Kamis, 22 November 2012

Potongan Kisah Hujan

Sumber Foto
Petir sedari tadi menyambar-nyambar, meledakkan trafo PLN di pertigaan jalan, membuatku tak mendengar ada lima sms masuk ke HP dengan pesan sama, sebelum sms keenam ini kubaca. Aku harus cepat. Tak mau terlambat sampai di rumah Mbak Rini. Tak ingin kehilangan kesempatan memeluk keponakanku, Mita.

Sore ini ia berangkat ke Jerman untuk melanjutkan studi. Gadis yang belum lama lulus sarjana dan memenangkan beasiswa itu sejak bayi sangat dekat denganku. Ketika Mita lahir, aku masih SMA, Mbak Rini belum selesai kuliah, jadi Mita sering dititipkan ke rumah.

Kusambar tas dan kuikat rambutku ke atas dengan jepit hitam berbentuk kupu favoritku. Sambil memakai sepatu, kuminta Mbak Mar membuka garasi.

“Hati-hati, Mbak. Licin.” Mbak Mar pernah terpeleset tahun lalu karena terburu-buru. Pintu garasi terbuka, partikel-partikel air hujan terbawa angin menyerbu wajahku. Sebelum menyalakan mesin mobil, kuraih sweater biru muda yang tersampir di sandaran kursi. Pada musim hujan begini, aku selalu meletakkan sweater atau pashmina di dalam mobil.

“Payungnya, Bu.” Mbak Mar membuka pintu belakang, menaruh payung besar warna merah di atas jok.

Lampu kabut kunyalakan begitu memasuki Jalan Kaliurang. Jarak pandang tak lebih dari 10 meter saja. Semua kendaraan berjalan pelan-pelan. Suara air hujan yang jatuh di atas kap mobil bertalu-talu, mengalahkan suara sexy Sting yang melantunkan lagu Fields of Gold. Baru kusadari makna ‘hujan seolah tercurah dari langit’ itu. Dua buah wiper terseok-seok frustrasi menyibak serbuan air hujan di kaca depan. Volume run-off sangat besar, Jalan Kaliurang menjelma sungai yang mengalir ke selatan.

Tiap kali berpapasan dengan mobil yang melaju ke utara, kepalaku kumiringkan, seolah takut hempasan air akan menembus kaca. Di lampu merah, luapan air selokan terlihat seperti kolam. Beberapa sepeda motor jadi macet, para penunggangnya susah payah meminggirkan diiringi salak klakson dari para pengemudi mobil yang tidak sabar. Seorang ayah menggendong anak perempuan balita di punggungnya, berjalan tertatih-tatih di atas trotoar yang tidak rata. Ia mengumpat ketika sandal jepitnya lepas, terseret arus lalu hilang tertelan selokan. Kepala mungil anak itu menempel di punggung sang ayah, matanya terpejam.

“Syukurlah,” bisikku pada diri sendiri. “Ia masih bisa tertidur walau terguyur hujan.”

Pukul 15.30. Ya, Tuhan. Aku pasti terlambat. Biasanya aku hanya butuh 30 menit untuk menuju rumah Mbak Rini. Namun karena hujan aku pasti akan perlu 1 jam. Sungguh. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan memeluk Mita yang akan meninggalkan Jogja selama dua tahun. Aku kira Mita akan berangkat besok sore, bukannya sekarang.

“Mbak Rini, aku masih di jalan,” kutelepon kakakku.

“Kami udah di bandara, Tia,” jawab Mbak Rini. Aduh. Aku harus langsung ke bandara. Sign kiri kunyalakan. Pelan-pelan mobil kubelokkan ke kiri, keluar dari antrian. Suara klakson menjerit sekeras halilintar. Aku pura-pura tidak mendengar.

Kususuri Jalan Lingkar Utara yang sama-sama tergenang air hujan. Di jalur lambat sebelah kiri, tampak belasan motor dituntun hati-hati agar knalpotnya tidak kemasukan air. Aku heran, dalam hujan selebat ini, masih saja orang nekat keluar rumah. Mungkin mereka juga punya keperluan penting seperti aku. Kujawab sendiri keherananku. Tiap kali aku merasa gelisah seperti saat ini, aku selalu berdialog dengan diriku sendiri, berusaha menentramkan hati.

Lima menit lagi aku sampai bandara, tinggal belok ke kanan setelah lampu merah. Semoga Mita belum masuk ke ruang check-in dan masih menungguku di hall keberangkatan. Saat menunggu lampu merah, kulihat seorang gadis menyeberang. Payung mungilnya tak mampu menahan derasnya air hujan. Busana muslimahnya tampak basah hingga menempel ketat di badan, memperlihatkan seluruh lekuk tubuh langsingnya yang menawan.

“Ya, Tuhan. Jangan Kau hukum gadis itu. Ini bukan salahnya. Ini salah hujanMu,” kugumamkan doa untuk si gadis yang menutup wajahnya dengan sapu tangan lebar. Paling tidak, orang yang lalu lalang tidak mengenali wajahnya kalau toh mereka menikmati kemolekan tubuh basahnya.

“Parkir VIP 10 ribu! Masih ada tempat!” teriak petugas parkir berseragam biru lewat kaca jendela yang kubuka seperempatnya. Kusodorkan keluar jendela pecahan 10-ribuan. Dengan membawa payung lebar, petugas itu memanduku.

Tas cangklong dan payung di jok belakang kuraih dengan tangan kiri. HP kuselipkan di saku tas. Pintu kubuka dan payung terkembang. Seluruh punggungku yang terlapisi sweater serta merta basah kuyup. Berlari aku menyeberangi area parkir menuju hall keberangkatan. Kutemui kakakku dan suaminya, ibuku serta beberapa lagi anggota keluarga.

“Mita sudah ke ruang check-in 10 menit lalu, Tia,” sambut Mbak Rini. Suaminya meraih payung dari tanganku lalu menutupnya.

“Aduuuhh… gimana?” suaraku bernada tangis. “Paak…. Paaak…. Saya boleh masuk, ya. Boleh, ya?” aku merayu penjaga berseragam yang menghubungkan hall keberangkatan dengan ruang check-in. Dengan tegas penjaga itu menolak permintaanku. “Dulu kan pengantar boleh masuk asal beli tiket. Berapa tiketnya, Pak? Saya ingin memeluk keponakan saya. Tolong ya, Pak.” Aku memohon belas kasihan.

“Sekarang sudah tidak lagi, Bu.” Sebenarnya aku tidak butuh penjelasan itu. Aku sering ke bandara untuk bepergian atau sekedar menjempt suami atau anakku.

Mbak Rini dan suaminya dengan sopan berusaha menjelaskan situasiku pada penjaga itu. Si penjaga melangkah ke dalam dan berbincang sebentar dengan rekan-rekannya. Mereka mengangguk-angguk.

“Boleh, Bu. Silakan. Tapi tas tidak boleh dibawa ke dalam dan Ibu harus lewat sini juga.” Tas dan arloji kulepas lalu kuangsurkan pada Mbak Rini. Aku berlari melalui metal detector bagai anak kecil yang diijinkan bermain keluar oleh orangtuanya. Kulihat Mita baru saja selesai check-in.

“Mita…!”

“Tante Tia." Mata indah Mita terbelalak senang. “Pesawat ditunda sampai hujan reda.”

Kami berpelukan. Masih ada cukup waktu untuk berbincang.

***

Tidak ada komentar: