Jumat, 26 Juni 2015

Sebuah Kamar dan Sebendel Uang


Membaca essay Virginia Woolf ‘A Room of One’s Own’ saya teringat Kartini. Selisih usia mereka tidak jauh. Virginia lahir di Inggris pada Januari 1882 dan Kartini pada saat itu akan beranjak 3 tahun. Namun Kartini malang tidak berusia panjang untuk punya kesempatan menulis buku. Sebaliknya Virginia menghasilkan banyak karya dan empat di antaranya dikenal masyarakat luas, berupa novel Mrs. Dalloway, To the Lighthouse dan Orlando, serta sebuah essay yang judulnya saya sebut di atas.

Saya tergerak membaca essay tersebut selepas membaca diktumnya – lupa dalam artikel apa ditulis oleh siapa – yang menurut saya perih terasa, yakni: a woman must have money and a room of her own if she is to write. Duhai!

Meskipun Inggris kala itu sangat berkuasa dan menjajah banyak negara dari ujung timur hingga ke ujung barat dunia, nasib para perempuan di sana 11-12 dengan di Indonesia yang masih dijajah Belanda.

Virginia marah di dalam essay itu. Di jamannya para perempuan terlalu miskin harta dan sempit kesempatan untuk berkarya sesuai minatnya, terutama kesusastraan. Oleh karenanya ia dengan sinis mempersilakan orang menyebut dirinya Mary Beton, Mary Seton, Mary Carmichael*) atau apa saja, sebagai pengganti ‘aku’ untuk menekankan bahwa keberadaannya tidak penting; sebab ia seorang perempuan.

Ia merujuk gagasan para lelaki tentang perempuan yang merendahkan sekitar setengah dari seluruh spesies manusia itu. Amarahnya terhadap rendahnya posisi perempuan di dunia yang patriarkal itu sebagian ia luapkan dengan mencipta karakter lelaki yang ia namai Professor von X, seperti cuplikan berikut ini:

 “[…] Professor von X engaged in writing his monumental work entitled The Mental, Moral, and Physical Inferiority of the Female Sex. He was not in my picture a man attractive to women. He was heavily built; he had a great jowl; to balance that he had very small eyes; he was very red in the face. His expression suggested that he was labouring under some emotion that made him jab his pen on the paper as if he were killing some noxious insect as he wrote, but even when he had killed it that did not satisfy him; he must go on killing it; and even so, some cause for anger and irritation remained. Could it be his wife, I asked, looking at my picture? Was she in love with a cavalry officer? Was the cavalry officer slim and elegant, and dressed in astrakhan? Had he been laughed at, to adopt the Freudian theory, in his cradle by a pretty girl? For even in his cradle the professor, I thought, could not have been an attractive child. Whatever the reason, the professor was made to look very angry and very ugly in my sketch, as he wrote his great book […]”

Wah!

Ia juga mencipta karakter lain bernama Judith Shakespeare, sebagai adik William Shakespeare, untuk menegaskan bahwa di abad 16, di masa kejayaan Ratu Elizabeth (yang dikenal dengan era Elizabethan), perempuan musykil menulis karya sastra sehebat laki-laki.

Ia menjelaskan bahwa ketika William bersekolah dan belajar berbagai ilmu pengetahuan khususnya seni dan kesusastraan, Judith tinggal di rumah menyulam stoking. Meskipun Judith adalah anak kesayangan ayahnya, ia akan segera dinikahkan dengan anak lelaki tetangga sebelum usianya genap 16. Bila ia menolak maka ayahnya – kalau tidak memukulinya – akan memohon agar Judith tidak mempermalukannya. Lalu Judith akan ditaburi dengan mutu manikam dan gaun-gaun indah asalkan ia mau menikah dengan lelaki pilihan ayah.

Sebuah fantasi yang pedih. Terlebih karena itu nyata. Kepedihan serupa itu juga terungkap dalam surat-surat Kartini. Puteri Bupati Rembang itu dinikahkan dengan Joyodiningrat, lelaki yang telah beristri tiga.

Namun dalam situasi seburuk itu terbit juga novel-novel hebat, di antaranya karya Emily Bronte Wuthering Heights dan belasan novel karya Jane Austen yang sebagian sudah difilmkan.

Kini keadaan sudah berubah. Jauh berubah. Perempuan tidak hanya punya kamar sendiri untuk berkarya sesuka dan sesuai minat mereka. Tak sedikit yang kaya karena punya pekerjaan hebat di berbagai bidang yang seabad lalu masih didominasi lelaki. Di toko-toko buku berderet karya para penulis perempuan. Terlepas dari silang sengkarut karya sastra Indonesia, novel Pulang dan Amba**) yang disorot banyak pihak itu keduanya ditulis oleh penulis perempuan.

 Essay Virginia, buat saya pribadi, adalah pengingat bahwa kesempatan (untuk menulis, berkarya, berbuat baik) harus dicari dan ditemukan bila itu tidak tampak di mata. Dan bila itu tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, jangan dibuang demi sekian macam alasan. Banyak orang harus mati untuk memperolehnya.

*** 

*) Sila googling ‘the four mary’ bila ingin tahu lebih lanjut tentang mereka.
**) Saat artikel ini ditulis novel Pulang dan Amba sedang hangat dihujat dalam kaitannya dengan Frankfurt Book Fair.
***) Tautan untuk mengunduh format pdf dari A Room of One's Own

Tidak ada komentar: