Senin, 26 Maret 2012

Empat Perempuan

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Episode 20: R e u n i 

Indri masih seperti dulu, sepuluh tahun lalu. Gemar memakai baju berpotongan leher rendah dan lebar. Mempertontonkan sepertiga dadanya. Triana tampak lebih langsing sekarang, juga makin manis, dengan blus warna lembayung kulit sawo matangnya jadi eksotis. Dulu ia malu dengan warna kulitnya itu. Di sudut ruang, terlihat Hani anggun sekaligus sexy dengan kerudungnya itu. Atikah melambai-lambai begitu memasuki ruangan. Ia melemparkan kecupan dengan tangan ke arah Runi. Atikah satu-satunya sahabat SMA yang masih sering bertemu Runi. Sesekali mereka jalan bersama, sekedar makan siang atau membeli keperluan harian.

Dari tempat Runi duduk, tak banyak yang bisa ia lihat. Seharusnya ia memilih kursi yang diduduki Indri, bisa melihat dan dilihat siapa saja. Ah... Mungkin itu memang ia sengaja, supaya dadanya itu bisa dinikmati sebanyak mungkin mata. Di sudut lain terlihat Arletta. Kalau matanya tidak terbuka, orang pasti mengira perempuan itu tertidur, wajahnya datar, terlihat bosan. Bola matanya bergerak kesana-kemari mengikuti suara yang bersahutan di ruangan itu. Ini reuni SMA pertama yang ia hadiri. Entah siapa yang mengatur reuni kali ini, menurut Runi ruangannnya kekecilan. Kurang nyaman. Ia tahu di restoran ini ada beberapa ruang meeting yang cukup luas menampung 30 orang. Ya. Ada sekitar 30 orang yang konfirmasi menghadiri reuni kali ini.

Mata Runi bertemu mata Arletta. Runi mengangkat tangannya, senyumnya terpancar lebar, memberi isyarat agar perempuan lajang itu pindah duduk di sampingnya. Mata yang tadi terlihat suwung itu tiba-tiba bercahaya. Meskipun tidak akrab, dari dulu ia selalu baik pada Runi. Selepas SMA ia kuliah di Jakarta, mengikuti kepindahan orang tuanya.

"Apa kabar Letta...?" Mereka berpelukan.

"Kamu kelihatan seger!" Seru Letta mengamati temannya.

"Kamu makin keren aja. Cocok jadi perempuan Jakarta! Rambutmu cantik sekali" Runi menyentuh rambut Letta yang ditata di salon, tergerai di dada dengan ikal besar-besar seperti para selebriti di TV.

Selepas SMA, sebelum reuni kali ini, mereka baru bertemu sekali. Sudah lama. Di pernikahan salah satu teman mereka.

"Kamu dari tadi diam aja."

"Kayak kamu yang nggak tahu aja. Itu lihat yang di kanan-kiriku tadi siapa." Mata Letta berputar ke atas. Tanda tidak suka. Ya. Runi paham maksudnya. Tadi Letta duduk diapit Pita dan Tiwik. Sejak SMA dua orang itu bersahabat dan sama-sama gemar sesumbar tentang kekayaan keluarga. Ternyata memang benar, kebiasaan buruk susah hilang, atau mungkin justru dibawa mati. Runi pun heran, ketika bertemu di reuni pertama 15 tahun lalu, mereka masih saja bicara soal harta. Saat itu Tiwik sudah menikah dan Pita baru diwisuda namun tanggal pernikahannya telah ditetapkan. Sambil membagi undangan, Pita membanggakan kekayaan calon suaminya yang pengusaha ternama itu.

"Mau cerita apa? Hidupku tidak banyak berubah sejak wisuda." Suara Letta memotong ingatan Runi.

"Tidak berubah?" Runi terbelalak. "Lihat dirimu..." Runi memandang teman SMA-nya dari ujung
kepala hingga ke kaki. "You look fabulous!" canda Runi menirukan gaya seorang host talk show ternama. Mereka tertawa. "Kerjaanmu itu menarik. Bayangkan, sarjana akuntansi bisa banting stir jualan buku-buku langka! Laris pula..."

Pekerjaan Letta memang unik. Ia punya toko buku khusus buku-buku langka yang sudah tidak dicetak lagi. Tak jarang ia ke luar negeri, keliling dunia, mencari buku langsung dari toko-toko buku loakan. Ia pernah diundang cucu mantan pegawai tinggi di jaman VOC, orang Belanda tentunya. Diminta menjualkan buku-buku koleksi kakeknya itu. Dan itu hanya salah satu yang menarik dari profesi Letta. Dengan tekun Runi mendengarkan ceritanya. Sesekali ia bertanya.

"Letta... Kapan nih kamu ketemu calonmu..." suara melengking memutus obrolan Runi dan Letta. Suara Tiwik. Ah. Perempuan itu memang cerewet, pikir Runi. "Aku udah hampir mantu lhooo...! Jangan keduluan anakku..." tambahnya, disambut tawa meriah dari sana-sini. Mata Letta yang tadi berbinar jadi mati. Bibirnya merapat. Sesaat ia kebingungan, tak tahu mau menjawab bagaimana.

"Itu nggak pentiiing!" sahut Runi dengan nada bercanda, menyelamatkan temannya. "Kami lagi ngobrolin bisnis bukunya. Bulan depan Letta mau keliling Amerika Selatan. Sudah ada sponsornya dan calon pembeli. Bulan depannya lagi sebagian koleksinya mau dilelang di New York."

Suara tawa mereda. Wajah-wajah yang tak lagi remaja itu sebagian tampak menyesal. Sebagian lagi tak peduli, memulai perbincangan baru dengan orang yang duduk di sebelahnya, seolah tak terjadi apa-apa. Runi merasakan ada hawa panas menyelimuti perempuan 41 tahun yang duduk di sampingnya. Inilah salah satu hal yang sering dihindari Runi dalam acara reuni. Olok-olok keji yang sudah tak pantas lagi dilontarkan tanpa pertimbangan. Usia mereka tak lagi belasan.

Setiap orang punya jalur kehidupan sendiri. Ada yang panjang berkelok-kelok, ada yang lurus berlubang-lubang, ada yang harus menuruni jurang, sebagian mendaki bukit terjal. Ada yang naik-turun sekaligus berkelok dan penuh lubang. Ada yang lurus mulus tapi pendek... Runi menghela nafas panjang, terkenang almarhum Mas Iwan. Ya. Dirinya juga menjadi janda di usia muda. Itu bukan kesalahannya. Dalam reuni seperti ini, Runi sesekali melihat tatapan penuh iba, seakan menganggap dirinya sengsara setelah menjadi janda. Namun Runi tak pernah membela diri. Dia tahu, banyak temannya yang hidup dalam kebohongan. Bermain peran di depan orang. Ia percaya kata-kata ibunya, hidup itu wang sinawang, orang cenderung menyoroti kekurangan diri dan melihat kelebihan orang lain. Runi tak ingin fokus pada apa yang tak ia punya karena membuatnya tidak mensyukuri kelebihannya dan melalaikan semua yang telah ia miliki.

Letta meraih tas yang ia taruh di bawah kursi.

"Letta...?" Runi tahu temannya itu mau keluar. "Jangan pergi."

"Lama-lama gerah di sini." Jemari yang kukunya dicat salem itu menyibakkan rambut panjangnya ke belakang punggung. Runi tahu Letta tak bisa ditahan.

"Aku temani..." Runi beranjak dari kursi. Mereka berdua melangkah keluar tanpa menimbulkan suara. Teman-teman yang duduk berdekatan sebagian ikut keluar. Ada yang ingin merokok. Ada yang sekedar membebaskan diri dari obrolan yang lama-lama terkesan dipaksakan.

"Kalau mau, kita bisa jalan-jalan. Aku bawa mobil. Atau mau belanja buku?" Runi menawarkan diri. Letta berseru senang. Sudah lama ia tidak jalan-jalan di Jogja belanja buku bekas.

"Apa kabar anakmu? Dea namanya?"

“Ya. Dahlia.” Mereka keluar restoran sambil tertawa-tawa. Si Lajang senang mendengar kisah Si Janda tentang anaknya yang mengingatkan mereka saat SMA. Masa lalu perlu dikenang sesekali, bukan untuk disesali. Hidup adalah semua yang mereka alami hari ini. Harus dirayakan dan dinikmati.


keterangan:
suwung = kosong sekaligus senyap, tanpa penghuni.
wang sinawang: harfiah = saling memandang; makna istilah = pada dasarnya orang saling menilai satu sama lain dan cenderung melihat kekurangan diri - kurang bersyukur - dan melihat kelebihan orang lain.

Tidak ada komentar: