Selasa, 04 Oktober 2016

Separuh Darah

Sumber ilustrasi
Serupa garpu hangat disentuhkan di atas secawan mentega, sorot matanya melelehkan hatiku. Usianya empat tahun lebih sebulan. Serta merta kusadari, tak pada tempatnya menyalurkan amarahku pada balita berambut ikal, bermata besar dengan sudut luar naik ke atas, dan berhidung bulat-mungil ini. Makin lama menatapnya, makin aku ingat akan sebentuk wajah yang kerap kulihat di dalam cermin: wajahku.

"Kak Nadia." Bening suaranya menyeru namaku. Anak bapakku yang pantas menjadi anakku itu memajang senyum.

Kami tercipta di dalam rahim berbeda meskipun dibuahi oleh sperma milik lelaki yang sama. Lelaki yang meninggalkan ibuku, setelah 23 tahun dicintai sepenuh hati. Lelaki yang menikahi perempuan separuh usianya demi menggapai mimpi menimang anak lelaki kala ibuku tak punya rahim lagi.

Ternyata, dengan perempuan berbeda, anaknya perempuan juga.

Anak ayahku itu melorot turun dari kursinya, mendekatiku, suara jernihnya memanggil namaku lagi, disertai sentuhan lembut di lututku. Kualihkan mataku dari sepatuku ke wajah mungilnya. Sepasang bibir merah muda itu merekah, memamerkan giginya yang belum genap.

Kudengar hembusan napas gelisah keluar dari hidung ibu si balita.

“Mbak Nadia... bagaimana, mbak?” Untuk kesekian kalinya istri ayahku bertanya. Ia memanggilku ‘mbak’ sebab ia setahun lebih muda dariku. “Dokter bilang Mbak Nadia adalah donor paling tepat.” Mengambang suaranya, bagai asap tipis keluar dari rebusan air, hilang terhisap udara. Pasti ia telah menduga akan menerima reaksi semacam itu dariku.

Sudah dua tahun aku mendengar kabar kalau ginjal ayahku bermasalah. Tiga minggu lalu ia meneleponku, mengatakan cara terbaik untuk sembuh adalah transplantasi. Ia memintaku menjadi donor. “Kata dokter, donor terbaik adalah anak kandung atau orang tua. Kemungkinan organnya ditolak tubuh resipien jauh lebih kecil daripada organ milik orang asing,” jelasnya.

Kalau tidak sedang berada di kantor saat itu aku pasti sudah mengumpat.

Lelaki yang pernah jadi pilar hidupku selama 21 tahun itu benar-benar tak tahu diri. Ia menginginkan salah satu ginjalku setelah mencampakkanku demi anak lelaki yang hingga kini tak juga ia miliki.

“Tidak,” jawabku singkat dan dingin.

“Ini bukan untukku, Nadia. Ini demi adikmu,” bujuknya.

Adikku? Sejak kapan aku punya adik? Bukannya rahim Ibu diambil karena tumor ganas saat aku 5 tahun? Mungkin lelaki yang pernah amat kucintai ini tak hanya gagal ginjal, otaknya juga majal.

Sesampai di rumah, telepon Bapak tak kusampaikan pada Ibu.

Ketika diceraikan Bapak 6 tahun lalu, Ibu dan aku keluar dari rumah. Saat itu aku masih kuliah. Aku pindah ke kamar kos tak jauh dari kampusku. Pemilik rumah kos itu, seorang pedagang kayu yang baik, mengijinkan Ibu tinggal sekamar denganku. Ibu punya sedikit tabungan. Ibu menjual semua perhiasannya dan menukar mobil – satu-satunya harta keluarga atas nama Ibu – dengan sepeda motor. Kami hidup hemat; tak membeli pakaian atau sepatu baru selama dua tahun.

Sambil kuliah aku bekerja paruh waktu sebagai pelayan apotik yang bertugas di akhir pekan dan hari libur, ketika orang-orang butuh cuti. Tugasku tidak berat, hanya melayani pelanggan. Bila sedang sepi aku sembunyi-sembunyi membaca atau mengerjakan tugas kuliah. Aku yakin pemilik apotik tahu kalau aku sering mencuri waktu, namun ia membiarkan.

Keberadaan Ibu di rumah kos kami, yang dihuni 20 mahasiswi, dianggap berkah. Teman-teman serumah sering memintanya memasak. Kami berdua jadi bisa makan gratis dan Ibu mendapat penghasilan. Sedikit, namun cukup untuk menutup biaya kamar kos tiap bulan. Ibu tidak malu. Ia bahkan rajin membersihkan rumah kos kami. Teman-teman serumah melarangnya, namun Ibu berkeras. “Untuk mengisi waktu dan mengusir sakit hati,” katanya.

Dua tahun kemudian, ketika aku sedang menulis skripsi, pemilik rumah kos meminta Ibu membantu mengelola hotel melati yang ia beli dari seorang pengusaha bangkrut. Ibu bahagia. Tangis syukurnya lebih panjang daripada saat Bapak menceraikannya.

Dulu, sebelum menikah Ibu bekerja sebagai staf humas di sebuah hotel berbintang di Surabaya. Sehabis menikah Bapak memintanya berhenti bekerja dan memboyongnya ke Yogya. Katanya Bapak ingin Ibu jadi ratu di rumahnya, ibu untuk anak-anaknya. Bapak ingin punya tiga anak, dua lelaki dan satu perempuan. Ia satu-satunya anak lelaki dari 4 bersaudara. Katanya, tanpa memiliki anak lelaki garis keturunannya akan mati.

Tak tahu bagaimana kejadiannya, aku masih balita, setelah melahirkanku Ibu dua kali keguguran. Ada tumor ganas di rahimnya. Aku baru saja merayakan ulang tahun kelima saat rahim Ibu dikeluarkan dari rongga perutnya.

"Ibumu ini sekarang bukan lagi perempuan," keluhnya. Saat itu usiaku 18 tahun. Bapak makin gelisah, kewalahan menahan keinginan beristri lagi demi mendapat anak lelaki.

Acap kali kupergoki Bapak dan Ibu bertengkar. Kata Bapak keturunannya punah karena aku perempuan. Bila aku bersuami, anakku akan menjadi keturunan suamiku, bukan keturunan bapakku. Tak bisa kugambarkan bagaimana pedih hatiku saat itu, hampir tiap malam aku menangis di kamar, merutuki diri, merasa telah menjadi penyebab rusaknya rahim Ibu sekaligus menumpaskan keturunan bapakku.

Berkali-kali paman-tante dan kakek-nenekku berupaya menjelaskan kalau tumbuhnya tumor ganas di rahim Ibu itu bukan salahku. Tante Hanna, adik bungsu Ibu, sampai merujuk statistik, “Semua perempuan di atas 18 tahun atau yang sudah aktif secara seksual, di rahimnya sewaktu-waktu bisa tumbuh tumor. Di Indonesia setiap tahun ada ratusan ribu perempuan meninggal karena kanker rahim. Lihat ini.” Tante Hanna menyodorkan beberapa lembar kertas penuh grafik di depanku.

Mungkin mudah bagi Tante Hanna, ia tidak mengalaminya. Baginya, ibuku hanya satu titik di dalam grafik. Bagi Ibu, kehilangan rahim berarti tamat riwayatnya sebagai perempuan dan berakhirnya cinta Bapak padanya. Ibu gagal meneruskan keturunan suaminya.

“Mbak Nadia ….”

Aku tersadar. Kulepas mataku yang melekat di gelas berisi frappuccino. Istri ayahku menunggu jawabanku. Sudah lebih 5 menit aku membisu, terseret ke masa lalu.

“Paling lambat kapan?” tanyaku, menatap matanya.

Kudengar hembusan napas lega. “Makin cepat makin baik, Mbak. Kalau bisa minggu ini. Terima kasih sebelumnya.”

“Saya belum bilang setuju.”

“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Kalau Mbak Nadia sudah bersedia memikirkannya, saya sudah senang.”

“Tolong jangan panggil saya mbak. Dua hari lagi saya kabari." Berkata begitu aku permisi. Kutinggalkan 3 lembar lima puluh ribuan di meja meskipun ia berusaha mencegahku. Sebelum keluar dari cafe itu, kuelus rambut ikal si kecil. Separuh darah di tubuh montoknya dan separuh darah di tubuh kurusku berasal dari lelaki yang sama.

Aku bertanya-tanya, kalau saja Bapak tidak sakit, apa putri kecilnya itu akan ia tinggalkan juga bila istrinya tidak bisa melahirkan orok lelaki.

Malam itu Ibu curiga ada hal genting bercokol dalam pikiranku. Aku tidak menyentuh makanan favoritku: rawon dengan bawang merah goreng dan rajangan seledri melimpah, menutupi permukaan mangkuk.

“Cuma urusan kantor biasa,” bohongku.

“Pasti bukan.”

Aku tidak merespon, pura-pura mengganti saluran TV.

“Kalau kamu nyalakan TV tanpa nonton acaranya, tandanya ada masalah berat.” Ibu meraih remote control dari tanganku. “Apa ini urusan sakit ginjal bapakmu?” Ternyata Ibu sudah tahu. “Sebulan lalu istrinya nelpon Ibu.”

“Beraninya dia!” geramku.

“Sebelumnya bapakmu juga sudah nelpon.” Ibu menjangkau lenganku, aku hendak bangkit dari sofa. “Nadia, jangan pergi, duduk sini. Bagaimanapun juga dia bapakmu. Ada mantan istri atau suami, tapi tidak ada mantan anak atau bapak. Berapa kali Ibu harus mengingatkanmu?”

Suara Ibu membawa kembali kenangan 6 tahun lalu. Kala itu aku histeris, saking kecewanya atas keputusan bapakku menceraikan Ibu. Namun Ibu sama sekali tidak menangis, ia justru menenangkanku, mengatakan kalau dia tetap bapakku meskipun sudah menceraikan Ibu. Katanya bapakku bisa memilih antara Ibu atau perempuan lain; namun aku tak bisa memilih, ia selamanya bapakku.

“Ibu berusaha kuat untukmu dan untuk diri sendiri.” Ibu bisa membaca pikiranku. “Waktu itu tidak ada gunanya menghalangi niat ayahmu, hanya menghabiskan tenaga dan memperpanjang penderitaan. Dia bisa pergi kapan saja dan menikah lagi secara siri.” Ibu mendesah panjang. “Kamu tahu, amarah dan dendam adalah benalu di dalam hati. Tidak ada yang bisa melihatnya. Kita sendiri yang digerogoti. Sampai mati ngenes. Ibu tidak mau begitu.” Ibu mengusap-usap punggungku. “Jangan biarkan siapapun, termasuk bapakmu sendiri, membenihkan amarah di sini ….” Ibu menyentuh ulu hatiku.

“Aku tidak sekuat Ibu.”

“Jangan bilang begitu. Kamu lebih kuat, bahkan dari bapakmu. Lihat, berkat doronganmu, baru 6 tahun Ibu sudah bisa mendiri, meskipun kecil punya gaji. Dulu, bersama bapakmu, 20 tahun lebih Ibu membiarkan diri tergantung padanya. Apa kamu sama sekali tidak menyadari perubahan ini?” Tatapan Ibu menembus hingga ke hati. Ibarat serat zylon, meskipun halus dan lembut, tatapannya kuat, liat, dan tak mudah meleleh.

Kugolekkan kepalaku di ribaannya. Kepergian Bapak menyisakan luka, hingga kini masih menganga dan terasa perihnya. Alasan ingin punya anak lelaki itu meremukkan harga diriku. Kalau bapakku sendiri tega meninggalkanku untuk mengejar sesuatu yang belum ada, bagaimana dengan lelaki lain? Aku jadi sulit percaya pada lelaki, itu sebabnya hingga kini aku memilih sendiri. Ibu tentu saja sedih, sudah tiga kali aku menolak lelaki yang menyatakan cinta padaku.

“Cobalah melihat ke depan. Jangan sampai masa depanmu tercuri oleh masa lalu Ibu.” Ibu membarut rambutku, meminta maaf.

“Bukan salah Ibu. Ini salahnya. Biar saja dia merasakan hukumannya. Biar saja ginjalnya busuk, seperti kelakuannya.”

“Sampai kapan kamu mau membebani diri dengan amarah seperti ini?”

“Sampai aku melihat dia menderita.”

“Kamu pikir saat ini dia tidak menderita? Enam tahun lalu dia sehat. Kini tubuhnya rusak. Bisa jadi ayahmu mengalami tekanan batin, menyesali perbuatannya.”

“Kalau menyesal, mengapa selama enam tahun dia tidak sekalipun menghubungi aku? Tahu-tahu muncul minta ginjal! Memangnya ada yang jual!” Kuangkat kepalaku dari pangkuannya.

“Dengar, Nadia.” Ibu menyentuhku dengan tatapan lembutnya. “Coba pikirkan anak itu.” Ibu menelan ludah, “Nazlina … usianya baru 4 tahun, setiap saat dia bisa jadi anak yatim. Kalau kamu yang sudah dewasa bisa menderita ditinggal ayahmu, bisa kamu bayangkan apa yang terjadi pada anak itu kalau ayahnya meninggal?”

“Ibu kenapa begitu baik sama Bapak?”

“Ini cara Ibu menyembuhkan diri. Menyimpan marah dan dendam, sekali lagi, sama saja dengan menyakiti diri.” Ibu kembali memandangku dengan tatapan serat zylon itu. “Sudahlah. Ibu tidak mau berdebat soal ini lagi. Pikirkan saja baik-baik. Ayahmu minta salah satu ginjalmu. Kalau kamu ikhlas, berikan. Kalau tidak ikhlas, ya sudah, bilang saja secepatnya. Jangan ditunda-tunda.”

Aku merenung selama tiga hari.

**

Matahari melukis bayanganku memanjang ke timur saat kakiku menapak di teras rumah Bapak. Rumah yang pernah kuhuni, yang semula kuanggap surga. Pintu dibuka sebelum aku mengetuknya. Wajah kurus Bapak menyambutku. Senyumnya gagal menyembunyikan tubuh sakitnya: layu.

Ia membuka lebar dua lengannya, siap memelukku. Namun yang kuulurkan hanya tangan kananku. “Apa kamu tidak kangen bapakmu?” Ia menggenggam tanganku dengan dua tangannya, mengajakku masuk ke ruang tengah. Aku minta duduk di ruang tamu.

Sebelum pantatku menyentuh kursi, istri Bapak muncul membawa nampan berisi dua gelas es sirup dan segelas air putih. Di ruangan yang amat kukenal itu aku merasa asing dan senyap, seperti melihat diriku sendiri dalam sebuah film tanpa suara.

“Saya datang sesuai janji.” Sikapku resmi, menghindari basa-basi. “Sudah saya putuskan. Saya tidak bersedia menjadi donor. Salah satu ginjal saya akan saya cadangkan untuk Ibu, siapa tahu suatu saat Ibu memerlukan.”

“Apa ada gejala ibumu sakit ginjal?” tanya Bapak.

“Sama sekali tidak.”

“Syukurlah. Lalu….”

“Selalu ada kemungkinan,” potongku.

“Artinya kamu tidak mau?”

“Saya tidak bisa. Semoga Bapak menemukan orang yang bersedia jadi donor.” Suaraku datar dan kosong, layaknya mesin otomatis penjawab telepon.

Ruangan sedemikian nyenyat, aku bisa mendengar dengung kulkas di dapur. Mata Bapak tertambat pada lututnya sendiri. Kulihat dengan jelas dadanya naik-turun, seperti ada rasa kecewa yang hendak menerobos keluar dari dalam. Istrinya memilin-milin ujung gaunnya. Matanya berpindah-pindah dari wajahku ke wajah suaminya.

“Saya pamit.”

“Ahhh… jangan tergesa. Diminum dulu. Diminum dulu ….” Istri Bapak menyodorkan minuman.

Kuraih gelas di depanku. Kuteguk nyaris habis isinya. Selain haus, aku juga ingin menyenangkan hatinya. Tiba-tiba saja muncul rasa iba pada perempuan muda itu. Jangan-jangan cinta Bapak padanya berkurang akibat gagal memberi anak lelaki.

“Nadia.” Mata Bapak bertemu mataku. “Bapak minta maaf atas semua yang telah Bapak lakukan di masa lalu.”

“Saya tidak ingin mendengar apapun tentang masa lalu.”

“Nadia.” Bapak beringsut maju, tangannya hendak meraih tanganku. Punggungku reflek mundur hingga membentur punggung kursi. Tangan bapak terhenti di udara, lalu kembali ia letakkan di atas lututnya.

“Kalau tidak transplantasi, usia Bapak tidak akan lama. Sampai saat ini belum ada donor….”

“Kenapa bukan Anda?” potongku cepat, memandang istri Bapak.

“Kemungkinan reject-nya makin besar kalau memakai ginjal saya. Kalau sampai reject, tidak ada gunanya.”

“Saya tahu. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Apa ruginya. Anda istrinya. Anda yang butuh dia.”

“Nadia!” Tegas Bapak tak lagi menyembunyikan perasaan kecewa. Saat itu kusadari cintaku padanya benar-benar sirna.

“Kalau sampai terjadi sesuatu pada Bapak, saya berjanji akan membiayai Nazlina. Anda tak perlu khawatir. Separuh darah saya dan separuh darah Nazlina berasal dari lelaki yang sama.” Kutatap mata istri Bapak. “Saya sarankan Anda segera mencari pekerjaan, supaya bisa mandiri kalau jadi janda.”

Bapak berseru. Matanya terbelalak manatapku. Rasa sakit yang kupendam lama membuatku mati rasa. Aku pamit. Bapak terlongong.

Matahari sudah bergeser meninggalkan cakrawala sewaktu aku meninggalkan rumah bapakku. Langkahku ringan, sebagian bebanku telah kulepaskan.

** 

Bapak meninggal beberapa bulan seusai operasi. Kata-kata Ibu terbukti. Selain beban marah tetap bercokol, di dalam hatiku juga tumbuh sesal. Bukan lantaran aku tidak memberikan ginjalku, namun karena telah bersikap kasar pada Bapak dan tidak sempat meminta maaf.

Sore itu, sepulang kantor kukunjungi makam Bapak. Kubawa seikat anggrek bulan. Bunga kesukaan Bapak yang anehnya baru kuingat setelah dia tiada. Aku berdoa di atas makamnya. Dalam perjalanan pulang dari makam, aku mampir ke rumah Bapak, rumah kami, rumah yang kini ditempati istri Bapak dan Nazlina.

“Saya akan menepati janji,” kataku, setelah beberapa saat berbasa-basi. “Saya akan menyokong kebutuhan Nazlina.”

“Oh, Mbak Nadia baik sekali. Jangan repot-repot. Kami akan pulang ke Semarang. Ke rumah orang tua saya. Rumah ini bukan hak saya. Namun mobil akan saya bawa.”

Istri Bapak ini orang baik, batinku. “Saya tetap akan rutin mengirim uang untuk Nazlina. Dia adik saya.” Kuharap ia bisa menangkap ketulusan hatiku. “Dan…,” aku terkelu sesaat. “Untuk mengurangi dosa saya pada Bapak.”

Kami bertatapan. Genangan air memberati matanya.

“Baik, kalau begitu. Terima kasih sebelumnya.” Ia mengantarku sampai di luar pagar. “Saya akan pamit sebelum boyongan. Sekalian menyerahkan kunci rumah dan surat-suratnya,” ujarnya, tersenyum samar.

Beberapa bulan kemudian, istri Bapak meneleponku, mengucap terima kasih atas kiriman uang.

Rumah yang pernah mengayomiku selama 21 tahun itu kami jual. Uangnya kami bagi tiga: untukku dan Ibu, untuk keluarga Bapak, dan untuk Nazlina.

Sekali lagi kata-kata Ibu terbukti. Menyimpan amarah dan dendam sama dengan menyimpan penyakit yang menggerogoti diri. Aku ingin sembuh dari penyakit itu. Pelan-pelan aku belajar mencintai Nazlina, bukan hanya mengiriminya uang. Kalau ada waktu luang aku mengunjunginya di Semarang. Sesekali ia diantar ibunya ke Yogya untuk menginap di rumah kami.

Kasih sayang yang kupupuk untuk Nazlina berangsur-angsur tumbuh subur, menyisihkan benalu dendam, membuahkan rasa tenteram.


~ Ditulis lewat tengah hari di Ngaglik, 2013 ~ 

Tidak ada komentar: