Jumat, 10 Februari 2012

Cinta Suami Berganti Cinta Keluarga

Sebagaimana penulis besar lainnya, selain menghasilkan adikarya, Tolstoy juga membuahkan karya-karya sederhana. Selain Perang dan Damai serta Anna Karenina yang menjadi semacam buku wajib-baca bagi para penikmat karya sastra di seluruh dunia, ada puluhan karya lainnya yang ringan untuk dibaca. Salah satunya adalah novela yang dijuduli Семейное счастье (Semeynoe schast`e), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Family Happiness dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia menjadi Rumah Tangga yang Bahagia. Banyak yang menganggap penerjamahan judul itu tidak kena, namun tulisan ini tidak membahas hal itu.

Dengan setting keluarga papan atas di pedesaan Rusia, dengan rumah besar dan para pelayannya, Marya Alexandrovna, yang dipanggil Masha, adalah salah satu tokoh sentral yang menuturkan kisah cintanya dengan Sergei Mikhailich. Mereka bertemu pada musim dingin ketika Masha dan Sonya, adiknya, masih berkabung atas meninggalnya sang ibu di musim gugur. Sergei adalah sahabat karib ayah Masha sekaligus ditugaskan menjadi wali mereka. Ya, perbedaan usia mereka sangat jauh. Di awal cerita Sergei berusia 36 tahun dan Masha masih remaja, 17 tahun.

Benih-benih cinta itu muncul pelan-pelan, bagai ditanam dan disemai oleh alam pedesaan yang digambarkan sangat tenteram dan damai. Waktu seolah terdiam, sementara musim berganti tanpa sedikitpun mengganggu keseimbangan lingkungan. Jalinan tali cinta antara dua insan yang usianya jauh berbeda itu segera diikat oleh tali pernikahan. Dari sinilah kekuatan sang cinta mulai diuji.

Kehidupan desa yang serba teratur membosankan Masha yang masih belia dan rindu akan petualangan. Kemudian mereka memutuskan pindah ke kota, ke St. Petersburg. Di kota ini pelan-pelan konflik muncul di antara Masha dan Sergei seiring dengan semakin luasnya pergaulan Masha dengan orang-orang kalangan atas yang gemar pesta dansa.

Pertengkaran kecil mulai sering terjadi dan Sergei yang tutur katanya lembut mulai berbicara keras pada Masha. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan usia. Sergei yang usianya mulai memasuki tengah baya dan kenyang oleh pengalaman hidup dan Masha yang masih sangat muda dan mendamba gemerlap dunia. Banyak hal yang telah dialami Sergei dan bahkan sudah ditinggalkannya masih menjadi mimpi bagi Masha.

Walau menunjukkan kecemburuannya lewat kata-kata dan sikapnya, Sergei tidak secara tegas melarang Masha. Ia sepenuhnya memberi Masha kebebasan memilih yang disukainya. Ketika situasi ini terjadi, hubungan mereka jadi renggang. Mereka tidak hanya berjarak secara emosi, tetapi secara fisik juga sering berjauhan. Sergei yang cenderung membatasi pergaulan hura-hura dan sibuk mengurus pekerjaannya membiarkan istrinya pergi kesana-kemari, bersuka-ria bersama kerabat dan sahabatnya.

Masha mengalami puncak konflik dengan dirinya sendiri ketika sedang berlibur bersama teman-temannya tanpa Sergei. Ketika sedang tetirah itu Masha hampir saja berselingkuh dengan salah seorang bangsawan. Namun justru peristiwa itu menyadarkan Masha untuk kembali pada suaminya.

“Mengapa aku kau beri kebebasan yang aku sendiri tak tahu bagaimana harus mempergunakannya? Mengapa kau berhenti mengajariku?” Demikian cuplikan jerit hati Masha yang diutarakan pada suaminya ketika mereka berkumpul kembali dan mencoba melihat ke belakang. Menyesali apa yang telah terjadi.

Cerita ini samar-samar mengajak para pembaca belajar dari pengalaman, bahwa penyesalan di belakang itu tak ada artinya. Lebih baik mengambil hikmahnya dan melanjutkan hidup dengan apa yang masih dimiliki. Selain itu, kisah ini juga secara halus ingin menyampaikan bahwa umumnya orang muda tidak akan percaya pada kata-kata orang yang lebih tua. Untuk membuktikannya, mereka harus mengalami jatuh-bangun sendiri. Seperti kata Sergei pada Masha yang intinya bahwa kita harus hidup melalui kedangkalan kehidupan sedemikian rupa agar dapat menemukan kehidupan yang sebenarnya dan tak seorang pun dari kita dapat memetik manfaat dari pengalaman orang lain bila tidak atau belum mengalaminya sendiri.

Kisah ini ditutup dengan perenungan Masha tentang berakhirnya petualangan cintanya dengan suaminya dan bahwa perwujudan cinta bisa berbeda atau berubah dalam perjalanan hidup manusia. Sebagai gantinya ia menemukan cinta baru pada ‘anak-anak dan bapaknya’. Sebuah cinta yang tidak egois, tidak menggebu-gebu, tidak membara. Cinta untuk keluarga.

Ketika membaca, saya teringat pada masa-masa muda saat mulai mengenal cinta (monyet). Karena masih belia, saya sering bermimpi bahwa saya akan ‘mengakhiri cinta’ ketika menikahi lelaki pilihan saya. Kenyataannya, perjalanan cinta suami-istri yang sebenar-benarnya justru baru berawal ketika si lelaki mengucapkan ijab-kabul.

Cerita cinta Masha ini menurut saya dialami oleh sebagian besar perempuan berkeluarga. Cinta birahi yang menggelora pada lelaki yang kemudian menjadi suami yang lambat laun berevolusi menjadi cinta pada keluarga yang lebih menentramkan dan tahan lama. Novel ini tampaknya cocok untuk dibaca oleh pasangan muda, terlebih pada saat ini, ketika gemerlap pergaulan sering menyilaukan mata siapa saja, tak pandang jenis kelamin, strata sosial, pendidikan dan usia. Kalau istri atau suami yang ‘sudah tua’ bagaimana? Saya menikmatinya juga, karena saya masih muda….

***

Tidak ada komentar: