Sumber Foto |
“An eye for an eye makes the whole world blind.”
Mahatma Gandhi
“Ini apa?” tanya seorang lelaki tua pada bocah lelaki yang terus menatapnya. Tangan si tua menggenggam obor. Baru saja ia sorongkan ujung obor itu ke api unggun. Nyala api obor itu membara.
“Api,” jawab si bocah tanpa berpikir. Manik-manik matanya bercahaya.
“Bukan! Ini bukan api…” Si lelaki tua berteka-teki.
“Oh?” Mata bocah itu melekat pada lelaki yang berdiri masih dengan obor di tangan.
“Ini senjata.”
Dua lelaki beda usia itu saling memandang. Mata mereka berkilat-kilat memantulkan lidah api unggun yang menjilat-jilat udara. Di antara gelap malam dan lolong serigala, menyelinap sebuah rencana jahat.
Potongan adegan film itu menusuk-nusuk dinding otakku. Menyerikan sakit hatiku. Menyalakan dendamku. Aku tak ingat judul film itu, apalagi ceritanya. Namun adegan itu bercokol bagai benalu di pikiranku. Menggerogoti.
Api adalah senjata. Aku bisa mudah mendapatkannya. Cukup dengan sejerigen bensin dan sebatang korek api, aku akan punya senjata ampuh untuk memusnahkannya.
**
Tiga belas tahun lalu kebahagiaanku direnggut dariku, semasa aku masih bocah.
Baru delapan tahun umurku. Bersama ibuku, yang hanya 16 tahun lebih tua dariku, aku tinggal tak jauh dari jembatan. Bukan di sampingnya, namun di bawahnya. Sepetak kamar selebar dua depa dan panjangnya tak sampai 10 langkah itu kusebut rumah.
Sebagai buruh cuci, ibuku melarat; mana ada buruh cuci yang kaya. Dalam sehari uang yang ia peroleh sering tak cukup untuk membeli nasi. Saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti.
Pagiku selalu habis untuk bermain di kali. Sambil menunggui ibu mencuci di sumur yang mirip belik di bantaran kali, aku rajin mencari apa saja yang terbawa arus kali. Kalau ada barang yang terapung aku suka mengejarnya. Berteriak-teriak. Kalau berhasil kuraih, aku akan bersorak. Teman-temanku sering iri, aku bisa bermain sepanjang hari sementara mereka harus duduk di ruang kelas, dengan tangan sedekap di atas meja, mendengarkan guru bicara.
Suatu pagi aku beruntung menemukan cincin emas. Kata ibuku itu cincin kawin. Ukurannya cukup kecil, pas di jari manisnya. Katanya itu mungkin milik seorang istri yang baru diceraikan suami, lalu dibuang ke kali. Tanpa menunggu cuciannya kering, ibu membawaku ke pasar, melego cincin itu.
Orang-orang di pasar melihat kami dengan sorot mata aneh, pasti mereka mengira aku mencuri, gerutu ibuku. Ia tak peduli, apalagi aku. Yang kuingat hanya satu, ibu membelikanku baju baru.
“Ini hadiah ulang tahunmu, Nduk. Yang ke delapan.” Ibu memelukku erat. Itulah pertama kali aku dapat hadiah ulang tahun. Saat itu pula pertama kali ibu menyadari kalau payudaraku mulai tumbuh. Seingatku, ah… aku sebenarnya ingin melupakan hari itu. Ya, seingatku Ibu membeli sepotong baju untuk dirinya juga.
Ia menuntunku ke kamar mandi yang jauh lebih kotor dari sumur di kali dan bau pesingnya membuat pusing. Kami berganti baju di situ. Dengan baju baru itu, kulihat ia berubah cantik. Mirip Jeng Siwi, salah satu majikan ibu, yang sering membawa makanan kalau menyetor baju kotor.
“Kita sekarang beli pukis. Mau?” Ibu menawariku. Wah. Tentu saja aku suka sekali. Bau pukis yang wangi membuat perutku yang baru diisi nasi ayam lapar lagi. Tukang pukis berkumis itu memuji kecantikan ibu.
“Mbak, boleh kenalan?” Seorang lelaki bersepeda motor mencolek lengan ibu. Ibu tampak senang disapa pemuda itu. Tongkrongannya mirip Mas Dito, mahasiswa yang seminggu sekali mengantar baju kotor untuk dicuci ibu. Sepeda motornya bercat merah, terlihat gagah. Belum pernah kulihat ada lelaki setampan itu berbicara dengan ibu. “Ini adiknya? Sama-sama manisnya,” tambah lelaki itu. Ibuku malu-malu. Matanya berbinar menatap wajahku.
Entah bagaimana selanjutnya aku lupa, aku sibuk menikmati pukis isi keju yang rasa manisnya meleleh di mulutku. Tahu-tahu lelaki itu membantu ibu mengangkat tubuhku ke atas sadel sepeda motornya. Ia mengantar kami pulang ke rumah. Ya, ke rumahku, ke bedeng di bawah jembatan itu.
Aku ingat saat itu Jumat malam, sebab Mbah Jirah menyetel radionya keras-keras, mendengarkan acara wayang. Duljani, anaknya yang pincang itu, marah-marah. Suara radio emaknya mengganggu suara TV yang sepanjang hari tak henti ia pelototi. “Nduk… cepat sembunyi. Di sini…” Ibu menarik lengan kiriku. Tubuhku ia jejalkan ke bawah amben kayu. Selembar jarik lusuh yang biasa ia pakai alas menyeterika digelar di atas kasur kapuk, ujungnya dibiarkan keleweran menutupi kolong amben.
Beberapa menit kemudian kudengar langkah kaki melewati satu-satunya pintu bedeng kami. Dari sela selebar dua jari antara tepian jarik dan kaki amben, aku tahu itu sepasang kaki lelaki. Ia menyapa ibuku seperti saat ibu menidurkanku waktu aku kecil dulu. Lembut. Membuai. Aku merasa kenal suara itu. Tak begitu lama, amben reyot yang beberapa pakunya copot itu berkerenyit, melengkung terbebani tubuh ibuku dan tubuh lelaki itu. Kudengar suara-suara. Napas ibuku memburu, seperti sedang menggosok celana jeans penuh lumpur. Lama-lama aku tak bisa lagi membedakan suara-suara yang menyerbu telingaku. Debu-debu rontok mengotori wajahku, sebagian masuk ke mataku. Aku menahan batuk sekuat-kuatnya, sampai dadaku mau pecah. Aku ketakutan amben itu ambruk menindihku. Lalu kudengar lenguhan panjang, bukan dari mulut ibuku. Lenguh yang belum pernah kudengar dari mulut manusia. Serupa sapi kekenyangan. Sapi milik tetangga kami yang kaya di desa asal ibu.
“Jangan merokok di sini, Mas,” suara ibu kudengar, sedikit terengah.
“Cerewet!” Lelaki itu membentak.
“Tolong, Mas, kalau mau merokok keluar sebentar.”
“Plaaak!” Kudengar suara pukulan disusul rintihan ibu. “Asu!” Lelaki itu mengumpat.
Perasaan takut merambati tubuhku. Ia mengumpat sekali lagi sebelum membuka pintu lalu menghempaskannya kuat-kuat sampai-sampai genteng keripik yang sebagian sudah pecah itu serpihannya rontok.
“Nduk!” Cepat ibuku menyingkap jarik, mengangsurkan lengannya, menarikku keluar. “Maafkan Ibu.” Ia memangku tubuhku yang basah oleh keringat. Wajahku lesi. “Kita bisa beli nasi ayam. Kamu mau?” Ibu melirik selembar uang 20 ribu yang tergeletak di atas baju yang belum diseterika. Baju itu mawut-mawut entah tadi kena tendang kaki siapa.
Selanjutnya lelaki itu datang kapan saja. Lelaki yang memboncengkan kami pulang dari pasar. Lelaki yang tadinya kukira baik hati. Kadang ia muncul pagi-pagi sebelum adzan subuh. Baunya mirip cairan pemutih yang dipakai ibu menghilangkan noda baju.
“Ibumu sekarang nyambi nglonthe, Nduk. Kamu sini saja,” tukas Mbah Jirah suatu pagi, ketika aku merangkak keluar dari kolong amben dan lelaki itu mendengkur sekeras mesin diesel di bengkel sepeda motor di barat jembatan. Ibu sudah turun ke sumur di pinggir kali. Mencuci.
Minggu berlalu. Bulan datang menggantikan. Ibuku masih saja didatangi lelaki itu. Juga sering dipukuli. Namun setelah ia pergi, ibu selalu membelikanku makanan yang lezat. Tubuhku jadi sedikit berisi. Ibu juga membelikan sandal seperti milik Neny, anak bungsu Bu Hesti yang bajunya sering dicuci ibu. Warnanya kuning seperti kembang kenikir yang ditanam Yu Sarti, tetangga kami yang jualan gorengan di timur jembatan. Kata Mbah Jirah kalau memakai sandal itu aku jadi ayu.
Suatu sore ibu didatangi seorang pelanggan, diminta membantunya di rumah. Ia punya hajatan dan butuh bantuan di dapur, mencuci piring dan gelas serta pekerjaan lainnya. Aku ditinggal sendiri. Mbah Jirah mengajakku ke rumahnya, mendengarkan siaran radio kesukaannya. Aku tidak suka radio. Aku ingin sekali nonton TV, tapi Duljani hanya akan membentakku, mengusirku seperti kucing pencuri teri. Kutolak ajakan Mbah Jirah. Lebih baik keleletan di amben rumah, membantu ibu melipat baju kering yang belum diseterika. Supaya bedeng kami rapi.
Aku sedang menyusun lipatan baju ketika pintu terbuka. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, kakinya mengangkang, menanyakan ibu. Kubilang ibu sedang bekerja di rumah orang. Aku tak berani menatap matanya. Sejak pertama memukul ibu, tak kudengar lagi suaranya yang membuai. Tapi kali ini ia tidak marah, malah tertawa renyah. Dengan sekali langkah ia sudah berada di dekatku. Mengangkat tubuhku. “Nduk, cah ayu. Lihat dirimu. Mulai mekar. Segar.” Lalu ia duduk di amben. Tubuhku dipangku. Tangannya berpindah dari pinggangku ke dadaku. Meraba payudaraku yang putingnya baru sedikit menyembul. Menekannya keras-keras sampai aku tak bisa bernapas. Ia merebahkan tubuhku. Selanjutnya aku tak ingat. Yang pasti ketika pulang ibu melolong panjang melihat darah berlepotan di pahaku.
Kejadian itu berulang. Tak hanya dua-tiga kali. Selama berminggu-minggu. Sampai ibu tak tahan lagi. Suatu malam mereka berkelahi. Ujungnya ibuku mati, dengan 17 tusukan di tubuhnya. Tetanggaku ramai-ramai menghajarnya. Lelaki itu kabarnya masuk bui.
Jangan tanyakan bagaimana rasanya, marah, sedih, sakit hati, dendam, dan takut bercampur dalam tubuh kecilku. Kala itu aku ingin ikut mati, lumer dalam darah ibuku yang mengucur sederas air kali.
Seminggu kemudian aku tinggalkan bedeng, menggelandang di jalanan. Tetanggaku tak ada yang peduli.
**
“Nduk, ada titipan,” suara Samson membuyarkan lamunanku. “Ini!” Lelaki kelahiran Papua itu menyorongkan amplop coklat ke hidungku. “Pesenanmu. Dari Kampret.”
Mendengar nama Kampret disebut aku melompat meraih amplop itu. Sudah beberapa minggu aku minta bantuannya. Mencari laki-laki yang membunuh ibuku dan mengoyak hidupku. Ia bebas dari penjara setahun lalu. Amplop kubuka. Isinya secarik kertas ditempeli sebuah foto dengan alamat lengkap tertulis di bawahnya.
“Siapa?”
“Bajingan itu,” pendek jawabku. “Ia utang nyawa padaku.”
“Mau kubantu nagih?”
Aku menggeleng.
“Hati-hati,” pesannya. Kuminta Samson mengantarku mencari alamat itu. Lelaki yang tubuhnya menyerupai batang pohon sawo tua di halaman balai kota itu sudah hampir 13 tahun menjadi pelindungku. Ia menemukanku hampir mati kelaparan di sudut sebuah pasar swalayan, meringkuk di sisi bak sampah tempat para pegawai membuang sisa-sisa makanan dan sayuran busuk tak terjual.
Kata orang-orang setelah dewasa kini aku mirip ibuku, namun aku lebih pandai dan lebih berani. Samson mengajariku membaca dan menulis, juga teknik berkelahi dan mempertahankan diri. Sebagai balasannya, sejak empat tahun lalu, setelah aku cukup dewasa, aku menjadi pasangan tetapnya. Aku setia. Ia suka masakanku.
“Itu,” Samson menepikan sepeda motor, berhenti di antara dua truk penuh bahan bangunan, di depan sebuah rumah yang cat temboknya mengelupas di sana-sini. Atapnya miring. Halamannya kering, bungkus rokok dan tas kresek tersebar di sana-sini. Rumah itu seperti tak dihuni. Di sekitarnya berderet toko bahan bangunan. Entah siapa pemilik rumah kecil itu, terselip di antara baliho dan spanduk iklan genteng, cat tembok, keramik dan segala macam pernak-pernik penghias rumah.
“Kita pergi,” kataku.
“Pergi? Aku bisa nagih hutangnya sekarang ini!” Suara Samson dipenuhi rasa benci. Ia tahu kisahku dari mantan tetanggaku. Selama hampir 13 tahun mulutku terkunci. Aku tak sudi membicarakan deritaku yang nyaris menguburku hidup-hidup di kota ini.
“Lain kali.” Kutepuk punggung Samson, memintanya pergi.
Hari berikutnya kudatangi rumah itu. Sendirian. Wajah lelaki itu masih sama, hanya menua. Tubuhnya kini kurus, terbungkus oblong kumal dan celana jeans yang terlihat berbulan-bulan tak dicuci. Susah payah ia menyalakan mesin sepeda motornya. Hampir 10 menit kakinya mengengkol namun si mesin tua yang tak terawat tetap membeku. Wajah yang tak kalah lusuh dengan celananya itu banjir keringat. Rambut pendeknya lengket di kepala. Ia menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari orang lewat yang mungkin mau membantunya. Ia tak melihatku. Kalaupun matanya menangkap sosokku, pasti ia tak mengenaliku. Untuk nyawa ibuku yang ia cabik-cabik dengan belati, ia hanya diganjar 11 tahun, bukan dihukum mati. Mata seorang tukang parkir menumbuk mata lelaki itu. Namun si tukang parkir pura-pura tak melihat, mulutnya terus berteriak, tangannya sibuk membantu supir truk menepikan kendaraannya. Bekas narapidana yang kejahatannya seolah tertempel pada wajahnya itu menyerah. Dua tangan kurusnya menuntun motor, gontai langkahnya menjauh dari hingar bingar di sekitarnya tanpa ada yang peduli, serupa tikus yang takut-takut menyelinap keluar dari got di depan rumahnya.
Kuhabiskan waktu seminggu mengintainya. Di rumah yang terjepit toko itu, ia tinggal seorang diri.
**
Pukul 1.20 dini hari. Sudah dua jam aku meringkuk di balik tumpukan kotak-kotak kayu di seberang jalan, mengamati rumah itu. Selepas tengah malam, jalan ini bagai mati. Lelampu jalan gagal menembus tabir hitam malam. Tiga truk kosong terparkir hampir menempel pada pintu-pintu toko, bayangannya kelam, menghalangi sorot lampu-lampu kecil di langit-langit emperan toko. Tak kuhiraukan puluhan nyamuk menyerbu tubuhku. Tak berkedip mataku menatap teras rumah itu, lampu 5 watt tertempel di antara lubang-lubang menganga di langit-langitnya. Malam ini penghuninya harus membayar lunas hutangnya padaku.
Aku sabar menunggu.
Sepeda motor berhenti di depan rumah beratap miring itu, suara mesinnya terengah, bagai orang sekarat. Lelaki itu datang. Langkahnya sempoyongan menuju pintu.
Mengendap-endap aku menyeberang jalan. Kubuka tutup jerigen penuh bensin di tanganku. Pantat serata papan itu kutendang dari belakang. Lelaki itu mengumpat, lalu berbalik.
Di bawah temaram lampu teras ia berusaha mengenali sosokku. Bibirnya menyeringai, tangannya terulur, mencoba meraihku. “Heiii… siapa kamu?” Suaranya serak.
Aku tak bergerak. Kuatur jarak. Kakiku kokoh berjaga-jaga.
Matanya lurus menembus mataku. “Hahaha… aku ingat kamu!” Mungkin ia mengira sedang melihat hantu. “Kamu pelacur yang membuatku dipenjara. Hahaha…!”
Tawanya tersumbat isi jerigen yang kusiram ke mukanya, membasahi separuh atas tubuhnya. “Apa ini…?”
Sekejap ia panik. Seketika matanya mendelik. Ia tahu.
Kunyalakan pemantik murahan yang kuambil dari saku jaket Samson. Cepat kulemparkan. Api langsung berkobar. Melahap rambutnya. Menjilati mukanya. Aku berkelebat pergi. Jeritannya mengoyak kepekatan malam, terdengar bagai nyanyian.
***
Cerita ini pernah dimuat dalam kumpulan cerpen "Kotak Pandora" yang diterbitkan Kampung Fiksi dan sudah dicabut peredarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar