Anak-anak di perbatasan Thai-Burma ~ dokumentasi pribadi |
Seorang bayi perempuan berusia enam bulan menangis kedinginan. Ibunya tak kuasa memberi perlindungan. Semua yang ada di badannya basah. Si ibu mengeluarkan pentilnya, menjejalkan ke mulut bayinya. Namun tak setetespun susu keluar, si ibu sudah dua hari tidak makan. Jerit si bayi meninggi.
“Jarak kita cukup jauh. Mereka tidak akan mendengar,” ucap ayah si bayi mencoba menenangkan semua orang, “Tangisannya tersamar suara halilintar,” tambahnya sambil mendekap anak lelakinya yang berusia 10 tahun.
Anak-anak lainnya menempel pada tubuh orang tua mereka, mencari kehangatan, meskipun hanya dinginnya air dan sabetan angin yang mereka rasakan. Ada delapan anak di dalam rombongan pengungsi yang telah berhari-hari menyusuri pegunungan di perbatasan Burma dan Thailand itu. Salah satunya Maung Si, kakak lelaki si bayi.
“Kita akan baik-baik saja, Maung Si. Sebentar lagi kita mencapai perbatasan. Kita akan diselamatkan,” janji si ayah pada anak lelakinya yang ketakutan.
Hujan berhenti, namun tidak tangis si bayi. Si ibu dan perempuan lainnya berusaha menenangkannya. Air hujan mereka tampung dengan botol-botol plastik, lalu disuapkan. Tangis si bayi tak berhenti. Mereka memutuskan pergi dari gubuk itu, tak mau menanggung risiko tertangkap patroli yang setiap saat muncul bagai hantu.
Rombongan itu belum jauh dari gubuk ketika rentetan tembakan terdengar. Mereka berlari memencar. Tangis si bayi menjadi-jadi. Ayah Maung Si menangkap tangan salah satu lelaki.
“Tolong bawa Maung Si bersamamu. Aku akan berlari ke sana,” ayah Maung Si menunjuk arah barat. Mereka seharusnya berlari ke timur. “Istri dan bayiku akan kubawa serta, supaya kalian selamat." Lelaki itu mengelus kepala anak lelakinya. "Jangan kamu bersedih, Maung Si. Kita akan segera bertemu kembali. Pergilah. Pergilah bersama pamanmu ini. Larilah.” Dengan cepat lelaki itu memeluk anak sulungnya lalu menarik tangan sang istri yang menggendong bayi.
Maung Si menurut saja ketika pamannya menyeretnya ke timur sementara orang tua dan adiknya berlari ke barat. Tak lama berselang, jeritnya tertahan, dari belakangnya tembakan menyalak bersahutan. Raungan ayah ibunya mengalahkan halilintar. Ia menangis dalam diam. Air matanya tertutup rinai hujan. Sang paman mempererat genggaman tangannya. Berdua terseok-seok menyusuri gelapnya hutan.
**
Pada pertengahan tahun 90-an, tak kurang dari selusin kamp pengungsi resmi tersebar di sepanjang perbatasan Burma-Thailand. Tham Hin di wilayah Thailand bagian barat hingga Ban Mae di utara. Jangan tanyakan kondisi kamp yang dibangun dan tumbuh tanpa perencanaan itu. Kumuh bukan kata yang pas untuk menggambarkan. Kamp-kamp yang lebih kecil dan berpindah-pindah jumlahnya tak diketahui.
Di sana, nyawa penghuninya setiap saat terancam. Yang mengincar bukan hanya petugas patroli perbatasan, pemberontak etnis minoritas atau gerombolan penjahat tanpa identitas. Malaria, demam berdarah, diare dan berbagai penyakit lainnya tak kalah berbahaya. Kelaparan pun kerap menjebak mereka hingga mati.
Wilayah itu nirhukum, segala bentuk kejahatan menjadi legal, lebih ganas dari hutan belantara dengan hukum rimbanya. Seekor singa akan meninggalkan mangsanya bila perutnya kenyang. Tapi tidak manusia, ia tak ada puasnya.
Setiap pengungsi membawa kisah sendiri, yang bagiku semua terdengar sama, tentang kebengisan manusia terhadap sesamanya. Desa-desa yang dibakar begitu saja, anak-anak dan bayi yang ditembak atau dipenggal di depan ibu mereka. Gadis-gadis belia yang ditelanjangi dan diperkosa beramai-ramai lalu digantung di pohon, disaksikan sang ayah yang diikat di batang pohon itu. Anak lelaki yang dipaksa membunuh ayahnya dengan cangkul yang ia pakai bekerja di ladang. Para lelaki yang disuruh berlari di tengah sawah lalu ditembaki sambil tertawa-tawa. Kebiadaban tak terbayangkan yang tak dilakukan binatang.
Setiap mendengar cerita seperti itu aku teringat pada nasihat ayahku. Lelaki pengasih yang telah berpulang itu gemar menyitir ayat-ayat suci lalu menyampaikan padaku dengan cara sederhana. Tuhan bersumpah demi buah tin, demi buah zaitun, demi bukit-bukit Tursina dan demi kota Mekkah yang senantiasa aman, manusia diciptakan menjadi makhluk paling mulia di antara semua ciptaanNya, namun mereka sering tegelincir menjadi serendah-rendahnya ciptaan di muka bumiNya. Mungkin manusia yang tergelincir itulah yang tega menindas sesamanya.
**
Menuju kamp pengungsi Ban Mae adalah perjalanan brutal bagi kami. Meski kami dikawal oleh para relawan yang biasa bekerja untuk LSM lokal, tidak ada jaminan semuanya akan lancar.
Bagai bermain judi, dokumen resmi yang menyertai kami adalah dadu yang harus dilempar. Bila angka yang muncul di atas cocok, kami menang. Bila meleset, kekalahan yang akan kami terima bentuknya tak bisa diperkirakan. Namun aku menggenggam daduku sendiri, rangkaian doa yang kupanjatkan tiada henti. Cukup bagiku Tuhan, Maha Pelindung dalam susah dan senang.
Pagi di akhir bulan Januari sesaat setelah pukul enam. Bersama dua orang relawan aku dan tiga teman kerjaku, Tim, Tong Rang dan Rudi, naik truk yang kami sewa dengan bayaran dolar Amerika. Supirnya sudah belasan tahun menjadi mata-mata bagi kelompok-kelompok pemuda dan pelajar pro Aung San Suu Kyi. Ia dapat diandalkan. Orang memanggilnya MT. Rambutnya lurus panjang hampir mencapai pinggang, diikat jadi satu di belakang punggung.
“Semua siap?” MT memandang kami, enam calon penumpangnya.
Diawali oleh Tim, kami saling bantu satu-satu naik ke atas bak truk. Theo, salah satu relawan, mengangkat kakiku dari bawah sementara di atas bak truk Tong Rang menarik tanganku. Rudi melompat paling akhir, menyerahkan dulu tas berisi kamera pada Tim.
“Kita berangkat!” Kho, relawan satunya, memukul panel samping bak truk, memberi isyarat pada MT untuk berangkat.
“Pakai masker dan goggle.” Tim mengingatkanku.
“Sebaiknya begitu,” tambah Kho, memasang scarf panjang menutupi muka di bawah kaca mata hitamnya.
“Tidak bakal hujan kan?” Tanya Rudi, tersadar kalau bak truk itu terbuka.
“Tidak. Tapi itu ada terpal!” Tim setengah berteriak mengatasi deru mesin truk, menunjuk gulungan terpal hijau tentara, teronggok di samping bak truk, diduduki Theo dan Tong Rang.
Aku duduk merapat pada dinding bak, menghadap ke belakang, diapit Tim dan Rudi. Ransel kugendong di depan, melindungi dada dari terpaan angin pagi yang menggigit. Di bulan Januari, musim dingin masih belum beranjak dari kawasan perbatasan itu. Tak sedingin di benua Eropa dan Amerika Utara, namun cukup membuat gigiku gemeletuk, apalagi kami berada di belakang bak truk yang terbuka.
Begitu membelok dari jalan aspal, di kejauhan tampak pegunungan hijau kebiruan. Di sana tersimpan cerita keji dari jutaan pengungsi. Tangis mereka terjerat di ranting-ranting pohon. Jeritnya terperangkap dalam jurang-jurang atau menguap begitu saja bersama udara. Darahnya tersapu derasnya hujan, sebagian terserap di akar-akar tumbuhan. Aku menggigil. Tim mengingatkanku agar melilitkan scarf ke leher erat-erat.
Kami melalui delapan pos penjagaan. Di setiap pos, MT menghentikan truk, turun untuk menyapa penjaga dengan lagak seorang teman, lalu menyelipkan uang ke tangannya agar portal dibuka. Tim membekalinya dengan beberapa bungkus rokok impor, kalau-kalau diperlukan.
Hujan sudah jarang datang. Jalan tanah lempung tidak rata, membuat truk terguncang-guncang. Kami bagai butiran beras yang diayak di atas tampah, terlempar-lempar. Perutku mulai terasa mual ketika mesin truk menggerung menaiki bukit terjal. Roda-roda yang terseok menyisakan debu tebal kemerahan yang menyebar. Kuperbaiki posisi kacamata goggle dan kukencangkan masker. Tim tak henti-henti berusaha menahan tubuhku agar aku tidak terjengkang.
Truk berhenti. Deru mesinnya terdengar nyaring sekali di tengah kesunyian hutan. Sebentar mesin terbatuk-batuk, tersedak, lalu diam. Debu kemerahan kembali mengepul di belakang truk. Terdangar pintu depan dibuka, disusul oleh suara orang meloncat turun. Ada sedikit erangan. Kaki MT terpeleset. Theo membuka panel belakang bak truk. Suara gerendel berkerenyit karena karat.
“Kalian baik-baik saja?” Teriak MT dari bawah menanyakan keadaan enam penumpangnya.
“Hooiii…!” Tong Rang membalas teriakannya sambil melompat turun. Disusul Theo, lalu Rudi dan Tim. Mereka membantuku turun. Kho turun paling akhir. MT membantu Kho menutup panel bak truk.
Di tangan kanan MT ada parang tertutup sarung kulit yang bisa dikaitkan pada sabuk. Ia mengangsurkan benda itu pada Kho. “Ini untuk kalian.” Dari dalam kabin truk MT mengambil beberapa batang bambu tua, sepanjang sekitar 1 meter dengan diameter 5 cm. “Mau satu?” MT memandangku. Aku menggeleng.
“Biar kami saja,” Rudi meminta dua batang, menyerahkan satu pada Tong Rang.
“Jangan kuatir. Semua sudah diatur. Semua penjaga tahu hari ini kita datang. Tidak ada manusia lain di hutan ini kecuali kita berenam,” Theo bercanda, “dan ratusan tikus hutan!” Ia melompat, seekor tikus gemuk menyelusup di antara dua kakinya. “Kita juga punya cukup makanan. Kemarin kontak kita sudah mengantar uang untuk Kolonel. Ia akan menyediakan makanan seperlunya. Cukup agar perut kita tidak lapar.”
Yang dimaksud dengan Kolonel adalah kepala kamp pengungsi, anggota militer Thailand berpangkat Kolonel yang dipanggil Kolonel C oleh semua orang. C adalah singkatan nama belakangnya yang panjang dan sulit diucapkan: Chalermpalanupap.
“Kami juga bawa cukup bekal,” Tim menepuk-nepuk ranselnya yang menggelembung besar. Para lelaki masing-masing membawa 2 liter air dan 1 liter larutan isotonik, kecuali aku yang hanya membawa separuhnya. Di ranselku juga tersimpan makanan padat energi seperti granola bar, cukup untuk bertahan selama 2-3 hari.
“Dari sini kita harus jalan kaki. Naik ke arah sana,” sambil menautkan parang pada ikat pinggangnya, Kho menunjuk pegunungan di sebelah utara. Antara jalan dan pegunungan itu dipisahkan hutan. Satu-satunya penanda adanya manusia hanyalah jalan tanah selebar 1,5 meter yang diapit belukar. Cericit serangga, jerit burung dan tikus hutan bersahutan di antara desau angin. “Tidak jauh, sekitar 30 menit kita sudah sampai di sana,” Kho mamandangku.
“Aku baik-baik saja,” berkata begitu kubuka kacamata goggle dan masker.
“Besok pagi kami dijemput di sini. Pukul 9 pagi. Okay?” Tim menepuk pundak MT.
“Hati-hati,” MT mengangguk ke arahku. Tim reflek mendekatiku, satu-satunya perempuan di dalam rombongan.
“Ayo. Saya berjalan paling depan dan Theo paling belakang!” Kho memasuki jalan tanah menembus kerimbunan hutan. Ia melolos parang dari sarungnya. Tangannya sibuk menyabet ke kiri dan ke kanan, membersihkan sarang laba-laba, ranting dan duri-duri tajam perintang jalan.
Kami berbaris. Pada permukaan jalan yang tidak tertutup daunan tampak ada bekas roda sepeda motor. Aku berjalan di antara Tong Rang dan Tim. Kami semua mengenakan topi hutan untuk melindungi kepala dan wajah dari serangga yang jatuh. Di ketinggian 1.500 meter, kelembaban sangat rendah, udara terasa kering. Sinar matahari terhambat oleh ketebalan pohonan.
“Ranselmu berat?” tanya Tong Rang dari belakangku.
“Tidak apa apa, aku baik-baik saja. Aku akan bilang kalau merasa tidak nyaman.”
Kami tidak banyak berbicara satu sama lain. Langkah-langkah kami teratur di atas daun-daun dan patahan ranting kering. Suara gemeresak diselingi nafas terengah memecah keheningan hutan. Terdengar seperti musik alam. Ritmis. Magis. Di belakang kami, suara itu meninggalkan gema.
“Seratus meter lagi akan ada checkpoint.” Kho menjelaskan.
Sayup-sayup terdengar suara berisik dari radio yang gelombangnya putus-putus, sebuah lagu Thai yang mendayu-dayu, bercampur celoteh para lelaki. Semakin dekat dengan pos penjagaan, hidungku mencium aroma aneh.
“Rokok opium,” bisik Tong Rang.
“Mungkin aku harus minta sebatang,” Rudi bercanda. Hanya Tong Rang yang tertawa.
“Ayyeeeeeee!!! Kapten!!!” Theo mengangkat dua tangannya tinggi-tinggi begitu kami memasuki ruang terbuka.
Checkpoint itu serupa gubuk. Berdinding kayu hutan dan beratap seng. Ada lima orang tentara, semuanya langsung berdiri. Dua di antaranya memegang AK-47. Orang yang paling tinggi dan badannya agak berisi, yang disebut Kapten oleh Theo, melangkah mendekat.
“Helloooooo…! Tamu Kolonel C telah datang!” Serunya, sama sekali tidak terdengar mengancam. Bibirnya menjepit rokok, membentuk senyuman. “Lihat dokumen mereka,” tanpa menarik rokoknya ia memerintah salah satu anak buahnya.
Tim melepas topi dan mengangguk. Ia sodorkan map berisi dokumen. Kapten bisa berbahasa Inggris sedikit, tapi minta Theo untuk menerjemahkan. Tim menjawab pertanyaan Kapten dengan bantuan Theo, penjaga lainnya mengawasi kami. Kembali kulantunkan doa di dalam hati, cukup bagiku Tuhan, Penolong kami dan sebaik-baik Pelindung kami. Berulang-ulang. Kuusahakan tersenyum wajar saat menatap mata Kapten yang mengarah padaku.
“Okay! Selamat datang di istana kami!” Dengan rokok masih terselip di bibir, Kapten mempersilakan kami lewat.
“Khap kun krap,” ucap Tim sambil memakai kembali topinya.
“Krap.” Balas sang Kapten cengengesan.
Lima menit melewati pos penjagaan, telingaku mulai menangkap suara-suara aktivitas manusia. Tawa anak-anak diselang-seling rengekan bayi. Suara palu diketuk-ketukkan kayu ditingkah kotek ayam betina dan suara orang berbicara. Hidungku pun mencium bau masakan dan sesuatu yang terbakar. Kulihat asap mengepul menerobos atap-atap rumbia, menandakan di kampung itu ada kehidupan.
Beberapa menit kemudian, kami berada di tanah landai, pepohonan mulai jarang, di depan kami terlihat sebuah perkampungan. Rasa ngeri tiba-tiba mencengkeram ulu hatiku. Perkampungan itu dari kejauhan terlihat seperti desa jadi-jadian. Seakan aku tidak sedang berada di bumi. Hidup macam apa yang mereka jalani di negeri sendiri, pikirku, hingga mereka bertaruh nyawa, berlari menembus hutan belantara, bersembunyi dan bermukim di negeri orang, di atas pegunungan yang jauh dari peradaban.
Jarak kami kurang dari 20 meter saat dua orang lelaki keluar dari pos penjagaan di depan gerbang. Salah satunya memakai longyi kotak-kotak kecil hijau tua, dililitkan kuat di pinggangnya; dadanya hanya tertutup rompi kulit mentah dijahit tangan. Kulitnya sawo matang. Dadanya tegap dan bidang. Sosok dan wajahnya menunjukkan ia berdarah campuran. Yang seorang lagi memakai seragam tentara, masih remaja.
“Selamat datang di kamp pengungsi Ban Mae,” sapa si lelaki berlongyi. Bahasa Inggrisnya beraksen Australia. Sorot mata dan wajahnya menandakan ia berpendidikan. Si remaja berbaju tentara memandang kami tanpa ekspresi.
“Saya Mike,” lelaki berlongyi itu memperkenalkan diri, menawarkan tangan pada Tim. Mereka berjabat tangan dengan hangat. Tim memperkenalkan kami. Kho dan Theo sudah mengenal Mike cukup lama. Mereka saling berpelukan.
“Selamat datang, Madam,” ucap Mike padaku. Senyum lelaki itu bersahabat. Ia ulurkan tangannya yang kusambut segera. “Saya sangat menghargai kehadiran Madam di sini.” Tubuh tingginya ia bungkukkan.
HT yang terselip di pinggang Mike sedari tadi berisik, memperdengarkan gurauan dan sapaan antarpenjaga yang mengelilingi kamp. Mike meraih HT itu, mengabarkan pada Kolonel bahwa rombongan telah datang.
“Antar mereka kemari,” perintah Sang Kolonel pada Mike. Dalam bahasa Inggris Mike meminta kami mengikuti. Dalam bahasa Thai ia menyuruh si remaja berbaju tentara kembali ke pos jaga.
Tim dan Mike paling depan. Mereka saling bertukar cerita seperlunya. Aku dan Kho berjalan agak di belakang.
“Ayah Mike orang Australia,” ujar Kho.
“Sudah saya duga kalau ayah atau ibunya pasti Kaukasia,” kataku.
“Orang tuanya tinggal di Sydney. Mike keluar dari pekerjaannya di London dan jadi relawan di sini. Ia seorang fotografer. Punya restoran kecil di Chiang Mai. Sebulan sekali ia ke Chiang Mai untuk mengurus restorannya itu. Lelaki yang sangat baik.”
“Ya.” Aku tak tahu harus bilang apa. Semakin dalam kuselami pekerjaanku, semakin kutemukan karakter manusia yang tidak biasa. Mike hanyalah salah satunya.
**
Gadis kecil itu sedang bermain lumpur bersama teman-temannya. Rambutnya yang sebahu basah oleh keringat. Goresan lumpur mengotori pipi kiri dan jidatnya. Tangan kanannya penuh lumpur. Pasti dia menyentuh atau menggaruk pipi dan jidatnya dengan tangan yang kotor itu. Kurogoh saku ransel, kukeluarkan sebungkus tisu basah lalu kulangkahkan kaki mendekati si kecil. Aku berjongkok. Mata sipit gadis usia 6 tahun itu menatapku tanpa berkedip. Ia membiarkanku membersihkan pipi dan dahinya.
“Hai,” bisikku. Wajah kami saling berdekatan hingga nafasnya terasa membelai keningku.
“Hai,” si kecil ikut berbisik. Di mulut kecilnya terukir senyuman. Mata sipitnya makin menyempit. Ia menikmati usapan tanganku. Aku tidak dapat menahan diri untuk mengelus rambutnya. Terasa sekali di tanganku, rambut lurus halus itu sudah lama tidak dicuci. Tubuhnya terbalut rok katun merah bermotif bunga sakura. Dari kualitasnya, rok itu pasti pemberian seseorang dari luar kamp. Sekujur tubuh gadis kecil itu menguarkan bau matahari bercampur keringat. Bau amis anak-anak sebayanya, hanya lebih menyengat. Kami saling menyapa melalui pandangan mata dan senyuman. Agak lama kami hanya saling memandang tanpa bertukar kata kecuali seruan ‘hai’ yang tadi kami bisikkan.
“Jennie,” terdengar suara perempuan dewasa dari belakang punggungku. Aku menoleh. Seorang perempuan kulit putih usia akhir duapuluhan berjalan mendekat. Rambutnya yang berwarna chestnut dipangkas pendek seperti lelaki. Matanya yang sewarna langit siang itu tersembunyi di balik kacamata minus. Bibir tipisnya kering namun tidak mengurangi keramahan senyumannya.
“Namanya Jennie,” perempuan itu ikut berjongkok di sampingku. “Nama yang sama dengan dokter Kanada yang menemukanya enam tahun lalu. Orang tuanya ditembak patroli militer Burma di perbatasan. Karena keajaiban, si bayi masih bernafas saat rombongan relawan menyisir wilayah itu untuk memandu pengungsi menerobos perbatasan. Dokter Jennie ingin mengadopsi bayi itu, namun paman si bayi tidak merelakan. Ia minta agar keluarganya mengijinkan dokter Jennie menamai anak itu seperti namanya.” Perempuan muda berambut cepak itu menjelaskan tanpa kuminta. Matanya lembut menatap Jennie. “Saya Cynthia. Salah satu relawan yang mengajar di sekolah itu.” Cynthia menunjuk bangunan bambu di sudut jalan.
“Saya Mia. Kebetulan sekali. Saya ditugaskan mewawancara guru dan relawan di sekolah itu,” jelasku. “Termasuk mencatat semua kebutuhan,” tambahku.
“Ah. Kebetulan hari ini hanya ada saya. Kalau begitu kita akan banyak diskusi,” ujar Cynthia. Kami bersalaman, masih dalam posisi berjongkok. Dari belakang Jennie menarik-narik tanganku. Memintaku berdiri.
“Rupanya Jennie ingin mengajak Anda jalan-jalan. Silakan. Saya tunggu di ruang kelas,” berkata begitu Cythia berdiri. “Jennie, ajak teman barumu jalan-jalan. Yang manis, ya.” Dengan sayang Cynthia mengusap rambut Jennie. “Sampai ketemu. Tidak perlu tergesa-gesa, saya tidak akan kemana-mana.” Cynthia melambaikan tangan lalu berbalik menuju bangunan sekolah.
Tangan mungil Jennie berada di genggaman tanganku. Lima orang gadis kecil lainnya terus bermain lumpur. Mereka menatap kepergian kami sambil tertawa-tawa. Jennie ikut tertawa namun tidak berkata-kata. Tubuh mungilnya melompat-lompat di sampingku.
Di kanan kiri kami dipadati rumah-rumah bambu, mengingatkanku pada gubuk-gubuk di sawah, tempat para petani sembunyi dari sengatan matahari. Dindingnya di sana-sini ditambal dengan plastik, karton, atau dus-dus bekas bungkus barang elektronik. Dedaun kering yang menjadi atap meriap-riap terhembus angin. Pada musim hujan, air merembes ke dalam gubug dari atap itu, dari dinding yang berlubang. Genangan air ada dimana-mana. Nyamuk-nyamuk pembawa malaria bersuka-ria, beranak-pinak. Mereka pesta pora, menghisap darah manusia yang tubuhnya tak bergizi. Menyebarkan petaka, menyabut nyawa.
Rumah-rumah itu terbagi dalam blok-blok. Tanahnya merah dan berlempung. Bila basah, permukannya menjadi sangat licin dan liat, bisa menjebolkan sol sepatu yang tidak dirancang untuk medan berat.
Jennie kecil sudah enam tahun tinggal di tempat ini. Kakinya jarang teralasi. Perutnya tidak selalu terisi nasi. Namun Jennie tampak bahagia. Di sekolah ia bernyanyi dan bermain bersama teman-temannya. Belajar menulis dan membaca. Bila malam tiba, Jennie tidur di atas tikar bersama paman, bibi, dan tiga sepupunya.
Maung Si, kakak lelakinya yang kini telah berusia 16 tahun, ditolong Mike, dibawa ke Chiang Mai dan bekerja di restorannya.
Kami melalui sebuah rumah yang ada warung kecilnya. Jennie menarik-narik tanganku. Kepalanya menengadah, mencari mataku. Aku tahu keinginannya. Permen.
“Candies?” tanyaku dalam bahasa Inggris, aku tak bisa berbahasa Thai. Kugerakkan dua tanganku, seperti sedang membuka bungkusan permen dan memasukkan ke mulutku. Jennie berjingkrak-jingkrak. Diulangnya kata ‘candies’ dengan ucapan yang nyaris sempurna.
“Yes, Jennie. Candies.” Aku berjongkok, mencubit pipinya.
Dengan uang Baht 20, Jennie mendapat sekantung kecil permen warna-warni. Tak sabar tangan-tangan kotornya membuka satu, lalu sebutir permen rasa strawberry itu masuk ke mulutnya. Beberapa pasang mata memandang kami. Ada salah satu yang menyapaku dengan bahasa lokal, ia mengira aku salah satu relawan yang membantu Cynthia.
“No Thai. No Burma,” kutundukkan kepala sedikit dan kulempar senyum, “School. Cynthia,” tambahku.
Para pengungsi tahu kalau wisatawan hampir tidak mau menginjakkan kaki ke kamp itu. Lokasinya di atas pegunungan, terpencil dan sulit dijangkau. Saat hujan jalan lempungnya licin, membahayakan kendaraan apapun yang nekat merangkak naik. Belum lagi ancaman nyamuk mutan pembawa malaria dan demam berdarah yang sudah resistan terhadap obat-obatan. Sungguh, bukan tempat untuk mencari hiburan.
Kugandeng tangan mungil Jennie. Kami berbalik, melangkah ke tempatnya bermain tadi. Teman-temannya masih ada di sana. Jennie bernyanyi-nyanyi. Ia menikmati butiran merah lunak yang terasa manis di mulutnya. Tidak setiap minggu ia mendapat hadiah seperti itu.
**
Beberapa bulan berlalu sejak tangan Jennie kugenggam sambil berkeliling kamp pengungsi Ban Mae. Hujan sejak subuh mengguyur Jogja, menghanyutkan ingatanku kembali pada gadis kecil itu. Seminggu lalu aku menerima telepon dari Cynthia, kini ia sedang bertugas di perbatasan Pakistan-India.
Siang tadi kuterima email dari Mike disertai foto-foto. Kulihat Jennie bersama orang tua angkatnya berpose begitu cantik, di latar belakang berdiri megah Sydney Opera House. Sambil memandang keluar jendela sepotong doa kukirimkan lewat udara. Semoga Tuhan menjadikan Jennie perempuan mulia, pembawa kebaikan bagi sesama.
***
Baca juga: Tembak di Tempat
Catatan:
Cerita pendek ini juga diunggah di Baltyra.
2 komentar:
mbak endah, deg-degan baca tulisan yang ini. nyata. semoga disana cepat damai. :)
Miss Rochma, terima kasih banyak sdh main di gubuk saya :-) kita doakan bareng2, ya...
Posting Komentar