Kamis, 09 Februari 2012

The Bluest Eye: Duka Pecola

Novel pertama karya Toni Morrison, perempuan Amerika kulit hitam pemenang Pulitzer 1988 dan Nobel Sastra 1993, The Bluest Eye, menurut saya tak lekang dimakan waktu. Pesan-pesan yang diembannya aktual hingga kini dan mungkin bertahun-tahun lagi. Dalam tulisan pendek ini saya tidak akan menuliskan review ceritanya, namun sedikit mengulas satu saja dari sekian banyak permasalahan yang dipaparkan oleh Toni Morrison melalui salah satu karyanya ini.

Novel yang diterbitkan pertama kali pada 1970 ini sudah saya baca beberapa kali dan sering saya tenteng bila bepergian sendiri. Setiap kali membaca ulang, selalu saya temukan sesuatu yang baru di dalamnya. Salah satu permasalahan yang dipotret, yang hinggi kini masih aktual, adalah kekerasan pada anak-anak.

Mulai dari awal, dengan bahasa yang amat puitis, Morrison menggambarkan perasaan anak-anak terhadap orang dewasa melalui Claudia Mcteer, salah satu karakter anak-anak yang menuturkan hampir seluruh cerita. Berikut ini salah satu cuplikan pikiran Claudia tentang orang dewasa ketika ia menggambarkan keluarga dan suasana rumah kecilnya:


… Adults do not talk to us – they give us directions. They issue orders without providing information. When we trip and fall down they glance at us; if we cut or bruise ourselves, they ask us are we crazy….

Ketika membaca novel ini untuk pertama kalinya, kalimat itu tidak saya perhatikan. Namun setelah beberapa kali mengulang, pesan yang disampaikannya begitu tajam, mengiris ulu hati. Bukankah memang demikian? Orang tua sering menganggap anak sebagai obyek belaka? Manusia kecil miskin pengalaman, kurang pengetahuan, tanpa kearifan yang ‘seharusnya’ hanya mendengarkan orang tua saja? Orang tua sering lupa bahwa dulu kala mereka pernah jadi anak-anak juga.

Isi pikiran Claudia Mcteer di atas, bukan apa-apa dibandingkan dengan rasa tertekan dan penderitaan yang dialami oleh Pecola Breedlove. Gadis 11 tahun berkulit hitam ini merupakan karakter protagonis yang merasa dirinya anak paling jelek di lingkungannya. Seluruh kisah ini adalah tentang pergulatan Pecola dalam menggapai mimpi satu-satunya: mempunyai sepasang mata biru cantik seperti yang dimiliki oleh gadis-gadis kulit putih.

Pecola kecil lahir dari dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak harmonis. Ayahnya, Cholly Breedlove, adalah lelaki pemabuk dan kasar yang masa kecilnya suram karena tidak diakui oleh ayahnya dan dibuang oleh ibunya. Sedangkan ibunya, Pauline Breedlove, yang bekerja sebagai pembantu pada keluarga kulit putih, memilih hidup dalam mimpinya sendiri untuk melupakan penderitaanya. Ia lebih menyayangi gadis kulit putih yang diasuhnya daripada Pecola, anak kandungnya.

Cholly dan Pauline hampir tiap saat bertengkar. Bukan hanya adu mulut saja, tapi adu fisik juga. Rumah kecil mereka sering terguncang berantakan akibat aneka alat-alat dapur beterbangan. Suatu pagi Pecola terbangun oleh pertengakaran sengit orang tuanya. Morrison menggambarkan perasaan Pecola yang begitu tertekan melalui kalimat berikut ini:

… She struggled between an overwhelming desire that one would kill the other, and a profound wish that she herself could die…

Begitu dahsyatnya dampak pertengkaran itu pada jiwa Pecola kecil hingga ia ingin agar salah satu dari orang tuanya terbunuh atau dirinya mati saja. Sementara itu, Sammy Breedlove, kakak lelaki Pecola, memilih untuk pergi dari rumah tiap kali jiwanya luka. Anak sulung Cholly dan Pauline itu sudah minggat dari rumah tak kurang dari 27 kali pada usia 14 tahun. Namun ia selalu kembali ke rumah walau dengan wajah penuh amarah.

Kekerasan orang tua pada anak itu mencapai puncaknya ketika Cholly, karena mabuk berat, memperkosa Pecola yang menyebabkannya hamil. Dalam cerita, bayi Pecola akhirnya meninggal. Kekerasan itu semakin menghancurkan hati justru karena novel ini ditulis dengan gaya yang indah bagai puisi. Di akhir cerita, ketika menggambarkan jiwa Pecola yang terguncang dan menjadi gila, Morrison menggunakan dialog pendek-pendek antara Pecola dan ‘teman imajinernya’.

Seperti banyak adikarya sastra, tema-tema yang disoroti oleh The Bluest Eye bagai abadi. Kekerasan pada anak-anak terus terjadi hingga kini, 40 tahun kemudian, sejak pertama diterbitkan. Hampir tiap hari kita melihat, mendengar dan membaca, ada begitu banyak, bahkan mungkin semakin banyak, anak-anak seperti Pecola yang terlunta-lunta di seluruh penjuru dunia. Seharusnya ada sesuatu yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk mencegahnya.

***

3 komentar:

-Indah- mengatakan...

Ngebaca ini.. sedih yaa perjalanan hidup yang harus dilalui Pecola :( And apa yang dialami Pecola ngga hanya terjadi dalam fiksi tapi banyak juga terjadi di dunia nyata :'(

Ge Siahaya mengatakan...

Ahh... saya juga sedang baca dan baca dan baca lagi setiap paragraf dalam buku ini. Dari rencana hanya membacanya di bulan Januari, lalu beranjak ke Beloved di Februari, ternyata saya masih ditahan oleh TBE, banyak sekali yang saya peroleh dari novel ini. Betapa mengerikannya sebuah kelompok sosial yang memandang rendah diri mereka sendiri. Perbudakan mengakibatkan inferioritas tertanam begitu dalam, penjajahan selama sekian abad, nampaknya juga menghasilkan hal yang sama ya... *Saya masih belum mendalami, sejauh ini, itu kesimpulan dangkal yang saya peroleh. Baca lagi ah... sampai ngelotok ^^

Oh iya, saya sekarang menamakan mereka yg doyan pakai lensa kontak warna-warni sbg mengalami Pecola Syndrome :p

Endah Raharjo mengatakan...

@Indah: iya, hampir semua adikarya memang mengusung isu2 'abadi', yang selalu aktual. Kisah Pecola ini memang sedih banget.

@Ge: Iya, bener. Buku2nya memang 'harus' dibaca2 lagi, setiap baca menemukan sesuatu yang baru. Sama Ge, yg saya tulis ini juga hanya 1 'kesimpulan' dangkal saja, yg bisa saya tangkap dan hubungkan dgn kondisi masyarakat kita.