Foto oleh Wing Raharjo |
“Nggak usah kuatir, Bu. Akan kami antar. Kita harus cepat.” Kubuka pintu kiri belakang sambil mempersilakan Bu Trina masuk ke mobil. Tubuh langsing terbalut daster itu menyelusup ke dalam. Sebelum aku masuk dan duduk di kursi depan kiri, sempat kulirik Mas Yoyok. Matanya memutar ke atas tanda kecewa luar biasa.
**
Kekecewaan itu bukan hanya miliknya. Sudah delapan minggu kami puasa. Bukan. Bukan puasa Ramadhan. Mana ada puasa wajib sampai delapan minggu berturut-turut. Ini puasa yang lain. Yang mungkin lebih berat. Puasa hubungan suami-istri. Nah. Pasti kalian bertanya-tanya, bukan? Kok bisa sampai begitu lama?
Beginilah awalnya. Rumah kami yang asri itu sedang kami renovasi. Kamar tidur utama kami perbesar, agar kami bisa meletakkan loveseat; sofa mungil yang hanya pas untuk dua orang duduk berdempetan. Dua buah kamar mandi yang sudah tua kami bongkar lalu kami lengkapi dengan shower, wastafel dan berbagai pernak-pernik lain supaya lebih trendy. Garasi sedikit diperlebar agar tahun depan kalau Zakky, anak sulung kami, punya sepeda motor tidak perlu kerepotan.
Supaya kami tidak terlalu terganggu oleh kegiatan konstruksi, renovasi kamar mandi satu persatu kami selesaikan dulu. Kemudian baru garasi dan yang terakhir kamar tidur kami. Perombakan kamar mandi dan garasi perlu waktu delapan minggu. Rencananya, renovasi kamar tidur bisa selesai dalam empat minggu saja.
Inilah persoalannya. Mas Yoyok maunya pakai plafon kayu mahoni yang sudah tua. Papan-papan mahoni itu sudah dipesan jauh-jauh hari sebelum kami mulai renovasi. Kayu-kayu itu sementara kami titipkan di rumah teman yang punya gudang besar. Rupanya ada orang yang nekat membeli kayu-kayu itu dengan harga berlipat. Mas Yoyok tentu senang, lalu dilepaslah papan-papan impiannya itu.
“Terus kita gimana?” Tanyaku jengkel. Kamar tidur sudah terlanjur sebagian dibongkar, semua isinya dipindah ke ruang baca dan ruang TV. Tempat tidur besar kami jadi memenuhi ruang baca yang berada persis di antara kamar Zakky dan kamar adiknya, Zahra, yang kami panggil Rara.
“Ya, beli lagi.” Jawab Mas Yoyok enteng.
Ternyata membeli lagi tidak seenteng itu. Kami harus menunggu selama sekitar enam minggu. Jadilah kami tidak punya kamar tidur selama empat minggu tambah enam minggu, total jadi sepuluh minggu. Kami berdua tidur di ruang baca.
“Sialan!” Gerutu Mas Yoyok suatu malam. Kami sedang pengin menuntaskan hasrat suami-istri tapi Zakky masih sibuk dengan tugas hingga lewat tengah malam.
“Sudahlah.” Kuelus punggung Mas Yoyok agar sabar.
Entah kenapa, selama empat minggu pertama selalu ada saja peristiwa yang membatalkan hasrat kami yang rasanya sudah tak tertahankan lagi.
“Kita ke hotel aja.” Usul Mas Yoyok, suatu hari, sebelum kami berangkat kerja. Aku tertawa geli. Kedengarannya aneh sekali walaupun bisa asyik juga. Jadilah kami membeli voucher hotel di agen perjalanan langganan kami.
Ternyata kami memang belum boleh berbuka.
“Mamaaaa…!” Teriak Rara dengan suara girang setelah kami makan malam. “Kita mau nginap di hotel, ya. Rara nemu ini di dalam tas Mama.” Rara, si kecil sepuluh tahun itu mengacung-acungkan amplop berisi voucher hotel yang akan kami pakai Sabtu pagi. Dua hari lagi. Rara memang suka mengobok-obok tas kerjaku. Di situ sering ia temukan coklat atau snack sisa meeting yang lupa kukeluarkan.
Aku dan Mas Yoyok gelagepan. Rara paham betul dengan hal-hal semacam itu. Setiap tahun kami berwisata keluar kota dan menginap di hotel dengan memakai voucher. Kebetulan hotel itu merupakan salah satu favorit kami sekeluarga.
Akhirnya… ya, akhirnya kami bertiga boyongan menginap semalam di hotel itu. Dalam satu kamar. Zakky yang sudah SMA ada acara di sekolah, dia tidak bisa ikut. Kalau saja ada Zakky, Rara bisa sekamar dengannya, jadi kami tetap punya privacy. Duh. Malang nian nasibku dan Mas Yoyok.
Saking peningnya, aku dengan penuh malu minta bantuan kakakku yang tinggal di satu kota. Kami rencana akan berakhir pekan berdua saja.
“Nitip Zakky dan Rara, Mbak.”
“Beres! Jangan kebablasan. Nanti Rara punya adik lho!” Goda kakakku.
**
Namun Tuhan memang menghendaki kami puasa lebih lama. Baru saja kami hendak berangkat, tetangga kami, Bu Trina, yang suaminya bekerja di kilang minyak lepas pantai, berlari-lari keluar rumah sambil menangis, masih mengenakan daster, tanpa BH, dengan sandal jepit yang kiri-kanan beda.
“Bu Yoyok. Pak Yoyok. Tolong saya…! Tolong, yaaa… Tino kecelakaan….” Lalu meluncurlah cerita dari bibirnya yang gemetar. Karena bingungnya, dia tidak berani menyetir sendiri. Bukan cuma itu saja, dia meminta Mas Yoyok menyelesaikan semua urusan di kantor polisi dan tetek-bengek lainnya yang pasti butuh waktu lebih dari sehari sambil menunggu suami Bu Trina pulang.
Yah. Begitulah. Dalam diam, diiringi isak sesenggukan dari jok belakang, kami bertiga meluncur menuju rumah sakit tempat Tino dirawat di instalasi rawat darurat. Pelan-pelan kuulurkan lengan kananku, menyentuh lembut lengan kiri Mas Yoyok yang mencengkeram setir dengan kaku.
***
2 komentar:
hahahahhahahaaaa... kasihaaaaaaann!!! :lol:
hahahahahahaaa... Suri seneng pasti :-)
Posting Komentar