Setting untuk epilog Senja di Chao Phraya: sungai Potomac (dok. pribadi) |
J.R.R Tolkien, pengarang kisah kolosal The Lord of the Rings, membuat peta berlangsungnya cerita untuk memandu pembaca memahami lokasi cerita. Ia juga membuat satuan masa tersendiri untuk kaum Hobbits, yang disebut dengan 'the Shire-reckoning', yang disingkat SR. Tolkien menuliskan tempat dan waktu petualangan Frodo, Bilbo, Gandalf, Aragon, dan Lady Arwen sedemikian rinci dan memukau hingga pembaca fanatiknya memberi masukan - dan ikut menyempurnakan - untuk edisi kedua dan seterusnya.
Dimensi ruang dan waktu berlangsungnya sebuah kisah, itulah setting. Setiap kisah, siapapun pelakunya, pasti terjadi di ruang (tempat atau lokasi) tertentu dalam kerangka waktu tertentu. Setting amat penting dalam cerita, tanpa itu para tokohnya sulit bisa hidup dalam imajinasi pembacanya.
Eudora Alice Welty, pengarang perempuan Amerika yang memenangi Anugerah Pulitzer pada 1973 lewat novelnya The Optimist’s Daughter, mengatakan bahwa tempat atau lokasi membuat fiksi menjadi nyata, karena dari tempat itulah akan muncul kebiasaan-keboasaan, perasaan, dan relasi-relasi antarkarakter yang merupakan inti dari sebuah cerita.
Ruang, tampat atau lokasi
Dimensi ruang bisa sekedar sebuah ruang periksa dokter hingga seluas Middle-earth, atau alam raya, termasuk planet yang namanya belum pernah didengar orang karena dicipta oleh sang pengarang. Dimensi ruang bukan melulu wadah fisik (ruang periksa dokter atau kota Jogja, misalnya), ia meliputi suhu udara, vegetasi, binatang, aroma, suara, bila perlu tekstur dan semua hal yang mungkin ada di dalam tempat terjadinya cerita.
Misalnya ruang periksa dokter, bila pengarang ingin mengajak pembaca lebih menangkap suasananya, bisa dituliskan suhu ruangannya, apakah AC-nya terlalu dingin hingga menambah badan si tokoh makin menggigil. Atau ada bau alkohol menyengat yang membuat bulu kuduk tokohnya berdiri saat si dokter hendak menyuntiknya. Bisa juga digambarkan dindingnya yang dilapis porselin mengkilat sampai-sampai wajah pucat si tokoh terpantul di situ.
Contoh lain, bila kisah terjadi di sebuah kota, pengarang bisa merinci beberapa elemen kota: sungai, jalanan macet, air mancur, hiruk-pikuk lalu lintas, deretan pedagang kaki lima, selokan mampet, dan lain-lain. Bahkan hujan pun bisa menjadi 'ruang': kisah sepasang muda-mudi yang bercinta di bawah rinai hujan. Mengapa tidak?
Rincian dimensi ruang ini disesuaikan dengan jalan ceritanya, tidak ditulis semena-mena. Kepengin mengarang kisah cinta di Jogja yang dihiasi salju? Tak ada yang melarang. Tapi jangan serta merta salju itu turun serupa hujan, harus ada alasan yang masuk akal. Mungkin terjadi gempa hebat hingga wilayah pegunungan Gunung Kidul melesak, batuannya menggeser lempeng bumi, menyebabkan munculnya sebuah gunung tunggal setinggi hampir 10 ribu meter, begitu tinggi hingga puncaknya diselimuti salju. Bencana dahsyat itu hanya menyisakan belasan penyintas saja dan salah duanya saling jatuh cinta dalam upaya menyelematkan diri. Contoh kisah nyata: Sidoarjo dulu sebuah persawahan subur, akibat kecelakan pengeboran tempat itu kini menjelma lautan lumpur. Apalagi dalam fiksi, semua hal bisa terjadi.
Kurun waktu, masa, atau periode
Dimensi waktu bisa ditetapkan hanya beberapa menit hingga berabad-abad. Bila mampu pengarang pun berhak menentukan satuan waktu sendiri, sesuai kisahnya, sebagaimana Tolkien menetapkan satuan waktu Shire-reckoning (SR) itu.
Periode berlangsungnya cerita ini menentukan banyak hal, salah satunya perkembangan para tokohnya. Misalnya pengarang mematok waktu 30 tahun, para tokohnya harus ikut berkembang selama itu. Ketika awal cerita si tokoh masih bayi, mestinya di akhir cerita si tokoh sudah dewasa, atau sudah beranak-pinak. Bila hendak memilih satuan waktu yang berbeda dengan satuan waktu yang dikenal (detik, menit, jam, hari, minggu... dan seterusnya) sebaiknya harus diberi penjelasan yang rinci, seperti dalam The Lord of the Rings, agar pembaca tidak kebingungan.
Kurun waktu ini juga mempengaruhi karakter si tokoh, termasuk pakaian dan kelengkapan pendukung cerita. Perempuan Indonesia yang hidup di era 40-an mungkin belum banyak yang memakai jeans. Begitu pula dengan hal 'sesederhana' telpon seluler, harus tahu kapan ia mulai dipakai di Indonesia. Termasuk dalam dialog, penggunaan slank, dialek, aksen, dan istilah harus hati-hati. Seingat saya, jaman saya remaja dulu, belum banyak atau nyaris tidak ada, remaja asli Jogja yang memakai kata 'gue' ketika ngobrol dengan teman. Kalau sekarang lain lagi, meskipun kelahiran Jogja, banyak sekali remaja yang berbicara dengan aksen Jakarta lengkap dengan semua slank-nya.
Perlu riset
Antara tempat dan waktu harus saling mendukung dan masuk akal. Tempat bisa ditentukan di negeri khayalan, begitu juga satuan waktunya. Namun keduanya tetap harus berkaitan. Untuk cerita yang terjadi di bumi, pada tahun 2012 ini, matahari mestinya tampak di siang hari. Kalau ingin memunculkan matahari di malam hari bisa saja namun harus ada alasannya; entah apa yang sesuai dengan cerita. Hari-hari menjelang kiamat, mungkin. Matahari tiba-tiba muncul tepat pukul 12 malam, bumi berputar makin cepat pada porosnya dan orbitnya mendekat ke matahari. Namun itupun sebaiknya dijelaskan lagi, mengapa bisa begitu? Mungkin ada planet dari tata surya tak dikenal yang terlontar ke dalam tata surya Bimasakti, lalu menyerempet bumi...
Novel pertama saya, Senja di Chao Phraya, settingnya meliputi beberapa lokasi dalam rentang waktu sekitar 5 tahun (September 2009 sampai April 2014). Saya membuat catatan cukup rinci agar para tokohnya berkembang sesuai dengan rentang waktu itu. Misalnya di awal kisah salah satu tokoh pendukungnya masih kuliah, di bagian akhir saya ceritakan ia sedang hamil anak pertama. Meskipun ia hanya tokoh pendukung, saya usahakan perkembangan hidupnya tertulis dalam cerita.
Kemunculan salah satu tokoh utama, Osken O'Shea, seorang lelaki warga negara Amerika keturunan Irlandia, juga saya ceritakan sebisa mungkin masuk akal. Jangan sampai 'keturunan Irlandia' itu cuma embel-embel doang. Di sini riset diperlukan. Saya harus mencari cara bagaimana awalnya keluarga Osken masuk ke Amerika. Setting - tempat dan waktu - menjadi vital. Saya melakukan riset sejarah Irlandia, dan saya temukan fakta banyak orang Irlandia Utara bermigrasi ke Amerika, salah satunya karena perang dengan Inggris. Kemudian saya ciptakan tokoh pendukung: kakek Osken. Ia menghindari perang dan bermigrasi ke Amerika; sesuatu yang dilakukan puluhan ribu orang di kala itu. Pun lokasi saat kakek Osken menginjak tanah Amerika, saya pilih New York, karena pada periode itu (sekitar tahun 1920), sebagian besar imigran memilih masuk Amerika lewat pelabuhan New York. Sama halnya dengan ibu Osken yang saya kisahkan keturunan Kazakhstan. Sekali lagi saya melakukan riset, butuh waktu dan harus fokus, persis seperti saat saya melakukan riset beneran (yaaahhh... ini memang riset betulan). Kembali saya temukan fakta saat Hitler menginvasi Polandia, disusul meletusnya perang di daratan Eropa dan keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia II. Dampak perang itu sampai ke Kazakhstan, sehingga banyak warganya melarikan diri ke luar negeri, termasuk ke Amerika.
Bagian yang mengisahkan masuknya keluarga Osken ke Amerika itu memang hanya sekitar 5 halaman dari novel setebal 320 halaman, namun risetnya lama, mungkin sekitar 2 minggu. Meskipun tokoh rekaan, saya berusaha semaksimal mungkin agar sosok Osken ini nyata.
Urusan bulan purnama dan setengah purnama - yang saya pakai sebagai sub judul - juga harus benar. Saya tidak asal mencomot hari dan tanggal, namun didukung riset. Dalam novel saya itu ada satu periode yang berlangsung di Jogja, bertepatan dengan meletusnya Gunung Merapi. Karena saya mengalami sendiri persitiwa itu, banyak hal masih melekat di kepala, namun saya tetap cek dan ricek soal tanggal dan hari, itu juga lewat riset lagi.
Sebegitu pentingnya setting dalam menghidupkan kisah karangan kita, jadi harus cermat.
Mau mengarang tentang cewek ndugal bermobil keren di jalanan Jakarta tahun 20-an? Jangan kasih dia Ferrari, saat itu belum ada di Indonesia. Pun jalannya belum sebagus sekarang, meskipun mungkin lebih lega. Atau mau mengikuti jejak Tolkien, mengarang sebuah kisah kolosal? Siapkan saja setting heboh, planet berwarna ungu dengan lima bulan warna-warni, yang purnama bergantian. Di sana tak bakal ada hari sebab tak ada mentari, warna langitnya berganti-ganti sesuai warna bulan yg sedang purnama. Dilengkapi binatang serupa harimau seukuran bis kota yang bisa terbang sekaligus menyelam... Hmmm... kisah apa gerangan yang ber-setting demikian?
***
Artikel ini juga diunggah di Kampung Fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar