“Kraaakkk…!” Meja kaca di ruang tamu itu pecah, kaki Ima dan Lila berdarah-darah. Tetangga kami tidak marah, mereka justru mengantar Mama membawa dua adikku ke rumah sakit terdekat.
“Mbak Hanna janji, nggak akan membiarkan kucing melukai kalian lagi,” kataku, sambil menunggui Ima dan Lila dirawat kakinya oleh dokter. Sejak kejadian itu, sebagai anak sulung, aku selalu berhati-hati. Walaupun aku suka kucing dan pernah ingin memelihara satu ekor di rumah, namun aku mengalah. Aku tidak mau dua adikku terluka lagi gara-gara kucing.
Di sebuah pagi, saat menunggu Papa mengeluarkan mobil dari garasi untuk mengantar kami ke sekolah, aku melihat seekor bayi kucing berbulu hitam tertidur di depan pagar rumah. Ia terlindung oleh perdu mawar yang ditanam Mama untuk menghiasi pagar depan. Tubuhnya yang mungil tampak kedinginan. Diam-diam, aku keluarkan sedikit kue dari kotak makan siang, pelan-pelan kutaruh di samping si kucing hitam.
“Hanna. Ayo! Nanti kesiangan,” suara Papa bernada tinggi. Si hitam mungil jadi terbangun. Dengan susah payah ia mencoba bangkit, namun tak jadi berlari ketika dilihatnya ada sepotong roti di dekatnya. Matanya bergantian memandangiku dan roti itu. Kemudian potongan roti itu dijilatinya.
“Mbak Hannaaa…!” Dari dalam mobil Ima berteriak. “Mbak Hanna kok ngasih makan kucing, sih? Ntar dia jadi sering dateng ke rumah,” protes Ima.
“Iya, tuh, Pa….” Si bungsu Lila cemberut, mengadu ke Papa.
“Tidak apa-apa. Kalau pintu selalu ditutup, kucing tidak akan bisa masuk ke rumah. Mbak Hanna pasti juga akan menjaga kalian. Selalu begitu, kan? Tidak apa-apa.” Dengan suaranya yang merdu Papa menenangkan adik-adikku.
Sejak itu aku selalu memberi makan kucing kecil hitam itu. Ia kucing kampung yang tidak bertuan dan tidak berteman. Aku tak ingin memberinya nama, cukup kupanggil Si Hitam. Tiap pagi sebelum aku berangkat sekolah, ia selalu menungguku di tempat yang sama, di luar pagar, di bawah kerimbunan perdu mawar. Kini di tempat itu kutaruh piring dan mangkuk kecil, untuk tempat makanan dan susu. Aku berpesan pada Bi Darmi, perempuan yang membantu Mama mengurus rumah, agar barang-barang itu jangan disingkirkan dan sesekali dibersihkan.
Setelah tiga bulan, Si Hitam mulai tumbuh cukup besar. Bulu hitamnya makin cantik dan berkilat. Matanya tampak kuning cemerlang. Dari Bi Darmi aku tahu kalau kucing hitam itu betina. Ia tambah sering datang ke rumah. Menungguku di depan pagar, tiduran di bawah perdu mawar. Kini seisi rumah tahu kalau aku berteman dengan seekor kucing hitam.
“Dia penjagaku,” aku sesumbar pada teman-teman sekelasku. “Dia hapal jadwal pulang sekolahku,” tambahku. “Dia juga bisa membaui tubuhku. Kalau bukan aku yang memberi makan, dia tidak mau datang.” Teman-temanku kagum akan ceritaku.
Kucing hitamku, ya… aku menganggapnya milikku, tidak sama dengan kucing kampung lainnya. Dia sopan. Kalau sore, kami sering ngobrol berdua saja. Dia tetap di luar pagar dan aku di halaman, di dalam pagar. “Mbak Hanna tidak akan mengijinkan kucing itu masuk ke halaman,” janjiku pada Ima dan Lila.
Kucingku seperti tahu kalau adik-adikku takut padanya. “Jangan masuk ke halaman, ya. Ima dan Lila takut padamu. Mereka tidak nakal, hanya takut saja,” selalu bisikku, sambil memberinya kue-kue dan susu.
Supaya aku mudah membelai-belai kucingku, yang setia menjaga di luar pagar, Mama memotong beberapa batang mawar. Tanganku bisa leluasa mengelusnya lewat lubang-lubang pagar. Dia akan bergulingan bila kuelus lehernya yang langsing. Mungkin karena ia liar, tubuhnya tidak gemuk walau setiap hari kuberi makan.
Kini kucingku usianya sudah sekitar 6 bulan. Kaki-kakinya makin kokoh dan ekornya tambah panjang. Aku paling suka dengan warna matanya, kuning jernih dengan manik mata hitam dan tajam. Seperti mata macan.
Sore itu, aku keluar rumah membeli beberapa barang di warung tak jauh dari rumah. Kebetulan Mama dan Papa sedang menghadiri kondangan. Bi Darmi pulang kampung menengok keluarganya yang sakit. “Mbak Hanna ke warung sebentar,” kataku pada Ima dan Lila. “Jangan buka pagar kalau ada orang datang, walaupun dia ngaku sebagai teman atau saudara. Ya?” Aku menirukan pesan Mama dan Papa setiap kali kami di rumah tanpa orang dewasa.
“Ima beliin es krim ya, Mbak,” pinta Ima.
“Lila juga, yaaa!” si bungsu mengikuti.
“Mbak Hanna akan nutup pintu pagar. Nggak usah kuatir. Si Hitam nggak akan masuk ke halaman.” Kedua adikku mengangguk bersamaan. Mereka tahu kalau kucing hitamku itu tidak pernah melanggar aturan.
“Jaga adik-adikku, ya,” bisikku pada kucingku yang tengah terkantuk-kantuk di depan pagar. Aku hanya pergi sebentar.
Ketika pulang dan hendak membuka pagar kulihat kucingku sudah berada di halaman. Persis di depan teras. Empat kakinya kokoh mengangkang, ekornya tegak menegang, punggungnya melengkung seolah siap menerkam. Dari dalam rumah kudengar Ima dan Lila menjerit-jerit ketakutan. Kudorong pintu pagar. Ya, Tuhan. Kulihat seekor ular kecil di depan teras. Si Hitam menghadangnya. Dua binatang itu berhadap-hadapan. Aku ketakutan.
“Imaaa… Lilaaa… jangan keluaaar! Mbak Hanna cari bantuaaan…!” aku berlari minta tolong Om Haryo, tetangga sebelah rumah.
Cepat dan sigap, dengan galah Om Haryo memukul-mukul ular kecil yang panjangnya sekitar setengah meter itu.
“Sudah mati ularnya, Hanna. Segera masuk ke rumah, Nak. Tutup pintu. Jangan takut. Om Haryo harus membuang ular ini. Nanti Om Haryo kembali ke sini.” Om Haryo mengait ular mati itu dengan ujung galah, membawanya ke luar.
Rupanya kucing hitamku telah membantuku menjaga adik-adikku. Sambil mendekap Ima dan Lila, lewat jendela kupandangi kucingku yang masih berdiri di depan teras. Mata kami beradu. Air mata haru menggenang di mataku. Pelan-pelan, Si Hitam berjalan keluar dan hilang di balik pintu pagar. Walau mataku tak bisa lagi melihatnya, aku tahu, dia pasti menungguku, di depan pagar, di bawah perdu mawar.
***
2 komentar:
untung saja si Hitam ngga kenapa2 *pheww*
Hahahahaaa... si kucing itu bener ada, Indah. Itu fotonya pas lg main di halaman rumah saya. Skrg masih sering mampir, apalagi kalo hujan, suka melungker tiduran di keset, mungkin empuk dan anget...
Thanks, Indah, udh jalan2 di sini :-)
Posting Komentar