Sabtu, 27 Oktober 2012

Sepotong Kisah Hujan

Cahaya beringsut meninggalkan ruangan. Di luar, gelap mendung tergesa-gesa datang mengantar hujan. Rerintiknya berlarian di atas atap, berjatuhan di pohonan, membasahi daunan, menyegarkan rumputan. Seekor anak ayam berlari-lari kebingungan. Dua kaki kurusnya menapaki genangan, membuat riak-riak tambahan. Dengan lincah ia menyelinap di antara lubang-lubang pagar, berlindung di bawah teritisan. Ia tampak kedinginan.

Angin bertiup kencang, suaranya serupa lolongan serigala menyambut malam. Dahan-ranting meliuk, menggelinjang, menikmati persetubuhan dengan sang hujan. Satu-satu daun-daun kering berguguran, diterbangkan angin lalu jatuh ke dalam genangan. Seekor lipan menggeliat pelan, meninggalkan liang yang terbanjiri air hujan. Susah payah ia merambati pagar, mencari ruang di sela-sela batuan. Sementara di ubin teras berbaris ribuan semut hitam, terlindung dari hujan, masing-masing memanggul makanan.

“Apa yang kau pandangi, Rima?” tanyaku.

“Ah… hanya hujan, Ma,” jawabnya, tanpa mengalihkan matanya dari rinai hujan yang mengalir turun dari teritisan. Tampiasnya memercikkan butiran-butiran air ke wajah Rima, sebagian masuk ke ruang depan lewat jendela.

“Apa eloknya hujan?” tanyaku, kembali melihat keluar dari jendela satunya. Tidak ada jawaban, hanya suara hujan berjatuhan di atap rumah kami diselingi salak halilintar dan desau angin.

“Anak ayamnya kasihan, Ma. Aku kasih makan, boleh?” Rima mengalihkan matanya dari hujan ke diriku.

“Yuk, kita kasih makan.” Berkata begitu aku beranjak dari kursi. Rima meninggalkan jendela, mengikutiku.

Anak ayam itu berlindung di depan garasi, di bawah teritisan.

“Mama ambil nasi dulu, supaya dia tidak lari kalau pintunya kita buka.” Aku ke dapur mengambil sesendok nasi dan kembali ke garasi. Salah satu daun pintu kubuka sedikit. Pelan-pelan, sendok nasi kuselipkan keluar dan nasi kusebar. Rima mengendap-endap dari balik pintu, memandangi anak ayam itu melalui kisi-kisi di bagian bawah daun pintu.

“Anak ayamnya celingukan….” Rima berbisik-bisik, berjongkok, kepalanya menempel pada kisi-kisi agar matanya bisa mengawasi. “Sekarang dia udah mulai makan,” suara Rima terdengar lega.

“Kita tambah nasinya?”

“Iya, Ma. Tambah nasinya. Kayaknya dia kelaparan.” Sebentar aku ke dapur dan segera kembali ke garasi lagi sambil membawa semangkuk kecil nasi.

Kali ini pintu kubuka agak lebar. Si anak ayam tidak ketakutan. Kepalanya diangkat, dua matanya yang kecil-bulat memandangku dan mangkuk di tanganku. Kepala Rima menelusup di samping kakiku. Mata Rima dan mata kecil ayam itu beradu. Anak ayam itu melangkah mendekat. Kubuka pintu lebih lebar agar Rima bisa keluar.

Kusodorkan mangkuk berisi nasi ke tangan Rima yang langsung meletakkannya di depan si anak ayam. Sementara anak ayam itu mematuki butiran-butiran nasi, tangan Rima mengelus bulu-bulunya yang basah terguyur hujan. Cepat sekali mereka berteman.

Kutinggalkan mereka berdua. Sesekali terdengar tawa renyah berseling dengan kotek lembut anak ayam. Hujan berangsur-angsur reda. Sinar matahari malu-malu muncul kembali, memamerkan kilaunya pada bumi.

Kudengar pintu garasi tertutup pelan disusul langkah-langkah kecil menaiki undak-undak yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah. Sesosok tubuh mungil berjalan menuju ruang depan. Sebentuk senyum senang terukir di wajah kekanak-kanakan. Kubuka dua lenganku lebar dan Rima masuk dalam dekapan.

“Anak ayamnya sudah pergi, Ma. Mungkin pulang,” bisik Rima senang.

***

Tidak ada komentar: