Sumber Foto |
Sambil bersenandung kuisi ransel dengan sebuah novel lama karya NH Dini, sebuah topi, kacamata hitam, beberapa bungkus tisu, sebotol air mineral dan sebungkus mixed nuts favoritku. Kupakai sweater tebal merah mawar bersama jeans biru. Kulingkarkan syal motif papan catur ke leherku. Ujung bawah celana kumasukkan ke dalam sepatu basket merah agar kaki-kakiku lebih hangat. Aku puas dengan penampilanku, siap mengawali hariku.
Sebelum keluar halaman kukirim sms ke suamiku. Sudah kebiasaan, setiap akan pergi kami saling mengabari. Kubayangkan selengkung senyum segera menghias wajahnya bila ia membaca sms-ku. Kubilang kalau aku jatuh cinta pada sepedanya sampai-sampai tiap hari ingin berlama-lama di sampingnya.
“Selamat pagi, Tika. Apa kabar hari ini?” sapa tetangga di rumah sebelah, seorang lelaki asal Vietnam.
Kata suamiku, sejak pensiun ia menghabiskan waktunya duduk di teras depan, membaca buku, sesekali bertanam bunga, atau sekedar mengamati suasana sekitar. Dia dikenal baik hati dan senang berteman dengan mahasiswa asing yang tinggal di sekitar North Coburg, kawasan suburb di bagian utara Melbourne. Sebagai mantan supir bis ia hapal semua jalan. Mahasiswa internasional yang baru datang tak jarang mengunjunginya untuk sekedar bertanya arah tujuan.
Selesai berbasa-basi secukupnya, sepeda kukayuh ke arah Sidney Road. Jalannya menanjak, membuatku terengah meskipun baru lima menit keluar rumah. Pada perempatan pertama, setelah menunggu tram lewat dan lampu hijau menyala, aku menyeberang jalan ke arah kanan, menuju Stasiun Batman. Aku akan pergi ke pusat kota dengan kereta.
**
“Let me help you.” Seorang lelaki tinggi langsing berwajah India membantuku menurunkan sepeda ketika sampai Stasiun Flinders. Senyumnya mengintip di balik kumis dan berewok panjang hitam yang hampir menutup separuh wajahnya.
Segera kunaiki sepeda sesampainya di luar stasiun, berbelok ke kiri untuk menyusuri trek sepeda di tepian sungai Yarra. Pelan-pelan kugenjot pedal ke arah Princess Bridge. Di seberang sungai kulihat serombongan wisatawan Korea berkumpul menunggu perahu yang akan membawa mereka mengarungi sungai Yarra menuju Williamstown.
Kali ini aku ingin duduk di atas bangku kayu di bawah pohon Elm. Bangku yang kuincar itu kini sedang kosong. Kusandarkan sepeda pada batang Elm lalu kujatuhkan tubuhku di atas bangku kayu bercat hijau itu. Bawaanku satu-satu kukeluarkan dari ransel. Kueratkan lilitan syal di leherku.
Kupikir setiap orang memerlukan ketenangan semacam ini. Memerdekakan diri dari urusan sehari-hari. Seperti kata ibuku, bila ingin awet muda secara berkala kita harus memanjakan diri. Bila sedang memanjakan diri, katanya, sangat penting untuk mementingkan hal tidak penting, selama itu membawa kebahagiaan hati. Hari ini aku sedang melakukan sarannya itu.
“Hello.”
Aku terkejut setengah mati mendengar suara anak-anak menyapaku. Kacamata hitamku yang hendak kupakai terjatuh ke pangkuan. Aku tak mendengar atau melihat apa-apa, tahu-tahu ia sudah berdiri tepat di ujung bangku.
“Hai! Hai!” sapaku setelah hilang rasa terkejutku.
“Sorry,” katanya dengan senyum lebar. Ia tahu sudah mengagetkanku.
Dari kulit gelapnya, rambut keritingnya, serta mata bulat-hitam-tajamnya kutebak ia keturunan Aborigin.
“I’am a Wurundjeri boy,” katanya dengan logat aneh, seakan bisa menerka isi kepalaku. Senyumnya lebar memamerkan sederet gigi yang kurang rapih namun bersih. Manisnya anak lelaki ini, pikirku.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Allambee,” jawab anak itu sambil membetulkan jaket tebalnya yang terbuat dari kulit mentah. Rambutnya yang legam dan berkilau tertiup angin, menutupi dahinya. Dari saku jaketnya ia keluarkan topi, semacam rajutan dari serat kayu yang dipilin menjadi benang besar-besar. Ada sesuatu yang membuatnya menyerupai seorang anak dari masa lalu. Pasti pakaiannya itu, batinku.
“Hey! Siapa namamu?” serunya, duduk di ujung bangku. Tangan kurusnya terjulur mengajak berkenalan. Senyumnya kembali terkembang. Anak kecil yang sangat bersahabat, pujiku dalam hati.
“Kartika.” Kujabat ringan tangannya. “Panggil saja Tika. Lebih mudah.”
“Kamu dari mana?” tanyanya sambil memandangi novel NH Dini yang tergeletak di bangku.
“Indonesia. Kamu tahu negeri itu?”
“Aku anak lelaki Wurundjeri,” ucapnya, tidak menjawab pertanyaanku. “Namaku Allambee.” Berkata begitu matanya lurus menatapku, ada rasa bangga menghiasi senyumnya. “Allambee artinya sebuah tempat yang damai untuk beristirahat. Seperti tempat ini. Di bangku ini. Di bawah pohon Elm ini.”
Kuamati matanya yang hitam bagai langit malam tanpa bintang. Ia terus saja tersenyum memperhatikanku. Kubuka bungkusan kacang, dia menolak ketika kutawari. Seorang perempuan kulit putih ditemani seekor anjing pudel berjalan ke arah kami. Matanya menatapku dengan sorot tidak biasa. Si pudel berjingkatan dan mengonggong pelan, seperti merintih. Saat melewati kami, ekornya terlipat di bawah tubuhnya, rintihannya berubah menjadi lolong panjang yang tertelan di tenggorokan. Aku heran melihat cara perempuan itu memandangku, ia sama sekali tidak memperhatian Allambee. Mungkin ia rasis, pikirku. Pudelnya juga bertingkah janggal, kakinya terseok, berusaha sembunyi di sela dua kaki majikannya. Allambee cuek saja. Ia terus bercerita tentang adik perempuannya yang bernama Binda.
“Binda artinya air yang dalam. Sedalam sungai Yarra ini,” ujarnya sambil bangkit dari bangku, melangkah ke tepian sungai, menatap riak-riak air yang menari-nari mengikuti hembusan angin di penghujung musim gugur. “Aku ingin di sini, menunggu Binda. Boleh, ya?” ujarnya, menoleh ke arahku, sorot matanya mencoba menembus lensa hitam yang menabiri mataku.
Aku mengangguk lalu mulai membaca. Novel tipis Sebuah Lorong di Kotaku ini pasti bisa kuselesaikan dalam satu setengah jam saja kalau Allambee tidak mengajakku bercerita lagi. Sesekali kulirik anak lelaki keturunan Wurundjeri itu. Ia duduk diam serupa patung kayu penghias taman. Matanya melekat di permukaan air sungai. Ia seperti sedang mencari sesuatu di dalam air yang mengalir tenang itu.
“Hey!” Tiba-tiba ia berteriak. “Tika!”
“Ya?” Kuangkat mataku dari halaman 39. Kulepas kacamata dan kukaitkan ke kepala. “Ada apa, Allambee?”
“Aku melihat Binda. Ia muncul juga akhirnya.”
Agak aneh mendengar perkataannya. Melihat Binda? Di dalam sungai? Mungkin aku hanya salah dengar saja. Kembali kulanjutkan bacaanku.
“Hey! Tika!”
“Sekarang ada apa lagi?” tanyaku, sedikit mulai terganggu. Aku suka anak-anak tapi saat ini aku sedang ingin santai membaca, menikmati diri sendiri di tepi sungai Yarra.
“Lihatlah! Lihatlah! Ya. Benar. Itu Binda!” Kini ia berteriak.
Tangannya menunjuk-nunjuk ke sungai. Aku terjantur. Anak lelaki itu mengangkat salah satu kakinya, ancang-ancang terjun ke dalam sungai. Aku bangkit dari dudukku lalu melompat berusaha menjangkaunya. Ekor mataku menangkap lelaki dan perempuan berseragam mendekat dari arah Princess Bridge, tak jauh dari kami. Yang perempuan lalu berteriak sambil melambai-lambaikan dua tangannya. Yang lelaki berlari sekencang-kencangnya.
“Hey! Berhenti! Jangan!” mereka bersahutan.
Aku berusaha menjangkau tubuh Allambee ketika ia meloncat ke dalam sungai. Ujung jemariku sedikit mengenai lengan jaketnya. Namun terlambat. Lelaki berseragam itu telah berada di belakangku, merenggut tubuhku yang hampir tercebur ke dalam sungai. Aku berontak dan berteriak agar ia menolong Allambee. Namun ia justru berusaha keras menenangkanku. Petugas perempuan membantunya memapahku, mendudukanku di bangku kayu.
Beberapa saat kemudian, ketika aku sudah tenang, mereka bercerita tentang seorang anak lelaki Wurundjeri yang sesekali terlihat di tepi sungai Yarra, mencari adik perempuannya yang tenggelam di situ, lebih seratus tahun yang lalu.
***
Catatan:
Kisah ini juga diunggah di Baltyra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar