Jumat, 31 Agustus 2012

Hotel Exotic untuk Manula

Evelyn Greenslade, perempuan Inggris, menjadi janda karena suaminya meninggal akibat penyakit jantung. Ia sama sekali tidak tahu bila ternyata suaminya mewarisinya setumpuk hutang. Rumahnya harus segera dijual untuk melunasi hutang-hutang itu. Anaknya ingin agar Evelyn tinggal di rumahnya, namun ia menolak. Perempuan lanjut usia yang masih segar dan penuh semangat hidup ini memutuskan jalannya sendiri meskipun selama 40 tahun seluruh hidupnya diurusi oleh sang suami.

Adalah Graham, jaksa senior yang terkesan tak menikmati pekerjaannya dan tiba-tiba memutuskan segera pensiun untuk mencari kembali hidupnya yang ia tinggalkan jauh di belakang. Juga ada Douglas dan Jean. Douglas baru pensiun setelah 30 tahun menjadi pegawai negeri. Mereka mencari rumah untuk hari tua, namun Jean – sang istri yang suka mengeluhkan apa saja – tak puas dengan hasilnya.

Di sebuah rumah sakit terbaringlah Muriel, perempuan tua yang rasis, yang hendak menjalani operasi penggantian tulang pinggul. Ia harus menunggu paling tidak 6 bulan. Dokternya, lelaki asal India, menyarankan untuk pergi ke India. Di sana operasi bisa dilakukan tanpa menunggu dan biayanya lebih terjangkau.

Kemudian muncul Norman, si lajang uzur yang merasa masih segar bugar untuk mencari pasangan baru. Disusul oleh Madge, nenek yang bosan hanya menghabiskan waktu mengurus cucu; ingin mencari suami – yang kaya – untuk kesekian kali, terkesan hidupnya dipenuhi petualangan dengan lelaki.

Mereka semua merencanakan menikmati liburan, berharap menemukan hidup baru, ke suatu tempat yang jauh dan berbeda dengan kampung halaman mereka: Jaipur, India. Mereka sama-sama memilih sebuah hotel yang ditawarkan begitu indah di dalam brosur, yang konon cocok untuk manula: The Best Exotic Marigold Hotel. Nama hotel itu juga dipakai sebagai judul filmnya.

Tujuh orang itu terbang ke India di hari dan dengan pesawat yang sama. Mulai berkenalan sewaktu transit dan connecting flight mereka terlambat. Komunikasi pelan-pelan terjalin, karakter mereka mulai tampak, dalam bus umum yang membawa mereka menuju hotel; sebuah perjalanan darat yang panjang hingga melewati malam. Ternyata kondisi hotel sangat berbeda dengan yang terlihat di dalam brosur. Berbeda dalam arti luas, tak terbayangkan oleh para manula itu. Dari sana kisah berawal.

Saya tak bisa menahan tawa saat pemilik hotel - yang dipanggil Sonny - mengatakan pada Jean yang protes akan kondisi hotelnya, bahwa ada pepatah India, “everything will be all right in the end,” lalu sambungnya: “if it's not all right, it is not yet the end."

Diceritakan sejak awal kedatangan di hotel itu Douglas mulai berteman dengan Evelyn. Mereka bisa bergurau bersama tentang hal-hal kecil dan ketidakberesan di hotel itu. Tujuh penghuni hotel itu secara sendiri-sendiri maupun bersama memasuki kehidupan baru, yang asing dan tidak mudah. Seperti digambarkan Evelyn dalam tulisannya yang ia unggah di blog baru yang dibuat dengan bantuan anaknya: “Pada awalnya terasa semuanya serba berlebihan, namun lambat laun jadi serupa gelombang, bila menolak maka kita akan tersapu, bila menyelam ke dalamnya, maka kita akan muncul di sisi lain.”

Evelyn, yang sesekali menuturkan kisahnya, menikmati kehidupan barunya. Namun Jean lebih suka tinggal di hotel, sementara Douglas sibuk jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat unik. Sang mantan jaksa, Graham tiap hari menjelajahi kota, mencari sesuatu atau seseorang. Suatu malam, sehabis bersantap bersama, Graham bercerita pada Evelyn tentang masa lalunya, saat ia dan orang tuanya tinggal di Jaipur. Ia berteman dengan salah satu anak pembantunya, seorang lelaki bernama Manoj. Pertemanan itu berkembang menjadi sesuatu yang lain. Graham merasa sangat bersalah ketika ia meninggalkan Manoj untuk kembali ke Inggris. Ia datang ke Jaipur untuk mencari lelaki dari masa lalunya itu.

Muriel sibuk berurusan dengan rumah sakit dan menjalani operasi tulang pinggul dengan sukses. Ia menjadi akrab dengan dokter muda yang merawatnya; juga dengan salah satu pelayan hotel. Si bujang lapuk Norman dan si nenek ganjen Madge diperlihatkan sibuk mencari cara memperoleh pasangan.

Di antara jalinan cerita 7 manula itu, diselipkan selingan legit: kisah cinta antara Sonny dengan gadis manis bernama Sunaina. Ibunda Sonny menganggap Sunaina, yang bekerja sebagai telemarketer di kantor milik kakak lelakinya, tak layak menjadi menantunya.

Film ini penuh adegan detil yang tak membutuhkan kata-kata agar penonton memahami pesan yg hendak disampaikan. Juga bertebaran aneka peristiwa menggelikan dan mengharukan. Tentu karena actor dan aktris pendukungnya memang jempolan, seperti Judi Dench yang memerankan M dalam film James Bond, Bill Nighy si pemeran Billy Mack dalam Love Actually, dan Maggie Smith sang kepala asrama Gryffindor serta suhu transfigurasi dalam film Harry Potter. Dengan setting Jaipur yang hiruk-pikuk, kibang-kibut, serba tak terduga, sekaligus jelita, eksotis dan penuh warna, film ini jadi hangat dan nyata.

Satu dari sekian yang saya suka pada film ini adalah keberhasilannya menggambarkan semangat orang-orang lanjut usia untuk terus berusaha menggapai mimpi mereka. Betapa kita sering tidak sensitif, atau keliru, mengira bahwa orang lanjut usia, mereka yg telah pensiun dari dunia profesional, tidak lagi punya mimpi atau cita-cita; tidak juga cinta.

Cinta, salah satu hal paling berarti dalam hidup manusia, di usia lanjut ternyata masih bisa bersemi, sama indahnya sekaligus misteriusnya dengan sewaktu muda. Kisah cinta Sonny dan Sunaina menjadi pembanding kisah cinta para manula yang tinggal di hotel yang nyaris dilego itu: ternyata tak ada beda, sama2 rumit sekaligus mengharukan dan sulit dinalar. Bedanya ada pada cara mengungkapkan dan mengelola perasaan mereka.

Ada reviewer yang menilai film ini mengecewakan karena mempertunjukkan tindakan yang dinilai immoral: homoseksual dan seks di luar nikah. Namun – untungnya – saya bisa menangkap pesan-pesan baik yang hendak disampaikan sehingga hal-hal yang tidak baik itu terlewatkan. Saya bisa merasakan Graham, si jaksa yang gay, meninggal dunia dengan bahagia memenuhi rongga dadanya. Biarlah Sang Maha Adil saja yang menghakimi pilihan hidupnya.

Merujuk pada informasi yang dirilis beberapa lembaga yang mengurusi populasi dunia, jumlah manula di Indonesia pada tahun 2020 kira-kira 28,8 juta atau sekitar 11% dari total penduduk Indonesia. Ini akan terjadi 8 tahun kemudian, tidak lama. Sebagian besar dari kita mungkin sudah dan akan mengalami hal-hal yang dialami oleh tujuh karakter dalam film ini meskipun dalam bentuk dan cara berbeda (karena prinsip hidup dan latar belakang budaya yang tidak sama), namun esensinya sama: usia tua tidak menjadikan manusia mati rasa dan hilang karsa.

Dikemas dalam genre drama-komedi film ini berisi banyak pelajaran akan hidup, cinta, pernikahan, persahabatan, dan keluarga. Film yang layak ditonton oleh siapa saja yang ingin lebih menikmati hari tuanya, lebih menghargai hal-hal kecil yang layak disyukuri dan dirayakan setiap hari; selagi waktu masih dimiliki. Baik juga ditonton oleh pasangan tengah baya yang sedang mengalami krisis pernikahan, agar berpikir ulang, jangan sampai berakhir dengan perceraian. Mungkin cocok juga untuk yang berusia muda, yang sedang berusaha memahami bapak/ibunya, yang sudah duda/janda, yang bertingkah tak biasa; siapa tahu mereka tengah jatuh cinta.

Sutradara: John Madden  

Pemain:
Evelyn: Judi Dench
Graham: Tom Wilkinson
Douglas: Bill Nighy
Jean: Penelope Wilton
Muriel: Maggie Smith
Norman: Ronald Pickup
Madge: Celia Imrie
Sonny: Dev Patel

***

Tidak ada komentar: