Rabu, 11 Januari 2012

Pelacur dan Penjual Terompet

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Wangi aroma hujan menyapa lembut napas perempuan itu lalu mengalir hingga ke rongga dadanya, menyegarkan paru-parunya. Di atap derai hujan bertalu-talu terdengar ngilu mengiris hati. Perempuan itu tahu, hujan di awal malam ini tak beda dengan hujan yang turun tengah malam lalu, mengalirkan berkah yang sama ke nadi-nadi bumi. Jatuhnya hujan condong ke barat hingga sebagian rinainya mengetuk-ngetuk permukaan daun jendela kamarnya. Ia buka salah satu daun jendela dan perciknya halus mengelus wajah telanjangnya.

“Aku harus cepat berdandan,” pikir perempuan itu. “Pasti akan banyak pelanggan. Ini malam tahun baru,” selapis doa ia campurkan dalam bedaknya yang ia oleskan tebal-tebal ke pipinya.

Di luar kamarnya yang sempit, yang terletak paling depan dari rumah yang ia sewa bersama empat sejawatnya, di bawah jendela, seorang penjual terompet sedang berteduh. Sarungnya yang lusuh setengahnya tergulung ke atas memperlihatkan ujung-ujung celana kolor hitamnya yang menyentuh bawah lutut. Puluhan terompet yang memenuhi pikulan ditutupi dengan plastik transparan. Wajah penjual terompet tampak muram. Matanya layu memandangi guyuran hujan. Sesekali mulutnya terlihat komat-kamit. Ia berdoa. Memohon agar Tuhan menghentikan hujan dengan kuasaNya lalu mengguyurinya dengan rejeki melalui terompet-terompetnya.

“Hmmm…” Selesai bersolek si pelacur memandangi bayangan dirinya di dalam cermin. Ia puas dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya penuh warna. Ia matikan lampu neon yang benderang lalu menyalakan lampu dinding yang temaram. Kaki yang diganjal high-heels hijau pupus itu membawa tubuh terbalut gaun mini ketat warna kuning, melangkah ke ambang jendela.

Di bawah teritisan, si penjual terompet mencium aroma manis parfum yang terhembus angin hingga ke hidungnya. Kepalanya menoleh ke arah jendela. Dalam sorot redup lampu jalanan yang sinarnya susah payah menembus hujan, mata penjual terompet tampak sedikit membelalak melihat wajah si pelacur.

“Maaf, Mbak… Saya cuma nunut neduh sebentar.”

“Nggak apa-apa, Pak. Santai aja.”

Dari dandanan dan baunya, penjual terompet itu tahu kalau perempuan itu salah satu dari puluhan penjual jasa pemuas nafsu syahwat di kawasan pelacuran itu.

Hujan menderas. Jalanan lengang. Mobil hanya lewat sesekali. Ponsel si pelacur ikut membeku. Diam sejak tadi. Ada beberapa sms masuk dari teman-teman dan keluarganya yang mengucapkan selamat tahun baru. Tahun sebelumnya, mulai siang, ponselnya sudah berdering berkali-kali. Tiap malam tahun baru perempuan itu biasanya menerima lima atau enam pelanggan. Mulai jam enam sore hingga jam 10 ia akan melayani pelanggan dengan kategori short term, setelah itu ia akan memilih pelanggan berkantung tebal yang mengajaknya pesta hingga pagi.

Jam kecil di atas meja riasnya menunjukkan pukul 7. Pelacur itu mulai gelisah. Sedari tadi, selama hampir satu jam, ia hanya duduk saja di ambang jendela sambil menyandarkan kepala ke salah satu kusennya. Ia berdiri, melongok ke samping kanan. Terlihat penjual terompet yang berjongkok terkantuk-kantuk. Sarungnya diangkat ke atas menutupi tubuhnya.

Pelacur itu menjulurkan tangannya dan membiarkan pucuk-pucuk hujan membelai telapaknya. Rasa sejuk menjalar dari ujung jemari ke jantungnya, menenangkan kegundahannya.

“Sepi ya, Pak,” si pelacur menyapa si penjual terompet. “Jam segini belum ada telpon dari pelanggan.”

“Ehh…! Iya.” Si penjual terompet tersentak dari kantuknya. Mukanya menengadah ke jendela.

Wajah berlapis bedak putih itu tampak suram. Matanya menerawang ke atas menerobos hujan.

“Mungkin orang-orang milih di rumah dengan keluarga,” gumam si penjual terompet sambil mengusap-usap plastik penutup dagangannya dengan handuk kusam.

“Dengan keluarga…” Si pelacur menirukan. Ia katupkan matanya sambil membayangkan sebuah keluarga bahagia di dalam sebuah rumah entah di mana. Keluarga yang bahagia. Ada ibu. Ada bapak. Ada anak-anak. Bila perlu ada kucing yang meringkuk di pangkuan si anak. Atau beberapa ikan mas di dalam akuarium kecil bulat. Atau anjing yang menggelosor di bawah kursi. Bayangan di kepalanya pelan-pelan menjalar ke bawah lalu menekan tombol duka di ulu hatinya. Ia menghela napas panjang sambil membuka mata untuk mengusir impiannya.

“Punya keluarga, Pak?”

“Punya, Mbak. Anak saya tiga. Perempuan semua.” Ada sedikit getar tak terdengar, namun terasa, saat penjual terompet itu mengucapkan kata ‘perempuan semua’. Dalam hati, ia berdoa agar anak-anaknya tidak menjual jasa seperti pelacur yang sedang mengajaknya bicara di ambang jendela itu.

“Semoga mereka lebih beruntung dari saya.” Pelacur itu seakan bisa mendengar bisikan hati si penjual terompet. Teringat ia akan dua adik perempuannya yang kini diasuh oleh keluarga pihak ibunya, nun di sebuah desa di ujung timur pulau Jawa. Teringat ia akan bapaknya yang meninggal terlindas roda-roda truk yang akan ia rampok bersama kawan-kawannya. Teringat ia akan ibunya, yang minggat seminggu setelah bapaknya dikubur. Ibunya itu kini tak jelas ada di mana.

“Saya punya dua adik perempuan.” Pelacur itu menghela napas. Menghirup partikel-partikel air hujan yang dibawa angin masuk ke kamarnya melalui jendela. “Tiap bulan mereka saya kirimi uang. Mereka tidak tahu pekerjaan saya. Yang penting mereka bisa sekolah dan bahagia.”

Si penjual terompet terbatuk-batuk. Ia merasa bersalah atas pikiran buruknya. Si pelacur menawarinya sebotol kecil air mineral. Satu-satunya yang tersisa di dalam kamar. Setelah berterima kasih isi botol itu ia teguk pelan-pelan.

Dua manusia yang sama-sama menyesali derasnya hujan itu saling diam memandangi hujan. Merenungi nasib mereka di penghujung tahun. Hujan mereda. Satu persatu kendaraan mulai melintas di jalan. Si penjual terompet berdiri sambil melipat sarungnya lalu melingkarkannya di pinggang. Dua tangannya mengibas-ngibaskan percikan air yang membasahi ujung-ujung celana kolor hitamnya. Bersamaan dengan itu, terdengar dering ponsel dari dalam kamar. “Ah, semoga seorang pelanggan akan membeli jasanya,” dalam hati si penjual terompet berdoa untuk si pelacur.

“Hujan reda, Pak.” Si pelacur kembali menengok keluar jendela setelah selesai berbicara melalui ponsel. “Ada pelanggan mau datang, Pak.” Seulas senyum menambah warna-warni di wajahnya.

“Syukurlah, Mbak.” Si penjual terompet bersiap-siap pergi. “Terima kasih minumnya, Mbak. Doakan terompet saya laku semua, ya.” Lelaki tengah baya itu menarik sebuah terompet warna biru mengkilap yang ujung-ujungnya dihiasi rumbai-rumbai kertas keemasan. “Ini buat Mbak. Yang mbikin terompet ini anak-anak saya.”

“Aduh, Pak. Nggak usah. Nggak usah.”

“Anggap aja ini pengganti air yang tadi saya minum, Mbak.”

“Terima kasih banyak ya, Pak. Saya doakan kelarisan. Kalau saya punya uang, terompetnya saya bayar.”

Si penjual terompet tersenyum, memperlihatkan kerut merut di pinggir pipi-pipinya yang coklat tua. Pelan-pelan, ia membungkukkan badan, menelusup di bawah kayu pikulan, di antara timbunan terompet. Dua lengan ia rentangkan ke depan dan belakang. Begitu kayu pikulan itu mapan di pundaknya, ia bediri.

Sepasang mata si pelacur mengikuti dua kaki si penjual terompet yang menapaki trotoar pelan-pelan. Dua keping hati berdoa agar dagangan mereka malam ini kelarisan.

***

2 komentar:

-Indah- mengatakan...

Wahh.. menjelang akhir cerita, sempet kepikiran jangan2 si 'pelacur' itu anaknya bapak penjual terompet, hahaha.. ternyata bukan :p

Endah Raharjo mengatakan...

:-) enggak sedramatis itu... ntar kayak sinetron jadinya :D