Rabu, 03 Juni 2015

Lelaki yang Kehilangan Tiga Anak Perempuannya

Sumber foto
Lelaki itu mantan tetanggaku.

Karena kegagalannya menjaga tali kasih-setia, ia bercerai dari istrinya. Perceraian yang banyak dikenang orang sebab diawali kekerasan berdarah hingga si istri harus dirawat di rumah sakit selama seminggu. Dan karenanya si suami masuk bui beberapa bulan, seminggu sebelum putusan cerai ditimpakan.


Peristiwa itu sudah lama.

Dan beberapa hari lalu, hari pernikahan anak keduanya, semua rangkaian kisah tak indah itu hadir lagi di mataku.

Lelaki itu tiba pagi itu juga dari luar kota dengan kereta. Ia tidak masuk ke rumah mantan istrinya, namun langsung menuju rumah tetangganya tempat para panitia resepsi pernikahan anaknya sedang dirias. Kebetulan saja aku satu-satunya perempuan yang sedang menunggu untuk dirias, hingga aku bisa menyambut kedatangannya dan berbasa-basi dengannya.

Ia menanyakan kabarku. Senyumnya masih seramah dulu. Tubuhnya kurus dan layu. Kabarnya ia sakit gula. Semua derita hidupnya – mungkin akibat ulahnya sendiri – terlukis di wajahnya. Ia pandangi aku dari kaki hingga kepala dan memujiku tampak awet muda. “Sekarang seger,” sambungnya. Maksudnya tentu aku gemuk. Terakhir bertemu dengannya bobotku 44 kg.

Ia pun menanyakan kabar semua orang, termasuk anak-anak kami. “Semua baik. Semua sehat. Anak saya sekarang di Jakarta. Menikah tahun lalu…” Kujelaskan banyak hal, termasuk anak ragil si pemilik rumah tempat kami dirias, yang sebaya dengan anak bungsunya, yang juga sudah menikah dan tengah hamil muda.

“Sungguh waktu begitu cepat berlalu. Begitu cepat berlalu. Luar biasa cepat. Benar-benar sekejap. Semua berubah. Anak-anak yang dulu kecil-kecil sekarang sudah menikah.” Berkata begitu mata lelaki itu terbang, mengembara entah ke mana.

Tiba-tiba di tengah celoteh ceria para perempuan yang sibuk berdandan, sebersit pedih berhasil menyelinap menggores hatiku. Lelaki itu memiliki 3 anak perempuan. Semuanya ia tinggalkan demi seorang selingkuhan, yang kini ia peristri. Konon secara fisik, sosial, intelektual dan finansial istri keduanya itu di bawah istri pertamanya. Entahlah kalau urusan lainnya.

Ketika kami sedang berbicara, anak sulungnya muncul di pintu. Ia datang bukan khusus menyambut ayahnya, namun untuk menyerahkan pakaian yang harus dikenakan lelaki itu saat upacara ijab kabul.

“Papa sehat?” suaranya datar tanpa getar rindu seorang anak perempuan pada ayahnya yang lama tak ia temui. Ada adegan cium pipi kanan-kiri yang mekanis. “Nanti Papa didandani mbak itu.” Si anak menunjuk pada salah satu perias yang sedang sibuk. Lalu ia keluar. Begitu saja. Si sulung yang punya satu anak itu sama sekali tidak bicara tentang kaluarganya – anak dan suaminya – pun tidak tentang adiknya, si anak kedua, yang beberapa saat lagi menikah.

Dan rasa pedih itu kembali menusukku. Untuk mengusir canggung, aku bercerita tentang hal-hal indah yang terjadi di kampung kami. Kampungnya juga, dulu. Sekitar 13 tahun lalu.

Dari pintu kulihat anak ragilnya masuk. Pasti kakak sulungnya telah menyuruhnya datang untuk menyalami ayahnya. Jelas sekali dari gerak tubuh dan sorot matanya, gadis 24 tahun itu tidak merindukan ayahnya.

“Sehat, Pa?” sapanya. Tanpa cium pipi. Tanpa salaman. Hanya dua kata terucap: sehat pa. Itu saja. Lalu ia bercanda dengan beberapa temannya yang sedang dirias, yang hendak menjadi pager ayu.

“Saya antar ke rumah depan?” Kutawarkan padanya untuk masuk ke rumah mantan istrinya, mantan rumahnya, untuk menengok anak keduanya yang sebentar lagi akan ia nikahkan.

“Ah. Tidak usah. Nanti ngganggu.” Ia menunduk, mempermainkan ritsleting tas tempat menyimpan pakaian yang harus ia kenakan. “Nanti juga ketemu,” tambahnya.

Dari matanya bisa kulihat dirinya tidak di dalam tubuhnya. Suwung. Mungkin jiwanya sedang mngunjungi masa lalu. Mungkin ia tengah menyesali diri, menyesali kegagalannya menahan hasrat liarnya. Hasrat liar yang merenggut tiga anak perempuannya dari hidupnya.

***

Tidak ada komentar: