Jumat, 10 April 2015

K E L I K

Sumber Foto
Hampir sepuluh menit aku duduk di meja kesukaanku ini, namun anak lelaki itu belum terlihat juga. Biasanya beberapa detik setelah duduk di kursi ini aku sudah bisa mendengar gemerincing lonceng kecil yang ia kaitkan di kotak peralatan semirnya, disusul dengan sapaan riangnya, “Selamat siang Mbak Niar. Mau makan apa kali ini? Sepatunya mau disemir lagi?” Tangan kurusnya itu akan melambai ke arahku, ditemani senyum yang mempertontonkan giginya yang putih cemerlang.

Orang-orang heran ia bisa memiliki gigi sebersih itu, padahal hidupnya lebih banyak ia habiskan di jalan.

“Kamu ikut kontes gigi sehat, aja, Lik. Siapa tahu menang. Bisa jadi bintang iklan. Muncul di tivi saban hari. Jadi kaya. Dijekar-kejar cewek di mana-mana,” godaku.

“Kalau dikeramas di salon rambutmu itu tak kalah sama Giring Nidji,” gurau salah satu temanku.

Berkali-kali aku memintanya memanggilku ‘bu’. Usianya kira-kira 3 tahun lebih muda dari anak sulungku. Namun ia berkeras, “Mbak Niar cakep, nggak pantes dipanggil bu,” ia merayu supaya aku melepas sepatuku.

“Memangnya cuma orang jelek yang pantas dipanggil bu?” sahut temanku yang lain.

“Itu! Bu Wiwik…” kepala yang ditumbuhi rambut keriting itu meneleng ke kanan. Kami tahu siapa yang dia maksudkan. Pemilik kios sate ponorogo berbadan super besar-gempal dengan wajah kurang sedap dipandang. Memang hanya dia saja yang dipanggil ‘bu’ oleh semua pelanggan dan penjual lain di food court ini. Namun Bu Wiwik baik hati, ia jarang absen memberi Kelik makanan.

Aku dan tiga teman kantorku selalu makan siang di food court itu. Kami suka tempatnya yang terbuka dan makanannya yang beragam. Jaraknya tak sampai 5 menit jalan kaki dari kantor kami. Tidak ada yang ingat kapan pertama kali kami melihat Kelik mulai menjual jasa di sini. Tahu-tahu saja suatu siang dia muncul, dengan kotak semirnya yang dicat merah menyala dihiasi lima lonceng kecil yang ia kaitkan di salah satu sisinya.

“Mbak… Mas… Sepatunya disemir, ya? Itu udah berdebu.” Tangan kurusnya menyibakkan segumpal rambut keriting yang menutupi separuh keningnya. Matanya memandangi sepatu kami satu-satu.

Aku suka pada senyumnya yang dihiasi gigi-gigi bersih itu, lalu kulepas sepatuku. “Hati-hati, lho! Ini kulit asli. Buatan Itali,” selorohku.

Ia tertawa senang, kembali gigi-gigi bersih itu terpampang. “Mau dari Itali mau dari Belanda. Kalau udah dipakai tetep aja bau,” tukasnya.

“Hey! Kalau kamu berani bilang sepatuku bau. Aku nggak mau bayar,” goda salah satu temanku sambil melepas sepatunya.

Kelik juga kreatif. Selain semir dan sikat, ia juga membawa lap kain dan sebotol air bersih. “Untuk mbersihin sepatu yang bahannya kain atau kanvas,” kilahnya.

Selain agar sepatu kami selalu bersih, kami memakai jasanya karena ingin membantu. Sambil menyemir Kelik gemar bercerita. Lulusan SD yang semestinya duduk di bangku SMP itu memilih bekerja. Bapaknya dulu tukang batu yang mati akibat demam berdarah. Ibunya buruh tani, penghasilannya tak cukup untuk memberi makan empat anaknya. Sebuah kisah pedih yang mulai terdengar klise di telinga.

“Sekolah itu cuma ngabisin waktu dan duit. Katanya aja gratis, tapi bayar seragam, buku, les ini-itu. Setelah lulus juga belum tentu bisa kerja,” gumamnya biasa-biasa saja, tak ada penyesalan dalam suaranya. “Kalau gini, meskipun nggak banyak, tiap sore aku bisa setor duit buat Emak. Adik-adikku bisa makan.”

“Mereka sekolah, kan?” Tanya salah satu temanku. Nyata sekali ia berharap Kelik akan mengatakan ‘ya’ atau mengangguk.

“Yang ragil dan yang nomer tiga masih sekolah. Adikku satunya udah kerja.” Suara Kelik bangga.

Ah, pekerjaan macam apa yang bisa didapat anak usia 12 tahun, pikirku.

“Adikku itu pinter njahit. Ada juragan garmen yang tiap hari ngedrop baju dan seragam. Kerjaan adikku masang kancing,” seakan ia bisa mendengar isi pikiranku. “Dulu emakku yang minta kerjaan di juragan itu, tapi yang ngerjakan adikku,” tambahnya.

Makanan kami sudah tersaji. Kelik belum menampakkan diri.

“Mungkin Kelik udah kerja sama orang itu,” temanku mengingatkan. Ia tahu aku sedang memikirkan penyemir sepatu kesayanganku itu.

Kutengok sepatuku. Wajah Kelik menari-nari di ujung-ujungnya yang berdebu.

Tiga hari lalu Kelik bercerita dengan bangganya kalau dia baru saja bertemu seorang boss baik hati. “Dia mau ngasih aku kerjaan kantor,” katanya. “Gajinya gedhe, Mbak. Kata boss itu aku bakal bisa beli sepeda motor setelah 6 bulan kerja. Nanti lama-lama beli rumah buat Emak.” Ia bangga bahkan sebelum tahu apa pekerjaannya dan alamat kantornya.

Temanku ingin tahu siapa orang baik yang mau memberi anak lulusan SD pekerjaan bergaji besar. Namun Kelik tidak mau cerita, hanya tertawa. Katanya yang penting gajinya.

“Selamat, ya. Kalau udah kaya jangan lupa sama kami,” selorohku, mengulurkan uang untuk membayar jasanya.

Hingga saat kami harus meninggalkan food court itu, gemerincing lonceng di kotak merah Kelik tidak kudengar.

** 

Lima hari berlalu tanpa Kelik menyemir sepatu kami.

“Nggak keluar?” Temanku melongokkan kepalanya ke ruanganku.

Saatnya makan siang, namun perutku masih kenyang, mungkin karena pisang dan jeruk yang kumakan bersama semangkuk havermut pagi tadi.

“Es dawet juga nggak pingin?” temanku menggoda. Semua temanku tahu aku mencintai es dawet melebihi suamiku. “Siapa tahu hari ini Kelik muncul,” diliriknya sepatuku.

Sejak aku bertemu Kelik, kebersihan sepatuku memang kupercayakan padanya. Dan aku kangen senyumnya. “Oke. Kalian duluan,” kataku, menyimpan dokumen dan foto-foto yang masih terbuka di layar komputer.

** 

Aku belum sempat duduk ketika Bu Wiwik terengah-engah membawa tubuh gempalnya mendekati kami. Di tangannya ada lembaran koran.

“Kelik, Mbak Niar! Kelik…” Wajah Bu Wiwik semakin jelek akibat menahan tangis. “Ini… Ini…”

Koran itu ia gelar di atas meja favorit kami. “Ini! Kata orang-orang ini Kelik…”tangisnya meledak.

Aku belum membaca koran sejak pagi. Di halaman depan bagian bawah kulihat judul berita yang ditulis besar-besar: Mayat Remaja Lelaki Ditemukan, Organ-organ Tubuhnya Hilang.

***
 

Tidak ada komentar: