Rabu, 28 Januari 2009

Rekonstruksi Banda Aceh

Segelas Kopi di Plaza Tsunami

Menara Masjid Raya Baiturrahman terlihat putih samar-samar di horizon dari arah desa nelayan Lam Teungoh, salah satu desa di Kecamatan Peukan Bada, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang diluluhlantakkan oleh gempa bumi dan tsunami akhir tahun lalu. “Menara itu dulu tak nampak dari sini,” kata salah satu warga desa yang selamat dari bencana dengan logat Aceh yang kental.

Bagi banyak orang yang belum pernah melihat Aceh, berita tentang tsunami dan diberlakukannya hukum cambuk belakangan ini mungkin terasa menyesakkan dada. Seolah-olah orang tidak bisa bergerak leluasa di kota yang dijuluki Serambi Mekah ini. Namun kenyataannya, terlepas dari puing-puing yang masih berserakan di seluruh penjuru propinsi dan ruwetnya proses rekonstruksi, Aceh memiliki warga yang ramah, terlebih pada tamu atau pendatang, karena bagi warga Aceh memuliakan tamu adalah kewajiban.
Aceh tampaknya enggan tenggelam dalam duka terlalu lama. Propinsi yang tak pernah berkesempatan hidup dalam ketentraman ini sudah mulai menggeliat pelan, bangun, dan siap berjalan meninggalkan salah satu lembaran terhitamnya. Sebuah cerita baru telah menunggu.

Geliat itu mampu menggerakkan propinsi yang masih penuh dengan bercak luka di sekujur tubuhnya. Tak hanya kendaraan roda 4 gagah-perkasa dengan aneka macam logo organisasi tertempel di kaca depan atau pintu samping yang sebagian penumpangnya berkulit putih dengan pakaian lapangan yang tampak berlalu-lalang di jalanan, warga Aceh pun telah menemukan kembali rutinitas mereka dan berkegiatan setiap hari.

Hotel dan losmen telah beroperasi lagi sejak 3-4 bulan yang lalu. Semua hotel di Kota Banda Aceh menaikkan tarifnya, rata-rata hingga 100%, bukan hanya karena tingginya permintaan, namun juga untuk menutup biaya perbaikan dan pengadaan berbagai perabot dan perlengkapan yang hanyut terbawa tsunami. Kamar ber AC di sebuah hotel melati yang terletak di pusat kota kini memasang tarif sekitar Rp.200,000,- per hari, sementara dulu hanya Rp.100.000,-. Dan itu pun tak pernah sepi. Terlebih hotel bintang 3 yang jumlahnya tak seberapa, daftar tunggunya panjang sekali. Siapa lagi yang tinggal di hotel-hotel dan losmen-losmen ini kalau bukan para tenaga ahli dari dalam maupun luar negeri yang ditugaskan ke Aceh untuk memulai rehabilitasi dan rekonstruksi.

Selain hotel, dua buah warung internet di kawasan Simpang Lima pun senantiasa ramai dikunjungi, dari mulai buka pada pukul 9 pagi hingga tutup pukul 2 dini hari. Satu jam nongkrong di tempat itu pasti akan melihat banyak orang keluar-masuk dari berbagai negara: Amerika, Jerman, Perancis, Turki, Jepang; juga wajah-wajah Indonesia dengan aneka logatnya: Jawa, Sunda, dan tentu saja Jakarta dengan “gitu-loh”-nya.


Hal lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kembalinya denyut jantung Aceh adalah kopi. Bagi penikmat kopi, Aceh adalah salah satu surganya. Kopi yang hitam dan kental itu diseduh secara khusus. Untuk menyeduh kopi penjual menggunakan saringan yang terbuat dari kain kira-kira sepanjang 30 cm dengan bibir berdiameter 15 cm yang di dalamnya berisi bubuk kopi. Saringan itu dicelupkan ke dalam semacam panci berbentuk persegi yang ditumpangkan di atas kompor menyala yang berisi air mendidih. Dengan sigap tangan sang penyedu kopi mengangkat saringan kopi dari bibir panci dan membiarkan kucuran kopi hitam tertuang ke dalam gelas-gelas kecil yang dijejer di atas meja di sebelahnya. Ada penjual yang melakukannya begitu saja, tapi ada pula yang bergaya, terlebih bila pembelinya ingin memotret proses penyeduhan itu.


Yang Serba Manis



Bertahun-tahun lalu, di Kota Banda Aceh ada sebuah gedung bioskop terletak di pusat kota dekat Simpang Lima yang disebut dengan Rex. Karena suatu hal, gedung tersebut dirubuhkan dan lahannya dibiarkan terbuka dan berfungsi sebagai semacam alun-alun. Menjelang petang hari “alun-alun Rex” ini penuh dengan para pedagang makanan: sate padang, sate jawa, sate matang, kerang rebus dengan sambalnya, mi Aceh yang berkuah kental dan pedas, lengkap dengan jus buah segar aneka rasa tergantung musimnya: mangga, alpukat, jeruk, tomat, jambu, sawo dan timun.

Setiap sore menjelang maghrib para pedagang berdatangan dan membariskan kursi-kursi dan meja-meja plastik memenuhi ruang terbuka itu. Sehabis maghrib orang-orang berdatangan dan mencapai puncaknya pada pukul 9 – 11 malam, menikmati makanan yang dijajakan di tempat ini. Beberapa pendatang, baik yang tinggal di Banda Aceh untuk waktu singkat maupun yang terikat kontrak kerja tahunan, menyebutnya sebagai plaza tsunami. Mereka sering melakukan rendezvouz di tempat tersebut; melepas lelah sambil mengisi perut yang kosong sehabis bekerja di lapangan atau melepas sumpeg dan buneg akibat berpindah dari satu rapat ke rapat lain dari pagi hingga malam.

Harga segelas kecil kopi kental di kota Banda Aceh rata-rata Rp.1.000 dan segelas besar jus buah segar rata-rata Rp.4.000. Untuk makan sepiring nasi (putih atau goreng) ditambah sepotong ayam atau daging, sambal, acar, kerupuk, dan sejumput oseng-oseng rata-rata orang membayar Rp.10.000. Tapi para pecinta sayuran segar tampaknya harus bekerja ekstra keras bila ingin menemukan warung atau restoran yang menyediakannya.

Orang Aceh tampaknya teramat suka rasa manis. Segelas teh umumnya disajikan dengan tiga sendok makan (bukan sendok teh) gula, begitu pula jus buah dan apalagi kopi. Bahkan sepiring aneka buah segar atau fruit platter disajikan dengan tuangan sirup merah campur serutan es batu di atasnya. Jadi bagi yang tidak suka manis atau berpantang gula sebaiknya jangan lupa meyakinkan penjual, berkali-kali atau bila perlu menyaksikan langsung pembuatannya, agar tidak memasukkan gula ke dalam gelas atau menuangkan sirup di atas fruit platter pesanannya.

Di tengah hiruk-pikuknya pertengkaran dan keributan antarlembaga, baik lokal, nasional maupun internasional, yang sangat kontraproduktif untuk pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, manisnya kopi dan segarnya jus buah yang dapat ditemukan di seluruh penjuru Aceh merupakan suatu rahmat yang pantas disyukuri.

Banda Aceh, Agustus 2005.

Tidak ada komentar: