Senin, 30 April 2012

Cara Perempuan Menyiasati Uang

Foto oleh Endah Raharjo
Terkesima, begitulah rasanya, pertama kali mempelajari cara-cara yang digunakan para perempuan itu dalam memutar uang. Betapa tidak. Karena mereka, dana yang awalnya tidak seberapa itu, yang dimiliki oleh kelompok ibu-ibu di sebuah kampung, setiap tahun bisa berkembang. Dan semua anggotanya merasa senang karena diuntungkan. Bila bukan untung secara finansial pasti ‘bathi sanak’ begitu orang Jawa bilang, dapat tambahan teman dan mempererat tali persahabatan dan keguyupan.

Mulanya sekedar menghangatkan hubungan antartetangga, ibu-ibu yang tinggal di sebuah kompleks perumahan di Kabupaten Sleman ini mengadakan arisan bulanan. Untuk menghindarkan kejenuhan, ibu-ibu yang sehari-harinya juga bekerja itu mulai mengembangkan beragam kegiatan. Rupanya keragaman latar belakang pendidikan, ekonomi dan profesi justru menambah kekayaan sosial.

Selain kegiatan arisan dan tabungan, mereka kemudian mulai mengumpulkan uang, tidak banyak, hanya Rp 5.000 per orang yang disebut sebagai saham. Bersama dengan hasil tabungan, uang saham yang terkumpul kemudian dipinjamkan pada anggota yang membutuhkan dengan bunga yang besarnya disepakati bersama. Setiap kali pertemuan rata-rata dana habis dipinjam dan bila ada sisa maka disimpan di bank. Para perempuan yang dipilih mengelola tabungan dan simpan pinjam ini adalah mereka yang terbukti jujur, pintar, dan paham tentang dasar-dasar pengelolaan uang.

Aturan yang diterapkan sangat sederhana. Pinjaman dikenakan bunga 1% per bulan dan maksimal diangsur 5 kali. Sebelum pinjaman lunas, si peminjam tidak boleh meminjam lagi, kecuali bila bersifat darurat (untuk keperluan berobat, musibah atau biaya sekolah anak).

Rupanya, dari sekitar 110 anggota, ada 20% yang menjadi ‘kastamer setia’, rajin meminjam. Mereka umumnya disiplin dalam mengangsur dan merasa mendapat kemudahan. Artinya, kegiatan simpan pinjam ini selain memberi keuntungan finansial, juga berfungsi sebagai subsidi silang: yang berkelebihan menyimpan uangnya di dalam kelompok dan yang kekurangan bisa tertolong. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama di akhir tahun sebagai sisa hasil usaha, seperti layaknya koperasi sungguhan.

Kini, dana yang awalnya hanya kurang dari Rp 1 juta itu telah berkembang menjadi sekitar Rp 20 juta. Jumlah pinjaman juga bisa mencapai Rp 5 juta. Bagi banyak orang, jumlah itu nilainya besar sekali karena bisa mengantar anak-anak mereka masuk SMU atau bahkan perguruan tinggi.

Hebatnya, para perempuan itu tidak berhenti di sana. Agar uang milik kelompok tidak nganggur begitu saja, mereka mengadakan juga arisan barang bekerja sama dengan satu-dua supplier alat-alat rumah tangga. Katanya, daripada ibu-ibu mengangsur barang di toko-toko dan menguntungkan mereka, lebih baik repot sedikit tapi keuntungan dinikmati bersama.

Untuk arisan barang ini, peserta dikenakan bunga 15% dari harga dasar barang dan pembayarannya dicicil maksimal 10 kali atau 10 bulan. Pastinya keuntungan masuk ke kas kelompok dan barang diterima di depan. Setiap awal tahun pengurus men-display aneka barang, peserta yang memerlukan barang khusus juga dilayani yang penting spesifikasinya jelas. Bila dana kelompok tidak cukup untuk mengadakan seluruh pesanan, pengurus menawarkan pada anggota yang mampu untuk menjadi pemodal. Para pemodal ini berhak atas 1/3 dari bunga.

Jangan sampai salah duga. Para perempuan itu bukanlah ‘perempuan kampung’ seperti stereotip yang sering ditujukan pada mereka yang konon hanya gemar bergosip belaka. Selain ibu rumah tangga yang hari-harinya penuh dengan urusan keluarga, di antara mereka ada dokter gigi, staf senior Bappeda propinsi, staf marketing perusahaan jasa kurir ternama, pemilik apotik, dan staf senior salah satu bank besar yang telah dibeli Malaysia.

Setiap akhir masa kepengurusan, selalu ada saja yang disumbangkan oleh kelompok ibu-ibu ini pada seluruh warga. Kepengurusan yang baru lalu, selain satu set perangkat stereo, uang senilai Rp 3,5 juta disumbangkan untuk melengkapi gedung RW dengan dapur kecil agar seksi konsumsi tak repot lagi bila ada hajatan kampung.

Prinsipnya adalah: daripada uang ibu-ibu disimpan di dompet saja, lebih baik ‘disiasati’ untuk kepentingan bersama dan keuntungannya dinikmati bersama pula. Dari kita, oleh kita, untuk kita. Begitulah motto mereka.

2 komentar:

Nathalia mengatakan...

wuiih!!! emak2 keren! :)

Endah Raharjo mengatakan...

emak-emak ini memang keren dan cerdas, Suri :-)