Selasa, 17 April 2012

Perempuan dan Dinamika Kampung

Perempuan dalam rekonstruksi pasca-bencana
Pagi itu, di sebuah kampung, sekitar pukul 9, seorang pramurukti lari-lari keluar rumah. Ia kebingungan, perempuan yang telah tiga tahun dirawatnya tampak menjemput ajal. Kampung sangat sepi pada jam-jam seperti itu, karena sebagian penghuninya bekerja, kuliah atau sekolah. Tiba-tiba si pramurukti ingat salah seorang ibu yang tidak bekerja. Ia segera berlari kesana dan menceritakan situasinya.
Si ibu yang baik hati segera mengangkat telpon. Dalam hitungan menit para perempuan yang kebetulan ada di rumah berdatangan menolongnya. Setelah dokter datang dipastikan bahwa ibu yang sakit itu benar telah meninggal.

Tanpa banyak kata, para perempuan yang sudah berada di rumah almarhumah menghubungi semua orang yang berkepentingan. Dalam waktu singkat, sebagian besar penghuni kampung sudah mendengar kabar dukacita itu. Segera pula mebel-mebel dipindahkan, lalu sebuah truk muncul membawa tenda dan kursi-kursi.

Begitulah. Berkat kesigapan ibu-ibu yang tinggal di rumah, dan kerjasama yang baik di antara mereka, banyak kesulitan bisa diatasi lebih mudah.

Bayangkan bila kampung-kampung itu sepi perempuan. Pasti suasananya akan menjadi seperti fasilitas pengeboran lepas pantai. Kering, beku dan hambar.

Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa kiprah perempuan sehari-hari di kampung-kampung mampu memicu dinamika. Sebut saja arisan. Walaupun kegiatan arisan kampung sesekali menuai cibiran, rutinitas itu ternyata bermanfaat, bahkan produktif. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan ketika arisan adalah mengelola berbagai iuran kampung, ada iuran sampah dan kebersihan, iuran keamanan dan iuran sosial (biasanya untuk sumbangan bagi keluarga yang tengah kena musibah dan sumbangan kelahiran). Semua iuran itu dikelola dalam ‘forum arisan’. Disebut forum karena di dalamnya ada kegiatan diskusi antarpeserta untuk membahas berbagai persoalan, memutuskan dan menyepakati sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup sehari-hari di kampung.

Jangan lupa pula tabungan dan simpan pinjam. Dua hal itu merupakan bagian tak terpisahkan dari arisan. Selain arisan, ibu-ibu juga menyetor tabungan yang hasilnya kemudian dipinjamkan pada anggota. Tentu saja dengan bunga.

Sebagai contoh. Sebuah kampung di Kabupaten Sleman berpenghuni sekitar 110 keluarga di tingkat RW dan rata-rata 25 – 30 keluarga di tingkat RT. Kampung ini merupakan kompleks perumahan yang komunitasnya baru mulai berkembang akhir 80-an. Penduduknya sebagian besar pendatang, dalam arti bukan orang lokal yang nenek-buyutnya tinggal di wilayah itu.

Di kampung itu, jumlah rata-rata tabungan di tingkat RW per bulannya sekitar Rp 15 juta dan omzet bulanan simpan pinjamnya kurang lebih Rp 20 juta. Dengan bunga 0,5% per bulan untuk tabungan dan 1% per bulan untuk pinjaman, ‘jualan’ ini laris manis. Setiap anggota boleh meminjam maksimal Rp 5 juta yang diangsur maksimal 5 kali. Di kampung yang warganya cukup heterogen, mulai dari profesor perguruan tinggi ternama hingga janda pensiunan pegawai negeri golongan II, jumlah ini sangat membantu bagi yang membutuhkan. Boleh untuk apa saja, mulai dari modal kerja, membayar uang masuk sekolah, atau mengganti kulkas tua.

Tentu saja kiprah para perempuan di kampung tidak sebatas urusan keuangan. Secara rutin, kelompok ibu-ibu yang populer disebut dengan kelompok PKK di jaman orde baru itu menyusun berbagai kegiatan. Tak jarang, untuk mengisi arisan bulanan mereka menghadirkan para pakar di berbagai bidang, khususnya kesehatan, untuk berdiskusi bersama. Forum diskusi semacam itu tak kalah serunya dengan seminar-seminar yang diselenggarakan di hotel-hotel berbintang. Bila perlu, layar digelar serta LCD proyektor dan laptop digunakan. Bagi para perempuan yang karena berbagai alasan tidak bisa menjangkau kesempatan semacam itu (seminar, lokakarya dan sejenisnya), acara yang dikelola oleh para pengurus kelompok arisan ini bisa membuka wawasan sekaligus menjadi hiburan. Mereka sesekali pamer kepandaian menyanyi, menari dan bermusik, tak kalah dengan anak-anak dan remaja.

Bentuk dan ragam kegiatan sangat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan kemampuan ekonomi para pengurusnya. Jangan dikira mengurus kampung tidak diperlukan kepemimpinan dan kemampuan manajerial handal. Semakin accountable mereka, semakin semarak kampungnya.

Semua kegiatan itu tercatat dalam buku-buku yang rapi. Ada aneka buku iuran, buku tabungan dan buku pinjaman. Sebagaimana di kantor-kantor dan lembaga-lembaga formal, setahun sekali para pengurus menyusun laporan dan hasilnya dibagikan pada semua anggota.

Semua dinamika itu, eloknya, dikerjakan sepenuh hati dan jiwa oleh para pengurusnya tanpa memperoleh imbalan jasa.


***

Tidak ada komentar: