Sumber ilustrasi |
“Pangestunipun, Bu. Semoga segera,” jawabku mengelus punggungnya. Lalu dia lekas-lekas kutinggalkan.
Pertanyaan serupa itu terlontar entah untuk keberapa kalinya sejak setahun ini. Sejak aku punya menantu. Awalnya aku menambah jawabanku dengan penjelasan bahwa anak-anakku belum berniat punya anak namun bila Sang Pencipta memutuskan segera membenihkan janin, mereka tidak menolak. Seiring bulan berganti, kupikir penjelasan semacam itu tak perlu.
Ketika beberapa jam lalu aku bertemu seorang ibu – beliau tidak memiliki anak dan hanya kuasa Allah semata bila ia kelak memilikinya sebab usianya sudah 60-an – yang menanyakan hal serupa, maka kuputuskan untuk menulis curhatan perasaan ini.
Seorang perempuan dituntut sempurna oleh orang (perempuan) lain. Sempurna dalam hal ini adalah: menikah (dan tidak bercerai atau dimadu), punya anak, punya cucu, punya pekerjaan hebat, pintar mengatur waktu antara keluarga-pekerjaan-kehidupan sosial-diri sendiri dan penampilan menarik sampai-tua-tetap-cantik. Itu saja dulu batasan sempurna meskipun bagi beberapa kalangan masih ada syarat lagi, misalnya: solehah. Apa itu maksud solehah jelas tidak akan dibahas di sini (sebab aku juga tidak paham). Dan dalam tulisan curhat ini fokusnya adalah pada tiga hal paling awal yaitu menikah, punya anak dan punya cucu.
Ketika usia belasan hingga awal 20-an, pertanyaan yang acap muncul adalah “apa sudah punya pacar.” Selulus sarjana, pertanyaan berkembang jadi “kapan menikah.” Dan pertanyaan satu ini bisa berlanjut hingga bahkan umur 40-an. Tak jemu-jemu mereka bertanya. Sehabis dijawab ‘belum menikah’ maka bertebaran nasihat di depan muka. Wuahhh! Wajar saja bila yang mengalaminya ingin jauh-jauh buang muka mendapat pertanyaan sejenis itu.
“Sudah menikah? Oh! Bagus! Sudah bathi?” ini pertanyaan tingkat lanjut. Bathi adalah bahasa Jawa yang berarti untung, maksudnya punya anak. Bila jawabannya belum, maka terburai lagi bulir-bulir petuah.
Jika anak pertama menginjak usia 2 tahun atau lebih, segera berdenging pertanyaan kesekian: “Nggak dikasih adik? Anak tunggal itu nanti manja, tidak mandiri. Tralala-trilili bla-bla-bla-bli-lbi-bli…”
Aku adalah perempuan yang duluuu… duluuu… sering mendengar pertanyaan semacam itu.
Anakku satu. Aku hamil dua kali. Kehamilan pertama berhasil nyaris sempurna dan lahirlah anak lelaki yang kini sudah punya istri. Kehamilan kedua hanya bertahan 8 minggu – atau kurang – aku lupa. Sudah lamaaa.
Berhenti pertanyaan dari orang (sesama perempuan) lain sehabis beranak? Tidak. Ada lagi. “Oh? Anak sudah dewasa? Sudah lulus sarjana? Kapan mantunya?” Jreng! Dreng… dreng… dreng…
Pasti tidak tuntas di sana. Kalau tuntas tidak kutulis jreng-dreng-dreng itu. Maksudnya itu musik pengiring adegan paling seram dalam film horor.
Dan, drum-drum-drum-didum-didum... bila anak telah menikah… masih ada lagi pertanyaan. Seperti di atas itu: “Kapan punya cucu?”
Siapa tak ingin punya pasangan? Punya anak? Punya cucu? Mungkin ada satu-dua dan mereka punya alasan yang jitu untuk keputusan mereka itu. Namun umumnya orang – makanya disebut umumnya – ingin punya anak-cucu.
Orang-orang – anehnya yang bertanya memang lebih banyak sesama perempuan – bertanya mungkin hanya basa-basi saja. Mungkin? Kukira tidak. Yakin? Apa buktinya? Ada.
Dengarkan baik-baik obrolan para perempuan saat mereka bertemu. “Oh. Anak Bu Itu tahun ini 30 tahun tapi belum nikah…” atau “Coba, Jeng. Sudah 5 tahun Si Ini nikah. Tapi masih belum bathi… hihihihihiiii…”
Mungkin saatnya para perempuan berhenti saling menanyakan hal semacam itu. Tak peduli niatnya sekedar basa-basi atau benar-benar ingin tahu apalagi bila bermaksud menyindir. Ada ribuan pertanyaan lain yang bisa diajukan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyenangkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar