Selasa, 24 Juli 2012

Fragmen Lucas dan Lintang

Luc tersayang, 
Maaf, aku memutuskan tidak kembali lagi ke Jakarta. Ibu membutuhkan seluruh perhatian dan waktuku. Semoga…. 

Diletakkannya surat yang tiba di tangannya lewat Kilat Khusus itu. Lucas tak hendak meneruskan membaca. Pandangannya memburam. Buru-buru ia hapus air yang menggenang di sudut-sudut mata. Lucas melipat kertas hijau muda itu, lalu dengan khidmat ia masukkan kembali ke amplopnya. Indah sekali tulisan tangan Lintang. Baru kali ini Lucas menerima surat dari seorang perempuan. Sudah bukan jamannya. Tak seperti ibunya dulu, sewaktu muda saling berkirim surat dengan ayahnya, Lucas lebih suka bertukar pesan-pesan instan.

Lelaki yang bulan depan genap 28 tahun itu duduk di sofa, dadanya tertekuk menandakan gundahnya hati. Aku akan menjemputmu, Lintang. Aku akan datang.

** 

Nun di lereng Merapi, seorang perempuan muda tengah memandikan ibunya, di sebuah kulah di samping sumur.

“Bu, siram ‘nggih. Biar seger. Biar wangi.” Tangan perempuan muda itu menuangkan air hangat dari siwur ke tubuh ibunya.

 “Lintang. Lintang,” si Ibu tak henti-henti menggumamkan nama anaknya. Matanya menatap bercak-bercak lumut di lantai kulah.

Inggih, Bu. Ini Lintang,” Lintang menggosok pelan tubuh ibunya dengan sabun. Sesekali Lintang memperbaiki ikatan kemben ibunya. “Yu Kaaar! Tolooong! Udah selesai!” Lintang jinjit sambil mengulur leher, mencoba melihat melalui lubang gedhek, pembatas kulah dengan sumur. Seorang perempuan setengah baya berlari keluar dari rumah depan. Di tangannya ada handuk biru muda.

“Wah. Ibu sudah wangi.” Dibantu Yu Kar, Lintang mengeringkan badan ibunya, meraih daster batik yang tersampir di dinding gedhek lalu memakaikan ke tubuh yang masih sehat dan segar itu.

“Nanti biar saya suruh orang memperbaiki gedheknya. Biar ageman Ibu dan Mbak Lintang ‘ndak kecanthol.”

“Nggak apa-apa, Yu. Nggak usah.”

“Harusnya Pakdhe Anwar ‘mbuatkan kamar mandi,” Yu Kar gerundelan.

“Ah, Yu Kar. Mereka udah baik hati membuatkan kami kamar di sini. Itu namanya diwehi ati isih ngrogoh rempelo.”

Hati-hati Yu Kar dan Lintang memapah tubuh perempuan itu. Sesosok tubuh sehat namun tanpa jiwa. Awan panas Merapi merenggut semua yang dimilikinya: suami, anak lelaki, rumah, ternak dan kebun empon-emponnya. Semua musnah tersapu lahar dan awan panas. Tak bersisa. Lintang, si bungsu yang bekerja di Jakarta selamat dari marabahaya.

“Jangan pergi, Nduk, cah ayu. Jaga ibumu. Di sini saja, sampai ibumu pulih,” pinta Budhe Anwar setelah letusan gunung mereda.

“Mungkin kehadiranmu bisa menjadi obat, Nduk,’ ucap Pakdhe Anwar.

“Lihat. Sejak kamu suapi tiap hari, ibumu mau makan. Badannya mrintis lagi,” tambah Budhe Anwar. “Kamu ndak usah mikir soal rumah. Nanti kami buatkan kamar di kebon belakang itu. Ya?” Budhe Anwar mengelus rambut panjang Lintang.

“Iya. Terima kasih, Budhe. Kami juga ada tabungan. Tidak banyak, tapi cukup kalau untuk dua kamar,” bisik Lintang, “Ibu punya cincin berlian. Yang dipakai itu. Saya juga punya satu,” Lintang hendak melolos cincin dari jari manisnya.

Ora susah, Nduk. Jangan. Jangan. Wis. Dipakai saja.” Cepat-cepat Budhe Anwar menahan tangan Lintang. “Kalau perlu apa-apa, biar dibantu Yu Kar. Ya?”

Sebulan kemudian, dua buah kamar di halaman belakang siap dihuni Lintang dan ibunya. Yang satu untuk kamar tidur, satunya untuk ruang duduk. Sejak memutuskan tidak kembali ke Jakarta dan meninggalkan pekerjaannya Lintang menutup akun Facebook-nya. Emailnya tidak pernah ia buka. Nomer ponselnya ia ganti.

Ibunya tak lagi bisa diajak bicara, tatapannya hampa, sesekali saja ia bergumam atau memanggil-manggil nama Lintang. Sehari empat kali Lintang membawa ibunya ke sumur, agar tidak ngompol. Tiap pagi, selepas subuh, Lintang membimbing ibunya berjalan-jalan menyusuri kampung. Sebelum tidur ia membacakan cerita, persis yang dilakukan ibunya saat Lintang masih balita. Musibah yang jatuh menimpa Lintang sungguh berat, ia sempat terkapar, namun tidak menyerah. Setiap malam ia berdoa selepas menidurkan ibunya, cukup Engkau bagiku, ya Tuhan, penjagaku dan pelindungku. Ia juga bersumpah, bila di telapak kaki ibunya benar ada surga,  Lintang ingin meniti ke gerbangnya.

** 

Sinar matahari sudah lebih rendah dari pohon kelapa saat terdengar suara theklek menapaki undak-undakan. Budhe Anwar satu-satunya penghuni rumah depan yang gemar memakai theklek bila ke halaman belakang. Mungkin beliau akan mengirim makanan, pikir Lintang. Tapi ada langkah lain bersamanya. Mungkin Pakdhe atau Mas Iqbal.

“Assalamu’alaikum. Lintaaaang…” suara Budhe Anwar senyaring biasanya.

“Walaikumsalaaam.” Lintang membuka pintu. Matanya terbelalak. “Lucas?”

“Naaah… Nak Lucas. Ini Lintang.” Budhe Anwar melangkah ke samping agar Lucas bisa langsung berhadapan dengan Lintang.

“Kamu…?”

“Ya, Lintang. Suratmu udah aku terima. Aku berusaha menghubungimu …”

“Ah. Ayo masuk…” Lintang membuka pintu lebih lebar, “maaf ya, tempatnya….”

“Apa kabar?” Lucas tidak memperhatikan ruangan kecil yang hanya terisi sebuah lincak bambu, sebuah kursi goyang dan meja kecil itu. Ia duduk di salah satu ujung lincak, di dekat jendela. Lintang masih berdiri di ambang pintu. Kebingungan.

“Sebaiknya saya permisi saja. Silakan, Nak Lucas.” Budhe Anwar tersenyum ramah pada tamu keponakannya, “saya suruh Yu Kar membuatkan minuman, ya.” Sebelum berbalik perempuan langsing berkerudung itu mengangguk pada Lucas.

“Kamu kelihatan kurus. Kamu baik-baik saja?” Suara Lucas bergetar. Lintang duduk pelan-pelan di ujung lain lincak. Mereka hanya berjarak satu meter. Mereka membisu. Samar-samar terdengar suara perempuan berdendang dari kamar.

“Lintang?”

“Ya. Aku baik-baik saja. Semua baik-baik saja. Ibu sehat. Tapi….” Lintang menahan tangis. Suara ibunya mengeras, menyanyikan lagu anak-anak.

“Aku tahu, Lintang.” Beberapa detik kemudian Lucas merengkuh Lintang ke dalam dekapannya. Lintang menangis sejadi-jadinya.

“Aku tidak tahu dimana jasad bapak dan kangmasku, Luc.” Lintang bercerita setelah tangisnya reda. “Dokter tidak bisa memastikan kapan Ibu akan pulih. Aku tidak akan meninggalkan Ibu sendirian. Aku akan merawatnya.”

“Beri aku kesempatan untuk membantumu.”

“Cukup aku saja yang berkorban, Luc. Kita harus realistis. Kamu punya hidup sendiri. Di depanmu. Masih panjang.”

“Aku ingin mengisi hidupku sama kamu.”

“Sekarang kamu bisa bicara begitu, karena sedang jatuh cinta,” pahit suara Lintang, “tapi nanti? Bagaimana kalau di tengah jalan kamu tidak kuat menahan beban tambahan ini?”

“Beban tambahan? Beliau ibumu, Lintang. Kita bisa menghadapi bersama.”

“Lagi pula saat ini aku tidak siap menyampaikan perbedaan kita pada keluargaku,” Lintang menunduk. “Mungkin Budhe Anwar bisa menebak dari namamu,” bisik Lintang. “Keluargamu bagaimana?”

Lucas tercenung. Sayup-sayup terdengar adzan maghrib dari masjid di sudut jalan. Lintang menghela nafas panjang. “Aku juga harus cari pekerjaan di sini. Belum tahu mau apa. Aku udah bergabung dengan para pemilik tanah lereng Merapi. Kami sering berkumpul. Ada LSM yang mbantu ngurus ini-itu. Mungkin aku mau jadi petani saja.” Lintang tertawa kecil. Ibunya dulu bertanam empon-empon, ia akan belajar pada para petani tetangganya. Ia yakin ladang milik keluarganya suatu saat pasti bisa digarap lagi.

“Justru itu, Lintang. Aku janji….”

“Jangan, Luc. Jangan berjanji,” Lintang memotong. “Aku harus bisa mandiri untuk membiayai perawatan Ibu.” Lintang menggenggam tangan Lucas. “Lihat aku, Luc. Lihat aku,” pinta Lintang demi dilihatnya Lucas membuang pandang. “Kalau kamu cinta aku, bener-bener cinta aku, untuk saat ini jadilah sahabatku. Beri aku waktu. Ikhlaskan aku mengurus ibuku.” Air mata Lintang kembali menggenang. “Saat ini waktu dan tenagaku hanya untuk ibuku. Aku tak punya waktu memikirkan diriku sendiri, apalagi mikir kamu....”

Lucas menelan ludah. Semua yang diucapkan Lintang benar adanya. Jarak dan waktu akan membuktikan kesungguhan hatinya. Yang terbaik bagi mereka saatnya belum tiba.

Sehabis makan malam, Lucas pamitan. Ia menginap di rumah teman. Diantar Lintang hingga ke pinggir jalan, Lucas menunggu taksi yang dipanggil lewat telpon.

“Bulan depan aku nengok lagi. Boleh kan?”

"Ya," Lintang mengangguk-angguk.

Lucas melingkarkan lengan ke pundak Lintang. “Janji ya, akun FB-mu diaktifkan lagi. Ya? Emailmu dicek ya? Nomer barumu aku kasih ke teman-teman. Ya? Kalau perlu bantuan, kamu tahu harus menghubungi siapa.”

Lintang kembali mengangguk-angguk. Sorot lampu mobil menerangi Lucas dan Lintang yang tengah berpelukan. Taksi sudah datang.

***

3 komentar:

Adri Wahyono mengatakan...

kulonuwun Mbak Endah, wah rumah yang sangat istimewa ! saya sangat kagum, btw njenengan tak terlihat beredar lagi di kompasiana...

OUTBOUND DI MALANG mengatakan...

nice post :)

Endah Raharjo mengatakan...

Monggo, Mas Adri. Tadi saya nengok teras panjenengan :-)
Saya tidak kerasan di sana...

@Outbound: terima kasih banyak :-)