Sabtu, 13 Juli 2013

Langit Merah Jambu

Photo by Laura Beazly
Di pertengahan Januari udara pagi di Kota Bangkok sedikit menggigit syaraf-syaraf kulit. Apalagi pagi ini mendung bergayutan di langit. Lelampu kota terpaksa menyala lebih lama dari biasa, menunggu matahari yang malas beranjak naik. Seorang perempuan terlihat menyebarangi lobi hotel yang masih sepi. Seekor burung gereja melintas di atas kepalanya lalu hinggap di ranting pohon yang menghiasi salah satu sudut lobi. Langit-langit hotel itu sangat tinggi. Pada dinding bagian atas terdapat banyak lubang angin, dari sanalah burung gereja itu menyelinap masuk.

“Sawadee kha. Saya akan menemui teman di kamar 2421,” ucap perempuan itu pada resepsionis yang masih sedikit mengantuk meskipun rambutnya amat rapi.

“Silakan. Anda bisa menggunakan house phone. Ada di sana.” Tangan si resepsionis menunjuk telepon yang terpasang di dinding dekat ruang lift.

Setelah mengucapkan terima kasih, perempuan itu melangkah menuju telepon dan memutar nomor kamar.

“Sawadee kha. Sudah bangun, Rini?” Renyah sekali suara perempuan itu menyapa.

“Sawadee kha. Kanyarat?” Rini terkejut mendengar suara sahabatnya, Kanyarat Rattiwattana, yang datang satu jam lebih awal dari janji temu yang mereka sepakati kemarin siang. “Saya akan segera turun,” ujar Rini sambil meraih kimono. Dengan cepat ia cabut key card dari dinding di dekat pintu, lalu keluar kamar menjemput Kanyarat. Tanpa key card temannya itu tidak bisa menggunakan lift.

Rini merasa ada sesuatu yang sangat ingin diceritakan oleh Kanyarat. Tiga malam lalu seusai jam kerja, saat Rini mengemasi barang-barangnya, Kanyarat bertanya apa ia punya waktu luang untuk berbincang-bincang.

“Kamu bisa datang ke hotel saya kapan saja. Sebelum jam 9 pagi atau setelah jam 7 malam,” ujar Rini disertai senyuman, “tidak perlu ada appointment dulu,” tambah Rini mengedipkan mata.

Senyuman di wajah cantik Kanyarat menyambut Rini saat pintu lift terbuka. Mereka berpelukan ringan

“Ayo. Naik ke kamar. Saya belum siap untuk sarapan. Lagi pula ini masih terlalu pagi.” Rini menggandeng tangan Kanyarat memasuki lift. Sarapan memang sudah siap mulai pukul enam, namun hidangan di meja buffet belum lengkap. Yang pasti, bubur ayam encer kesukaan Rini belum tersaji. Kalaupun sudah, kelengkapannya seperti kacang goreng sangan, tumisan ikan teri dicampur cacahan tomat pedas dan telur dadar sayur yang dipotong kecil-kecil belum ada.

“Silakan,” Rini membuka pintu kamar lebar-lebar, membiarkan temannya masuk lebih dulu. Untung tadi Rini mengisi poci penuh-penuh. Airnya masih cukup panas. “Teh?” tanya Rini sambil meraih satu cangkir di atas rak.

“Mai chai ka,” Kanyarat menolak cepat-cepat, “kita sebentar lagi sarapan, bukan?” Meskipun mereka sudah dua tahun bersahabat, tutur kata Kanyarat senantiasa sopan.

Mereka duduk bersebelahan dipisahkan sebuah meja bulat kecil. Dua kursi itu awalnya menghadap tempat tidur, namun oleh Rini diputar jadi menghadap jendela. Mereka berdua terdiam beberapa saat sambil menikmati panorama kota.

“Kamu tahu Anusart? Lelaki yang menjemput saya hampir tiap hari itu? Yang pernah saya kenalkan padamu?” Tanpa diminta Kanyarat mulai bercerita.

Bahasa Inggris Kanyarat sempurna. Perempuan cerdas yang pendiam itu sepuluh tahun lalu berhasil meraih gelar doktornya di Universitas Chulalongkorn dengan predikat summa cum laude.

“Ya, tentu saja. Saya tahu meskipun belum pernah bicara dengannya.” Rini mencoba mengingat wajah lelaki tinggi langsing berkulit bersih dan pakaiannya selalu rapi itu.

“Dia sudah beristeri. Tapi katanya dia mencintaiku.”

“Oh?” Serasa ada segumpal kain basah menyumbat tenggorokan Rini. Oksigen jadi terhambat masuk ke paru-parunya. Otaknya jadi lambat bereaksi.

“Saya selalu tidak beruntung dengan laki-laki, Rini.”

Rini tidak menduga Kanyarat akan bicara tentang sisi kehidupannya yang tidak pernah ingin ia ketahui itu. Rini tahu Kanyarat masih lajang di usianya yang berkepala empat. Rini mengira itu adalah sebuah pilihan. Sepuluh tahun terakhir ini, Rini banyak mengenal perempuan sukses yang melajang di usia matang. Mereka mandiri. Mereka sukses secara professional. Mereka tidak terganggu oleh statusnya yang lajang. Mereka berjalan dengan kepala tegak. Bangga karena berhasil bebas dari penghakiman yang menuntut mereka untuk bersuami dan beranak.

Di awal pertemanan mereka dua tahun lalu, Kanyarat sering bercerita. Ia sedih sekali setiap melihat ada perempuan Thai berusia belasan yang digandeng oleh wisatawan yang lebih pantas jadi kakeknya. Kanyarat tahu gadis-gadis itu sebenarnya punya pilihan meskipun harus bekerja sangat keras untuk meraihnya.

Kanyarat sendiri dibesarkan oleh ibunya yang ditinggal ayahnya saat usianya masih balita. “Ibu saya harus membanting tulang agar saya dan kakak saya bisa hidup,” cerita Kanyarat dua tahun lalu. “Beruntung ibu saya kuat. Beruntung saya cerdas sehingga sering mendapat beasiswa. Namun kakak saya tidak tahan hidup dalam kekurangan.”

Ledakan bisnis wisata di akhir tujuhpuluhan di satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum pernah dijajah ini menyebarkan bukan hanya kesejahteraan. Ia juga memakan korban. Salah satunya adalah kakak Kanyarat. Usianya belum genap 20 tahun saat ia mati di tangan germonya yang tengah mabuk. Peristiwa itu menorehkan luka di jiwa Kanyarat yang baru lulus SMA.

“Aku hanya akan mencintai lelaki bila ia bisa mengubah langit yang biru menjadi merah jambu,” janji Kanyarat di makam kakak perempuannya. Lima tahun melacurkan diri, kakak Kanyarat tidak mendapat apa-apa, justru nyawanya hilang sia-sia.

Sejak itu, Kanyarat bekerja mati-matian agar bisa terus sekolah. Siang hari ia kuliah. Bila malam turun Kanyarat menjual tenaganya. Ia mengerjakan apa saja asal bukan tubuh dan harga dirinya. Semua pekerjaan kasar pernah ia rasakan. Mulai dari mencuci piring di restoran hingga membersihkan toilet di kantor-kantor. Selama lima tahun Kanyarat hanya tidur 3 jam dalam sehari. Tak ada hari tanpa tetesan keringat. Tak ada hari untuk berhenti dan istirahat.

“Andai langit bisa berubah jadi merah jambu,” Kanyarat keluar dari lamunannya sambil mendesah.

“Ya?” Rini tidak yakin akan pendengarannya.

“Andai langit bisa berubah jadi merah jambu,” ulang Kanyarat, “saya mungkin akan menemukan lelaki yang tepat,” tambahnya. “Anusart sudah punya istri. Apa aku harus meninggalkannya, Rini? Bagaimana menurutmu?”

Rini tak segera menjawab. Ia memandang langit abu-abu gelap yang pelan-pelan menjadi terang. “Kalau saya ada di posisimu, akan saya lepaskan lelaki itu. Katamu hidupmu pernah sengsara karena lelaki. Apakah masuk akal kalau kamu sekarang menyengsarakan diri dan perempuan lain demi lelaki?”

Kanyarat terdiam. Tangan kanannya ia letakkan di dada kiri. Pada saat kakaknya meninggal, sambil menangis ibunya berkata, “musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Kita harus bisa menaklukkannya sebelum orang lain mengalahkan diri kita.” Setiap merasa putus asa ia menyentuh kata wasiat sang ibu yang terukir di jantungnya.

Hidup Kanyarat kini telah mapan. Ia punya banyak sahabat di seluruh dunia yang siap menghibur kala hatinya duka. Semua luka telah sembuh walaupun masih ada bekasnya. Segala yang pahit sudah ia muntahkan meskipun rasanya tak hilang dari ingatan. Seluruh sampah hidupnya sudah ia buang. Rini benar. Kanyarat tak mau memungut kembali sampah yang telah jauh-jauh ia lemparkan, meskipun kini sampah itu terbungkus cinta dan tersaji indah di depannya.

“Kanyarat.” Rini bangkit dari kursi, berjongkok di depan sahabatnya yang duduk merenung. “Butuh puluhan tahun bagimu untuk sampai di tempatmu saat ini. Coba kamu pikirkan lagi.” Rini menggenggam tangan Kanyarat. “Kalau cinta Anusart tulus seperti katamu, semestinya ia melepasmu pergi, karena ia sudah beristeri. Bila tidak, akan ada banyak orang yang tersakiti. Istrinya. Anak-anaknya. Dan dirimu, Kanyarat.”

“Kamu benar, Rini. Kalau diteruskan mungkin saya hanya akan menuai penderitaan. Mungkin keindahannya tak sebanding dengan kerusakannya.” Kanyarat menghela napas panjang.

Rini pelan-pelan berdiri. “Kamu tahu, Kanyarat. Langit akan berwarna merah jambu kalau sinar matahari diselimuti banyak debu bercampur segala macam gas polutan dan partikel air. Biasanya terjadi pagi atau senja ….”

Kanyarat tersenyum samar, pandangannya menembus kaca jendela menyeberangi angkasa. “Sudah saatnya sarapan.” Ia bangkit dari duduknya.

Rini bergegas mengenakan pakaian. Mereka berdua keluar kamar. Di luar, langit terang benderang.

*** 

Pernah diunggah di rubrik Oase - Kompas.com

Tidak ada komentar: