Sumber gambar |
“Hei! Loreng! Pergi sana! Ini bukan kandangmu!” teriak Bogel ketika ia melihat Loreng kembali mengendap-endap di dekat kandang.
“Enak saja! Memangnya ini punyamu?” balas Loreng tak mau kalah. Walaupun tubuh dan taringnya lebih kecil, Loreng berani menantang Bogel. “Percuma jadi kucing liar kalau tak berani unjuk taring melawan anjing kurapan tak bertuan.” Loreng menepuk dadanya yang penu panu.
“Dasar kucing liar tak tahu diri. Pergi sana! Kamu dekil dan bau!” Bogel menyalak dengan garang. Keempat kakinya mengangkangi pintu kandang. Taring-taringnya dipamerkan.
Loreng tak gentar. Ia menggerung-gerung tanda menantang. Bulu-bulunya tegak mengembang. Cakar-cakarnya siap disabetkan.
"Bogeeeel…! Loreeeeng…!” Tiba-tiba dari belakang Loreng muncul Prengil, anjing betina si pemilik kandang. “Kenapa bertengkar melulu?” Dengan manis Prengil mencoba menenangkan.
“Jangan coba-coba kamu, ya!” Loreng membentak Prengil. “Pergi sana. Ini urusan para pejantan!” Lanjut Loreng dengan mata melotot dan kumis meregang.
“Aduuuhh… ada apa siiihhh…? Kalian ini pada ngeributin apa? Nggak kasihan sama bayi Bu Minah yang sedang sakit? Dia nggak bisa tidur gara-gara kalian ribut melulu siang malam.” Prengil yang baik hati mendekati Loreng pelan-pelan.
“Pergi kamu! Betina bisa apa!” ejek Loreng.
“Lho, ini kan kandangku, yang dibuat tuanku untuk aku.” Prengil tidak terima diusir.
Melihat sahabatnya diserang tanpa alasan, Bogel semakin panas. Ditubruknya Loreng dengan ganas. Loreng yang liar berkelit dan mengeong hingar bingar. Bogel menyalak dengan galak. Dua binatang itu kembali berperang. Seisi kampung terganggu suara gaduh dan debu beterbangan.
“Sudah! Sudah! Sudaaaaahhhh…!!!” Prengil mencoba melerai. “Kalian boleh tinggal di kandangkuuuuuuuuuu…!!!” Prengil hilang kesabaran dan melolong kuat-kuat.
Ajaib. Lolongan Prengil yang panjang mampu menghentikan perkelahian. Mereka bertiga saling berpandangan. Nafas Bogel dan Loreng masih terengah-engah dan mata mereka masih merah.
“Kalian berdua boleh tinggal di kandangku.” Prengil menatap Bogel dan Loreng bergantian. “Kalau Loreng mau, nanti aku kenalkan pada tuanku. Dia baik hati, mungkin kamu boleh tidur di garasi.” Prengil sebenarnya tidak tahu pasti apakah tuannya mau menerima Loreng yang tak jelas asal-usulnya.
“Kamu janji?” Suara Loreng berubah ramah.
“Iya, Loreng, aku janji. Tapi….” Prengil menoleh ke rumah tuannya.
“Tapi apa?” Suara Loreng kembali meninggi.
“Tuanku tidak suka kucing dekil kayak kamu.” Prengil memandangi sekujur tubuh Loreng yang kotor penuh debu.
Loreng sebenarnya merindukan kedamaian dan elusan tangan seorang tuan. Ia segera menjilati sekujur tubuhnya agar semua debu dan kotorannya hilang. Dulu Loreng pernah hidup tenang di rumah seorang tuan. Namun darah muda Loreng tak mau dikekang. Ia lari menerobos pagar lalu hidup di jalanan. Kini Loreng merasa lelah berkelana sebagai kucing liar. Sudah terlalu lama ia berpindah-pindah dari satu teritisan ke teritisan serta mengais-ngais tong sampah untuk makan.
Ketika sampai di kampung Asri dan melihat Prengil hidup nyaman di dalam kandang, hati Loreng menjadi panas karena dengki. Kemudian Loreng membuat ulah agar Prengil takut dan melarikan diri. Tapi ternyata Prengil punya teman, Bogel, anjing liar yang kerap datang mengunjungi.
“Aku tidak mau tinggal di kandangmu, Prengil.” Bogel memecah keheningan.
“Lho? Kenapa? Kandangku cukup besar untuk bertiga.”
“Aku lebih suka bebas.” Bogel memandangi tubuhnya sendiri yang kecil namun kokoh dan muda.
“Lalu kenapa kamu bertengkar sama Loreng rebutan kandang?” Prengil terheran-heran.
“Aku nggak suka caranya mengendap-endap tiap malam, mau merebut kandangmu.”
“Aku kedinginan!” Loreng kembali meradang.
“Sudah. Sudah.” Prengil mencegah kembalinya pertengkaran. “Sekarang maumu apa, Bogel?” tanya Prengil.
“Aku mau pergi. Aku tidak butuh tuan. Aku bisa cari makan sendiri.” Bogel memandangi Prengil dengan lembut. “Kalau aku kangen, aku akan main ke sini.” Bogel tersenyum, memperlihatkan ujung-ujung taringnya yang putih tajam. "Kamu sebaiknya baik-baik sama Prengil. Awas kalau kamu curang." Bogel menatap Loreng. Kemudian anjing tak bertuan itu membalikkan badannya dan melangkah pergi meninggalkan Prengil dan Loreng.
“Hati-hati ya, Bogel.” Prengil memandangi kepergian temannya. Prengil yakin, Bogel yang terlahir tanpa tuan itu bisa menjaga dirinya sendiri.
“Hei! Aku masih di sini lho….” Loreng mengibaskan ekornya pelan. “Maaf ya, Prengil, aku sudah bicara kasar dan menyakiti hatimu.”
“Nggak apa-apa. Aku tahu kamu cuma kesepian dan butuh perhatian. Kamu juga biasa main kasar karena kamu kucing liar.” Prengil penuh pengertian.
“Seperti kucing garong ya?” canda Loreng.
Prengil dan Loreng tertawa bersama. Mereka kemudian berteman.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar