Sabtu, 21 Januari 2012

Membaca Curhatan Jomblo

“Tidak bisakah orang-orang itu mengurus dirinya sendiri dan menerima dirinya apa adanya?” Begitu ending dari The Beginning, salah satu tulisan dalam buku Cuplikan Kisah Si Jomblo (CKSJ), karya sahabat saya Ria Tumimomor. Sulit mau memutuskan tersenyum atau meringis kecut membacanya. Ya. Diakui atau disangkal, kita sering pengin mengurus orang lain, entah itu anak, suami/istri, pacar, teman, orang tua… tetangga… bahkan orang lalu-lalang di jalanan. Dan bila kita ketemu seorang jomblo, perempuan, berusia kepala 4… waaah… rasa ingin ngurus itu jadi makin tebal!

Buku CKSJ berisi 14 curhatan pendek. Sepuluh di antaranya memakai judul berbahasa Inggris. Curhatan Ria merangkum hampir semua ‘tuduhan’ yang sering ditudingkan pada para jomblo perempuan berusia matang – untuk tak menyebut usia di atas tiga-puluhan. Jomblo itu dosa (Ouch!!!). Jomblo itu pemilih. Jomblo perlu diobral biar cepet laku. Jomblo sering menjadi olok-olokan dalam pertemuan keluarga. Jomblo tidak punya rasa keibuan; atau sebaliknya, karena usianya (hadeeeh… bisa berhenti nulis usia nggak, nih?) jomblo sering disangka sudah punya anak! Benar-benar sebuah posisi tidak nyaman.

Tapi benarkah para jomblo tidak nyaman? Menurut curhat-curhat yang ditulis Ria, ternyata tidak benar. Sebaliknya, justru orang lain – termasuk keluarga dan sahabat – yang merasa tidak nyaman. Sebabnya… ya… itu tadi… orang cenderung ingin mengatur hidup orang lain. Orang cenderung merasa ingin membuat orang lain seperti dirinya. 

Being Picky Picky adalah salah satu curhatan yang saya suka. Sang Wanita - begitu Ria menyebut tokoh dalam semua tulisannya – dituduh sangat pemilih hingga berat jodoh dan menjomblo sampai tua (Alamaaak!!!). Namun ternyata ibu Sang Wanita tak kalah pemilihnya: ia tak suka kalau anak jomblonya menikah dengan lelaki lebih muda, atau beda agama, atau pengagguran… atau… Di sini Ria ingin menekankan bahwa setiap perempuan lajang, tak peduli usianya, berhak memilih calon suami, sebab bila ia menikah, ia yang akan menjalani. Demikian pula bila ia menjomblo, itu merupakan pilihan karena ia punya alasan. Jadi, jangan dibalik, bahwa perempuan jomblo itu akibat terlalu pilih-pilih calon suami.

Namun, ada juga jomblo yang setelah menikah bisa tiba-tiba lupa bagaimana rasanya menjomblo. “Kesimpulannya, kalau wanita yang sudah lama melajang akhirnya menikah, ia bagai kacang lupa akan kulitnya.” Demikian cuplikan dialog antarjomblo dalam curhatan berjudul Short Memory Syndrome. Tulisan yang satu ini membuat saya terbahak-bahak, sebab sadar atau tak sadar Ria mengakui bahwa ada perempuan yang terbebani oleh kejombloannya, dan beban itu otomatis terangkat bila ia mengakhiri masa jomblonya… alias menikah!

Bagi saya yang menikah di usia 26 ini, tidak mudah membayangkan perasaan para jomblo usia matang (Stop wiriting ‘usia’, please!). Kalau saya mengatakan bahwa saya bisa mengerti, saya pasti bohong, atau basa-basi. Jadi harus ada toleransi. Nah… salah satu curhatan Ria dijuduli ‘Toleransi’. Selesai membaca tulisan yang satu itu, saya langsung berpikir bahwa jomblo pun tidak memahami sulitnya menjadi ibu atau istri. Ada saatnya seorang perempuan beranak-bersuami berharap kembali menjadi jomblo. Saya kebetulan bersuamikan lelaki sabar penuh pengertian. Ia rela melepas saya pergi keliling dunia, sendiri! Anak semata wayang saya juga, menurut emaknya, cukup mandiri. Ia hampir tak pernah menahan langkah ibunya yang kerap keluar rumah berhari-hari. Meskipun begitu, sesekali saya berharap menjomblo, supaya ‘rasa bersalah’ akibat sering meninggalkan anak dan suami bisa terkurangi… bukan karena pengin punya pacar lagi!

Saya lega bisa menyelesaikan membaca ebook setebal 63 halaman ini. Paling tidak, saya jadi tahu diri, tidak lagi asal nyelonong bertanya soal pernikahan atau anak pada perempuan yang baru saya kenal. Sebuah kesalahan yang selalu dianggap wajar, padahal harus dihindari.

Buku ini dijual dalam format ebook. Para pemilik iPad bisa membelinya lewat Evolitera.

Melalui tulisan cethek ini, saya ucapkan salut pada Ria Tumimomor yang sudah menuliskan curhatnya dengan segar dan ceria. Selera humornya yang tinggi tergambar dalam buku ini. Mungkin karena itu ia mampu menikmati kejombloannya. Para istri, termasuk saya pastinya, perlu belajar dari Ria agar bisa nyaman menjalani hidup bersuami…

***

Cethek (bahasa Jawa): dangkal, tidak bernas.

5 komentar:

Ria Tumimomor mengatakan...

Pssst Mbak, jgn blg curhatan saya... Ntar dikira true story :D ‎"̮hϱ♥hϱ♥hϱ"̮

Ge Siahaya mengatakan...

Review ini patuuut dibaca!!! Yeee yeee... :D

Endah Raharjo mengatakan...

True story yang ditulis oleh Ria... bercampur dgn true story yg dialami sendiri, gitu ya :-D

@Ge: saya harus meniru cara2 yg dipakai jomblo agar survive bersuami hihihihihiii...

Editor mengatakan...

Kemarin saya bisa baca free di Evolitera. Dan, swear! buku ini sangat menggambarkan kekayaan perspektif. Meski ditulis oleh seorang perempuan, namun juga teramat layak untuk dibaca oleh kaum lelaki.

Kelebihan lainnya, bahasa yang dipergunakan menurut saya: LUAR BIASA! karena memang Ria pergunakan bahasa yang "renyah" dan "gurih." Iya, maksudnya enak "dikunyah." :-)

Endah Raharjo mengatakan...

Aduh, tumben Zul bertandang ke sini. Pengin disuguhi tulisan Ria yang renyah dan gurih, ya :-)
Memang bener, curhatan karya Ria itu (penulisnya protes kalau dibilang itu curhatan) asyik, kyk yg nulis.