Sumber Gambar |
Marno senang karena Ibu Rusman, sang pemilik rumah besar sekaligus majikannya itu, puas akan hasil kerjanya. Perempuan kaya itu belum lama menjadi janda, di kampungnya ia dikenal murah hati. Walau usianya hampir 80 tahun, Ibu Rusman masih kuat berjalan kaki keliling kampung tiap pagi. Tangannya yang berkulit langsat dan berkeriput selalu menenteng tas plastik berisi aneka jajanan yang ia beli di toko kecil milik tetangganya, di ujung kampung. Di sepanjang jalan pulang jajanan itu ia bagikan pada anak-anak kecil yang ia temui. Kadang Marno kebagian tiga-empat kue yang tersisa, untuk oleh-oleh dua anaknya.
Selama seminggu bekerja, Marno pelan-pelan mengenali semua penghuni rumah. Pak Nardi, supir yang telah bekerja sejak cucu pertama Ibu Rusman lahir. Kemudian Suci, pembantu yang bertugas khusus menyapu dan mengepel lantai, serta membersihkan perabotan rumah. Lalu Mak Darti, orang pertama yang dikenalkan Ibu Rusman, yang mengurus dapur, memasak, mencuci dan menyeterika. Masih ada Johan yang datang dua hari sekali, bertugas merawat burung-burung, ayam-ayam kate dan kelinci di halaman belakang. Yang paling jarang ia lihat adalah Ricky, salah satu cucu Ibu Rusman yang masih kuliah dan memilih tinggal bersama neneknya daripada kos seperti sepupu-sepupunya.
Kata Mak Darti, Ricky sangat sayang pada neneknya dan tidak tega melihatnya tinggal sendiri di rumah besar dengan para pembantu dan binatang-binatang peliharaannya saja.
“Mas Ricky itu cucu dari anak nomer berapa?” tanya Marno pada Mak Darti suatu hari.
“Anak nomer dua yang tinggal di Afrika. Jadi diplomat atau apa, gitu.” Mak Darti mulai cerita tentang tujuh anak-anak keluarga Rusman yang semuanya menjadi orang sukses. Bila mereka berkumpul, rumah akan ramai sekali dan Ibu Rusman akan memasak berbagai makanan kegemaran anak-menantu-cucu yang jumlahnya lebih dari 30 orang itu.
Marno selalu takjub akan kisah-kisah keluarga kaya pada siapa ia sering bekerja. Kalau bukan kantor besar atau orang kaya, siapa yang akan memerlukan jasa tukang kebun seperti dirinya. Ia berharap akan kerasan bekerja pada majikan barunya ini.
Pagi itu, Marno memotong ranting-ranting mawar dan beberapa tangkai bunganya yang masih belum sepenuhnya mekar. Ia ingin menaruh bungaan itu ke dalam vas setinggi bocah dua-tahunan yang kemarin ia ambil dari gudang. Sehabis ia bersihkan, vas dari tembikar itu ia letakkan di teras samping. Marno berjongkok, meletakkan serumpun mawar di bibir vas ketika dilihatnya seorang perempuan muda, cantik, berambut lurus melewati bahu, tengah mengamatinya dari ambang jendela ruang tidur samping. Ah, pasti salah satu cucu Ibu Rusman baru datang dari belahan bumi bagian mana lagi, pikir Marno.
Perempuan itu tersenyum padanya. Marno membungkukkan badan tanda hormat. Ia berdiri saja di ambang jendela sambil mengawasi Marno bekerja. Ia mengagumi kecekatan tangan Marno memotong tangkai-tangkai mawar. Ada yang pendek, ada yang panjang, sebagian dedaunnya dihilangkan, sebagian dibiarkan.
Tak lama vas itu dipenuhi warna-warni mawar. Sambil mengangkat vas yang bertambah berat itu, Marno menoleh ke arah jendela, namun perempuan muda itu sudah tidak dilihatnya. Vas itu kini menghiasi meja di sudut ruang tamu, Marno bangga akan hasilnya. Tersenyum lebar tukang kebun itu keluar, mengitari rumah sambil memeriksa hasil kerjanya. Semoga Ibu Rusman dan cucu cantiknya itu senang menikmati kebun ini, doanya dalam hati.
“Mak, tadi aku lihat ada nona muda, cantik, rambutnya lurus segini.” Marno menjangkau punggungnya sendiri. “Cucu dari anak nomer berapa? Baru datang ya?” Sambil menikmati makan siang, Marno berharap bisa mendengar cerita dari Mak Darti tentang gadis cantik itu.
“Nona muda? Rambut lurus sepunggung? Di ambang jendela salah satu kamar samping?” Mak Darti balik bertanya.
“Iya. Cantik. Aku diajak senyum.” Marno menyeringai gembira, ada perempuan cantik, muda dan kaya yang melempar senyum padanya.
“Ahhh….” Mak Darti menghela nafas. Menunduk. Terdiam.
“Kenapa, Mak? Siapa gadis itu?” Marno jadi penasaran.
Mak Darti memegang erat tangan kanan Marno yang terjulur meraih mangkuk sayur. “Itu tandanya kamu akan lama bekerja di rumah ini, Marno. Nona muda itu namanya Shovia. Anak bungsu. Ia hanya menunjukkan diri sesekali saja, kalau ada orang baru yang disukainya. Ia meninggal karena sakit jantung, dua puluh lima tahun lalu.”
Marno tersedak. Matanya terbelalak.***
2 komentar:
disukai hantu .. hiii :D
hihihihihihihiii... siapa juga yang mau... :-D
Posting Komentar