laras ini penampilannya cantik namun hatinya bulukan. Beberapa pembaca perempuan begitu geram pada Laras. Ia dianggap semena-mena terhadap lelaki yang di/mencintainya. Ia dinilai kelewat galau, peragu, sekaligus super jaim.
Sungguh saya tidak berencana membuat tokoh utama saya sekelam itu. Bahwa Laras angkuh, jaim, dan galau, itu sudah saya rancang sejak awal. Namun ia juga baik hati, suka mengalah, siap berkorban apapun untuk keluarganya, dan sangat menghormati orang tua.
Rupanya saya terlalu bersemangat menonjolkan kegalauan dan keangkuhannya, baik lewat dialog, narasi, maupun deskripsi. Sifat-sifat baiknya kurang mendapat perhatian, jadi tak bisa ditangkap pembaca. Ini semua terjadi salah satunya karena saya belum piawai memadukan elemen-elemen dialog, narasi, dan deskripsi tersebut dalam kerangka kisah yang hendak saya bangun.
Semoga tulisan ini berguna bagi teman-teman yang sama-sama sedang menulis fiksi. Cermatlah memadukan dialog, narasi, dan deskripsi agar karakter si tokoh sesuai dengan keinginan kita. Namun perlu diingat juga, imajinasi dan pengalaman hidup para pembaca juga berperan penting dalam membangun karakter tokoh kita di dalam benak mereka.
Bagaimana dengan tokoh satunya lagi? Osken O’Shea? Akan saya bagi dalam tulisan berikutnya. Sabar, ya.
***
2 komentar:
menunggu kelanjutannya :)
terima kasih, mb Edi, udh baca. Moda2 ada manfaatnya dan sy bs segera nulis lanjutannya :-)
Posting Komentar