Senin, 29 Juli 2013

Penumpang di Kursi Nomor 10A

Sosok lelaki yang duduk di kursi nomor 10A ini mirip atlit. Otot-otot lehernya liat tertanam kokoh di pundak yang lebar dan lurus, menyangga sepasang rahang kencang. Tubuh lanjainya berdiri dan kepalanya merunduk saat aku meletakkan tas cangklong di kursi sebelahnya.

“Halo,” sapaku, sambil menjejalkan sebotol air mineral, sebuah buku, dan sebuah majalah ke dalam jaring di punggung kursi di depan tempat dudukku.

“Halo,” balasnya, bibirnya nyaris tidak bergerak. Meski tubuhnya gagah, matanya kosong tanpa binar. Ia membantuku menaruh ransel di rak atas dan baru duduk setelah aku nyaman di kursiku.

Usianya kutaksir antara 25 dan 30. Wangi musk menguar dari badannya yang terbalut kaus polo abu-abu dan celana kargo hitam. Pandangannya beralih dari wajahku ke jendela. Kuikuti arah pandangannya. Kulihat deretan wajah dan kepala para pengantar. Dalam diamnya, bisa kurasakan ia resah. Pikirannya jelas tak menyatu dengan raganya. Kuraih majalah dan membukai halamannya. Setiap bepergian malam hari dengan kendaraan umum semacam ini aku cenderung waspada, jarang mengawali pembicaraan dengan penumpang sekursi, apalagi bila ia lelaki.

Begitu terdengar pengumuman bahwa kereta api akan segera berangkat, lelaki itu menyandarkan punggungnya. Semburan napasnya yang kuat dan keras menyiratkan rasa kecewa. Aneh, hawa dingin kurasakan mengalir dari arah jendela yang tersegel rapat. Bersamaan dengan itu semua lampu di langit-langit gerbong tiba-tiba padam. Terdengar seruan kesal para penumpang.

“Mbak mau ke Jogja?” Ia membuka percakapan. Suaranya menyerupai gema dari dasar sumur. Lelaki ini tidak biasa, pikirku.

“Ya.” Kupandang wajahnya dari samping. Aku terjelengar. Dalam gelap rona kulit wajahnya seputih kapur, seperti lama tidak tersentuh sinar matahari. Semua lampu berkedip-kedip sesaat sebelum kembali menyala. Para penumpang bergumam lega.

“Anda juga mau ke Jogja?”

Ia tidak menjawab. Tatapannya yang menyorot dari sepasang mata hampa dan dibingkai wajah lesi itu membuat otot-otot punggung dan tengkukku mengencang. Ah. Mungkin bukan tatapannya, mungkin karena AC. Kurogoh tas cangklongku yang kutaruh di pangkuan, kutarik selembar pashmina dan kuselimutkan ke punggung melewati pundak.

Ia kembali memandang jendela. Tidak ada apapun di luar yang bisa dilihat kecuali lelampu jalan dan deretan bangunan yang sebagian lusuh termakan waktu dan cuaca.

Kulihat pramugari kereta berseragam ungu mendorong troli makanan. Aku belum sempat makan malam. Dari auditorium tempat seminar tadi aku langsung ke stasiun, hanya sempat membasuh muka, mengelap tubuh, dan berganti kaus di toilet. Kuminta sepiring nasi goreng. Aku punya cukup air minum untuk perjalanan 8 jam yang mungkin hanya akan kulewatkan dengan tidur.

“Mau makan?” tanyaku pada lelaki di sebelahku. Ia menggeleng tanpa mengalihkan matanya dari jendela.

Pramugari itu menerima uang dengan wajah keheranan, kulit di antara ujung-ujung alisnya berkerut. Matanya cermat menelitiku. Ia hendak bicara namun berusaha keras menahan diri.

“Kenapa? Uangnya kurang?”
“Tidak, Mbak. Selamat makan …,” ucapnya, mendorong troli. Ekor mataku menangkap pramugari itu sembunyi-sembunyi menoleh padaku. Entah apa yang dilihatnya aneh pada diriku.

“Saya makan, ya.”

“Silakan, Mbak.”

Aku makan pelan-pelan diselingi celoteh para penumpang dan sorak sorai rombongan remaja di deretan kursi sebelah kananku. Lelaki di sampingku tak juga mengalihkan matanya dari jendela. Tubuhnya tak berubah dari posisi semula. Ia larut dalam sesuatu yang tak kasat mata.

Sekitar dua jam kemudian aku tak bisa lagi menahan kantuk. Aku juga penat. Sehabis subuh tadi aku sudah meninggalkan rumah menuju bandara untuk ke Jakarta dengan pesawat paling pagi. Seharian aku menghadiri seminar – yang membosankan – kemudian langsung kembali ke Jogja dengan kereta api ini. Kuselipkan kembali buku ke dalam jaring. Kuraih botol air mineral dan kuminum tiga teguk. Kuketatkan balutan pashmina dan kurebahkan kepala ke punggung kursi.

“Jangan tidur, Mbak.”

“Ya?”

“Jangan tidur. Tolong temani saya.” Suaranya itu lamat-lamat dan senyap, seakan datang bukan dari dirinya tapi dari balik kaca jendela. Kami bertatapan. Sekilas matanya berwarna kelam rata, tak ada bagian putihnya. Aku jadi merinding. Kukejap-kejapkan mataku. Pasti akibat bias lampu neon di langit-langit gerbong.

“Saya ngantuk sekali. Maaf.”

“Tolong, Mbak,” pintanya. “Saya tidak suka bicara tapi saya senang kalau ada teman yang sama-sama terjaga,” tambahnya. Matanya yang lowong itu menghisapku. Jantungku berdenyut lebih cepat. Kini aku yakin, bukan AC yang membuatku dingin hampir menggigil, namun sikap lelaki ini. Apapun yang tengah dideritanya pasti telah menggerogoti dirinya, membuat tubuh kokohnya itu merupa layon.

Kujangkau majalah dari jaring punggung kursi. “Ini. Buat teman berjaga.”

Ia tidak menerima majalah yang kuasongkan. Kepalanya menggeleng berat terbebani rasa kecewa. Kembali matanya mengarah ke jendela.

Antara sadar dan tidur kulihat seorang remaja putri berdiri di lorong, di depanku. Kudengar ia minta ijin untuk duduk di sebelahku karena temannya yang tadinya duduk di gerbong lain pindah ke tempat duduknya dan tidur hingga ngorok. “Mbak. Boleh, ya?”

Kuusap-usap mataku. “Ada orangnya,” kataku, menguap lebar.

“Kosong gitu, Mbak.”

Aku menoleh. Tempat duduk di sebelahku memang kosong. Jangan-jangan lelaki itu sudah turun di stasiun Purwokerto. “Kita sampai mana?”

“Baru saja lewat stasiun Legok.” Si gadis menguap, mempererat dekapannya pada boneka kelinci warna pink. Aku hapal, stasiun Legok itu dua stasiun sebelum Purwokerta dan belasan stasiun selepas Cirebon. Kereta api eksekutif ini tidak berhenti di stasiun-stasiun kecil itu. Dan lelaki itu masih duduk di sebelahku ketika kereta meninggalkan stasiun Cirebon, sebelum aku jatuh tertidur.

“Ada orangnya, kok. Mungkin sedang di toilet atau merokok di bordes,” ujarku menjulurkan leher, melihat ke ujung depan dan belakang lorong.

“Kayaknya dari tadi kosong, deh,” sergahnya. “Kalau nggak boleh, ya udah ….” Gadis itu berbalik, langkahnya diseret menunjukkan kekesalan hatinya.

Aku masih terkantuk-kantuk namun tidak bisa kembali tidur. Kereta mulai meninggalkan stasiun Purwokerto. Lelaki itu tidak juga muncul. Mungkin ia pindah ke gerbong lain bergabung dengan temannya. Atau berjalan-jalan menyusuri lorong untuk melemaskan otot kaki.

Kereta menaik-turunkan penumpang di stasiun Gombong, namun lelaki itu tetap tidak kembali duduk di sebelahku. Rasa ingin tahu mengusikku. Aku berdiri di lorong, menyandar pada punggung kursi. Penumpang yang duduk di belakangku baru saja terbangun dan tengah merapikan jilbabnya.

“Mbak, lihat mas-mas yang di sebelah saya? Pergi ke sana apa sana?” Kuarahkan telunjukku ke depan dan belakang.

“Mas-mas?” Ia ganti bertanya.

“Iya. Orang yang duduk di sini.” Kutunjuk kursi di sebelahku. Kursi nomor 10A.

“Bukannya dari Jakarta memang kosong, ya?”

“Ada orangnya. Laki-laki. Jangkung, pakai kaus polo abu-abu.”

“Wah. Saya nggak tahu. Saya kira dari tadi kosong.” Ekspresi wajah perempuan bermata bundar itu nyata-nyata terheran-heran. Lehernya terjulur ke kiri, mencoba melihat melalui celah antara dinding gerbong dan kursi.

Penumpang lelaki yang duduk tepat berseberangan denganku sudah tidur sejak di stasiun Gambir. Kepalanya tertunduk. Mulutnya menganga. Liurnya sesekali menetes ke pundak kanannya. Penumpang perempuan yang duduk di sebelahnya menutup wajahnya dengan scarf hijau bermotif bunga. Scarf itu naik-turun seirama hembusan napasnya. Jelas tidak mungkin menanyai mereka.

Aku duduk kembali, meneruskan membaca buku. Rasa ingin tahu berkembang jadi penasaran. Kalau lelaki itu memang sudah turun, entah di stasiun mana, pasti ada penumpang lain yang naik di Purwokerto atau Gombong yang menempati kursi kosong ini.

Lima belas menit kemudian.

“Pak, penumpang yang duduk di sini sudah turun, ya?” tanyaku pada kondektur yang memeriksa karcis penumpang yang naik di stasiun Gombong. Tanganku menunjuk kursi kosong di sebelahku.

“Dari tadi kursi itu kosong, Mbak.”

“Hah? Nggak mungkin. Saya tadi ngobrol dengan orangnya, Pak. Laki-laki ….”

“Pakai kaus abu-abu dan celana kargo hitam. Tubuhnya tinggi dan atletis …,” sahut kondektur itu, mengetatkan kerah kemejanya. Matanya melekat ke mataku. Pelan-pelan ia berjongkok. Tangan kirinya mencengkeram lengan kursiku dan tangan kanannya bertumpu pada punggung kursi di depanku. “Bukan cuma Mbak saja yang pernah melihatnya. Banyak penumpang kereta ini pernah diweruhi juga. Tidak tiap hari, hanya sesekali. Biasanya hari Selasa, yaaa … Selasa Legi. Pasti dia minta ditemani ….”

Jantungku melambat. Aku menggigil, semacam ada benda berat yang beku diusap-usapkan ke punggungku. Dengan tubuh bagai melayang kudengar cerita kondektur tentang penumpang lelaki yang mati bunuh diri setahun lalu. Konon ia atlit pentatlon yang kehilangan kejantanannya dalam kecelakaan menunggang kuda. Ia terjun dari kereta ini, tepat di atas jembatan Sakalimolas, antara stasiun Bumiayu dan staisun Kretek. Tubuhnya tersangkut pohon, kepala dan perutnya tertembus beberapa cabangnya.

Tangan kondektur itu hati-hati menggoyang lenganku. “Mbak … jangan kuatir. Dia tidak pernah menyakiti siapapun.” Ia berdiri. “Sebentar lagi sampai Jogja,” katanya, berlalu dengan dua lengan mendekap tubuhnya sendiri. Ia mungkin dirasuki hawa dingin seperti diriku.

***

2 komentar:

HadiSome mengatakan...

wew, merinding.....

Endah Raharjo mengatakan...

Pakai selimut, Om. Apa digosok minyak kayu putih :D