Jumat, 03 Agustus 2012

Tante Wari

Sumber ilustrasi
Kalau ia tidak mengundang teman-temannya merayakan ulang tahun di restauran seafood, tak akan ada yang tahu usianya sudah 40 tahun. Kecuali aku dan keluargaku. Melihat tubuhnya, siapapun pasti percaya kalau dia mengaku model ternama.

Wajahnya sering disamakan orang dengan Lenny Marlina, bintang film yang hidup di alam mimpi hampir semua lelaki Indonesia tahun 70-an. Manis. Legit. Kulitnya itu… ya… kulitnya langsat sempurna, bagai puteri keraton yang luluran setiap minggu tanpa pakai lupa; bukan putih pucat seperti orang Kaukasia. Alisnya tebal dengan lengkung yang pas membingkai matanya yang berbentuk buah badam. Bibirnya serupa kelopak mawar baru saja mekar.

“Tante Wari,” begitu caranya mengenalkan diri di depan teman-temanku. Nama lengkapnya Iswari Putri Astuti. Aku yakin, teman-temanku yang cowok gemar nongkrong di rumahku bukan hanya demi catatan kuliahku, tapi juga demi Tante Wari. Siapa lagi. Namun aku tak merasa iri. Untuk apa? Tak ada gunanya bersaing dengannya. Semua kualitas terbaik perempuan ia miliki. Don’t start a fight you can’t win, kata pepatah, entah aku mendengar dari siapa atau membaca di buku apa.

“Dulu Eyang Uti ngidam apa, ya?” tanyaku pada Papa, suatu hari, ingin tahu mengapa tiga kakak perempuannya tak ada yang secantik dia dan tiga kakak lelakinya pun tak ada yang luar biasa.

“Eyang Uti punya sedikit darah China dan India. Mungkin bibit terbaik ngumpul ke dia semua,” jelas Papa sambil bercanda. Kata Papa bahkan saat bayi pesonanya sudah memukau mata.

Tante Wari dan Papa rukun sekali. Orang-orang sering menuduh Papa terlalu melindungi adik bungsunya itu. Mereka juga menganggap Tante Wari jual mahal sehingga meskipun cantik dan pintar ia tetap lajang sampai menjelang tengah baya. Menurutku orang-orang itu sok tahu. Dikiranya menikah jadi satu-satunya mimpi semua perempuan. Menganggap sumber kehidupan perempuan itu tersembunyi di balik sosok suami. Di mataku, Tante Wari bahagia dalam kesendiriannya.

Setahuku Papa dan Mama tidak pernah melarangnya bergaul. Memang Papa dan Mama sering mengantar Tante Wari sana-sini. Tapi mereka sudah lama melakukannya dan karena mereka sayang padanya.

Bisnis perhiasan Tante Wari laris sekali. Membuatnya kaya. Meskipun begitu, ia tetap tinggal di sini, bersama kami. Tanteku itu juga memanjakanku.

“Ada berapa temen-temenmu, Wina? Mau oleh-oleh pizza apa lumpia ayam?” Ia tak pernah lupa membawa makanan untuk teman-temanku. Ia tahu aku bisa menghabiskan setengah lusin lumpia ayam sekali makan.

Usaha properti Papa sangat maju. Begitu juga katering Mama; semua pejabat di kotaku jadi pelanggannya, termasuk kantor gubernur, kalau ada acara-acara penting pasti mereka pakai katering Mama. Ya, aku anak orang kaya. Rumah kami besar. Halaman depan cukup luas untuk empat lapangan voli. Halaman belakang dilengkapi kolam renang asri.

Tante Wari tinggal di pavilyun mungil, di samping rumah. Di dalam pavilyun itu ada satu kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang duduk yang dipenuhi sofa empuk, lengkap dengan home theater yang membuatku betah berlama-lama menemaninya bila Tante Wari sedang suntuk. Aku sering melihat ada dua-tiga lelaki yang rutin mengunjunginya; lalu Tante Wari akan pergi bersama mereka. Namun tak satupun dari orang-orang itu yang kukenal.

“Hanya teman bisnis, Wina,” kata Tante Wari setiap kutanya. “Kalau ada lelaki istimewa, kamu pasti orang pertama yang Tante beri tahu.”

Tante Wari menganggapku anak sendiri. Setiap pulang dari perjalanan bisnis keluar negeri, ia membawakanku barang-barang mahal yang tak akan dibeli untukku oleh Papa atau Mama.

“Wina… belum tidur, Sayang?” Tante Wari menegurku dengan suara empuknya bila aku nongkrong hingga larut malam di ruang duduknya. “Besok pagi nggak ada kuliah, ya?” sambungnya. Selalu begitu. Lalu Tante Wari akan menutup pintu kamarnya setelah mengecup pipiku. Setiap malam ia tidur sekitar pukul 11, setelah menghabiskan hampir 2 jam bicara di telepon dengan rekan-rekan bisnisnya. Aku tak pernah tahu apa saja yang ia bicarakan. Tante Wari selalu berbisik-bisik atau menutup pintu kamar. Kadang-kadang aku curiga ia sedang asyik masyuk dengan pacarnya di telepon, kudengar sesekali ia cekikikan, mendesah atau menjerit manja.

Kalau aku cerita tentang teman-teman cowokku yang tergila-gila padanya, Tante Wari hanya tertawa. “Kalian ini ada-ada saja! Selesaikan kuliah dulu, baru lamar aku,” selorohnya. Kalau kami goda, lehernya yang jenjang itu akan melenggok, mengingatkanku akan penari balet Swan Lake. Kalau sudah begitu, teman-teman cowokku akan melenguh dan yang cewek cekikikan sambil berharap ketularan sex-appeal-nya.

Siang itu aku sedang memasukkan barang-barang keperluan berkemah ke dalam ransel. Kudengar Papa dan Tante Wari berdebat tentang sesuatu yang aku tidak tahu.

“Jangan, Wari. Itu tidak bijaksana,” kata Papa.

“Kali ini saja. Beliau ingin sekali menginap di sini,” ucap Tante Wari dengan suara meminta. “Wina kan tidak ada di rumah. Mbok Kar dan Darmi juga pas pulang ke desa,” tambahnya sambil menoleh ke pintu kamarku yang setengah terbuka. Begitu melihatku sedang menatap mereka, Tante Wari tergesa pergi meninggalkan Papa.

“Kamu butuh bantuan?” tanya Papa menguak pintu kamarku.

Aku menggeleng. “Ada apa dengan Tante Wari, Pa?” Aku penasaran.

“Nggak ada apa-apa…” Suara Papa tertelan.

“Siapa yang mau nginap di rumah kita?”

“Oh…” Papa seperti enggan menjawab, berpikir sesaat. “Teman kuliahnya dulu,” Papa menutup pintu kamarku.

** 

“Duh! iPad-ku ketinggalan!” jeritku. Lalu seisi mobil gaduh, terutama Arko yang tak pernah absen meminjam barang pemberian Tante Wari itu.

“Kita balik aja! Mumpung belum jauh!” desak Arko.

“Kamu yang nyupir, ya!” Abram menoleh sambil menepikan CRV-ku. Cepat bagai kilat, begitu mobil berhenti Arko melompat keluar, siap menggantikan Abram menyetir. Kami semua tertawa melihat kelakuannya. Tanpa iPad-ku Arko akan bengong semalaman di dalam tenda.

Teman-temanku menunggu di mobil yang diparkir Arko di halaman. Kudapati rumah sepi. Papa dan Mama pasti langsung keluar begitu aku pamit sekitar satu jam yang lalu. Kulihat lampu hijau di dinding teras pavilyun juga mati, pertanda Tante Wari sedang pergi. Namun lampu duduk tampak menyala. Mungkin saja Tante Wari lupa mematikannya. Aku langsung masuk ke kamarku yang berantakan. iPad tidak kutemukan.

“Ah! Ada di tempat Tante Wari,” pikirku. Aku ingat semalaman nongkrong di ruang duduknya. Kusambar kunci pintu belakang yang menghubungkan pavilyun dengan kolam renang. Saat pintu terbuka, pekikanku memecah udara. Di bawah terang lampu, kulihat Tante Wari sedang bergumul di atas sofa dengan seorang lelaki. Tanpa busana. Kulit mereka berkilat oleh keringat. Wajah lelaki berperut gendut dan berkumis lebat itu bisa kukenali. Fotonya muncul di koran hampir setiap hari.

“Pak Gubernur…” Serak suaraku. “Ya, Tuhan…” Lalu aku gemetaran. Tubuhku berputar. Aku berlari tanpa menoleh lagi. Geragapan kukaitkan gerendel pintu menuju rumah utama. Aku tersedu seorang diri.

Tiba-tiba semuanya menjadi jelas sekali. Kekayaan Papa dan Mama. Bisnis perhiasan Tante Wari. Lelaki-lelaki yang datang dengan mobil untuk membawanya pergi. Rupanya selama ini tanteku menjadi simpanan orang pertama di propinsi ini. Tangisku menjadi-jadi.

***

7 komentar:

Azam Raharjo mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Endah Raharjo mengatakan...

@Safinah: thanks :)

Unknown mengatakan...

Wahhh...saya pun akan memekik keras jika melihat pemandangan spt itu...oh tante wari...

Endah Raharjo mengatakan...

heheheheee... mbak Edi habis jalan2 di log saya, makasih banyak, yaaa... Ini cerpen terlaris, mungkin karena ada kata 'tante' yaaa... :-)

Hat Pujiati mengatakan...

kirain bukan fiksi..ngalir bingitz..suka,mbak :)

Endah Raharjo mengatakan...

terima kasih, Hat. ini tulisan paling populer di blog ini krn ada kata 'tante' hahahahaaa...

MINX mengatakan...

Yang mau penghasilan lebih atau tambahan...bisa gabung disini


JOB = Pemuas tante2 atau jadi gigolo


Caranya cukup mudah
syarat:
Nama:
Umur:
Alamat:
Tinggi:
dan biaya pendaftaran 200rb

Bagi yang berminat saja
untuk seluruh indonesia

Add pin gw 2A411c2e