Minggu, 12 Februari 2012

Empat Perempuan

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Episode 19: Reminisce

Minggu pagi rumah bernaung pohon sawo itu bagai tak berpenghuni. Jendela kamar Eyang masih tertutup meski jam dinding di ruang makan telah menunjuk angka delapan. Biasanya satu sisinya sudah dibuka pada pukul lima. Runi pasti lupa membukanya. Si empunya kamar tengah berada di Bandung bersama Dea dan Iroh. Mereka bertiga mengungsi di rumah adik Runi, tak ingin sakit akibat menghirup abu Merapi.

“Kenapa kamu ndak ikut sekalian? Bisa cuti, to? Seminggu saja?” Bujuk Eyang lagi pada Runi, beberapa jam sebelum mereka meninggalkan rumah.

Runi harus bekerja. Ia juga yakin awan panas Merapi tak akan mencapai kota. Kalau itu terjadi, artinya si gunungapi itu meletus sempurna, mungkin seluruh pulau Jawa akan terkena. Namun Runi tetap berjaga-jaga, sambil mendengarkan alunan suara Michael Buble, ia mengeluarkan koper kecil milik suaminya. Koper itu sudah lama tidak dipakai, terbungkus plastik rapi sekali. Aliran darah seakan terhenti berbarengan tangannya menarik keluar koper itu. Tiba-tiba saja hidungnya kembali membaui aroma parfum favorit Mas Iwan. Detak jantungnya mengencang. Ingatan perempuan yang sudah menjanda lima tahun itu mengawang.

"Mau oleh-oleh apa, Cinta?" tanya Iwan lewat telpon, dua hari sebelum pulang dari tugasnya di Kuala Lumpur.

"Apa aja yang gampang. Yang penting jangan lupa pesenan Dea."

Dua hari kemudian Iwan pulang. Begitu masuk kamar, ia merogoh kantung tas kerjanya, sebuah kotak mungil terbungkus kertas ungu lavender ia letakkan di atas bantal. Tak perlu menebak, Runi tahu isinya, sebuah cincin. Suaminya tahu benda yang paling disukainya bila ia sedang tak menginginkan oleh-oleh apapun. Sebuah cincin baru selalu mampu menyentuh hatinya. Malamnya, para pengantin baru pasti cemburu bila melihat cara sepasang suami-istri itu memadu asmara.

"Ya, Tuhan..." desah Runi dalam hati. Muncul rasa hangat yang lama tak ia alami, pelan-pelan merayapi kemaluannya, menyebar menelusuri aliran darahnya. Koper ia letakkan di atas kursi. Tubuhnya ia rebahkan di tempat tidur, di sisi kiri, sisi yang dingin, yang sudah bertahun-tahun tak ada yang menempati. Matanya terpejam, tangan kanannya meraih bantal lalu mendekapnya erat.

"Mau makan dimana?" kembali terdengar suara suaminya.

"Kalau di Sari Laut bosen nggak?" Baru beberapa hari sebelumnya mereka makan di sana bersama adik-adik Iwan. Keluarga Runi dan Iwan sama-sama menyukai makanan laut. Iwan tidak begitu suka ikan air tawar, katanya rasanya hambar.

"Mana bisa bosen kalau sama kamu..." bisik Iwan, merayu, sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh istrinya. Kalau sudah begitu, mereka akan berusaha keras menidurkan Dea. Bila buah hati mereka itu tak juga memejamkan mata saat gairah sudah sulit ditahan, Iwan akan mencari apa saja yang berasa manis di kulkas. Runi tak bisa berhenti tertawa bila hal itu terjadi. Akibatnya Dea semakin sulit tidur saja.

"Kapan kita mau kasih Dea adik?" Iwan membantu Runi mengeringkan rambut, suatu pagi.

"Secepatnya. Ntar aku keburu tua." Saat itu usia Runi 33 tahun dan Dea 8 tahun. Namun usaha mereka memberikan Dea seorang adik belum berhasil hingga 3 tahun kemudian, saat Iwan tiba-tiba dipanggil Tuhan.

Masih memeluk bantal Runi mengerang, tidak sadar kalau Michael Buble sudah berhenti bernyanyi sejak tadi. Ia tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Ia ingin berdiam diri di sana, di sisi yang dulu tempat berbaring suaminya. Dering telpon tak ia hiraukan. Mungkin ia bahkan tidak mendengar. Baru setelah telpon itu berdering lagi, dengan malas ia bangkit berdiri.

"Assalamualaikuuum..." Suara ibunya. "Sibuk, ya? HP mati, ya?"

Runi baru ingat kalau ponselnya habis batere dan belum sempat di-charge. "Lagi mbersihin kamar mandi, Bu," bohong Runi, malu pada diri sendiri. Ibu dan anak saling berkabar. Runi bercerita ia ingin masak cumi goreng mayonais dan ca kangkung. Ia tahu kalau ia tak punya persediaan cumi-cumi dan kangkung di kulkas.

"Kangen Mas Iwan?" tebak ibunya. Sekar tahu kalau Runi sedang kangen suami pasti minta Iroh memasak makanan itu.

"Iya, Bu. Sepagian ini saya ingat Mas Iwan. Apa saya ke makamnya, ya? Udah lama saya nggak nengok..."

"Didoakan saja."

Runi tidak berkomentar. Pikirannya masih tersangkut ke masa lalu.

"Kamu ke sini aja." Sekar kembali membujuk anak sulungnya. Pikirnya suasana kota dalam siaga bencana, semua orang cemas, bahkan sebagian ketakutan, tak baik sendirian di rumah. "Runi?"

"Saya baik-baik saja, Bu."

Sekar lalu bercerita tentang Dea dan Iroh yang sejak habis subuh sudah keluar rumah mencari bubur ayam. Ia juga mengeluhkan berita TV yang terus-terusan mengabarkan memburuknya kondisi Merapi.

"Jangan percaya TV, Bu. Jogja baik-baik aja. Salam untuk semua," pesan Runi mengakhiri pembicaraan. Perempuan itu tidak mau kehilangan waktu berharga bersama kenangan suaminya. Tidak setiap saat Runi merasakan kehadiran almarhum suaminya seperti pagi ini. Sebegitu dekat hingga ia merasakan kembali belaiannya, ciumannya, dekapannya, desah nafasnya. Kalau tak ada dering telpon, mungkin perempuan itu akan orgasme dalam lamunannya.

"Ada baiknya aku belanja. Mungkin masak cumi mayonais bisa nolong," batin Runi. Sudah hampir waktu makan siang. Artinya, sebelum telpon berdering, perempuan itu melamun di tempat tidur lebih dari 4 jam. Pantas saja kepalanya pening.

Selepas mencuci muka Runi membuka kulkas. Dilihatnya botol tabasco terselip di antara botol-botol lainnya. Tangannya menjangkau botol yang mungkin sudah beberapa tahun tidak disentuh. Ia tak ingat kapan terakhir membeli tabasco. Selain Mas Iwan, di rumah itu tak ada yang suka. Mungkinkah botol itu sudah berada di situ lebih dari lima tahun? Digenggamnya benda berisi saus kemerahan itu.

"Jangan-jangan ini dulu dibeli Mas Iwan," alis Runi berkerut. Di rumah itu sesekali ia masih menemukan benda-benda suaminya, selain beberapa barang yang telah ia pilih dan simpan di dalam peti kayu jati, suvenir dari Lombok yang mereka beli saat berbulanmadu dulu.

"Niiih... Mau nggak? Mau nggak? Pasti enak!" goda Iwan, meleletkan lidah penuh tabasco, mencoba membuat istrinya mencicipi saus pedas itu, langsung dari lidahnya.

"Heeey! Ini di tempat umum!" tegur bapak Runi, menggeleng-gelengkan kepala. Saat itu mereka masih pengantin baru, masih tinggal serumah dengan orang tua Runi, masih sering keluar makan bersama.
Runi tersenyum menimang-nimang botol tabasco. Dulu dia begitu mudah tertawa. Iwan suka sekali menggoda istrinya. Dimana saja ia tak malu merayu perempuan itu. Suara tawa mereka hanya berhenti bila sedang berjauhan, atau tidur.

Tertawa terbahak, ya, itu salah satu yang dirindukan Runi. Terbahak-bahak sampai keluar air mata. Tertawa bahagia. Tertawa geli hingga ke hati. Kini rasa hangat menjalari matanya. Runi menangis sambil mendekap botol tabasco.

"Ah. Aku bisa gila kalau begini." Dengan punggung tangan ia hapus air matanya. Botol tabasco tetap ia genggam. Keinginannya masak cumi goreng mayonais akan ia turuti. Ia akan belanja, memenuhi kulkasnya dengan sayuran dan bahan makanan favorit suaminya. Runi tak ingin hari itu berlalu tanpa benar-benar merasakan sesuatu yang disukai suaminya.

"Aku harus menengok makamnya," pikir Runi, membuka pintu garasi. Abu Merapi samar-samar memenuhi udara, terhembus angin, terhirup hidungnya. Runi bersin-bersin, lalu cepat-cepat memasang masker. "Ada baiknya aku membeli bunga dulu." Seulas senyum menghiasi wajahnya. "Mas Iwan pasti menertawaiku kalau ia bisa melihat ulahku hari ini. Ia pasti akan terbahak kalau tahu aku bicara sendiri." Senyum Runi melebar.

Sebuah mobil pelan-pelan keluar halaman, pengemudinya tertawa sendirian.

***

Episode sebelumnya ada di Kampung Fiksi

Keterangan:
Reminisce (bhs Inggris): mengenang (sambil menikmati/meresapi) masa lalu.

Tidak ada komentar: