Jumat, 06 Januari 2012

Suatu Pagi di College Park

College Park-Winter 2002 oleh Endah Raharjo
Sambil mengancingkan jaket kulitnya Wulan menengok keluar jendela. Badai salju yang baru saja melanda kawasan Pantai Timur telah membuat semua benda yang tertangkap matanya dilapisi warna putih, sebersih malaikat. Diperkirakan sepanjang minggu ini cuaca tidak akan seekstrim minggu lalu. Arloji di tangan Wulan telah menunjukkan pukul 9.45. Tadi malam dari stasiun radio favoritnya Wulan mendengar pengumuman transportasi umum hari ini mulai pukul 6 pagi telah beroperasi secara normal.

Lima belas menit lagi bis jalur 83 yang menyusuri US Route 1 yang akan ia tumpangi menuju Washington DC tiba di halte dekat apartemennya. Dengan salju setebal itu, ia tak yakin bis akan tiba di halte tepat waktu. Namun Wulan tak ingin berspekulasi. Bila terlambat ia harus menunggu satu jam hingga bis berikutnya datang. Sekali lagi Melalui jendela Wulan melihat termometer warna merah di dinding luar seolah menggigil sambil menunjukkan angka 27 derajat Fahrenheit. Dinginnya bisa ia bayangkan. Apalagi semalam hujan. Sebelum meninggalkan kamar, Wulan meraih topi biru tua dan scarf motif garis warna senada.

Take care, Wulan.” Zhihong menelungkup di atas tempat tidur, melambai dari dalam kamar yang pintunya terbuka memperlihatkan semua isinya. Perempuan dari China itu sedang sibuk menyelesaikan laporan. Rambut lurusnya bertebaran di antara empat buku yang semuanya terbuka. “It’s pretty cold out there… and the sidewalk must be slippery…”

Don’t worry. I’ll be fine… Bye…” Wulan melemparkan kecupan ke udara dengan tangannya. Zhihong pura-pura menangkapnya dengan tangan kiri lalu menyelipkan kecupan itu di antara halaman buku yang tengah ia baca.

Wulan mengenakan kacamata hitam sebelum membuka pintu lobi. Ia tak mau putihnya salju mnyilaukan matanya yang penat. Semalam ia hanya tidur tak lebih dari empat jam. Sekali lagi ia memeriksa ikatan tali sepatu, lalu mempererat lilitan scarf. Topi biru penghangat kepalanya telah bertengger manis saat Wulan mendorong salah satu daun pintu yang berat dan lebar itu. Terpaan angin musim dingin terasa menyayat kulit wajahnya, menimbulkan sedikit rasa perih yang ia suka.

Hati-hati Wulan melangkah menyeberangi halaman depan apartemen. Tanpa salju yang menutupi seluruh permukaan trotoar Wulan biasanya hanya perlu waktu lima menit untuk mencapai halte bis. Namun salju yang tebal, yang sebagian mengeras akibat semalam terguyur hujan memperlambat langkahnya. Timbunan salju itu juga licin dan berbahaya. Para penghuni rumah dan pengelola apartemen tampaknya belum sempat menyingkirkan timbunan salju yang menjadi tanggung jawab mereka.


“Sorry, lady. I am about to start shoveling!” Seorang lelaki penghuni rumah di sebelah apartemen Wulan berteriak ke arahnya. Di tangan kanan tergenggam sekop. Paduan senyum lebar berbingkai hitam kulitnya, putihnya salju dan merahnya gagang sekop di tangannya terlihat amat indah.

It’s okay!” Wulan melempar senyum tanda maklum.

Take care and stay warm!” Teriak si lelaki lagi, melambai dengan tangan kiri.

Wulan berjalan sambil menunduk, mencari-cari salju yang tampak empuk. Para penghuni rumah di kanan-kiri jalan satu persatu mulai keluar dengan sekop di tangan. Seorang lelaki muda dengan jaket biru terang tampak mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyingkirkan salju yang mengeras yang menimbuni mobilnya. Seorang lainnya yang memakai topi hijau membersihkan trotoar tak jauh di depan Wulan. Sepatu karet kuning melindungi kaki-kaki mereka hingga ke bawah lutut.

Baru saja Wulan akan mengangkat tangan membalas sapaan mereka ketika ia tergelincir. Terdengar teriakan bertepatan dengan tubuh Wulan yang meluncur lalu terjerembab ke depan. Telapak tangan kanan Wulan tergores salju yang ujung-ujungnya tajam. Darah segar mengalir kemerahan.

Dua lelaki yang namanya belum diketahui Wulan namun selalu saling menyapa bila berpapasan itu tergopoh-gopoh menolongnya, memondong tubuhnya ke dalam rumah, lalu mendudukannya di atas sofa.

“Ya, Tuhan! Lukanya cukup panjang!” Seru si jaket biru sambil menekan telapak tangan Wulan, mencegah agar darah tidak banyak keluar.

“Kamu akan baik-baik saja,” hibur lelaki satunya. Topi hijaunya ia lepaskan. Seorang perempuan yang masih mengenakan piyama flannel bermotif bunga muncul dari salah satu kamar.

“Momma, tolong ambilkan kotak P3K,” pinta si jaket biru pada ibunya.

Poor little thing…” ucap si ibu yang berambut ikal sambil memandangi wajah Wulan. “Kamu akan baik-baik saja. Maafkan kami. Seharusnya kami membersihkan salju itu sejak tadi.”

“Aku sudah ingatkan kamu, Trent,” perempuan lewat tengah baya yang cantik itu seolah menyalahkan anak lelakinya.

“Hati-hati, Marc,” Trent, lelaki yang lebih muda, yang tadi mengenakan topi hijau, mengingatkan kakaknya yang sedang membersihkan luka Wulan.

“Maafkan kami,” sepasang mata hijau milik Trent menatap mata coklat Wulan dengan penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa,” Wulan sedikit meringis, menahan perih ketika cairan betadine mengenai lukanya, “Nama saya Wulan.”

“Kita harus membawanya ke dokter, Mom,” Marc menutup luka Wulan yang sepanjang empat senti dan tampaknya cukup dalam. Mendengar ucapan kakaknya Trent langsung bangkit dan pergi keluar. Ia membersihkan sisa-sisa salju yang masih menutupi mobil. Sementara di dalam rumah Marc dan ibunya sibuk membebatkan perban ke tangan Wulan.

“Mobil sudah bersih,” Trent masuk lagi.

“Saya punya asuransi,” Wulan membiarkan dirinya dituntun keluar oleh Marc. Di pintu Marc melepaskan sepatu karetnya lalu menggantinya dengan salah satu sepatu boot yang berjajar rapi di atas rak dekat pintu. Ia juga menukar jaket birunya dengan jaket suede coklat tua.

“Jangan kuatir, Wulan. Kami akan mengurus semuanya,” ibu Marc mengelus punggung Wulan.

Di luar, seorang lelaki yang tinggal di seberang jalan sedang menyeroki salju di trotoar yang tadi membuat Wulan terpeleset.

“Saya akan meneruskan membersihkan salju. Kami tidak ingin ada yang terluka lagi,” Trent menutup pintu mobil setelah Wulan duduk dengan nyaman dan seatbelt-nya terpasang.

“Hati-hati,” si ibu melepas Marc dan Wulan. Dua tangannya terlipat erat di dada menahan hawa dingin.

Mobil yang masih sedikit berlapis salju itu melaju pelan.

***


“Zhihong!!!” Wulan memekik keras, mengejutkan roommate-nya yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Wulan berjalan ke dapur. Tangan kirinya menenteng koran.

“Ada apa?” Zhihong meletakkan telur yang baru saja hendak ia pecahkan.

“Bis jalur 83 mengalami kecelakaan. Lima penumpangnya meninggal, belasan lainnya luka parah. Ini bis yang seharusnya aku tumpangi kemarin pagi.”

Mata Zhihong membelalak. Ia tak tahu harus mengucap syukur untuk Wulan atau mendesah prihatin untuk para korban. Wulan menutup mukanya dengan tangan kanannya yang terbalut perban tebal. Masih dengan spatula di tangan Zhihong mengulurkan lengan untuk memeluk tubuh sahabatnya.

***

6 komentar:

L I N D A mengatakan...

hal kecil yang menyelamatkan :)

Endah Raharjo mengatakan...

Iya, Linda. Ini Wulan terlindungi dari marabahaya yg lbh besar :)

Haya Nufus mengatakan...

Wow mbak...aku jd ikut kedinginanan nih seolah2 disini juga diselimuti salju he..he... Salam

Endah Raharjo mengatakan...

Hai, Nufus... kisah ini ditayang-ulang justru karena akhir2 ini hujan melulu, bikin ingat yang dingin2 di masa lalu :)
Makasih, ya udah main ke sini.

Benyamin mengatakan...

berbuat yang terbaik

visit + follow
http://benyaminginting.blogspot.com/

Endah Raharjo mengatakan...

Oke, Ben. Udah follow ya :-)