Jumat, 20 September 2013

Mbah Imo dan Pohon-Pohon Melinjo

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Dua tangannya liat dan berkeriput, terulur menggapai tubuh yang bersimpuh di samping ambennya. Kilau cahaya melemah pada sepasang mata rabunnya.

“Ini Jono, Mak,” si anak mencondongkan tubuhnya, berbisik ke telinga kiri emaknya. Terdengar helaan napas memburu. Lirih perempuan tua itu menyampaikan pesan terakhirnya, “Kalau emak dipundhut Gusti, emak minta dikubur di bawah pohon melinjo.”

“Nggih, Mak. Nggih,” ujar Jono, mendekap tubuh renta itu. “Akan saya pilih tempat di bawah pohon paling subur. Di pekarangan belakang,” janjinya.

Perempuan 77 tahun itu tersenyum samar, lalu gelagepan, napasnya tersengal. Beberapa saat kemudian kepalanya lunglai. Ia meninggal dalam pelukan anaknya.

Sambil melafalkan doa lelaki tambun berambut keriting itu membaringkan tubuh emaknya yang terkulai tak bernyawa. Digenggamnya dua tangan yang masih hangat itu, diciumnya buku-buku jemarinya yang berbonggol dan keras. Dengan menahan sedu-sedan, Jono meminta istrinya mengabarkan kematian emaknya pada para tetangga.

 ** 

Mbah Imo dikenal oleh seluruh warga desa. Hingga detik terakhir hidupnya perempuan itu selalu memakai jarit dan kebaya, dengan kendit hitam dililitkan ke perut dan pinggulnya. Hidupnya berawal dan berakhir di sebuah desa di kaki Gunung Merapi.

Sejak kanak-kanak Mbah Imo telah gemar bekerja. Ia rajin ikut emak dan bapaknya bertani, paling suka menyertai mereka memetik biji melinjo, bunganya yang dinamai kroto dan daunnya yang disebut so. Setelah tenggok-tenggok di dapur emaknya penuh biji melinjo dan kroto, Mbah Imo selalu minta ikut bapaknya, berjalan sejauh 5 kilometer ke pasar di kota, menjual hasil panen mereka.

Hubungan Mbah Imo dengan pohon melinjo serupa laki-bini. Apalagi setelah suaminya meninggal, saat dirinya tengah mengandung anak kedua, ia bagai mengawini pohon-pohon tinggi-lencir itu.

Pohon melinjo telah menjadi sumber penghidupannya. Membantunya membesarkan dua anak lelakinya. Yang sulung bernama Hartono, pengusaha sukses di Jakarta. Anak kedua dinamai Jono, tinggal tak jauh dari rumahnya, menjadi guru SD di samping kantor desa.

Berkali-kali Hartono meminta Mbah Imo tinggal bersamanya. Begitu pula Jono, meskipun cuma guru desa ia sanggup mencukupi semua kebutuhan emaknya. Namun Mbah Imo menolak tawaran mereka, memilih tinggal di rumah gedek hingga meninggalnya.

“Emakmu ini masih bisa nyonggo urip, ‘Ngger,” kilahnya.

Untuk melegakan hati anak-anaknya, Mbah Imo membiarkan lantai tanah rumahnya dilapis tegel. Langit-langit pun dipasang di bawah atap, agar bila hujan tidak tampias. Begitu pula pintu dan jendela, diganti dengan yang lebih kokoh.

Pekarangan rumah Mbah Imo dirimbuni pohon melinjo. Cintanya pada pohon itu membuat Mbah Imo menanami hampir setiap tanah kosong di desa dengan pohon melinjo; dengan seijin pemiliknya. Setiap hari Mbah Imo keliling desa: menanam, merawat, dan memanen pohon-pohon melinjonya.

Perempuan itu tahu, setelah berumur 5 atau 6 tahun, pohon melinjo dapat dipanen bijinya, setahun dua kali. Antara Mei sampai Juli wajah Mbah Imo semakin berseri-seri. Ia panen besar, setiap hari ke pasar, mengenakan jarit teruntum kesukaannya. Sepulangnya, ia membeli jajanan, dibagi-bagikan pada para pemilik tanah. Uang yang diperolehnya tak seberapa, sekedar ditukar beras, bumbu dapur, dan gula-teh. Namun Mbah Imo tak pernah lupa pada mereka.

Antara Oktober hingga Desember, Mbah Imo panen biji melinjo lagi. Hasilnya tak sebesar panen Mei-Juli. Biasanya, Mbah Imo akan membeli mainan di pasar, diberikan pada cucu-cucunya atau cucu-cucu tetangga.

Mbah Imo lebih mengenal polah tingkah pohon-pohon melinjo daripada kebiasaan para tetangganya. Setiap pagi, ketika sedang memetik daun-daun muda dan krotonya, Mbah Imo mengajak pohon-pohon itu berbicara. Saat musim sedang tak ramah, ia paham apa yang harus dikerjakan agar pohon-pohon itu tidak marah dan tetap menghidupinya.

Tanpa menghitung dan mencatat Mbah Imo tahu, pohon yang telah cukup umur dan sehat, tiap tahun memberinya 100 kilo klathak, biji melinjo yang telah dikupas kulitnya. Belum lagi kulit bijinya, krotonya, dan daunnya.

Mbah Imo hapal, semua pohon jantan setiap selapan daun-daunnya bisa dipanen, diikat segenggam demi segenggam. Bila hendak memanen so, ia minta bantuan pemuda desa. Si pemuda akan melemparkan tambang ke tengah-tengah batangnya, manariknya kuat-kuat ke bawah, mengikatnya kencang-kencang pada pasak bambu yang dipancang di tanah. Kemudian Mbah Imo dengan sigap memetik kroto dan daun-daun muda. Tangannya lincah melemparkan hasil panen itu ke tenggok di punggungnya. Tanpa meminta, pemuda yang membantunya pasti memperoleh persenan dari hasil penjualannya.

Hati Mbah Imo melekat pada pohon-pohon yang menjadi perantara bagi dirinya dengan Gusti Sang Pemberi Rizki. Sehabis panen, batang-batang pohon yang kayunya rapuh itu ia usap-usap mesra.

NdukNgger… matur nuwun,” ucapnya sepenuh jiwa, seakan tengah membelai anak-anaknya.

 ** 

Dua tahun sebelum meninggal Mbah Imo kerap gundah hati. Satu persatu lahan kosong di desanya dibeli orang kaya dari kota. Pohon-pohon melinjonya ditebangi. Sebagai gantinya ditanamlah berderet-deret kamar, disewakan pada mahasiswa atau pekerja yang butuh kos-kosan. Mbah Imo jadi sakit-sakitan.

Pagi itu, Hartono datang dari Jakarta membawa temannya, seorang pengembang real estate di berbagai kota. Sang pengusaha tertarik membeli sebidang tanah luas milik Pak Lurah yang terletak di pinggir jalan raya desa.

Di belakang tanah itu mengalir sungai kecil yang berhulu di lereng Gunung Merapi, di bawah menyatu dengan Sungai Code yang membelah Kota Jogja. Ukuran, lokasi dan topografi tanah itu sempurna, cocok dikembangkan menjadi perumahan mewah. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, kepemilikan tanah telah berpindah tangan.

“Mak, aku dapat untung besar,” lapor Hartono setelah transaksi terjadi, pulang ke rumah emaknya.

“Ya, syukur pada Gusti. Untung besar apa, Ngger?”

“Dari jual beli tanah Pak Lurah, Mak.”

“Tanah yang mana, Ngger? Pak Lurah tanahnya banyak.”

“Yang di Dusun Timbulsari, yang di dekat kali itu, di pinggir jalan raya desa.”

Mbah Imo terperanjat. Nalurinya mengatakan akan ada lagi perubahan besar di desa. Sudah berhektar-hektar sawah dan ladang di desanya berubah menjadi kumpulan gedong magrong-magrong entah milik siapa. Rumah-rumah yang sebagian besar dibiarkan kosong, yang dikelilingi pagar tinggi dengan gardu jaga di gerbang depan.

“Untuk investasi,” ujar para pemuda desa yang bekerja sebagai satpam di sana.

“Untuk ngeram istri muda,” kilah yang lainnya, tertawa-tawa.

Dengan dada berdebar Mbah Imo tergagap bertanya, “Untuk apa? Mau dibangun gedong-gedong juga?”

Anak sulungnya mengangguk sambil menyesap kopi tubruk seduhan emaknya.

“Duh, Gusti, tiba juga saat ini. Saat yang aku kuatirkan akan terjadi,” rintih Mbah Imo dalam hati.

Kecuali pekarangan miliknya, tanah Pak Lurah itu satu-satunya tanah kosong di desa yang masih bisa ia tanami. Tangan-tangannya telah puluhan tahun merawat pohon-pohon yang tumbuh subur di sana.

“Ngger, jangan lakukan itu. Jangan sekarang ini. Tunggu sebentar lagi kalau emakmu sudah ditimbali Gusti.” Mbah Imo memohon agar anaknya membatalkan jual beli yang telah terjadi.

Namun daya tak lagi ada walau upaya sudah dicoba. Dengan hati pilu, paginya si sulung berpamitan pada emaknya. Mbah Imo tak mau menerima uang komisi jual-beli yang diberikan untuk menambal luka kecewa.

Selang beberapa bulan, berbagai alat berat didatangkan untuk menebang pohon-pohon melinjo di atas tanah itu. Suara bisingnya memekakkan telinga.

Mbah Imo mengawasi penebangan itu dari seberang kali. Ia menggelesot di bawah pohon kelapa, menatap para kekasihnya yang tegak gagah ijo royo-royo itu satu-satu lunglai di tanah. Air mata Mbah Imo membanjiri keriput pipi. Dua tangannya yang selalu mengelus-elus batang-batang pohon melinjo itu tertangkup di dada, menahan nyeri.

Setiap kali sebatang pohon terkapar, dada Mbah Imo serasa ditebas juga, lalu berdarah.

Sejak hari itu, Mbah Imo sakit dan tergeletak di amben kayunya. Ia tak mampu menahan duka. Sebulan kemudian, Mbah Imo dipanggil Tuhan berbarengan dengan pohon melinjo terakhir yang ditebang jatuh oleh tangan-tangan kokoh para pekerja bangunan.


*** 


 Pernah dimuat di sebuah tabloid budaya yang sudah tidak terbit lagi


Keterangan:
Dipundhut Gusti: diambil (nyawanya) oleh Gusti
Nyonggo urip: menyangga (membiayai) hidup
Ngger: dari kata ‘angger’, artinya anak atau bocah
Gedong magrong-magrong: bangunan besar dan mewah
Ditimbali Gusti: dipanggil Tuhan
Ijo royo-royo: hijau subur

Tidak ada komentar: